05 Desember 2017

Remeh Temeh untuk Keagungan Puisi


(Catatan untuk “Buku Ketam Ladang Rumah Ingatan”; pertanggungjawaban kuratorial) [1] 

Oleh M. Faizi

Mencermati laporan perihal membeludaknya jumlah naskah yang dikirimkan kepada panitia penerbitan buku antologi puisi “Madura Pulau Puisi”, sikap pertama saya adalah optimis. Panitia menjelaskan bahwa ada 137 nama penyair yang menyerahkan naskah puisinya. Angka ini mengejutkan dengan pertimbangan pendeknya masa pengumuman yang disebarkan. Maka, jika setiap nama mengirimkan 10 judul, lebih seribu puisi sudah terhimpun. Panitia (terdiri dari Raedu Basha dan 8 penyair lain yang mula-mula menggagas kerjasama ini dengan LSS Reboeng) lantas menyerahkan hanya 60 nama saja kepada kami (saya dan Syaf Anton WR sebagai kurator). Mereka menyimpan sisanya di laci. Barangkali, naskah-naskah itu akan diperam lebih dulu dan baru diterbitkan jika kelak sudah matang dan atau dibiarkan bernasib malang: ditimbang kiloan.
Sudah pasti, “memilih lagi” nama-nama penyair yang “sudah dipilih” adalah pekerjaan yang berat. Rasanya, saya ingin mundur dan menolak menjadi kurator mengingat pengalaman cemen di bidang ini. Alasan hiburan yang membuat saya bertahan adalah karena proyek ini bukanlah perlombaan, melainkan “hanya” pemilihan dan pemilahan untuk diterbitkan dalam satu buku antologi puisi. Saya tidak tahu, apakah penyair-penyair di luar yang 60 itu lebih dulu tesingkir karena tumbang oleh takdir atau luput karena apes. Akan terlalu berkepanjangan jika saya menyibukkan diri dalam perdebatan seputar batas takdir dan nasib apes di sini. Singkat kata; karena hanya itu yang saya terima, maka tugas saya adalah menggarap yang itu saja.
Perlu diketahui, dalam memilih puisi-puisi yang terkumpul dan pada akhirnya terbit sebagai buku ini digunakan beberapa lapis gawang. Saya (dan tentu saja bersama Syaf Anton WR) yang berada di bawah mistar kedua hanya bertugas memilih 41 dari 60 yang tersedia. Ibarat kiper, tugas saya, sama seperti tugas Tim Sembilan, yaitu hanya membiarkan gol-gol yang ditendang secara indah dan keren saja yang melampaui jangkauan tangan saya. Tendangan yang melenceng di atas mistar, saya bahkan tidak perlu lagi menguras energi untuk menangkapnya sebab dengan sendirinya ia akan mencelat ke luar lapangan.
* * *
Proyek penerbitan antologi puisi penyair muda Madura ini merupakan kerjasama Tim Sembilan dengan LSS Reboeng, sebuah lembaga/komunitas yang memiliki perhatian pada sastra dan seni. Tentang alasan mengapa LSS Reboeng memilih para penyair muda Madura dan menyiapkan dana untuk penerbitan buku serta pelaksanaan acaranya, biarlah hal itu dijelaskan oleh panitia dan tentu saja juga oleh Ibu Nana Ernawati (dari Reboeng) selaku yang berwenang.
Mengapa Madura dan mengapa puisi?
Di Madura, sastrawan yang lahir dan muncul pada umumnya adalah penyair, bukan cerpenis atau novelis. Penulis prosa hanya dapat dihitung dengan jari, berbanding secara jomplang jika disejejarkan dengan penulis puisi. Hanya selangkah setelah menyebut nama Fudoli Zaini yang sudah lama berpulang, kita lantas akan mendadak kesulitan untuk mengajukan nama-nama prosais lain yang sudah mapan. Siapa lagi? Sementara, saya jawab dulu tidak ada, paling-paling hanya Mahwi Airtawar yang baru menerbitkan kumpulan cerpen dan Badrul Munir Chair yang baru menerbitkan novel. Memang, ada lagi senarai nama yang lain, seperti Saidi Dahlan yang bahkan sudah menerbitkan lusinan buku prosa, termasuk fiksi dan nonfiksi. Akan tetapi, karena kebanyakan karya Saidi diterbitkan sebagai “buku proyek” dan “buku lomba”, sulit untuk menemukan buku-bukunya nangkring di display toko buku. Jika ditemukan nama-nama lagi, kemungkinan besar mereka adalah para penyair yang nyambi menulis prosa.
Selain nama di atas, ada nama Muchlis Amrin yang juga iseng menulis cerpen di antara kegigihannya berpuisi. Kiranya, hanya tersisa nama Edi AH Iyubenu yang (dulu pernah) secara menggila menulis cerpen. Karyanya muncul di hampir seluruh media cetak, terutama koran, di tanah air. Pada masanya, soal produktivitas, Edi bahkan nyaris tidak menemukan tandingannya.
Di pesantren Annuqayah Luk-Guluk dan Al-Amien Prenduan, dua pesantren yang banyak melahirkan penulis dan sempat saya amati perkembangan kepenulisan sastranya, nyaris tak seorang santri pun yang menulis atau berniat menjadi novelis. Semuanya hanya ingin dan melulu menulis puisi. Penulis cerpen hanya muncul satu dua saja, itupun dari kalangan santriwati, seperti Ida Royani (Ida ar-Rayyan) dan Hanna Ithriyyah serta Ana FM, dan belakangan ada nama Vita Agustin. Sisanya? Ya, menulis puisi. Ini menjadi gambaran bahwa ranah puisi rupanya jauh lebih menarik bagi para remaja Madura sebagai pilihan dalam menemukan eksistensi kepenulisannya. Maka, sudah barang tentu dan wajarlah saja jika gagasan penerbitan buku antologi puisi bersama penyair muda Madura ini terbit lebih dulu daripada kumpulan cerpennya.
Perkecualian untuk bagian ini, tidak ada pembicaraan seputar karya-karya prosa lain yang luput dari amatan, seperti penerbitan buku prosa dan puisi yang kini mengharu-biru seiring dikenalnya penerbit indie dengan cetakan model dummy dan/atau dicetak bergantung pesanan. Era ini menandai proyek penerbitan buku yang nyaris tidak jauh berbeda dengan fotokopi dalam hal kemudahannya. Di sisi lain, bagian gelap dari “kemajuan” ini adalah rendahnya telisik editorial pada pengatakan dan penyeliaan yang—mohon maaf—bahkan untuk penyuntingan tata bahasanya saja masih belepotan. Perlu dicatat, buku-buku seperti ini sungguh banyak, dicetak dengan jumlah yang juga banyak. Ia tersebar secara rahasia dan wajar jika luput dari pengamatan umum karena memang tidak dijual secara bebas, tidak masuk toko buku, dan atau pula dijual di komunitas terbatas saja.
* * *
Terhimpunnya lebih 1000 puisi dari lebih 100 penyair dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan bolehlah disebut fenomenal, lebih-lebih jika mengingat woro-woronya hanya disebar terutama di media sosial. Akan tetapi, di sisi lain, kenyataan ini juga menyisakan kegundahan karena mengesankan kerja bergulut dan oleh karenanya muncul sangkaan perihal rendahnya keterwakilan. Intinya, para penyair yang terlibat, baik yang lolos maupun yang tidak, kurang menyeluruh dalam hal cakupan sehingga pada akhirnya buku Ketam Ladam Rumah Ingatan ini hanya mewakili sebagian penyair muda Madura yang bisa mengakses internet saja. Begitu dugaannya, soalnya masih terbuka kemungkinan adanya penyair yang bertapa di kamar tanpa tersentuh jejaring sosial dan internet namun berkarya terus-menerus dan mungkin saja punya karya yang bagus yang sayangnya tidak tahu-menahu pada peristiwa ini. Andai saja rentang masa publikasi pengumpulan naskah lebih lama, tentu akan lebih banyak lagi yang terlibat dalam penyaringannya (pernyataan ini nanti akan dijelaskan oleh panitia Tim Sembilan, bahwa persebaran informasi sebetulnya sudah maksimal dengan cara dan trik tertentu; internet hanya sebagian bentuknya saja).
Meskipun begitu, dengan hanya mencukupkan diri kepada naskah yang masuk, seperti disampaikan pada paragraf pembuka, pemilihan dan pemilahan karya para penyair muda ini sudah begitu merepotkan, khususnya bagi saya (alasannya saya jelaskan pada paragraf setelah paragraf ini). Dalam membaca naskah-naskah puisi yang masuk, saya melakukan beberapa kali tahapan pembacaan. Pasti, semua puisi saya baca. Tidak ada spekulasi untuk menyingkirkan karya penyair tertentu hanya dengan membaca satu-dua judul atau pada halaman pertamanya saja. Seluruhnya saya baca. Semula, saya menyisihkan 25 nama untuk kategori “lolos I” dan 16 nama lain untuk kategori “lolos II”. Sisanya, ada 19 nama lagi, diparkir di kardus khusus, tidak masuk ke dalam map. Sejumlah 41 nama akhirnya dihimpun setelah saya memasukkan beberapa dari “lolos II” dan beberapa lain dari kurator tandem (Syaf Anton WR). Tidak berhenti di sini, setelah semua proses selesai, kami kembali membaca ulang naskah-naskah yang telah tersingkir untuk mencari kemungkinan adanya salah gelogok yang kami lakukan di saat memilih.
Sebelum pemilihan dilakukan, dengan bantuan orang lain, semua nama penyair dicoret menggunakan spidol agar pemilihan berlangsung lebih jujur, untuk menghindari pemilahan yang didorong oleh sebentuk rasa iba—sekecil apa pun itu—karena nama yang sudah dikenal. Memang, ada beberapa naskah yang langsung saya kenali karena beberapa alasanya. Di antaranya karena menggunakan simbol khusus “tanda nomor” (#) yang oleh penyairnya disebut “pagar”; karena puisi sudah pernah terbit dan saya pernah membacanya, dan; karena adanya  diksi dan frasa sepesifik yang saya kenal. Akan tetapi, saya baru menelisik ulang nama-nama itu setelah ada keputusan lolos/tidak.
Usai menimbang sekitar 500 lebih judul puisi yang masuk, tidak bijak rasanya jika saya bergelap mata lalu berkata bahwa hanya ada seperempatnya saja yang layak. Yang saya hadapi bukanlah soal angka statistik. Yang ada di hadapan saya adalah karya dan momen puitik, yaitu sebuah proses panjang yang mestinya ditempuh secara khidmat, bukan kerja buru-buru seperti laporan jurnalistik. Di saat saya mengatakan “ini layak”, resikonya adalah pertanyaan “mengapa yang itu tidak layak?”. Selanjutnya, saya (juga Syaf Anton sebagai teman kurator, termasuk Tim Sembilan yang lebih dulu memilih sebelum kami) harus dapat menjawab pertanyaan klasik, “Lantas, puisi yang baik itu seperti apa?”. Kurator yang notabene juga menulis puisi, dalam situasi seperti ini, akan menghadapi tugas yang lebih berat lagi. Ia harus menjelaskan ini-itunya secara ilmiah.
Pamuncak dari kesulitan itu adalah ketika saya menemukan—anggapalah—hanya 1 puisi saja yang layak di antara 9 puisi yang lain yang tidak. Sementara panitia menghendaki 4-5 puisi per penyair (ini menyangkut alasan teknis). Akan tetapi, kiranya, cara yang demikian ini relatif bersahabat dan cukup baik mengingat prinsip “1 tidak mewakili 10” karena ia sama dengan “kebetulan bagus di antara yang keseluruhannya jelek”. Bagaimana pun, proses kepenyairan yang notabene merupakan kerja kreatif itu tidaklah menjunjung unsur kebetulan, melainkan proses dan penghayatan dalam berkarya, bahwa puisi yang ditulis memang haruslah diketahui dan disadari keunggulannya oleh penyairnya sendiri.
* * *
Selanjutnya, saya akan mendedahkan beberapa butir anotasi hasil pembacaan saya terhadap buku “Ketam Ladam Rumah Ingatan” ini. Beberapa hal di antaranya mencakup urusan yang tampaknya sepele karena sekadar mempermasalahkan hal-hal seputar tatabahasa. Saya beranggapan, tidak ada masalah yang sepele dalam hal ini. Semuanya penting untuk dijelaskan.
Awalnya, saya menduga, hanya di zaman saya saja, yaitu di saat sumber informasi dan buku tidak semelimpah sekarang, kasus elementer seperti ini bisa terjadi sebagaimana dulu sering saya alami bahkan saya lakukan sendiri. Kenyataannya, di tahun ini, 2016, rendahnya pengetahuan dasar berbahasa merupakan persolan serius yang diidap oleh banyak penyair, padahal kerja kepenyairan sendiri itu melibatkan urusan bahasa secara langsung. Kasus ketidakmampuan membedakan “kata depan” dan “awalan” saja masih sering ditemukan. Mestinya, penyair sudah beres untuk urusan seperti ini. Di luar masalah teknis tersebut, yang lebih menyedihkan, adanya temuan yang  malah terjebak ke dalam sontekan (plagiarisme). Kiranya, ini adalah dosa kepenyairan dan intelektual paling besar yang tanpa ampun.
Dalam hal gagasan, saya menemukan adanya obsesi pada lokalitas, seolah dengan mengangkat tema lokal, seorang penyair telah menemukan sesuatu yang baru dan orisinal, tidak ditulis oleh orang lain. Misalnya begini: Jika hanya dengan menyebut Madura, Gili Iyang, Slopeng, atau mayang dan siwalan, Jokotole dan Trunojoyo, kita dapat mendaku diri telah mengangkat apa yang kita sebut dengan lokalitas, maka akan dengan mudah kita mendapatkan teman yang sama, dan itu artinya Anda tidak berada di kawasan unik dan istimewa lagi, umum, kebanyakan, biasa. Lokalitas menjadi tiada artinya. Para penyair pendahulu penyair muda ini sudah lebih dulu menjelajahi kemungkinan-kemungkinan puitikanya. Dalam hal ini, D. Zawawi Imron jelaslah menjadi penghulunya. Dengan cara yang sama, Anda tidak bisa menandinginya, dan karenanya sulit dilawan. Lantas, untuk apa kita melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan? Menyimak gema suara untuk selanjutnya digemakan kembali tidak akan sejernih sumber suara pertama. Analoginya, akan sangat berat buat Anda untuk menjadi lebih baik dari Rendra jika Anda juga menulis sama seperti yang dilakukan Rendra, dan begitulah seterusnya.
Berikut ini beberapa butir yang saya maksud:
Pertama; salah ketik. Salah ketik dipermasalahkan? Iya, justru ini adalah masalah serius yang cenderung dianggap sepele. Tindakan memperbaiki dan menulis secara sempurna itu mestinya dipelopori oleh si penulis, sang penyair. Penyunting berada di lapis kedua, hanya membereskan sisa-sisa keluputan kecil saja, bukan kebanyakannya.  Dan jika ia merasa itu adalah karya terbaik, penyair tidak ingin memberikan kesempatan pada orang lain untuk memperbaiki hasil karyanya. Ia mestinya ingin memperbaiki sendiri, menatanya, dan mengolahnya kembali. Bagi saya, bahkan salah ketik pun bukanlah masalah sepele jika kita menyadari bahwa menulis puisi sebagai pekerjaan serius yang mestinya juga akan dihitung dari sisi teknis dan nonteknisnya sekaligus. Salah ketik merupakan bentuk ketergesa-gesaan yang merupakan musuh proses kreatif puisi itu sendiri, suatu karya yang tidak bisa sekali jadi.
Kedua; penguasan dan pendayagunaan diksi. Pengetahuan akan diksi, bagi penyair, bukanlah sekadar kemampuan menggunakannya secara tepat. Lebih dari itu, penyair harus mempunyai banyak pundi-pundi diksi untuk digunakannya di dalam puisi. Diksi, seperti klasik dan arkais, telah mati di dalam kamus. Siapa lagi yang  bisa menghidupkannya jika bukan penyair? Wawasan diksi mencakup kemampuan dalam menggunakan diksi yang tepat dan indah. Misalnya; penggunaan “denting” untuk bunyi sesuatu yang “mendentum” atau “berdebam” itu tidak tepat. Kiranya, jika ini dijumpai dalam puisi, saya meyakininya sebagai kesalahan, bukan lantaran penyairnya yang ingin berekspresimen dengan mencoba metafora dan asosiasi yang justru tidak asosiatif. ‘Kesalahan’ tersebut merupakan akibat dari kurangnya wawasan dan pembacaan yang berdampak pada rendahnya penguasaan kosa kata atau diksi yang terbatas.
Ketiga; logika di dalam puisi. Ada penyair yang melakukan tindakan metaforis dengan menggunakan perangkat-perangkat perbandingan langsung namun hasilnya kerap kali mengesankan keterputusan korelasi. Akibatnya, metafora atau statemen-metafora menjadi tidak logis (saya merangkum beberapa contohnya secara khusus, di luar makalah ini, dengan maksud agar disampaikan dalam kesempatan yang lain saja). Saya kira, ini juga masalah serius, bahkan krusial. Frasa semacam “di sungai, tempat camar biasa mematuk ikan” adalah salah satu contohnya, karena kita tahu camar adalah burung laut. Demikian pula dengan frasa “:mengayuh perahu dari waktu sampai ke subuh”. Bagaimana cara membuat korelasi antara “waktu” dan “subuh” yang diperantarai oleh kata hubung “dari-sampai”? Dalam metonimia, hubungan teks dengan konteks terkadang memang berjarak sangat jauh, namun bukan berarti terputus sama sekali.
Keempat; kesalahan teknis gramatikal, seperti kasus “kata depan” dan “awalan” yang tidak dapat dibedakan. Mengingat penyair itu adalah tukang bahasa, yang artinya seyogyanya ia memiliki kemampuan penguasaan tata bahasa di atas awam, maka akan sangat ironis jika dalam urusan seperti ini saja mereka masih melakukan kesalahan. Kata depan di (untuk menunjuk ruang/waktu) dan awalan di (untuk awalan kata kerja pasif) yang secara kebetulan sama adalah hal asasi yang mestinya sudah tidak menjadi masalah lagi bagi penulis, terlebih bagi penyair yang seyogyanya melebihi seorang penulis biasa. Kemampuan bahasa penyair itu harus di atas penulis lainnya, apalagi awam.
Kasus serupa begitu pula terjadi dengan penggunaan partikel ‘pun’ dan partikel lainnya. Kesalahan demi kesalahan dalam urusan kata depan dan preposisi ataupun penggunaan partikel lain seperti di atas menyiratkan anggapan bahwa seolah-olah penyair itu seorang voorijder atau sopir ambulans atau damkar yang boleh menerobos lampu merah dan/atau melanggar marka jalan, padahal dalam melanggar pun ada aturannya. Yang artinya, menulis “di” sebagai awalan tetapi tidak ditulis serangkai itu adalah kesalahan, bukan bagian daripada lisensi yang didapat dari SIM (surat izin melanggar)-nya penyair.
Apakah yang demikian ini dapat dimaklumi? Tidak, ia niscaya, lebih-lebih bagi seorang penyair yang kedudukannya setara munsyi. Penyair itu bukan sekadar tukang yang bisa mencampur air, pasir, dan semen. Penyair melampaui tukang karena ia juga arsitek. Maka, dengan demikian, kasus-kasus penggunaan garis bawah, titik dua, garis bawah, hyphen-minus, titik koma, dll. dengan tujuan ornamental, haruslah dipikirkan secara matang, bukan sekadar untuk antik-antikan sehingga penggunaannya tepat dan benar. Kalaupun ia akan digunakan secara menyimpang, seorang penyair hendaknya melakukannya dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidak tahu hanya saja kebetulan benar.
Kelima; keluar dari konteks. Ada beberapa diksi atau wacana yang tidak kontekstual, seperti membicarakan panorama Madura bersanding dengan salju, musim semi,  gembala, dll. Mencari citraan suasana alam yang sangat dingin tentu tidak harus semena-mena menggunakan salju, dan demikian pula menggunakan frase musim semi jika maksudnya adalah musim panas. Menggambarkan situasi dan ruang dengan cara seperti ini alih-alih merupakan suatu upaya melukis suasana romantis, ia justru tidak efektif. Puisi, pada akhirnya, tercerabut akar dan konteksnya.
Keenam; latah. Saya menggunakan kata latah di sini dengan sangat terpaksa karena menimbang begitu banyaknya kata “ingatan”. Kiranya, penggunaan kata “ingatan” pada judul buku juga merupakan bentuk hasil dari pandangan umum karena begitu banyaknya kata tersebut ditemukan di dalam buku. Mengapa begitu banyak kata ingatan disebut? Apakah kata ini sedang naik daun? Sesuatu itu menarik ketika ia istimewa, jarang digunakan, eksentrik, aneh, dll. Kita dapat mengambil contoh pada metafora. Jika ada metafora yang terlalu sering digunakan, akan hilang metaforitasnya. Ia kembali menjadi hal biasa. Daun pintu, kaki meja, bunga desa, telah menjadi bagian frase biasa, tidak lagi menjadi metafora yang istimewa. Ia dianggap mati karena terlalu banyak yang menggunakannya.
Begitu pula, memotret Madura hanya melulu dari sudut pandang lautnya, pantainya, atau siwalannya sudah terlampau biasa; mainstream menurut istilah kekiniannya. Yang demikian itu sudah diobrak-abrik oleh penyair terdahulu. Lebih berbahaya jika pemotretan sejenis ini mengacu pada eksotisme alam, seolah Madura tidak punya keindahan yang lain, keindahan dalam persahabatan, solidaritas, gerapyak, kegigihan, watak perantauan, dan etos kerja kerasnya. Penyair tidak terlarang untuk menyampaikan apa pun, segalanya, baik memuji dan mencerca. Apakah membicarakan keterbelakangan, kesemrawutan, ketidaktertiban, dan inferioritas orang Madura yang terjadi di sekitar kita itu merupakan sesuatu yang terlarang? Saya kira tidak, dan bukan pula sebentuk rasa kebencian andai hal itu dilakukan, melainkan justru merupakan sikap cinta dan perhatian.
Kalau kita menyepakati WS. Rendra yang menyatakan bahwa penyair itu harus mengetahui segalanya, maka menjadi penyair adalah tugas yang berat. Meskipun peran dan posisi penyair saat ini sudah jauh berbeda dengan keberadaan penyair pada zaman lalu, terutama pada zaman ketika tidak ada media, di mana penyair masih didewakan dan jadi panutan. Kini, kehebatan pengaruh dan kefigurannya telah dikalahkan oleh wartawan dan juruberita. Akan tetapi, dengan demikian, menjadi penyair justru menjadi semakin eksklusif, semakin berat. Penyair dituntut untuk terus mengembangkan percobaannya dalam menggunakan bahasa, perspektif, dan terutama metafora yang menurut Monroe Breadsley merupakan ruh atau mahia puisi. Penyair yang melulu menggunakan citraan dan metafora yang sudah basi, ia akan mati tertimbun oleh kata-katanya sendiri.
Para penyair muda Madura ada yang telah berupaya melakukan pecobaan untuk meraih temuan baru (invention), seperti yang dilakukan oleh Faidi Rizal (kebetulan tidak masuk dalam buku ini) dengan membuat untaian setara, puisi bersajak a-a, b-b. Seperti Faidi, Sofyan RH Zaid dan Farid Kacong juga membuat puisi dengan persajakan ketat, pengutamaan pada rima. Sekecil ini pun usahanya, ia adalah percobaan. Namun apakah tindakan “sekadar seperti ini” sudah cukup untuk disebut invention, maka itulah ia yang harus kita bicarakan lebih jauh lagi.
Hal lain yang ditempuh oleh banyak penyair adalah memasukkan lema baru dari Bahasa Madura yang sebagiannuya bahkan belum dinaturalisasi. Ini tidak masalah jika hal itu memang niscaya atau diperlukan. Lema baru seperti ini, karena dianggap istimewa dan belum masuk keluarga besar Bahasa Indonesia, aturannya dicetak miring. Di sini, saya menemukan kawan-kawan penyair muda begitu bebasnya memperlakukannya. Dimaklumi jika tindakan tersebut demi alasan persajakan, misalnya, tetapi disayangkan jika ia digunakan hanya karena tidak tahu padanan, seperti menulis “maronggi” bukan karena alasan sajak, hanya karena tidak tahu bahwa ia setara dengan “kelor” atau “merunggai”. Menggunakan “kaleles” jelas dimaklumi karena ia adalah salah satu perangkat dalam karapan sapi yang notabene identik dengan masyarakat tertentu, di antaranya, di Madura dan tidak lazim di tempat lain. Hal  ini bebeda dengan penggunaan kata “palowan” untuk menyebut bidang tanah yang ditinggikan di tegalan (untuk ditanami/penyemaian), padahal yang demikian itu sudah pasti biasa ditemukan dan diketahui oleh masyarakat agraris Nusantara secara umum. Di dalam KBBI, padanannya adalah “terumbuk”. Maka oleh sebab itu, perlu diperhatikan agar dalam menggunakan kata daerah (asing) kita harus memiliki alasan tertentu selain hanya dalih suka-suka saja, apalagi hanya karena kita malas mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
Penjelajahan dan percobaan masih harus terus diupayakan oleh penyair muda Madura agar tidak terus dibayang-bayangi oleh para pendahulunya. Permainan enjambemen ataupun tipografi, diksi dan citraan khusus, dan juga penyusupan kata/frasa daerah adalah sebagian wilayah yang sudah dijamah. Apa yang dilakukan Raedu Basha, misalnya, dengan mengangkat khazanah jagat perkiaian dan kekeramatan, atau Ali Fakih yang mencakup spasial dan filosofi, adalah satu upaya dalam gagasan dan tema. Ada yang lain yang mencoba melakukan elaborasi dalam ranah bentuk-bentuk, seperti yang saya temukan pada Anwar Noeris (rata tengah), Sofyan dan Farid (rata tengah dengan tanda nomor), Saifa Abdillah (dua baris per bait), Rosi Praditya (satu bait, satu paragraf) atau Joko Sucipto dan Sengat Ibrahim (multiparagraf rata samping), ataupun Hayyul Mubarok dan Ali Fakih yang menggunakan enjambemen dan tipografi. Semua itu adalah upaya untuk menemukan cara baru meskipun seberapa jauh upaya dan hasil temuan itulah yang tetap harus diperdebatkan dan diuji. Kita harus berhati-hati pada permainan (bentuk) yang tanpa landasan pemikiran atau gagasan berarti karena akan kurang menggigit, kurang greget, bahkan bisa terjerumus pada kesalahkaprahan jika tanpa disadari (contoh: seperti penggunaan hyphen-minus di awal kalimat). Saya kira, yang demikian ini bukan lagi ciri khas, tidak termasuk eksplorasi, melainkan eksperimen yang nir-arti.
* * *
Itulah beberapa butir catatan saya yang tampak galau. Meskipun begitu, saya berharap, ia akan lebih dibutuhkan bagi kawan-kawan penyair muda (Madura) daripada saya menyanjung-nyanjung penyair dan puisi tanpa alasan. Semua ini saya tulis sembari tidak menutup mata bahwa saya juga melakukan kesalahan-kesalahan sejenis, dulu, atau pula sikap latah yang sama, tanpa invensi, serta kekerdilan lainnya. Apa yang saya sampaikan hanyalah sebuah keinginan agar kita berpikir lagi, membuat pertanyaan untuk diri sendiri: untuk apa puisi itu ditulis dan seberapa penting ia dibandingkan dengan bahasa sehari-hari di dalam hidup ini jika dengan bahasa awam kita sudah bisa menjelaskan segala sesuatu kepada masyarakat?
Saya juga tidak menutup mata dengan mengatakan bahwa secara pukul rata, semua puisi yang saya baca hanyalah menjadi gambaran sebagaimana kegundahan di atas, tidak. Saya menemukan beberapa puisi—dan sayangnya bukan beberapa penyair karena kecenderungannya memang muncul pada judul per judul, bukan orang per orang—yang dalam rasa bahasanya saja sudah memiliki keasyikannya tersendiri. Tentu, rasa saya ini belum lagi menyentuh pada tingkat gagasan dan gaya. Karena jika telah melampaui itu semua, maka jelas puisi tersebut adalah puisi yang berhasil, tidak latah, tidak seperti kebanyakan, berada di luar pusaran.
Meskipun kebanyakan masih berasyik-masyuk dengan lirisme, tidak terlalu menjadi persoalan jika sebagiannya sudah ada yang mewakili keunikannya, misalnya puisi yang menyorot tema ketimpangan sosial dalam perspektif berbeda. Dengan begitu, semakin semaraklah khazanah perpuisian Madura, di kalangan muda khususnya. Adapun puisi yang menyedot perhatian saya tentulah puisi yang dalam sekali pembacaan telah menyimpan magnet berbeda dengan ketika dibaca untuk yang kedua, apalagi yang ketiga dan seterusnya. Pada saat membaca puisi Fakih, Badrul, Ridho—ini hanya contoh sehingga yang lain tidak perlu cemburu—seakan membuat saya minder sembari merasakan betapa tidak berdayanya saya ini andai harus membuat karya seperti mereka di kala saya masih muda.
Satu hal yang harus digarisbawahi dalam proses ini: diktum “untuk apa menulis puisi jika maksudnya masih harus ditanyakan kembali kepada penyairnya” sedikit banyak juga kurang tepat untuk disetujui karena diktum tersebut memungkinkan seorang penyair lepas tanggung jawab terhadap teks yang telah diproduksinya. Lantas? Ketika seorang penyair mencoba berjudi dengan kata-kata yang tidak dikehendakinya, waton, asal, dan kebetulan saja itu seolah menarik, selamatlah ia dari kesembarangannya. Inilah resiko dari diktum tersebut. Kita harus curiga pada diktum itu ketika ia diucapkan oleh seseorang. Boleh jadi ia berdiri sebagai asas puisi, bahwa puisi memang demikian adanya; ditulis karena dianggap menjadi cara yang tidak mungkin ditempuh oleh bahasa biasa, namun bukan mustahil bisa pula ia diproyeksikan menjadi tameng kengawuran.
Setelah usai membaca puisi-puisi ini, saya bahagia. Suka cita tentu lebih bergairah pada saat saya membaca karya-karya mereka yang mengusik pikiran, menuntut saya beringsut ke pinggir, bahkan seolah hendak mengajak berhenti menulis, lalu lengser dan meletakkan mahkota kepenyairan, lantas mempersilakan mereka saja yang duduk di atas singgasana. Saya bahagia, saya bangga. Di usia belia, mereka telah melakukan apa yang bahkan tak mampu saya lakukan di usia empat puluhan, usia yang konon dianggap matang bagi seorang manusia.
Akan tetapi, karena kepenyairan merupakan proses, maka sebelum saya melangkah mundur, saya tetap harus mengajukan tantangan: sanggupkah mereka bertahan untuk terus berkarya hingga ajal menutup mata? Sedikitnya, saya yang terpaut jauh dengan mereka dalam usia, telah memenangkan tantangan ini meskipun tantangan itu tidak selesai di sini, di hari ini, namun hingga nanti, hingga entah, pada catatan-catatan dan komentar orang setelah karya kita hidup dan berjalan sendiri karena kita—yang selama ini mengasuh dan membimbingnya—telah mati.
Wallahu a’lam.




[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi buku Ketam Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura, diterbitkan oleh Lembaga Seni & Sastra Reboeng, dilaksanakan di Pendopo Keraton Sumenep, Sabtu, 20 Februari 2016