28 Juni 2018

Di Atas Bukit Kapur


foto oleh Pangapora

oleh M. Faizi

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tanpa perlawanan, tanpa senjata
terhadap mesin gerinda

Dari balik serpihan jerubu
samar-samar negeriku tampak maju

Di atas bukit kapur yang tidur membujur
dari Rembang hingga timur ujung pulau Madura
kakiku menggigil, imanku gemigil
tak yakin kalau aku benar-benar berpijak
di tanahku sendiri, tanah leluhur yang berdaulat

Perbukitan kapur tidur membujur,
batu-batu karst tetaplah keras
alam nan hening, terjaga oleh derum mesin
kemarau yang semakin panas

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tercacah jadi kerakal, hancur di dadaku

Lalu, apakah guna rintihan
untuk sesuatu yang bukan milikku?
Perbukitan itu, ia seperti dirimu
yang lahir dari rahim seorang Ibu
hanya titipan untuk dirawat dan dijaga
sebab selain itu, tugas ayah memberi nama

Aku berdiri di atas bukit kapur
yang bergeming, tidur di dalam hening
di atasnya tumbuh tembakau
di bawahnya tersimpan mineral
dan aku melihatmu berdiri di bawah
menatapku dengan mata penuh gairah
memanggilku turun demi menyambut cinta
tapi aku tahu, engkau akan naik setelah itu:
untuk menghancurkannya

14/10/2017

27 Juni 2018

Nujum Maut (Mashuri)




dalam remang epitaf, aku temu namamu tanpa penanda waktu
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam
seperti janji kata pada bunyi, seperti hasrat yang diam di urat
nadi, seperti aku sepasang mata yang lelah membaca
nujum yang tergurat di dedaunan nasib, yang bakal terbelah atau menyatu
di ujung titik atau berbalik...
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa, aku mengetuk jendela rahasia
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut, hanya kabut tak habis-habisnya
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran
juga perpindahan bentang angka-angka

Yogyakarta, 2011

Kitab puisi "Munajat Buaya Darat" adalah buku kumpulan puisi Mashuri. Di dalamnya ada sekian puisi, tapi saya memilih "Nujum Maut" karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena ia cukup pendek sehingga tidak terlalu menguras waktu untuk ditafsirkan. Proyek #tafsirpuisimanasuka ini tidak disokong oleh pariwara atau iklan dari penerbit maupun orangnya meskipun saya ulas dan saya terbitkan berbarengan dengan pemilukada Jawa Timur. Semua ini seperti hidup, serba suka-suka, meskipun yang sedang dibicarakan adalah maut.

"Nujum Maut"

Nujum artinya bintang-bintang. Dalam tradisi Indonesia kebanyakan, yang dimaksud nujum adalah ramalan, terutama yang berpangkal pada rasi bintang. Ilmu perbintangan tidak hanya astronomi, melainkan juga astrologi. Dalam tradisi Islam, perbintangan diaplikasikan dalam ilmu falak untuk menentukan waktu shalat. Namun, sebagian juga menggunakannya sebagai ramalan nasib. Abu Ma'syar al- Falaki adalah satu nama penting di bidang ini.

Melalui ilmu ini, seorang mumpuni bahkan bisa memprakirakan hal-hal rumit dan misterius, seperti kapan helai-helai daun pohon tertentu akan gugur, dsb. Apa pun dapat dinujum. Sebatas memprakirakan, bukan menebak apalagi menentukan sembari meyakini bahwa keputusan tertinggi tetap berada di tangan Tuhan, begitulah pandangan masyarakat umum. Akan tetapi, dalam puisi ini, nujum tidaklah bermaksud ke situ, malah sebaliknya. Penyair sedang ‘meramal’ masa hidup seseorang justru ketika dia sudah mati. Alasannya adalah karena dia ingin tahu jejaknya semasa hidup karena tak ada kabar dan data yang tersisa.

* * *

dalam remang epitaf (epitaf adalah tulisan pada nisan, tapi remang yang dimaksud penyair pada puisinya ini bukanlah penanda suasana, melainkan kesamaran data-data atau riwayat perihal jasad orang yang terbaring di baliknya, di dalam tanah. Hal itu tergambar pada kalimat berikut), aku temu namamu tanpa penanda waktu/ (artinya, penyair hanya sekadar menemukan nama orang, tetapi tidak menemukan data yang lebih dari itu, termasuk soal tanggal dan waktunya: kapan. Penyair juga meneguhkan hal ini pada baris selanjutnya)
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu/ (“tanggal yang tanggal” adalah permainan homograf. Yang pertama bermakna perhitungan hari/bulan, yang kedua bermakna lepas. Penyair menggambarkan data tanggal itu seolah terlepas dari batu nisan. Akan tetapi, meskipun data-data semacam itu penting bagi “dia yang hidup” tetapi “tidak bagi yang mati”, ia menganggap bahwa nilai kesejarahan dan perjuangan si jasad terkubur tetaplah bergelora, seperti api. Pada larik berikutnya, penyair Mashuri menggambarkan)
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti/ (di bagian ini, penyair lagi-lagi bermain bunyi pada kata-katanya. Artinya, semangat dan hasil perjuangannya tetap terbaca, tetap kelihatan bagi mata penyair yang nanar meskipun ia sepertinya tersamar, pada prasasti yang ada di areal kuburan. Situasi seperti ini ia gambarkan seperti matahari yang menyebabkan “malam di sini” tetapi “siang di tempat lain”. Ungkapnya:)
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam/ (dan karena merasa penting untuk menggambarkan jasa-jasa mendiang yang berkalang tanah itu, ia membuat dua perumpamaan lagi) seperti janji kata pada bunyi (yang terkadang memang dibutuhkan unsur auditifnya, wabil khusus dalam puisi mantra), seperti hasrat yang diam di urat/
nadi/ (bagaimana hasrat seseorang yang tidak tersurat dan bisa ditangkap oleh mata inderawi, melainkan nampak nyata mengalir di urat nadi, pada syaraf-syaraf, sehingga seseorang yang terkena stroke—misalnya—hanya tinggal punya hasrat, tetapi perintahnya tidak dapat ditunaikan melalui ‘urat-urat nadi’ itu karena ada masalah pada sistem sensornya, pada motoriknya. Penyair juga menjadikan dirinya sebagai tamsil), seperti aku sepasang mata yang lelah membaca/ (merasakan dirinya menjadi mata yang lelah membaca, yang capai dalam meramal dengan)
nujum yang tergurat di dedaunan nasib/ (“dedaunan nasib” adalah metafora rahasia [sebagaimana dijelaskan di muka: tentang ramalan daun melalui nujum], yang bakal terbelah atau menyatu/
di ujung titik atau berbalik.../(maksud daripada dua larik ini adalah sama, yakni tentang kemungkinan dari hasil nujum; terbelah atau menyatu; ujung titik atau berbalik. Dengan demikian, penyair tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa nujum adalah upaya mendekat untuk ‘melihat’ takdir berdasarkan tanda-tanda, dengan peta langit atau tanda alam lainnya, bukan meramal dan memastikan, apalagi menetapkan keputusan).

dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa (bagian ini sama seperti baris pembuka, akan tetapi, remang pada bagian ini bermakna denotatif, remang sungguhan, yakni situasi nisan/makam di malam hari karena rendah cahaya, cuma penyair menggunakan diksi ‘papa’ yang artinya miskin atau yatim. Upaya ini adalah untuk menyangtkan, terbukti penyair lantas membenturkannya dengan upaya penggalian rahasia yang mestinya membutuhkan limpahan penerangan, banyak data), aku mengetuk jendela rahasia/ (dan pernyataan ini pun masih dipertentangkan lagi dengan baris berikutnya)
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut (sudah situasi makamnya remang, tidak ada petunjuk apa pun, malah digambarkan dengan tiadanya kedukaan, bahkan tiadanya tanda kematian, di balik tempat yang didiami oleh “orang yang mati” itu. Lalu, apa yang tersisa?) hanya kabut tak habis-habisnya/ (kabut adalah perlambang kesamaran. Dengan begitu, situasinya semakin dekat dengan diksi “remang” dan “cahaya papa” di atas)
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran/
juga perpindahan bentang angka-angka/ (puisi ditutup dengan lukisan perihal proses manusia menjalani hidup, bahwa sebetulnya kita hanyalah angka-angka di tahun lahir dan disudahi dengan angka di tahun terakhir. Di bentangan itulah manusia hidup, menjalani kehidupan. Adapaun karya, jasa, dan amalnya akan melampaui itu semua).

Wallahu a’lam.

© M. Faizi, 27 Juni 2018

Keterangan:
1.      Lambang “ / “ adalah tanda akhir baris
2.      Semua huruf memang ditulis dengan huruf kecil


25 Juni 2018

Jawaban Batu (Sinta Ridwan)


Berharap pada pintu waktu.
Demi mengungkap batu.
Menjadi bukti masa lalu.

Berbisik pada hampa.
Mengurai kata jelma palapa.
Sebagaimana api redup dupa.

Mengapa simbol sembunyi.
dalam tubuh batu yang mati.
Generasi menjawab nanti.
Berdasar kepekaan diri.
Hati. Juga pola pikir.

Cita cinta pemahat diukir.
Bermotif bayi baru lahir.
Punya sayap lalu hadir.
Di atas derasnya hilir.
kala miris bergulir.

Tengahi perang antar keris
dan tombak. Gajah Mada meringis
dapat peran: antagonis manis

Batu menjawab,
ditemani daun berdebu lembab
bertuliskan nada irama rebab.

Ujungberung V, 2 Oktober 2008


Kali ini, saya akan menafsir satu puisi karya penyair Cirebon, Sinta Ridwan. Dia adalah seorang filolog muda. Puisi yang saya baca kali ini berjudul "Jawaban Batu" dari buku "Secangkir Bintang", Gambang, 2017.

#tafsirpuisimanasuka

sumber: https://goo.gl/9G6krZ
Kita terkadang bertanya, jika susunan dalam baris per baris atau bahkan bait per bait di  dalam puisi itu tidak predikatif, lalu hendak menyampaikan apa sebenarnya puisi itu? Dengan keadaan demikian, puisi berarti hanyalah setumpuk frase. Kita sedang membicarakan ini dalam wacana tata bahasa Indonesia. Jika susunan yang saya maksud (non-predikatif) terjadi dalam bahasa Arab—misalnya—maka ia bisa ditoleransi karena sistem tatabahasa Arab menganut kira-kira, subjek yang dikira-kira ada meskipun tidak tampak, seperti “kalimat minor”. Lalu, bagaimana dengan yang ini?

Bait yang terdiri dari tiga baris di bawah ini bukanlah kalimat, hanya susunan frase, hanya  menampilkan predikat tanpak subjek. Penyair rupanya menghendaki adanya subjek bayangan tanpa menyebutnya. Dalam hal ini, saya menduga, subjek dari predikat di bawah ini adalah “aku-filolog” atau “dia-arkeolog”. Saya memperkirakan, susunannya menjadi seperti ini:

(Seorang arkeolog itu) Berharap pada pintu waktu.
Demi mengungkap batu (dengan cara mempelajarinya. Banyak awam yang mengenal usia kuburan, misalnya, cukup hanya dengan mengetahui bentuk kijingnya atau juga pahatan atau simbol lainnya. Sementara filolog mengetahui usia kertas [bahan yang digunakan menyalin tulisan sebagai penentu waktu tulisan dibuat] dengan—salah satunya—menelisik “cap air” [watermark]. Arkeolog menggunakan metode “radiometic dating” untuk menentukan usia batuan. Tentu saja, ada cara yang lain sebagai pendukung dan penyokong datanya. Karena itu, arkeologi nanti harus menggandeng disiplin ilmu yang lain, seperti stratigafi yang notabene merupakan cabang ilmu geologi. Stratigafi memperlajari kerak dan lapisan batuan di lapisan terluar bumi, termasuk proses terbentuknya. Kata penyair, semua cara yang dilakukan oleh si subjek tersebut akan)
Menjadi bukti masa lalu.

(Penyair berupaya mengajak pembaca untuk berempati—maksudnya berempati sebagai arkeolog atau antropolog—agar berusaha meresapi kerja mereka dengan mengandaikan diri menjadi dirinya. Bagaimana rasanya seorang arkeolog yang sering atau nyaris bekerja dalam kesunyian, yang dalam istilah Sinta Ridwan diibaratkan dengan)
Berbisik pada hampa (Maksudnya, ini beda jauh dengan seorang antropolog yang ketika ingin menggali data lebih lanjut dapat mencari sumber rujukan kepada makhluk hidup, bukan kepada patung, kepada batu. Tugas arkeolog akan sangat berat, misalnya terus-menerus berusaha untuk) Mengurai kata jelma palapa (Palapa di sini dikaitkan dengan “Sumpah Palapa, sumpah Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara. Penyair Sinta, dalam membayangkan kerja arkeologis seperti itu, layaknya mengipas-ngipas bara api yang selalu nyaris mati)
Sebagaimana api redup dupa (katanya. Bagaimana terbayang jikalau kita membakar dupa tapi baranya terus meredup?).

(Dan kesulitan-kesulitan itu, antara lain, tampak dalam kerja keras membaca ‘sandi’ yang ditanamkan oleh moyang leluhur melalui simbol, seperti pada relief candi dan/atau mural pada batu. Penyair Sinta mengenluhkan kesukaran usaha semacam ini dalam sebentuk pertanyaan)
Mengapa simbol sembunyi.
dalam tubuh batu yang mati (frase “dalam tubuh yang mati bukan berarti mumi. Sinta membayangkan bahwa patung-patung adalah “tubuh yang mati” dalam wujud batu karena di sana para leluhur hanya menggunakan simbol-simbol di dalam patung tersebut, tidak serta-merta patung itu realis, meskipun ikonik. Sementara simbol mengakar dan tertanam di dalam Realitas. Meskipun saat ini, masalah-masalah ini belum terpecahkan, tetapi dia berharap)
Generasi menjawab nanti (untuk hal-hal yang tersembunyi itu. Dan semuanya akan tersingkap apabila generasi yang akan datang memiliki beberapa hal, salah satunya adalah).
Berdasar kepekaan diri (dan).
Hati. Juga pola pikir (Artinya, kalau hanya mengandalkan yang terakhir [pola pikir] tetapi tidak memiliki kepekaan, langkah generasi tersebut akan sulit karena kerja arkeologis seringkali berhubungan dengan hal-hal yang membutuhkan kerja otak kanan, seperti apresiasi terhadap nilai-nilai karya seni, simbol-simbol kesejarahan, dlsb).

Pada bagian bait ini, rujukan kita terbawa pada batu-batu monolitik di Pulau Paskah. Di dalam kehidupan modern seperti sekarang, untuk memindah batu dari satu tempat ke tempat lain saja susah. Apakah mungkin ia didatangkan dari daratan Amerika Latin terdekat? Pesisir barat Chili? Apakah batu-batu itu terjun begitu saja dari langit? Semakin tidak masuk akal. Lalu, kita mesti berkipir keras, bagaimana bisa  batu-batu raksasa itu ada di sana, batu-batu yang berusia ratusan tahun si pulau yang sangat terpencil itu teronggok kaku di situ? Bagaiama cara orang dulu melukis dan menata? Atau, jangan-jangan, orang di zaman itu adalah para raksasa sehingga baru sebesar gedung itu hanya kerikil di tangan mereka? Ataukah, arca kepala itu adalah mahakarya makhluk luar angkasa? Nah, bahkan hingga saat ini pun, ilmuwan belum menemukan jawaban pasti, hanya duga-menduga saja.

Cita cinta pemahat diukir.
Bermotif bayi baru lahir (salah satu kode dalam ‘jagat’ ini adalah motif bayi lahir. Menurutnya, motif seperti ini merupakan pertanda cinta sang pemahat dan diungkapkan melalui media batu. Lebih dari itu, biasanya, si bayi—seperti Pegasus dalam mitologi Yunani—selalu dilambangkan).
Punya sayap lalu hadir.
Di atas derasnya hilir. (Penanda kekuatan dalam hal menghayutkan berada di belakang, pada masa belakangan. Namun, di masa itu, kekuatan menghanyutkan adalah sebentuk kesedihan, yakni)
kala miris bergulir.

Tengahi perang antar keris
dan tombak (bagian ini merupakan gambaran peperangan, baik itu peperangan fisik maupun perang ideologis. Penyair Sinta melukiskan situasi keris dan tombak sebagai ilustrasi persenjataan di masa kerajaan, di masa lalu). Gajah Mada meringis
dapat peran: antagonis manis (peran antagonis adalah peran “menjadi lawan”, peran musuh, karena itulah dia meringis).

Nah, inilah salah satu bukti bahwa kita memang tidak diperkenankan membaca teks-teks metaforis dengan sudut pandang literal karena tindakan yang demikian itu menyesatkan. Memang, penyair ini tidak sedang menyajikan sejarah dan data-data tentang Majapahit dan Gajah Mada, melainkan sekadar mencoba memasukkannya ke dalam wacana yang yang lebih besar, yakni wacana arkeologis dan bagaimana batu-batu itu ‘bicara’, menyumbangkan informasi kepada manusia yang ingin mengulik data-data sebagaimana posisi kertas di dalam khazanah filologi. Maka, alangkah peran arkeolog maupun filolog begitu penting di dalam hidup ini! Tampaknya, demikianlah yang ingin penyair ini sampaikan. Dan sebab itulah kemudian dia bilang).

Batu menjawab (artinya memberikan data-data kepada manusia melalui sentuhan arkeolog),
ditemani daun berdebu lembab (bagian ini juga merupakan citraan arkeologis)
bertuliskan nada irama rebab (di mana, data-data itu juga ditemukan di media yang lain, seperti daun, daun lontar misalnya. Mengapa ada “nada irama rebab” pada bagian ini? Yang kita tahu, rebab adalah alat musik berdawai yang menyebar ke Nusantara melalui jalur perdangangan Islam. Agaknya, ke situlah puisi ini diarahkan).

© M. Faizi, 25, 06, 2018


21 Juni 2018

Terima Kasih, Dalil




Aku percaya kekasih sebab sanad dalam ilmu
karenanya tak butuh lagi padamu, Dalil,
untuk mendampingi iman, menjadi hujjahku
ia yang maujudnya tak kupermasalahkan
cinta telah membutakan
mana ada orang ‘asyiq sibuk dengan kecamuk keraguan?

Aku percaya kekasih seperti beriman,
butuh banyak pertimbangan
tetapi selalu mendahulukan perasaan

Aku percaya kekasih karena keterbatasanku
bagi keluasan yang ia punya dan tak kumiliki
tak membutuhkan lagi alasan untuk mencintai
soal benar dan bukti
itu hanyalah kejutan yang ada di akhir cerita
mana mungkin puncak gejolak ada di paragraf pertama?

Terima kasih, Dalil, telah menghampiri tepian imanku
membimbingku menuju kekasih sempurna dalam nisbiku
menunjukkan ketakterbatasan saat aku dalam kekangan
menunjukkan mukjizat saat aku dalam hidup nan wadag
sebab kesempuraan kekasihnya Kekasih itu yang serbamaha
membuat kekasihku berkilau dalam cintanya
hingga andaipun engkau singkapkan rahasia
imanku lebih dulu melekat kepadanya

Terima kasih, Dalil,
sebab kepada kekasih, aku telah terlanjur cinta
ulurkan saja tangan ke orang-orang miskin
datangi mereka yang membutuhkan
ialah mereka yang untuk yakin bicara laba
berat dan ringan dalam timbangan
ingkar-percaya tawar-menawar

13/07/2015

20 Juni 2018

Di Atas Bukit Kapur



(oleh M. Faizi)

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tanpa perlawanan, tanpa senjata
terhadap mesin gerinda

Dari balik serpihan jerubu
samar-samar negeriku tampak maju

Di atas bukit kapur yang tidur membujur
dari Rembang hingga timur ujung pulau Madura
kakiku menggigil, imanku gemigil
tak yakin kalau aku benar-benar berpijak
di tanahku sendiri, tanah leluhur yang berdaulat

Perbukitan kapur tidur membujur,
batu-batu karst tetaplah keras
Keheningan alam dibangunkan derum mesin penggilas
juga oleh gerah kemarau yang semakin panas

Aku berdiri di atas bukit kapur
melihat pecahan batu-batu
tercacah jadi kerakal, hancur di dada
iman seperti rapuh
tangan tak mampu menghalang
tapi nurani tetap tidak terima

Lalu, apakah guna rintihan
untuk sesuatu yang bukan milikku?
Sesungguhnya, ia seperti dirimu
yang lahir dari rahim seorang Ibu
hanya titipan untuk dirawat dan dijaga
sebab selain itu, tugas ayah hanyalah memberi nama

Aku berdiri di atas bukit kapur
yang bergeming, tidur di dalam hening
di atasnya tumbuh tembakau
di bawahnya tersimpan mineral
dan aku melihatmu berdiri di bawah
menatapku dengan mata penuh gairah
memanggilku agar turun menyambut cintamu
tapi aku tahu, engkau akan naik setelah itu:
untuk menghancurkannya

14/10/2017