16 April 2018

Sudah (Yuli Nugrahani)


SUDAH

Sungai tempat kita bercengkerama sudah diuruk.

Jika pun engkau datang
kita tak lagi bisa bersama
berenang atau menghanyutkan batang ilalang.

Tak ada lagi lubuk biasa kita mengayuh biduk.

Yang tersisa hanya tungkal bambu,
daun kering di atas tanah menggunduk,
kaki-kaki penyu dan hati yang tak pernah tunduk.

2013

Yuli Nugrahani adalah penyair dan cerpenis dari Lampung. Puisi ini diambil dari buku puisinya, “Sampai Aku Lupa” (Komunitas Kampoeng Jerami, 2017). Ia juga menulis dan menerbitkan cerpen, antara lain “Daun-daun Hitam”. Selain berkarya sastra, Yuli juga bergiat di dalam banyak gerakan keadilan dan perdamaian serta buruh migran.

* * *

SUDAH (tidak ada yang sulit dari puisi ini untuk dipahami. Sebetulnya, tafsir tidak perlu dibutuhkan karena puisi ini menjabarkan hal-hal yang relatif mudah dicerna oleh awam. Menguraikan puisi dengan parafrase atau menafsir kata per kata adalah cara untuk membuat puisi lebih dekat kepada pembaca. Saya tidak berhak menentukan, ke mana arah puisi sebetulnya ditujukan. Maksud penyair, maksud saya, serta pembaca umum, boleh saja berbeda. Judul “sudah” dalam puisi ini menandakan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan tampaknya tidak dapat dikembalikan lagi alias “terlanjur terjadi”).

Sungai tempat kita bercengkerama sudah diuruk. (Bait pertama hanya berisi satu baris, satu larik. Ini adalah pernyataan prinsip dalam keseluruhan puisi. Penyair menyampaikan kabar tentang sungai tertentu, entah itu Way Kuala atau yang lain [penyair juga menulis puisi perihal “Way Kuala” dan “Way Sekampung” di dalam buku ini], yang dulunya dijadikan tempat bercengkerama penyair dengan seseorang lainnya, tetapi kini tidak dapat lagi dijadikan tempat bercengkerama, karena dirusak atau karena alif fungsi atau karena perubahan iklim).

Jika pun engkau datang (anak kalimat; pengandaian terhadap kehadiran kawan dari jauh, atau entah siapa, yang disebut “kita” di dalam puisi ini, karena mungkin dia akan menyambangi penyair kembali di suatu waktu)
kita tak lagi bisa bersama
berenang atau menghanyutkan batang ilalang. (ini adalah induk kalimatnya, sebuah pernyataan tentang adanya kemungkinan bersua tapi sekaligus tertutupnya kemungkinan bercengkerama. Tentu saja, kalimat ini menampilkan rasa kecewa karena sungai itu menjadi tempat mereka bercengkerama dan bernostalgia. Hal itu tersirat  dalam frase “berenang atau menghanyutkan batang ilalang”, sebuah gambaran momen romantis).

Sebetulnya, kehadiran orang ketiga yang disebut sang penyair di dalam puisi ini mungkin saja memang tidak ada, alias entah-siapa atau bukan-siapa-pun. Ia hanyalah pengandaian yang tujuannya adalah untuk menegaskan hilangnya fungsi sebuah tempat dan hilangnya momen terbaik dalam sebuah peristiwa yang dapat dirasakan bersama. Kita tidak tahu, siapa dia sebenarnya).

Tak ada lagi lubuk biasa kita mengayuh biduk. (lubuk adalah bagian terdalam dari sungai; biduk adalah perahu kecil. Di bagian, ibarat foto, penyair berusaha membingkai gambar yang paling indah dan romantis, sebagaimana juga digambarkan pada bait sebelumnya).

Yang tersisa hanya tungkal bambu,
daun kering di atas tanah menggunduk,
kaki-kaki penyu dan hati yang tak pernah tunduk.

(Bait terakhir dari puisi ini adalah “jawaban” bagi pertanyaan: mengapa momen romantis itu telah hilang dan tidak bisa terjadi lagi? Tungkal bambu dan daun kering menunjukkan kesedihan yang timbul karena kerusakan atau pengrusakan atau perubahan iklim, sedangkan kaki-kaki penyu adalah ekspresi harapan penyelamatan, sebagaimana kita tahu ada penangkaran penyu di Lampung [meskipun pada bagian ini saya merasa kesulitan mencarikan korelasi tanda-tandanya kecuali hanya  karena ia muncul sejajar dengan frase “hati yang tak pernah tunduk”]. Penutup puisi, “hati yang tak pernah tunduk”, merupakan statemen perlawanan, bahwa penyair harus mengambil keputusan untuk tidak pernah tunduk terhadap pengrusakan alam, harus melawan).


Wallahu a'lam
© M. Faizi (2018)

11 April 2018

Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut (Acep Zamzam Noor)



Di tengah melambungnya harga-harga
Suaramu semakin merdu saja

Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja

Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja

Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja

Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja

Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Pakaianmu semakin gemerlapan saja

2007

* * *

Puisi ini merupakan bagian dari "Bagian dari Kegembiraan", buku kumpulan puisi Acep Zamzam Noor yang terbit di tahun 2013. Puisi yang berjudul "Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut" ini bertahun cipta 2007, tahun-tahun terakhir masa proses kreatifnya di dalam buku yang menghimpun karyanya selama 13 tahun tersebut (1996-2009). Selain menulis puisi, penyair Acep Zamzam Noor juga melukis.

ODE BUAT SEORANG PENYANYI DANGDUT (judul bersifat khusus, ditujukan kepada "seseorang", mungkin Inul atau Anisa Bahar. Menilik tahun penciptaan [2007], maka tidak mungkin jika puisi ini dibuat untuk Van Halen, eh, Via Vallen. Ode adalah puisi pujian, kadang dilagukan. Orang Arab punya istilah 'madah' untuk tujuan yang sama dan biasanya bersifat liris.

(Apakah puisi ini untuk penyanyi dangdut tertentu? Tidak begitu penting sungguhnya, karena bisa saja penyair menyebut "seorang" namun secara politis yang dikehendakinya adalah prototipe penyanyi kebanyakan. Dia ingin melakukan 'pars pro toto' dengan cara seperti itu, seperti menyebut Rhoma Irama namun tujuannya adalah untuk ABRI [Anak Buah Rhoma Irama] seluruhnya. Perihal keterwakilan ini, tinggal kita lihat konteksnya: kapan, di mana, dan tentang apa penyair/puisi itu bicara).

Di tengah melambungnya harga-harga (yakni pada saat harga bahan-bahan popok, eh, pokok, terus melonjak karena keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sementara rakyat melakukan protes di mana-mana, tetapi suaramu, wahai biduanita, mampu menghibur rakyat untuk sejenak melupakan itu semua. Di liang telinga dan perasaan kami,)
Suaramu semakin merdu saja (sehingga kami tersihir dan lupa kalau kami, eh, kita, ini sedang menderita).

Di tengah membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin cantik saja (cantik dipertentangkan dengan hutang. Apakah hubungan? Piutang cenderung membuat roman muka murung. Kalau orang berwajah murung biasanya akan mengurangi aura kencantikan. Jadi, bait ini sama seperti sebelumnya, berisi pertentangan untuk mendapatkan kesan ironi).

Di tengah ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin sintal saja (masih sama dengan yang di atas, hanya saja "perbandingan-bertentangan" dibuat lebih melebar, lebih jauh lagi hubungannya jika dibandingkan dengan pernyataan sebelumnya: "keruwetan" lawan "kesintalan". Kok bisa begitu? Barangkali, penyair menemukan titik kesamaan di tengah-tengahnya, yaitu "syahwat": syahwat kekuasaan melalui politik dan syahwat kebirahian melalui goyangan.

Yang kita saksikan, banyak sekali goyangan biduan di pentas-pentas dangdut itu, terutama sejak munculnya genre (atau subgenre [?]) dangdut koplo, yang memantik erotisme. Apakah pendapat ini seksis, "berwawasan kedagingan", subordinatif? Untuk mendapatkan jawaban yang ilmiah, kita harus mengujinya dulu di "Laboratorium Dangdut" (bisa tanya sama Mashuri soal alamatnya), misalnya dengan mengukur "sex appeal" penonton dengan metode "simple-random-sampling" untuk diuji. Bagaimana teknisnya, biar yang lain saja yang mengurus, jangan semua persoalan kepada saya, terutama soal yang beginian, soal angka-angka dan kesesuaian datanya.

Tanpa harus menyudutkan kualitas musik atau genre tertentu, dangdut yang dulunya sangat berwawasan Melayu dan sangat merakyat, menjadi semacam blues-nya "orang kita", kini, perlahan-lahan tampak berubah/mengubah selera. Hal ini mirip dengan “blues” yang mula-mula menjadi ekspresi musikal etnis Afro-Amerika dan sekarang telah berangsur berubah. Salah satu penandanya adalah dengan naiknya Vanessa Williams ke peringkat satu Miss America di tahun 1984. Apakah ini juga mirip dengan naiknya Nella Kharisma ke jenjang kemasyhuran artis tanah air pada umumnya?

Balik lagi ke puisi... ini sudah terlalu ngelantur.

Akibatnya tidak puas dengan "perbandingan-bertentangan" di atas, penyair Acep menambah satu bait lagi, di bawah ini, untuk menegaskannya.

Di tengah merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu semakin heboh saja (teror dan bencana sudah ada yang mengurus, yakni detasemen antiteror dan Basarnas. Tapi, bukankah yang mereka tanggulangi berdua adalah teror dan bencana literal, sementara "teror tersirat" dan "bencana metaforis", teror yang merusak tatanan syaraf untuk berpikir rasional  dan bencana kemanusian yang tampak mencolok pada masyarakat mileneal yang begitu enteng menghujat siapa pun, tak peduli tokoh/panutan, meskipun modal mereka hanya paket data gratisan di medsos? Malah, jangan-jangan, ini dia sesungguhnya teror dan bencana itu.

Menghadapi kenyataan demikian, kehebohan goyangan penyanyi dangdutlah yang akan turut meredakan masalah ini sehingga masyarakat sejenak mampu untuk melupa). Oleh karena itu, si akang penyair dari Tasikmalaya ini [sekampung dengan Rhoma Irama] lantas membuat statemen, bahwa...

Di tengah langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu semakin berarti saja (Pada bagian ini, penyanyi dangdut tetap disanjung karena perannya dianggap berarti, mungkin karena mampu menghibur orang banyak di saat sedikit orang di negeri ini yang menjadi pemimpin, yang dipilih secara demokratis, pada akhirnya hanya gemar berdusta saat bicara; berjanji tanpa menepati; berkhianat ketika telah dipercaya.

Akan tetapi, pada bait terakhir, kehadiran penyanyi dangdut (tersebut) justru ditampilkan secara ironis oleh penyair, yaitu manakala kehormatan bangsa sedang terpuruk, pakaian dia malah semakin gemerlap. Pasalnya, kita tahu, “gemerlapan” adalah simbol kemewahan. Lantas, apakah kemewahan itu salah? Itu adalah hak, tapi manakala ditampakkan pada saat yang lain sedang berduka, maka ia salah penempatan.

Berikut penutup puisi tersebut:

Di tengah terpuruknya kehormatan bangsa
Pakaianmu semakin gemerlapan saja

(Dari sudut pandang yang lain, bait terakhir puisi “Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut” di atas menggambarkan potret umum kehidupan masyarakat. Rakyat asyik sendiri  ketika kehormatan bangsa sedang terpuruk dan butuh pertolongan. Nah, mengapa "ode" yang mestinya "memuji" tetapi di akhir puisi malah menyelipkan "caci"? Wallahu a'lam, barangkali ini adalah “satire”, bukan untuk penyanyi dangdut yang sebetulnya “tidak benar-benar ada walupun mungkin juga ada”, melainkan ini untuk para pembaca, untuk kita).

© M. Faizi: 2018


09 April 2018

Cinta yang Bertaring (Nuryana Asmaudi)


Sajak Rahwana untuk Sita

sesaat sangat berarti bagi hidup
tapi kau sia-siakan kesempatan itu
aku gerimis dan kau daun talas
memberiku singgah sejenak
lalu terik menghapus
dan kau kehilangan

badan kasar boleh meniada
tapi badan halus tak kan ke mana
segara geni mensucikanmu
karena cintaku, Sita

kujaga bara tetap menyala
tak kan padam api cinta
sebab cintaku lebih tua daripada Rama
sampai asal memanggil
sukma kita bercengkerama

di akuarium jadi mempelai lohan
pengantin emas yang romantis
atau sepasang angsa di telaga
bening lagi sejuk

Denpasar, 2010

Pengakuan Sita

aku tak minggat karena khianat
aku tirakat mencari hakikat
dalam terpaan angin barat
di samudera Rahwana
aku mendengar nyanyian jiwa
pada pusaran arusnya aku merasa fana

aku bukan ikan panggang di api alengka
unggun dalam gigil, obor di malam pekat
berjagalah di rumah, Kakanda
tak jemu kugenggam cintamu
di ruang kalbu

kesucian milik tuhan
kita bukan sekadar wayang
yang dijogetkan dalang
dalang mbeling boleh
mempelesetkan cerita sesukaanya
namun cinta kita tak sedetik pun
bertepuk sebelah tangan
meski aku di pengasingan
koran memberitakan
televisi mempertontonkan
medsos meramaikan isu
cinta kita gonjang-ganjing
dan engkau berkomentar miring
mengapa tak percaya padaku
mengapa terpancing murung-miring?
teleponlah Wibisana
tanyakan kepada adik Rahwana yang jujur itu
aku baik-baik saja dan kerasan di puri alengka
tak ada yang perlu dikhawatirkan
tak usah mengerahkan kapal perang
tank dan pesawat tempur rongsokan
janganlah menghamburkan uang negara
untuk urusan cinta dan keluarga

pada saatnya nanti
aku akan pulang sendiri
percayalah aku mencintaimu sepenuh hati
cintaku lebih panjang daripada nafas hari-hari

Denpasar, 2010

Jika kita membaca kisah Ramayana, terutama pada bagian penculikan Dewi Sinta di hutan Dandaka untuk kemudian dilarikan ke Alengka Dirja, maka fragmen tersebut adalah hipogram dan puisi ini menjadi teks turunannya. Penyair membawa cerita Rama dan Sinta ke alam kekinian, yang salah satunya berupa gonjang-ganjing di medsos. Kritik tajam disampaikan secara samar lewat balas-balasan puisi, curhat-curhatan.


Dalam legenda Melayu, kasus seperti ini juga dapat ditemukan. Ketika semua orang menokohkan Hang Tuah, dramawan Dinsman justru menokohkan Hang Jebat. Ia menjadi pembela rakyat, bahkan sampai-sampai membunuh raja. Rupanya, penyair Nuryana Asmaudi, seperti Dinsman, menggunakan sudut pandang yang lain dalam memandang legenda Ramayana, terutama dalam melihat posisi cinta Rahwana.


Di atas itu semua, tentu saja, yang saya lakukan ini hanyalah #tafsirpuisimanasuka atas dua puisi ("Sajak Rahwana untuk Sita" dan "Pengakuan Sita") yang dicuplik dari buku Taman Perangkap Bulan (2018). Yang saya lakukan adalah usaha membuat puisi lebih dekat ke pembaca. Mari kita lihat bagaimana imajinasi Nuryana dalam memainkan dua tokoh ini dalam puisinya.


SAJAK CINTA RAHWANA KEPADA SITA


sesaat sangat berarti bagi hidup
tapi kau sia-siakan kesempatan itu (seperti kata pepatah, kesempatan tidak datang dua kali. Kira-kira demikian yang dikeluhkan oleh Rahwana kepada Sita [Sinta]. Kalaupun ada kesempatan yang sama, maka sungguh itu tidak benar-benar sama, baik peluang maupun kemungkinannya dengan yang pertama. Rahwana kecewa terhadap Sita karena tidak mengambil peluang ini)
aku gerimis dan kau daun talas
memberiku singgah sejenak
lalu terik menghapus
dan kau kehilangan
(Penyair, dari sudut pandang pengambilan peran sebagai Rahwana, membayangkan dirinya "laksana air di daun keladi/talas", alias sama sekali tidak memberikan dampak apa pun, lebih-lebih karena "terik yang ikut menghapusnya"; bagian ini sejujurnya kurang memberikan dampak penekanan karena air memang tidak pernah membekas di daun talas, tanpa harus dikena terik matahari).


badan kasar boleh meniada (secara jasmani alias lahiriyah, ia tak ada)
tapi badan halus tak kan ke mana (tapi secara batin, ikatan itu tetap ada. Ini adalah titik kunci mengapa orang yang terlanjur mencintai seseorang tidak dapat sepenuhnya mampu melupakan meskipun ia seolah-olah bisa melupakan. Ibarat kata, pada suatu saat nanti, ia akan merindukan orang itu. Dan rindu itu memang benar bisa diobati, tapi tak bisa disembuhkan)
segara geni mensucikanmu
karena cintaku, Sita
(mengacu pada pembakaran Alengka oleh Hanoman, yang tentunya berkonotasi 'penyerangan' demi perebutan Sinta, sementara Nuryana—melalui narator Rahwana—justru melihatnya sebagai hal lain)


kujaga bara tetap menyala
tak kan padam api cinta (ambisi mencintai dan memiliki Sinta benar-benar besar, bahkan dengan pernyataan berikut):
sebab cintaku lebih tua daripada Rama (bahkan, Rahwana berjanji untuk tetap mempertahankan api cintanya itu hingga mereka tiada, dikembalikan ke asal mula)
sampai asal memanggil
sukma kita bercengkerama (betapa imajinatifnya cinta Rahwana ini, platonis. Meskipun ia sadar Sinta akan kembali bersama Sri Rama, tapi ia berambisi sukma merekalah yang bakal menyatu, di antara tubuh-berdua)


di akuarium jadi mempelai lohan
pengantin emas yang romantis
atau sepasang angsa di telaga
bening lagi sejuk
(Bait terakhir puisi hanyalah pemanis, penyedap ungkapan di bagian awal yang sebetulnya sudah cukup. Andai saja dihapus, mungkin tidak akan berpengaruh kepada isinya)


Denpasar, 2010


* * *
Kalau kita lihat, saling lempar puisi jadi mirip saling lempar pantun. Bedanya, puisi Rahwana kepada Sita maupun balasannya, Pengakuan Sita, ditulis oleh orang yang sama: Nuryana. Ini menunjukkan keterampilan sendiri, keterampilan mengambil peran, keterampilan berempati, dan keterampilan 'casting', yakni menentukan tokoh yang pas untuk memerankan bagian-bagian drama)


PENGAKUAN SITA


Karena diragukan kesuciannya, Sita lantas menulis pernyataan puitis. Tapi, pernyataan ini bukan balasan untuk Rahwana, melainkan untuk Rama. Simaklah:


aku tak minggat karena khianat
aku tirakat mencari hakikat (nyatanya, dalam cerita, seolah-olah Sita minggat, padahal diculik. Barangkali, penggunaan kata "minggat" oleh penyair dimaksudkan untuk menguatkan unsur "pelanggaran" yang dituduhkan. Sita diculik karena dia tertipu, bukan karena luluh terhadap bujuk rayu. Frase "mencari hakikat" menjadi jawaban untuk itu).
dalam terpaan angin barat (angin kencang)
di samudera Rahwana
aku mendengar nyanyian jiwa
pada pusaran arusnya aku merasa fana (dalam cerita, Alengka memang berada di seberang lautan. Namun, frase samudera Rahwana mengacu pada makna konotatif, yakni dalam lingkungan kekuasaan Rahwana dan Alengka. Shinta merasa tidak berdaya di sana, tetapi ia memberikan keyakinan kepada Sri Rama perihal kesuciannya).


aku bukan ikan panggang di api alengka
unggun dalam gigil, obor di malam pekat (dua larik ini juga masih merupakan pernyataan yang sama dengan di atas. Shinta mengaku setia dan cintanya tidak pernah berubah. Makanya, ia menenangkan Sri Rama agar tidak perlu resah)
berjagalah di rumah, Kakanda
tak jemu kugenggam cintamu
di ruang kalbu


Tidak hanya dengan baris-baris pelipur di atas, penyair (melalui lidah Shinta) bahkan masih menegaskan lagi perihal kesucian Shinta dari jamahan Rahwana dengan menggantungkannya kepada takdir. Ia melihat, bahwa fatalisme akan membuat orang mudah menyerah sehingga daya upayanya menjadi tumpul.


kesucian milik tuhan
kita bukan sekadar wayang
yang dijogetkan dalang
dalang mbeling boleh
mempelesetkan cerita sesukaanya
namun cinta kita tak sedetik pun
bertepuk sebelah tangan (bagian ini menjadi sedikit berbeda dari yang sebelum-sebelumnya. Jika dari awal puisi sangat serius dan reflektif, dari sini penyair lalu memulai langkah demitefikasi, dengan nyindir 'dalang beling' dan 'plesetan'. Kasus seperti ini sama dengan sebuah cerita pendek [saya pernah membaca di Jawa Pos, dulu, tentang dalang yang hendak mematikan Rahwana tetapi Rahwana memberontak, tidak mau mati, melawan kepada takdir, menentang kepada dalang. Jika tak keliru, cerpen berjudul "Rahwana Menolak Mati" memberotak kepada dalangnya]. Ternyata benar, penyair mulai menulis dengan sudut pandang kekinian dan 'ugal-ugalan' pada bait berikut)


meski aku di pengasingan
koran memberitakan
televisi mempertontonkan
medsos meramaikan isu
cinta kita gonjang-ganjing
dan engkau berkomentar miring (ini adalah petikan percakapan zaman sekarang yang diselipkan ke dalam kisah Ramayana. Mana mungkin? Kreasi manusia sangatlah bebas sehingga satu sumber wacana dapat terlahir dalam berbagai bentuk dan berbagai media. Namun, di sini juga ada kritik, bagaimana begitu mudahnya kita terpedaya oleh media/media sosial, yang begitu tipis bedanya dalam memberitakan mana investigasi dan mana berita palsu. Target kecepatan menyebarkan membuat tuntutan khusus sehingga ruang berpikir masyarakat pun menjadi singkat, pendek, instan).
mengapa tak percaya padaku
mengapa terpancing murung-miring? (Jika Rama meragukan kesucian Sita, kini Sitalah yang giliran meragukan keyakinan Rama akan keterpedayaannya terhadap hoax)
teleponlah Wibisana
tanyakan kepada adik Rahwana yang jujur itu
aku baik-baik saja dan kerasan di puri alengka (ada medsos, ada telepon juga. Bukankah sangat kekinian?)
tak ada yang perlu dikhawatirkan
tak usah mengerahkan kapal perang
tank dan pesawat tempur rongsokan
janganlah menghamburkan uang negara
untuk urusan cinta dan keluarga
(Inilah puncak kritik, kritik Shinta untuk penguasa dan para pengambil keputusan publik, bukan semata-mata kepada Rama. Nyatanya, banyak kita lihat, ada saja orang-orang yang menyamarkan kepentingan keluarganya, bahkan kepentingan pribadinya, dengan mengatasnamakan kepentingan publik, bahkan negara. Jamak pula kita tahu, cara-cara curang seperti ini dilakukan secara nyata, tanpa malu-malu).
pada saatnya nanti
aku akan pulang sendiri
percayalah aku mencintaimu sepenuh hati
cintaku lebih panjang daripada nafas hari-hari


Penyair melakukan demitefikasi dan sejenis ‘slapstik’: menyelinapkan pemahamannya terhadap teks asal dengan cara melakukan penentangan atau perombakan lalu menyajikannya dalam teks yang baru dengan bumbu satire dan kelakar, seperti melibatkan peran media sosial (Facebook) dalam kehidupan cinta antara Rama dan Sita (Sinta) di Alengka.
Di bagian ini pula, meskipun ada tema cinta lahiriah dalam kehidupannya, tema mitologi mengambil tempat pada banyak puisi. Hal itu sekurang-kurangnya dapat dibuktikan pada tiga puisi pertama [yang dibahas di sini cuma dua saja] di bagian kedua (bagian yang membahas tema mitologi tersebut) sembari ‘merusak’ sudut pandang khalayak kebanyakan.
Kisah cinta dan kesetiaan, baik dan jahat, Rama dan Rahwana, jadi sedemikian lucu dan kekinian, bukan? Sembari menyelipkan kritik sosial atas fenomena kekuasaan di masa sekarang, Nuryana melakukannya dengan tindakan 'ekserp', yakni mengambil kronologi cerita dalam Ramayana namun disertai perombakan terhadap mitos dan kemapanannya.


Selebihnya, wallahu a'lam.
© M Faizi

04 April 2018

Lelaki dan Tangkai Sapu - IX (Iyut Fitra)



dan ia. lelaki yang terus mencari kata-kata
singgah di lepau itu
bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu. tempurung-tempurung telah menunggu
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang. seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja
kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta
ada ikhwal tak mudah lenyap

dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga. konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh
kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke mana
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa
orang-orang merambah ladang. orang-orang takut untuk mengerang
hanya bergelimun di tungku-tungku
menikmati sisa sebelum berubah abu

dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah
ke mana kenangan harus dipanggul
ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya


***

Buku puisi “Lelaki dan Tangkai Sapu” (Kabarita, Cet.I, Juli, 2017) karya Iyut Fitra ini—secara keseluruhan—menggambarkan rangkuman bagaimana seorang pemuda Minang menjalani kehidupannya. Sejak kecil, ia tidur di surau dan meninggalkan rumah untuk selanjutnya merantau. Rumah gadang dimiliki oleh keturunan garis perempuan karena pewarisannya berdasarkan matrilineal.

Yang dialami Iyut Fitra juga begitu. Saya menemukan liputan tentang rumah gadang ini di National Geographic Traveler (lupa tahun berapa; majalah masih ‘ketelisut’ dan tidak saya temukan hingga artikel ini diterbitkan ). Namun, ada fragmen-fragmen lain hidup yang juga dibahas dalam buku ini. Khusus untuk puisi nomor yang IX ini (judul puisi menggunakan penomoran), Iyut berkisah tentang tradisi minum kawa daun orang Sumatra (Barat) yang kalau ditelisik lebih jauh, ia tidak hanya menggambarkan sebuah tradisi minum daun kopi semata, melainkan soal penjajahan dan perampasan hak.

Sebelum masuk ke puisi (masih dengan cara “tafsir puisi manasuka”), ada baiknya saya kasih pengantar sedikit seputar kopi, daun kopi, dan kolonialisme.

Yang memperkenalkan kopi sebagai minuman dari biji kopi itu memang Belanda. Akan tetapi, pernyataan bahwa Belandalah yang memperkenalkannya ke masyarakat Indonesia terbantahkan oleh ditemukannya pohon-pohon kopi di Aceh, jauh sebelum mereka datang. Di Aceh, dulunya, daun kopi digunakan sebagai minuman. Mereka “cuma” merebus daunnya sebab tidak tahu kalau ternyata yang inti dan mahal dari kopi itu adalah bijinya.

Menurut Lia Zen, pandangan ini sengaja diciptakan oleh kolonial agar masyarakat tidak mengkonsumsi biji kopi, melainkan cukup daunnya saja. Banyak ujaran yang tercipta seputar ini, di antaranya adalah “kalau minum biji kopi merah, nanti mata bakal merah”. Ujaran seperti ini beredar di masyarakat luas karena memang diproyeksikan. Kenyataannya, kafein tertinggi pada kopi itu justru terletak pada daun. Sebaliknya, adapun kualitas kopi yang terbaik justru ada pada biji merahnya. “Kenyataan ini berlangsung lama, bertahun-tahun, sampai-sampai nenek saya (yang artinya baru saja berlalu—red) yang memiliki kebun kopi pun tidak pernah mau minum kopi yang berasal dari biji kopi,” tambah Lia. Sungguh suatu penjajahan luar-dalam!

Memang, saat ini, ada temuan baru: cascara, yaitu teh yang berasal dari kulit biji kopi (arabica). Tentu saja, meskipun sama-sama berasal dari kopi, minum cascara berbeda dengan minum “kawa daun” ini. Jika cascara menyiratkan tren, sebaliknya, kawa daun membawa amanat penderitaan dan penjajahan.

Mari kita mulai...

LELAKI DAN TANGKAI SAPU – IX

dan ia (adalah setiap lelaki Minangkabau; aku-publik; dalam hal ini menunjuk kepada dirinya sendiri [penyair] yang menyatakan diri sebagai sebuah representasi. Dia adalah). lelaki yang terus mencari kata-kata (untuk dapat disusun dan ditata, guna menyampaikan sesuatu yang menurutnya penting untuk diketahui oleh khalayak, baik oleh yang sebangsa maupun siapa pun)
singgah di lepau itu (warung kecil)

Pada baris berikut, penyair mulai menegaskan tema puisi, tentang "kawa daun", yaitu daun kopi yang digunakan sebagai minuman. Kawa, kemungkinan besar, berasal dari 'kahwa'/'qahwa' yang artinya kopi [sebagai minuman, sedangkan kopi sebagai biji, dalam Bahasa Arab, disebut “bunn”]. Kata kawa juga dikenal di masyarakat Takengon, di Gayo. Di sana, masyarakat petani kopi memiliki tradisi mengawinkan kopi. Mereka berdoa di dalam prosesi. Doanya seperti ini: “Bismillahirrahmanirrahim, hai Siti Kawa, kao kukawinkan urung kuyu, wihkih walimu, tanoh kin saksi muhrimmu, mata uroe kin saksi pernikahanmu, kao kawinkan urung kuyu sebagai suamimu” (Bismillahirrohmaanirrohiim, hai Siti Kawa (kopi), kau kukawinkan dengan angin, air sebagai walimu, tanah sebagai saksi muhrimmu, matahari sebagai saksi pernikahanmu. Kau kukawinkan dengan angin sebagai suamimu).

bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu (bagian ini menjelaskan proses awal pembuatan kawa daun: dijemur dan dikeringkan melalui bara api yang biasanya dilakukan di tempat yang terlindung dari angin, seperti pondok bambu). tempurung-tempurung telah menunggu (kawa daun memang tidak diminum dari gelas, melainkan dari tempurung atau batok kelapa)
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang (tiga nama ini adalah identik penganan atau cemilan. Gula saka adalah gula tebu dalam bahasa Minangkabau; sarikaya adalah serikaya, yaitu makanan yang mengandung intisari santan dan telur) dan seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun (yang dimaksud “menghanyutkan” adalah memberikan sensasi dan pelepasan katup kebahagiaan, meskipun tanpa harus bertukar pantun sebagaimana tradisi mereka)
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja (kata hubung “kendati” menyiratkan 'kerendahdirian' [inferioritas], bahwa kawa daun adalah kelas kedua jika kopi adalah kelas pertamanya. Penyair tidak memandang ini sebagai dua jenis dan dua mahia, melainkan dua hal yang nyaris serupa sehingga dianggap sama, padahal mestinya kawa daun adalah minuman tersendiri yang khas dan unik, bukan semacam “kopi yang tertunda” atau “minuman pengganti kopi”. Pandangan inferior seperti ini mungkin tercipta oleh sejarah panjang kolonialisme dan upaya 'pembodohan' yang dilakukan penjajah terhadap masyarakat untuk selanjutnya menjadi alam pikir orang banyak. Adapun robusta, arabica, dan toraja adalah pembanding, meskipun tidak setara. Sebab, robusta dan arabica itu varietas, sedangkan Toraja adalah identitas kewilayahan. Sebagai tambahan informasi, kawa daun umumnya berasal dari jenis robusta sementata Toraja terkenal dengan kopi arabica).

kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta (tempat bersantai, disebut "blandongan" oleh orang pesisir Gresik; semacam tempat cangkruk)
ada ikhwal tak mudah lenyap

dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu (sama seperti di atas)
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga ("seduhan ketiga" tampak seperti variasi ungkapan, tidak memiliki kecenderungan tertenu. Namun, sebetulnya, orang Minang memiliki acuan khusus terhadap angka ini [contoh: "tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin"] sebagaimana orang Aceh yang menyukai angka "tujuh"). konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh (tahun tersebut menandai dimulainya 'cultuurstelsel', saat mana masyarakat harus menanam kopi tapi tidak dapat memimum kopinya.

Sejujurnya, saat ini, kondisi masyarakat kita mirip-mirip dengan zaman itu. Kopi-kopi terbaik dari Nusantara, dari Toraja sampai Bajawa, dari Ijen sampai Takengon, dikirim ke luar negeri. Contoh: kopi terbaik Gayo dikirim ke Atlanta, kita dapat yang buruk-buruknya. Bahkan, seperti kopi yang unik karena tumbuh di lingkungan gunung belerang yang menyemburkan api biru [“blue fire - blue mountain”] yang konon hanya ada dua di dunia [di Bondowoso, Indonesia dan Islandia] bahkan banyak warga setempat pun tidak tahu-menahu soal ini, apalagi sampai menyicipinya.

kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke mana (kopinya dibawa ke luar negeri oleh Kompeni, sementara peladang-petaninya sendiri tidak mendapatkan kehangatan kopinya)
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita (penyair menunjukkan lalu membandingkan kawa daun—yang rasanya memang sedikit sepat, seperti teh yang sangat kental dan sedikit gula—dengan penderitaan yang dialaminya, dialami oleh bangsanya atau oleh sekelompok kecil bangsa, tepatnya orang-orang Minang di zaman dulu)
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa (penyair membayangkan aroma kawa daun itu ibarat keletihan para petaninya, yaitu keringat yang tersisa selepas)
orang-orang merambah ladang. (akan tetapi) orang-orang takut untuk mengerang (karena mereka hanya berani mengeluh. Mereka tak berani berbuat apa pun. Mereka)
hanya bergelimun di tungku-tungku (yaitu di saat mereka mengeringkan daun-daun kawa itu. Mereka hanya)
menikmati sisa (daun yang dikeringkan itu; atau menikmati kejayaan kopi); sebelum berubah abu (mereka tidak mendapatkan apa pun lagi, baiknya kawa-nya, lebih-lebih biji kopinya, maupun keuntungan dan laba).

dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah (tentu saja, yang dimaksud "membenci sejarah" bukanlah membenci sejarah sebagai disiplin ilmu, melainkan beban yang terkandung di dalam sejarah, yakni data-data dan catatan kesedihan yang dialami oleh nenek-moyang penyair, khususnya di Sumatra Barat, akibat "tanam paksa" oleh Belanda. Penafsiran ini merujuk pada pernyataan penyair pada bait kedua di atas. Inilah yang telah membuatnya sedih, juga bingung, sehingga secara retoris ia bertanya):
ke mana kenangan harus dipanggul (maka, "kenangan" yang dimaksud adalah sejarah itu sendiri, yang dibencinya karena telah mengusik banyak hal daripada memori kejayaan (bangsa)-nya di masa dulu. Sebab itu, sang penyair  ingin melupakan semuanya meskipun sejenak, dengan cara menghirup kawa daun: melupakan sembari merasakan, betapa penderitaan bangsa itu sungguh-sungguh menyakitkan!)
Ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya.

Akhir kata, penyair mengajak berempati kepada kita (para pembaca) agar dapat merasakan kekesatan kawa daun dan kegetiran nasib masyarakat di masa kulturstelsel atau tanam paksa (kopi) di zaman dulu. Maka, ada baiknya kita juga mencoba minum kawa daun ini di sebuah lepau, tidak melulu menikmati kopi di kafe, lebih-lebih di kafe milik orang manca yang sebagian besar bahan kopinya justru didatangkan dari biji-biji kopi pilihan di Pulau Sumatra.


Wallahu a’lam
© M. Faizi


Rinal, saya, Iyut Fitra: minum kawa daun di Payakumbuh (foto: Akhyar Fuadi)