27 Januari 2019

Manuskrip Kota 24 (Rakhmat Giryadi)




Lewat tangga berjalan aku menuju kotamu. Lorong lorong sesak.suara para combre seperti memburu kuntilanak.

Betapa bising dan misteri, kawan.

Di persimpangan hanya ada iklan iklan berebut simpati dgn wajah kosong penuh debu. Aku menduga itu wajah yg menyaru.

Betapa kelu kotamu, kawan.

Langit penuh huru hara. Suara di luaran sana berjibaku seperti sebuah pasien dalam raungan maut, menembus kemacetan.

Aku terperangkap dalam jelaga hitam yg berarakan, seperti orang orang berbondongan mencari kota baru. Kota yg sering kau ceritakan biru dan tak berdebu.

Lewat tangga berjalan ini kawan, aku lihat pintu kota seperti gerbang tua yg menunggu purba.

2017

****

Manuskrip Kota (24) adalah puisi serial karya Rakhmat Giryadi, seorang teatrawan yang juga sering menulis Puisi. Cak Gir—panggilan akrabnya—agaknya memang menulis beberapa puisi bertema kota. Puisi ini adalah puisi yang nomor 24 (sebagaimana tercantum di judul. Saya menemuannya secara sepintas di kabar berita Facebook, 24 Oktober 2018. Langsung saja saya ‘garap’ dengan pendekatan suka-suka: #tafsirpuisimanasuka

“Manuskrip Kota (24”

Lewat tangga berjalan (eskalator, diterjemahkan menggunakan pola frase atributif berimbuhan [yaitu satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang satu kata tersebut merupakan unsur perluasan dari kata yang lain dan unsur perluasannya itu berimbuhan] aku menuju kotamu (penyair mengganggap kotamu itu hanyalah semacam lantai dua atau lantai tiga di suatu pertokoan; simbolis). Lorong lorong sesak (karena orang-orang yang berseliweran dan sibuk. DI samping lorong yang sesak, lorong-lorongnya juga ramai karena dipenuhi) suara para combre (entah apa combre itu, yang pasti suaranya berisik dan menakutkan yang tergambar dalam ungkapan penyair bahwa mereka) seperti (sedang) memburu kuntilanak.

Betapa bising (kotamu) dan (betapa ia penuh) misteri, kawan.

Di persimpangan (maksudnya di tempat yang ramai, pusat publik) hanya ada iklan iklan berebut simpati (dari para pelalu lalang. Iklan-iklan itu mungkin bukan papan iklan [billboard] biasa, tetapi iklan calog legislatif karena ada penanda ke arah itu, yakni) dgn wajah kosong penuh debu (yang meskipun wajahnya tersenyum dan mengkilat karena sudah masuk bengkel rekayasa digital, ia masih tampak menyimpan keraguan dan kecemasan, masih kosong. Sebab itulah). Aku menduga itu wajah yg menyaru (karena wajah sejatinya tidaklah seperti itu).

Betapa kelu (artinya tidak bisa menyampaikan sesuatu secara jelas, tidak jelas konsepnya) kotamu, kawan.

Langit penuh huru hara (barangkali, yang dikehendaki si penyair adalah keberisikan bunyi mesin, klakson, knalpot, serta sumber suara lainnya yang tidak merdu, polusi suara di antara polusi udara. Maka dari itu, ia menyatakan kalau). Suara di luaran sana berjibaku (antara suara yang satu dengan suara lainnya) seperti sebuah pasien dalam raungan maut (pada masa-masa klimaktorium), menembus kemacetan (bagian ini mengacu pada baris pertama di bait ini, bukan penjelas pada kalimat sebelumnya).

Aku terperangkap dalam jelaga hitam yg berarakan (“jelaga hitam yang berarakan”, secara denotatif, boleh jadi sebagai gambaran asap knalpot kendaraan bermotor bermesin disel yang belum ‘tersertifikasi’ standar emisi gas buang EURO, tetapi secara konotatif, penyair memaksudkannya sebagai serangkaian persoalan yang berbanjar-banjar, panjang dan mengular, yang membelit seluruh problem kota yang dimaksud si penyair. Hal itu diibaratkannya), seperti orang orang berbondongan mencari kota baru (tempat tinggal yang baru, yang penuh harapan, tapi bukan Kota Harapan Indah di Bekasi. Yang dicari mereka barangkali adalah). Kota (idaman) yg sering kau ceritakan biru (simbol kemajuan) dan tak berdebu (maksudnya bersih).

Lewat tangga berjalan (repetisi, menegaskan situasi seperti di muka) ini kawan, aku lihat pintu kota seperti gerbang tua yg menunggu purba (jika pada bagian awal penyair cemas dan pesimis tentang keberadaan suatu kota, hingga pada bagian penutup puisi, si penyair semakin meyakini kebenaran pernyataannya sebagaimana di muka, yakni kota yang dimaksud—kota tempat tinggal kawannya itu, mungkin Jakarta atau Bekasi—mungkin saja, lho—akan segera menjadi kota yang ramai [sebagai ciri kota metropolitan] meskipun pada dasarnya, kerena adanya tata kota atau tidak adanya konsep yang jelas yang menjadi identitas kota tersebut, ia akan segera menjadi kota yang ketinggalan zaman.

2017 (artinya puisi ditulis tahun 2017, entah tangga dan bulannya)

M. Faizi 25 Okt 2018

17 Januari 2019

Puisi Adalah Negeri (Abdul Hadi WM)



Puisi adalah negeri
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
Para pelancong pun tak tahu
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat
seperti lawatan manusia ke dunia fana
Namun sabarlah engkau Cintaku, keindahan
akan terus memancar dari wajahmu
Dan orang akan berdatangan melihatmu
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia


sumber: FP Muktamar Sastra
Abdul Hadi WM (Wiji Muthari) adalah guru besar di beberapa perguruan tinggi. Ia dikenal dengan puisi-puisi sufistiknya dan meneliti banyak karya Melayu Nusantara. Beliau adalah penyair kelahiran Pasongsongan, Sumenep, 24 Juni 1946. Puisi ini saya temukan di Facebook. Saya melakukan pendekatan suka-suka atau #tafsirpuisimanasuka untuk membuat puisi ini lebih dekat dengan para pembaca.

#tafsirpuisimanasuka

Puisi Adalah Negeri

Puisi adalah (seperti) negeri (Pada saat penyair menyatakan “adalah”, karena ini pernyataan metaforis, maka pada saat yang sama ia bisa bermakna “adalah tidak” atau “adalah bukan”. Dengan demikian, pernyataan “puisi adalah negeri” dapat dipahami sebagai pernyataan yang menyatakan bahwa puisi itu tumpukan gagasan dalam bait-bait, bukan sebuah negeri, tapi bisa jadi ia seperti sebuah negeri kalau kita serupakan dan kita bandingkan kemiripan dalam hal unsur-unsurnya. Penyair mengatakan bahwa puisi itu ibarat suatu negeri).  
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
(Tiga baris di atas saya bagi sebagai satu bait karena memiliki satu gagasan utama, pernyataan pertama. Di sini, pada bagian ini, penyair membandingkan puisi dengan sebuah negeri, yaitu negeri yang sebetulnya indah dan kaya tetapi ditinggalkan oleh [banyak] warganya untuk mencari kesenangan di tempat lain. Memang, ada apa di tempat lain? Ada keindahan yang lebih menarik tentunya, keindahan yang tampak lebih menarik dibandingkan dengan keindahan negerinya. Adalah hal yang wajar jika manusia cenderung menyukai sesuatu yang baru, tidak melulu yang itu-itu. Orang desa merasa senang ketika tiba di kota besar, sedangkan orang kota besar malah ingin suasana tenteram seperti di desa. Begitulah, manusia ditakdirkan menyukai yang wadag, seperti yang ada di kota lain karena yang wadag cenderung lebih memuaskan hawa nafsu ketimbang yang sakral dan abadi yang biasanya lebih cepat membuat jemu. Dan puisi—ia yang disakralkan dan diagung-agungkan—seringkali membuat jemu pembacanya).

Para pelancong (yaitu warga yang meninggalkan negeri itu) pun tak tahu (karena bingung saat melihat sekaligus menikmati)
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat (yang membuat mereka bingung itu sebetulnya karena masa kunjungan yang terbatas, yang singkat, bukan karena tujuan yang tidak menarik hati. Hal itu diumpamakan penyair)
seperti lawatan manusia ke dunia fana (Negeri manusia itu, aslinya, adalah akhirat. Ke dunia yang wadag dan fana ini mereka hanya melancong saja, sebentar saja, tapi kerap bikin manusia lupa rumah asal-muasal karena daya tarik yang wadag itu memang sungguh menawan, luar biasa. Sudah dikasih tahu kalau dunia ini fana, tetap saja mereka tidak peduli. Terbukti, mereka habis-habisan mengurus dan menikmati “wisata dunia” itu sampai-sampai lupa pada rumah asalnya, padahal mereka telah tahu bahwa alam akhiratlah yang baka dan utama [sebagaimana dijelaskan di dalam Surah Ad-Duha, ayat ke-4]).

Namun sabarlah engkau(,) Cintaku (pada bagian ini terjadi pengalihan amanat, yakni “iltifat” atau apostrof: Penyair yang semula menyatakan sebagai puisi dengan status sebagai “orang ketiga”, tiba-tiba mengubah posisinya ke kata ganti “orang kedua”, yakni “engkau” yang juga diwakili oleh ungkapan “Cintaku” untuk memberikan tekanan pada persoalan) keindahan
akan terus memancar dari wajahmu (yang dimaksud “mu” di sini tentulah puisi, tepatnya keindahan yang terkandung di dalam puisi, yang samar, yang tidak segera diketahui karena manusia lebih tergoda pada keindahan lain yang langsung dapat dinikmati karena kecantikan kosmetiknya. Dan karena keindahan yang tersamar itu asli, bukan keindahan artifisial yang dicari oleh orang-orang itu, maka ia akan bersifat abadi).
Dan orang akan berdatangan melihatmu (untuk menemukan keindahan batin mereka sendiri yang terpancar di dalam puisi)
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia (Penyair yakin, bahwa puisi itu mengandung nilai luhur kebenaran yang harus digali lebih dulu, harus bersusah-payah dulu, untuk mendapatkannya. Hal demikian sudah digambarkan di atas, seperti manusia yang harus bersusah payah di dunia untuk mendapatkan gemilangannya Kebenaran dan Surga. Termaktub dalam diktum kuno suatu ungkapan, bahwa keindahan senantiasa duduk bersanding dengan kebenaran: pulchrum continetur in bono. Bonum enim quod placet. Pulchrum authem estquod visum placet. Kurang lebihnya demikian. Wallahu a’lam)


M. Faizi

13 Januari 2019

Meramal Kematian (Tafsir Puisi "Ode" Karya Gunawan Tri Atmodjo)


Meramal kematian? Yang bener! Kematian, atau ajal, dan sebagaimana rezeki, adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Terkadang, melalui astrologi dan nujum, seseorang bermain teka-teki soal hari jatuhnya kematian. Memang, kematian tidak dapat ditebak, bahkan diramalkan. Tapi, sering kali kita dengar orang memberikan isyarat-isyarat menjelang kematiannya, beberapa saat sebelumnya. Dan isyarat itu pun tanpa disadarinya.

ODE

aku kekosongan yang mencintaimu dengan ketiadaan
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya
cintailah aku sebagai kehampaan
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan
barangkali sesunyi doa
yang meski diam namun menolak sia-sia
Solo, 2013

* * *

Ode adalah genre puisi yang jika tidak berisi sanjungan (terhadap seseorang), biasanya ia mengandung ratapan. Nah, ode atau puisi ini seakan ditulis dan dipersiapkan untuk sebuah kepergian, entah itu mendiang putra penyair atau malah almarhumah istrinya. Barangkali, penyair memang tidak pernah meramal, tapi bisa jadi ada ‘kebetulan’ yang digariskan Tuhan dalam lembar suratan.
Dulu, ada seorang penyair yang puisi-puisinya seperti ramalan kematiannya. Puisi-puisi itu diterbitkan oleh Hasta Mitra, tahun 1983: “Shanti, Penyair yang Meramalkan Kematiannya”. Kini, kita temukan 'sensasi' itu dalam puisi Gunawan Tri Atmodjo ini, meskipun dalam sudut pandang berbeda.

#tafsirpuisimanasuka

“Ode”
aku (adalah) kekosongan (kehampaan) yang mencintaimu dengan ketiadaan ("dengan ketiadaan" bisa bermakna "kenestapaan", tetapi penyair seperti sedang membuat perbandingan sinonimitas dengan menyejajarkan “kekosongan” dengan “ketiadaan”. Adapun makna asal kosong berhubungan dengan volume/isi, sedangkan ketiadaan mengacu pada kehadiran atau ketakhadiran)
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya (ini adalah pernyataan negasi yang tujuannya adalah menunjukkan kesejatian. Artinya, ia befungsi untuk meneguhkan pernyataan si penyair sebagaimana tersurat pada larik di atas)
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya (dalam bentuk kalimat langsung, pernyataan tersebut bisa berupa; “engkau tidak yakin pun”, kata penyair, “aku akan tetap ‘mengada’, tetap yakin dan teguh pendirian, lebih-lebih jika engkau mempercayai pernyataanku”).
cintailah aku sebagai kehampaan (meminta agar si penyair dicintai apa adanya, yaitu dengan segala kehampaannya).
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan (seperti orang tidak akan pernah merasa kehilangan jika ia tidak pernah [merasa] memiliki)
barangkali (hal itu) sesunyi doa (seperti doa yang dipanjatkan dengan khidmat, dalam kesunyian)
yang meski diam namun menolak sia-sia (artinya, selirih apa pun doa itu dipanjatkan, orang yang berdoa tidak akan pernah berharap doanya tidak terkabulkan)
Solo, 2013
(Mari diperhatikan! Ketika puisi ini ditulis [2013], penyair Gunawan menulisnya dengan aku lirik: dia sebagai penulis sekaligus sebagai orang yang menyatakan, anggaplah ode ini untuk orang lain, untuk mendiang putranya atau entah siapa. Tetapi, sekarang (2018), ketika istrinya (Epi Paryani) telah berpulang beberapa waktu yang lalu, nyatalah kalau puisi ini tampak seolah ditulis oleh almarhumah untuk suaminya, Gunawan Tri Atmodjo.

Betapa aneh dan ajaibnya kematian! Ia memang sebaik peringatan. Sementara kehidupan ini fana. Kehidupan itu ada, kita jalani, tapi sebetulan merupakan ketiadaan. Ia ada sekaligus tiada. Kata Gus Muhammad al- Fayyadl "Sejauh yang “tidak ada” merupakan sesuatu yang “tidak aktual” dan karenanya “tidak terjadi”,”yang tidak ada” tidak dapat dipahami sebagai “yang tidak ada sama sekali”. “Yang tidak ada” mesti dimengerti sebagai “yang secara relatif belum ada” tetapi “akan ada” [Filsafat Negasi, hal.23]. Maka itulah, kita harus menyadari bahwa kematian adalah suatu cara Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang lebih indah daripada kehidupan. wallahu a’lam.

Turut berduka, Kawan.