15 Oktober 2018

Tanah Bukit Pecatu (GM Sukawidana)




Jika tanah ini merupakan tanah buangan
untuk para punakawan
mengapa para punggawa mesti merebutnya kembali
dan menjadikannya lahan sengketa?

Di sini
anak cucu pribumi
telah mengakar sampai ke akar karang
dan tubuhnya pohon jati peneduh
bagi kehidupan abadi

Di sini tak mesti ada yang tercerabut
dari akar kehidupannya
hanya sekedar untuk dapat makan enak
dari kerapuhan hak waris para jelata


***
        
Tema tanah banyak dibicarakan oleh GM Sukawidana di dalam buku puisinya, “Upacara-Upacara”. Perbincangan adat-istiadat, tradisi, dan ritual, pasti tidak bisa lepas dari persoalan tanah. Keberlangsungan hidup kebudayaan pun harus diwariskan di atas tanah yang berdaulat, bukan? Bagaimana mungkin jika mereka akan menyelenggarakan upacara dan ritual lainnya jika ternyata tidak lagi bisa dilakukan di atas tanah sendiri? 

Di semua tradisi, persoalan tanah adalah persoalan asasi dan pelik, lebih-lebih di Bali. Terkait Pecatu, ia merupakan desa adat yang wilayahnya terbilang luas, terletak di Kecamatan Kuta Selatan. Konon, yang mendapat hak menggarap tanah di bebukitan itu adalah masyarakat Wetbet Bali Mulia yang ditempatkan secara khusus di bukit. Karena merupakan tanah pemberian dari raja, tanah tersebut pun dinamai “pecatu”. Orang-orang yang menggarapnya disebut “wong pecatu”. Demikian asal-usul nama Desa Pecatu.

#tafsirpuisimanasuka

“Tanah Bukit Pecatu”

Jika tanah ini merupakan tanah buangan (yang tidak dipedulikan, mungkin karena dianggap terkutuk di dalam mitos setempat atau memang tidak subur secara material)
untuk para punakawan (sebutan untuk para pengikut ksatria dalam khasanah kesusastraan Indonesia, terutama di Jawa)
mengapa para punggawa (gelar untuk seorang pejabat lokal; awalnya diterapkan di lingkungan Kerajaan Buleleng, Bali. Karena ada istilah punakawan di larik sebelumnya, maka kemungkinan besar, punggawa di sini dipahami sebagai pejabat pengadilan sebagaimana dikenal dalam dalam jagat pewayangan
mesti merebutnya kembali (padahal mestinya tidak, mestinya menengahi)
dan menjadikannya lahan sengketa? (justru menjadi pamuncak ironi)

Di sini (di tanah yang dipersengketakan itu, status atau keberadaan)
anak cucu pribumi (yakni penduduk setempat)
telah mengakar sampai ke akar karang (bagian ini menjelaskan bagaimana kuatnya orang Bali dalam memegang tradisi tampak jelas pada larik ini, terutama dalam mengurus tanah dan warisan yang berhubungan dengan tanah, tak terkecuali dengan yang sedang dipermasalahkan ini: bukit pecatu)
dan tubuhnya pohon jati peneduh
bagi kehidupan abadi (perlambang sebagai tamsil bahwa yang dilakukan di dalam hidup itu adalah langkah berkelanjutan untuk kehidupan abadi, kehidupan selanjutnya)


Di sini tak mesti ada yang tercerabut
dari akar kehidupannya (ini merupakan keluh penyair sekaligus harapannya, bahwa orang Bali harus tetap teguh pendirian dalam memegang tradisi, terutama menjaga dan merawat tanah sebagai hal yang sangat prinsip dalam kehidupan mereka karena hanya di atas kepemilikan tanah itu tradisi dapat diwariskan dan diturunkan dan berlangsung. Jangan sampai ia dapat ditukar dengan hal yang sangat sepele dan berlaku sementara, seperti bertujuan)
hanya sekedar untuk dapat makan enak
dari kerapuhan hak waris para jelata (yang dimaksud kerapuhan hak waris ini barangkali karena berhubungan dengan soal pecatu, seperti tanah perdikan atau pecaton, beda dengan hak waris anak dari ayah. Sebab itu, penyair mengajak kita berpikir, betapa tidak elok jika mereka yang sudah lemah itu masih semakin dilemahkan hanya demi mencapai suatu kenikmatan berahi dan jasmani semata, bukan karena hak dan kebenaran)

Wallahu a’lam

M Faizi, 10/10/2018