16 Oktober 2023

Simtud Duror (Terjemahan Sesuai Bahar)

 

اَشْرَقَ الْكَوْنُ ابْتِهَاجَا * بِوُجُوْدِ الْمُصْطَفَى اَحْمَدْ
وَلِاَهْلِ الْكَوْنِ اُنْسُ * وَسُرُوْرٌ قَدْ تَجَدَّدْ
Bersinar terang semesta # karena hadirnya Ahmad
segenap sarwa gembira # sukanya kian berlipat
فَاطْرَبُوْا يَااَهْلَ الْمَثَانِي * فَهَزَارُ الْيُمْنِ غَرَّدْ
وَاسْتَضِيْؤُا بِجَمَالِ * فَاقَ فِى الْحُسْنِ تَفَرَّدْ
Rianglah ahli Al-Qur’an # Bulbul berkicau isyarat
Bersuluhkan keindahan # sumurung elok memikat
وَلَنَا الْبُشْرَى بِسَعْدٍ * مُسْتَمِرٍ لَيْسَ يَنْفَدْ
حَيْثُ اُوْتِيْناَ عَطَاءَ * جَمَعَ الْفَخْرَالْمُؤَبَّدْ
Kabar syahda milik kita # sentiasa tak bertumpat
hingga mendapat kurnia # adiluhung tanpa sarhad
فَلِرَبِّي كُلُّ حَمْدٍ * جَلَّ اَنْ يَحْصُرَهُ الْعَدْ
اِذْحَبَانَابِوُجُوْدِ اَلْ * مُصْطَفَى الْهَادِي مُحَمَّدْ
Untuk Rabbi puja-puji # lampaui jumlah dan adad
atas anugerah Musthofa, # Sang Pelopor ya Muhammad
يَارَسُوْلَ اللهِ اَهْلًا *بِكَ اِنَّا بِكَ نُسْعَدْ
ا وَبِجَاهِه يَااِلَهِي * جُدْوَبَلِّغْ كُلَّ مَقْصَد
Ya Rasul selamat datang # karnamu riang didapat
Demi pangkatnya, ya Rabbi # kabulkan segala hajat
وَاهْدِنَانَهْجَ سَبِيْلِه * كَيْ بِهِ نُسْعَدْ وَنُرْشَدْ
رَبِّ بَلِّغْنَا بِجَاهِه * فِى جِوَارِه خَيْرَ مَقْعَدْ
Bimbing kami ke jalannya # bersuka dapatkan irsyad
Demi pangkatnya di sisi # tuju kami pokta tempat
وَصَلَاةُ اللهِ تَغْشَى * اَشْرَفَ الرُّسْلِ مُحَمَّدْ
وَسَلَامٌ مُسْتَمِرٌّ * كُلَّ حِيْنٍ يَتَجَدَّدْ
Shalawatullah meliput # syahda Rasul-Nya: Muhammad
Salam pun terus-menerus # sentiasa tiap saat
 
(terjemahan dapat dilagukan seperti aslinya: ramel majzu')

15 Oktober 2023

Barzanji (Terjemahan Sesuai Bahar)

 

ﻳﺎ ﻧﺒﻲ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ # ﻳﺎﺭﺳﻮﻝ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ

ﻳﺎﺣﺒﻴﺐ ﺳﻼﻡ ﻋﻠﻴﻚ # ﺻﻠﻮﺍﺕ ﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻚ


***


ﺃَﺷْﺮَﻕَ ﺍﻟﺒَﺪْﺭُ ﻋَﻠَﻴﻨَﺎ # َﺎﺧْﺘَﻔَﺖْ ﻣِﻨﻪُ ﺍﻟﺒُﺪُﻭﺭُ

ﻣِﺜﻞَ ﺣُﺴﻨِﻚْ ﻣﺎ ﺭَﺃَﻳﻨَﺎ # َﻂُّ ﻳﺎ ﻭَﺟﻪَ ﺍﻟﺴُّﺮُﻭﺭِ

Bersinar bulan tuk kita # yang lain lindap seturu

Elokmu tiada serupa # Oh, paras indah berseri


ﺃَﻧﺖَ ﺷَﻤﺲٌ ﺃَﻧﺖَ ﺑَﺪﺭٌ # َﻧﺖَ ﻧُﻮﺭٌ ﻓَﻮﻕَ ﻧُﻮﺭِ

ﺃَﻧﺖَ ﺇِﮐﺴِﻴﺮٌ ﻭَﻏَﺎﻟِﻲ # َﻧﺖَ ﻣِﺼﺒَﺎﺡُ ﺍﻟﺼُّﺪُﻭﺭِ

Kau surya dan bulan antun # Kau cahya yang tak terperi

Kaulah eliksir nan jeli # kaulah tanju sanubari


ﻳَﺎ ﺣَﺒِﻴﺒِﯽ ﻳَﺎ ﻣُﺤَﻤّﺪ # ﻳﺎﻋَﺮُﻭﺱَ ﺍﻟﺨَﺎﻓِﻘَﻴﻦِ

ﻳَﺎ ﻣُﺆَﻳَّﺪ ﻳَﺎﻣُﻤَﺠَّﺪ # َﺎ ﺇِﻣَﺎﻡَ ﺍﻟﻘِﺒﻠَﺘَﻴﻦِ

Kekasihku, ya, Muhammad # Barat-Timur raja-rani

Ya Muayyad ya Mumajjad # Hai Imamal Kiblataini


ﻣَﻦ َﺭﺃَﯼ ﻭَﺟﻬَﻚَ ﻳَﺴﻌَﺪ # َﺎﮔﺮِﻳﻢَ ﺍﻟﻮَﺍﻟِﺪَﻳﻦِ

ﺣَﻮﺿَﻚَ ﺍﻟﺼَّﺎﻓِﯽ ﺍﻟﻤُﺒَﺮَّﺩ # ِﺭْﺩُﻧَﺎ ﻳَﻮﻡَ ﺍﻟﻨُّﺸُﻮﺭِ

Menatapmu senang amat # Nan mulia abi-ummi

Tamanmu sejuk berjalad # Kiamat kan dihampiri


ﻣَﺎ َﺭﺃَﻳﻨَﺎ ﺍﻟﻌِﻴﺲَ ﺣَﻨَّﺖ # ِﺎﻟﺴُّﺮﯼَ ﺇﻻَّ ﺇﻟَﻴﻚَ

ﻭﺍﻟﻐَﻤَﺎﻣَﻪ ﻗَﺪ ﺃَﻇَﻠَّﺖ # َﺍﻟﻤَﻼَ ﺻَﻠَّﻮﺍ ﻋَﻠَﻴﻚَ

Unta malam tak melawat # kecuali engkau jangka

Awan pun menjadi bawat # jagat shalawat bermalka


ﻭَﺃَﺗَﺎﻙَ ﺍﻟﻌُﻮﺩُ ﻳَﺒﮑِﻲ # َﺗَﺬَﻟَّﻞ ﺑَﻴﻦَ ﻳَﺪَﻳﻚَ

ﻭَﺍﺳﺘَﺠَﺎﺭَﺕ ﻳَﺎﺣَﺒِﻴﺒِﻲ # ِﻨﺪَﻙَ ﺍﻟﻈَّﺒﻲُ ﺍﻟﻨّﻔُﻮﺭُ

Pohon nangis mendekati # Menghiba kepada Mika

Kijang dekati Habibi # berlindung berduru-duru


ﻋَﻨﺪَﻣَﺎ ﺷَﺪُّﻭﺍ ﺍﻟﻤَﺤَﺎﻣِﻞ # َﺗَﻨَﺎﺩَﻭﺍ ﻟﻠﺮَّﺣِﻴﻞِ

ﺟِﺌﺘُﻬُﻢ ﻭﺍﻟﺪَّﻣﻊُ ﺳَﺂﺋﻞ # ُﻠﺖُ ﻗِﻒ ﻟِﯽ ﻳَﺎ ﺩَﻟِﻴﻞُ

Bekal rombongan diambil # dipanggil untuk mengili

Kusongsong tangis mengalir # tunggu aku, oh, Panduku


ﻭَﺗَﺤَﻤَّﻞ ﻟِﻲ ﺭَﺳَﺂﺋﻞ # َﻳُّﻬﺎ ﺍﻟﺸَّﻮﻕُ ﺍﻟﺠَﺰِﻳﻞِ

ﻧَﺤﻮَﻫَﺎﺗِﻴﻚَ ﺍﻟﻤَﻨَﺎﺯِﻝ # ِﯽ ﺍﻟﻌَﺸِﻲِّ ﻭﺍﻟﺒُﮑُﻮﺭِ

Bawakan daku ‘rasail # Duhai rindu nan sendalu

menuju ke banyak manzil # di malam dan pagi hari


ﮐُﻞُّ ﻣَﻦ ﻓِﯽ ﺍﻟﮕﻮﻥِ ﻫَﺎﻣُﻮﺍ # ﻓِﻴﻚَ ﻳَﺎ ﺑَﺎﻫِﻲ ﺍﻟﺠَﺒِﻴﻦِ

ﻭَﻟَﻬُﻢ ﻓِﻴﻚَﻏَـَﺮﺍﻡُ # ﻭَﺍﺷﺘِﻴَﺎﻕٌ ﻭَﺣَﻨِﻴﻦُ

Warga semesta merindu # padamu, Bahil Jabini

Rindu mereka padamu # Rindu dan ribang selalu


ﻓِﻲ ﻣَﻌَﺎﻧِِﻴﻚَ ﺍﻷَﻧَﺎﻡُ # ﻗَﺪ ﺗَﺒَﺪَّﺕ ﺣَﺂﺋِﺮِﻳﻦَ

أَنْتَ لِلرُّسُلِ خِتَامُ # أَنْتَ لِلْمَوْلَي شَكُورُ

Orang mengungkap tak mampu # sifatmu mahaparana

Pamungkas rasul dirimu # Engkau bersyukur selalu


وَصَلاَةُ اللَّهِ تَغشَا # عَدَّ تَحرٍِيرِ السُّطُورِ

أَحمَدَ الهَادِی مُحَمَّد # صَاحِبَ الوَجهِ المُنِيرِ

Shalawatullah menyela # tiap larik tak terperi

Ahmad sang pandu Muhammad # pemilik wajah berseri

 

(BAGIAN DI ATAS ADALAH KARYA AL-BARZANJI, BAGIAN BERIKUT [di bawah] diperselisihkan pengarangnya. Kiai Zainurrahm,an Hammam menulis tahqiq untuk ini dalam kitab Maulidnya. Silakan rujuk kitab beliau)  


عَبْدُكَ المِسْكِينُ يَرْجُو # فَضْلَكَ الجَمَّ الغَفِيرُ

فِيكَ قَدْ أَحْسَنْتُ ظَنِّي# يَا بَشِيرُ يَا نَذِيرُ

Hamba miskin-Mu mengadu # kurnia-Mu kan diluru

Baik sangka hati ini # Pelipur dan pengingatku


فَأَغِثْنِي وَأََجِرْنِي# يَا مُجِيرُ مِنَ السَّعِيرِ

يَا غِيَاثِي يَا مَلاَذِي # فِي مُلِمَّاتِ الْأُمُور

Selamatkan diri ini # hai penolong dari Api

Bentengku dan baluarti # atas dosa-dosa diri


فَازَ عَبْدٌ قَد تَّمَلَّى # وَانْجَلَى عَنْهُ الْهُمُومُ

فِيكَ يَا بَدْرٌ تَجَلَّى # فَلَكَ الْوَصْفُ الْحَسِينُ

Beruntung hamba bersuka # hilanglah galau dan jemu

Duhai bulan nan menjela # dikara sifat dirimu


لَيْسَ أََزْكَى مِنْكَ أَصْلاً # قَطُّ يَاجَدَّالْحُسَيْن

فَعَلَيْكَ اللهُ صَلَّى # دَائِمًا طُولَ الدُّهُورِ

Tak terbanding tak tertala # Hai Datuk Hasan-Husaini

Shalawat Allah ta’ala # untukmu kekal bestari


يَا وَلِيَّ الْحَسَنَاتِ # يَا رَفِيعَ الدَّرَجَاتِ

fكَفِّرَنْ عَنِّي ذُنُوبِي # وَاغْفِرَنْ لِي سَيِّئَاتِي

Wahai duli amal bakti # pengangkat harkat, oh, Gusti

Tebuslah dosaku ini # Ampuni salah dan kuti


أَنْتَ غَفَّارُ الْخَطَايَا #وَالذُّنُوبِ الْمُوبِقَاتِ

أََنْتَ سَتَّارُالْمَسَاوِي # وَمُقِيلُ الْعَثَرَاتِ

Pemaaf dosa sahaya # ampuni dosa, oh, Gusti

Penutup yang ternodai # pengampun salah dan keji


عَالِمُ السِرِّ وَأَخْفَى # مُسْتَجِيبُ الدَّعَوَاتِ

رَبَّنَا ارْحَمْنَا جَمِيعًا # بِجَمِيعِ الصَّالِحَاتِ

Yang tahu samar dan nyata # doa hamba dimengerti

Rahmati kami semua # terhadap amal dan karti 

 

KETERANGAN:

1) Dari ﺃَﺷْﺮَﻕَ ﺍﻟﺒَﺪْﺭُsampai طُولَ الدُّهُورِadalah kutipan dari Maulid Syaraful Anam kaya Ibnul Qasim al Hariri sebagaimana penjelasan dari Syaikh Ahmad Al Marzuqi. Penjelasan ini berasal dari Syekh Nawawi al Bantani dengan catatan tambahan, bahwa masyarakat juga mengenalnya sebagai karya Syaikh Abdurrahman Al-Jauzi);

2) Dari ﺃَﺷْﺮَﻕَ ﺍﻟﺒَﺪْﺭُsampai بِجَمِيعِ الصَّالِحَاتِ bersumber dari Syaraful Anam al Maulid al Barzanji yang ditahqiq oleh Syaikh Bassam Muhammad Baarud. Sementara Dr Ashim Ibrahim mengangapnya karya Syd Abdullah Alawi Al Haddad (namun dengan sedikit perbedaan redaksi),

3) Dari ﺃَﺷْﺮَﻕَ ﺍﻟﺒَﺪْﺭُsampai صَاحِبَ الوَجهِ المُنِيرِadalah nukilan dari Maulid al Barzanji menurut tahqiq Syaikh Bassam Muhammad Baaruud)

Semua catatan di atas bersumber dari Terjemah Maulid karya KH Zainurrahman Hammam, "Fathul 'Allam"



05 September 2023

Padam Lampu

lukisan karya @zuk

 

PADAM LAMPU


Saat padam lampu:

saat ingat dirimu.


Apakah aku lupa di saat siang

dan pada saat terang?

Tidak.

Siang dan terang tidak menafikanmu,

ia hanyalah momen kealpaanku.


Saat padam lampu,

aku ingat otak-eksternalku:

matahari buatan

bintang-bintang imitasi

bulan-bulan palsu

yang redup-terangnya

diatur potensio meter atau wifi.

Saat itu pula, pada kejahatanku,

aku lupa bahwa hidup itu fana

sebagaimana nikel dan batubara


Di balik akal budi bestari,

tertancap akal bulus eksploitasi

Apa yang disebut membangun,

sesungguhnya adalah menghancurkan


Saat padam lampu,

aku ingat kejahatanku

namun juga ingat sayangmu

yang tak pernah padam

meskipun aku selalu menipu


Saat padam lampu

Yang nyala hanyalah syafaatmu


16/02/2023

31 Agustus 2023

Tafsir Puisi Semisal Badrul Mustafa

SEMISAL BADRUL MUSTAFA (Heru Joni Putra)

 
Hatiku dibolak-balikan Tuhanku.
 
Kepalaku gampang terbentur kusen pintu -
Segala pujaku untuk suluh di tangan,
 
Kakiku gampang tersandung tunggul kayu -
Semua pujiku untuk bulan saban malam
 
Hatiku dibolak-balik Tuhanku.
 
Ingin benar kukembalikan goncangku pada gelombang
Sungguh mau kuserahkan guyahku pada angin garang.
 
Hatiku dibolak-balik Tuhanku.
 
Teguh sudah bagai beringin tengah pasar
Hendak rubuh oleh semisal angin sebentar
 
*** 
https://suluah.com/wp-content/uploads/2021/12/Heru-Joni-Putra.jpg

Barusan (18 Agustus 2023), gulung-gulung layar di Facebook, entah kenapa saya bisa bersirobok dengan puisi ini. Utak-atik sebentar, hup, jadilah begini.
“Hatiku dibolak-balikan Tuhanku.”

Ini kalimat dalam bentuk pasif yang dimodifikasi dari doa di ujung tahiyat sebelum salam (Wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati). Mengapa dibentuk pasif? Dua kemungkinannya: pertama, penyair ingin kebaruan tapi tetap mengacu pada referensi utama, sejenis tipa induk dalam teori intertekstual. Dalam bahasa Arab, ada istilah ‘iqtibas’ yang secara harfiah bermakna “kutipan”, namun dalam praktiknya tidak semata-mata mengutip, melainkan mengutip suatu kalimat atau frasa yang diketahui publik (seperti ayat atau hadis) dengan tanpa menyebutkan sumbernya karena dianggap ‘common sense’. Adapun kemungkinan yang kedua; penyair ingin menunjukkan kondisi terkini hatinya. Jadi, jika di dalam doa itu adalah harapan agar hati si hamba ditetapkan dalam keyakinan, sementara dalam puisi ini penyair menyatakan kondisi hatinya yang justru telah demikian, telah bolak-balik.

Bait pertama terdiri dari satu kalimat. Kalimat ini diulang tiga kali dalam puisi, berbentuk repetisi utuh. Bait pertama mendahului dua bait berikutnya yang berposisi sebagai penjelas atau contoh bagi bait pertama yang berperan sebagai pernyataan. Repetisi kedua dan repetisi ketiga hanya diikuti oleh masing-masing satu bait penjelas. Langkah ini agaknya dibuat oleh penyair untuk tujuan kesan pengulaman biasa, penguatan statemen yang didukung oleh contoh-contoh.

Anatomi puisinya, secara lebih rinci, adalah sebagai berikut: bait pertama sekaligus kalimat pertama adalah pernyataan situasional. Kalimat pertama pada bait kedua sebagai pengakuan kelemahan diri dan kalimat kedua pada bait kedua merupakan kelalaian. Mengapa lalai? Karena jika sebelumnya si aku-penyair menyatakan bahwa “kepalanya gampang terbentur kusen” (padahal dalam keseharian itu jarang terjadi), tapi secara ironis dia menyatakan (pada kalimat berikutnya) bahwa ia memuji dirinya sendiri yang sebetulnya mampu melihat karena memegang suluh (lambang alat penerangan yang fungsinya adalah agar jalan dapat dilalui, tidak mudah terpeleset, terjatuh, atau terbentur) yang justru berada di tangannya sendiri. Ironi terjadi di sini.

Bait berikutnya berbunyi;
“Kakiku gampang tersandung tunggul kayu -
Semua pujiku untuk bulan saban malam”

Bait di atas masih sama, secara napas dan gaya, dengan bait sebelumnya, yaitu tentang pengakuan atas kelemahan di saat berjalan dan di dalam perjalanan: kepala mudah terbentur, kakinya mudah tersandung. Ini jelas berbeda dengan lagu "indung-indung kepala indung” karena kaki yang tersandung—di dalam lagu tersebut—disebabkan oleh “mata yang melihat ke bukan jalannya”. Heru menyatakan kakinya gampang tersandung, semata-mata begitu tanpa menjelaskan alasannya, sebaliknya justru dia memuji-muji adanya cahaya: Ironi lagi, ironi laaagi.
“Hatiku dibolak-balik Tuhanku.”
“Ingin benar kukembalikan goncangku pada gelombang
Sungguh mau kuserahkan guyahku pada angin garang.”

Masih sama persis dengan bait di atas dalam hal gayanya, bait ini berbeda dalam hal ‘alaqoh-nya, yaitu ‘hubungan’ (relatiuonship) antara “goncang” dan “gelombang” dan antara “guyah” (goyah) dan “angin garang” yang dibangun oleh penyair. Dalam pada itu, penyair berempati telah mengambil semangat gelombang dan angin garang untuk dipakainya sendiri sebagai spirit dalam menapak kehidupan (dan jalinan dalam hubungan ini harus dibangun oleh kita sendiri sebagai pembaca), tapi ternyata yang terjadi justru kebalikannya. Ia mudah goyah, ia mudah goncang. Sebab itu, penyair merasa malu dan ingin mengembalikan kekuatan itu pada entitas yang semestinya, yakni pada gelombang dan angin garang. Adapun contohnya, ia letakkan pada bait penutup setelah ia membuat repetisi yang terakhir:

“Hatiku dibolak-balik Tuhanku.”

Dan inilah contoh yang dimaksud, yang kalau saya parafrasakan akan menjadi seperti ini: Saya itu “Teguh(,) sudah (kokoh berdiri) bagai(kan pohon) beringin (di) tengah pasar(, tapi saya merasa limbung, seakan) Hendak rubuh oleh semisal angin sebentar”(, ya, hanya angin sebentar, angin yang tidak begitu kuat lajunya. Sungguh memalukan, bukan?). Kira-kira, begitulah imajinasinya.

***

Kerjaan iseng membuat artikel #tafsirpuisimanasuka seperti ini sebetulnya sudah lama saya lakukan. Dulu, saya rajin menulis hal begituan di Facebook hingga datang pesan, di suatu hari, dari Ibu Nana Ernawati ke dalam Messenger dan melamar status-status itu untuk diterbitkan oleh LSS Reboeng dan saya mengiyakan. Kesepakatan berujung dengan terbitnya buku "Nyalasar" yang akhirnya habis terjual dan diminta teman-teman. Kerjaan ini saya anggap hiburan, oleh karena itu biasanya saya asal comot dan asal ambil puisi siapa pun selagi ia melintas di 'newsfeeds' atau secara kebetulan saya menemukannya di tempat yang lain.
Maaf untuk si penyair, saya comot karyanya tanpa pamit.

29 Juli 2023

Tafsir Puisi Kedai Kopi Karya Emi Suy

foto ilustrasi: Kafe MainMain

KEDAI KOPI
(oleh Emi Suy)

di kedai kopi
orang-orang datang membawa sepi
bersama hujan
sepasang mata menatap lekat buku menu
mereka memesan kopi dan ciuman
melumat keriuhan kota dan binar
lampu yang berpijar
seseorang mengulum sunyi
bertukar sukar di riuh dada yang belukar
seperti hutan pinus yang berselimut kabut
segelas kopi huzelnut late itu
membunuh waktu
percakapan bibir dengan cangkir
kata-kata yang tumpah,
menyusup dalam pikir


orang-orang masih khusyuk
menyesapi malam yang zig zag
dari secangkir kopi yang mereka pesan
ada yang menyusun serpihan puzzle
agar kembali menjadi rindu
yang utuh
hati yang penuh
yang sering luluh
oleh jarak terjauh
bernama diam

2019

TAFSIR PUISI "KEDAI KOPI"-NYA EMI SUY

Peristiwa di dalam puisi ini, oleh penyair, dipotret di suatu tempat, yaitu
(di kedai kopi), tempat yang menurutnya merupakan tempat
(orang-orang datang membawa sepi
bersama hujan)

Dua kata ini, sepi dan hujan, memang pasangan kata yang sering digunakan oleh banyak penyair untuk menggambarkan nostalgia atau romantisme atas suatu tempat, dan tempat yang paling tepat adalah kedai kopi, kafe. Jadi, penyair memasukkan dua kata tersebut supaya menjadi pintu bagi pembaca yang akan masuk pada suasana yang akan dibangun oleh si penyair pada babak berikutnya.

Penyair Emi lalu menangkap seseorang orang, yang barangkali sedang menunggu pasangan atau sekadar ingin menyendiri. Semula saya kira dua sejoli, laki dan perempuan, bisa jadi suami istri tapi bisa juga hanya sepasang kekasih yang tak terjalin akad pernikahan, dan menerjemahkannya secara pars pro toto dengan menyebut
(sepasang mata menatap lekat buku menu), sebuah aktivitas yang biasa kita lihat di kedai kopi saat orang baru datang pertama kali. Tapi kok
(mereka)? Saya agak khilaf karena saya berpikir lagi, yang saya tangkap pada "sepasang mata" itu hanyalah seorang, bukan sepasang mata kali dua sehingga menjadi dua orang. Entah, biar nanti si penyair yang menjelaskannya meskipun itu bukan kewajibannya.
Oh, iya, mereka itu—jika benar sepasang kekasih, dua anak manusia yang sedang memadu cinta—tampak (memesan kopi dan ciuman). Kopi adalah literal, sementara ciuman adalah metaforis jika ia ada di daftar menu. Saat keduanya dipadukan, lahirlah nuansa puitik.

Kegiatan sepasang kekasih itu digambarkan penyair dalam kalimat berikut: bahwa yang dilakukan mereka di dalam kesepian—barangkali yang dimaksudkannya adalah kesyahduan suasana—bahkan mampu
(melumat keriuhan kota dan binar
lampu yang berpijar). Kesepian dapat mengalahkan keriuhan. Hujan dapat meraibkan lampu-lampu yang terang. Kok bisa? Karena cintalah yang menjadi lakon dan sutradaranya.
Akan tetapi, tampaknya, penyair memotret sudut yang lain di tempat yang sama, di sebuah kedai kopi, sehingga hasil jepretannya menangkap
(seseorang) yang (mengulum sunyi). Anda bisa bayangkan, bagaimana sunyi sebagai metafor bibir sehingga pantas dikulum? Saya tidak mampu. Ia terlalu sensitif untuk ditelusuri, khususnya bagi saya yang sedang tidak bisa objektif dalam keadaan labil seperti sekarang ini. Bagi saya, pada bagian itu, Penyair Emi ingin menampilakn sosok tersebut sebagai 'binary' bagi sepasang kekasih di meja lainnya.

Ternyata, orang-seorang yang sendirian pun dapat melakukan aktivisme yang sejatinya hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, yaitu
(bertukar). Bertukar apa? Bertukar pendapat? Bukan! Karena seorang diri, maka yang dipertukarkan adalah “problem” atau masalah pribadi atau benang kusut pikiran yang diwujudkan dalam kata (sukar). Hal ini diperkuat oleh pernyataan berikutnya, keterangan tempat, yaitu (di riuh dada yang belukar). Artinya, seseorang itu sedang bertukar pendapat dengan dirinya yang lain, sedang menimbang, sedang menekur, sedang tafakaur, menghadapi persoalan atau masalah yang dilambangkan dengan "belukar". Belukar adalah kata sifat yang diposisikan sebagai adjektif, yang sebetulnya ia bisa berposisi sebagai menotimia, yaitu rangkaian-rangkain pertautan pemahaman yang panjang untuk sampai pada maksud si penucap: masalah di dalam dada, masalah itu identik dengan kerumitan, dan kerumitan biasanya digambarkan dengan keruwetan yang dalam hal ini digambarkan sebagai belukar alias lawan dari taman yang biasanya tertata dan terpola.

Kondisi seperti ini ia asosiasikan dengan perbandingan
(seperti hutan pinus yang berselimut kabut). Kondisi sepi, temaram, redup, dingin, dan mungkin saja ‘gelap dan murung’ terkesan dari pemandangannya.
(segelas kopi huzelnut late itu) yang dipesan oleh si orang tadi, telah berhasil
(membunuh waktu), yaitu kesendiriannya, yang seakan-akan ia tidak benar-benar sendiri karena oleh si penyair digambarkan sedang terlibat dalam sebuah obrolan, yaitu
(percakapan bibir dengan cangkir). Apa saja yang terjadi? Yang telah terjadi adalah
(kata-kata yang tumpah), tapi tidak ke tanah, melainkan
(menyusup) ke (dalam pikir).

Dua situasi di atas adalah potret dua sudut, dua tempat, dua situasi yang berbeda tapi penyair berhasil menemukan beberapa kesamaannya, yaitu interaksi, percakapan. Nah, berikutnya, penyair membuka area lensanya, melebar, sehingga di kafe itu, sekarang, tampaklah
(orang-orang) yang (masih khusyuk) dan mereka kelihatannya
(menyesapi malam yang zig zag). Kok zigzag? Entahlah, malam zigzag itu kayak apa? Tak terbayangkan dalam pikiran saya, apalagi ia muncul dan bermuasal
(dari secangkir kopi yang mereka pesan). Barangkali, ia disebut zigzag karena begitu tercerai-berainya situasi yang ditangkap oleh si penyair, tapi bisa jadi, orang ketiga yang disebut di sini itu sebetulnya adalah si penyair itu sendiri. Ini masuk akal karena sepertinya si penyair tidak hanya sekadar memotret situasi di sebuah kedai kopi, tapi ia juga ingin dirinya berada di dalam potret itu, menjadi bagian dari foto, namun—ibarat kata—tanpa harus melakukan selfie. Sosoknya ia wakilkan pada
"(ada) seseorang, yaitu si penyair sendiri (yang menyusun serpihan puzzle
agar kembali menjadi rindu
yang utuh
hati yang penuh
yang sering luluh
oleh jarak terjauh)".

Dari serangkaian kata ini, di samping penyair menjaga rima “uh” pada setiap akhir lariknya, penyair juga berusaha untuk menggambarkan kenangan-kenangannya itu laksana puzzle yang tercerai-berai dan berusaha disusun ulang sampai utuh sehingga sempurna kembali menjadi rindu, suatu hal yang sering terjadi karena jarak yang jauh. Dan apakah yang dilakukannya? Menahan? Melepaskan? Meronta? Yang dilakukannya itu...
(bernama diam)

2019 -2023

#tafsirpuisimanasuka

26 Februari 2023

CIPTAAN TERBAIK, NAMUN EDISI CACATNYA

 

Maafkan aku mengecewakanmu
jika aku berdiri
di luar pagar definisi
yang engkau bangun
dari tumpukan kamus umum

Inilah aku begini rupa
manusia perkecualian:
ciptaan terbaik, namun edisi cacatnya

Mengapa aku sering diam?
Aku buta
karena itulah tak mencari tuan
supaya menjadikanku cukongnya,
Aku bisu
karena itulah tak bisa merayu,
agar hati puan jadi terharu

Akan tetapi, tuan-puan sekalian—
ciptaan terbaik, edisi sempurna,
yang hidup dalam sorot cahaya,
yang ingar oleh puja-puja—
bertanyalah padaku jika ingin tahu
tentang makna cahaya dan suara.
Tentang itu, belajarlah kepadaku:
kepada ciptaan terbaik,
namun edisi cacatnya

17/01/2023