28 Juli 2018

Komposisi Beethoven: Moonlight Sonata (Weni Suryandari)



Sebagian cerita maha duka dari lirih tempo alunan piano,
adalah komposisi purna menyayat perasaan kehilangan
keindahan musim semi di Vienna, bunga melayu di mataku.

Malam ini bulan tidak bulat purnama bersama sonata
bergulir bagai drama dalam partitur Una Fantasia
dengan tempo adagio, mengelus-elus pendengaran.

Imajinasiku melambung jauh ke pintu peradaban
klasik dalam concerto berirama haru, lalu melambat
seperti bunga-bunga kematian, aku disergap kesedihan.

Jarak di antara dua belas pinus di tepi danau Lucerne,
di hutan empat musim dalam melodi rumit, membawa
kaki berlari dari kejaran hari-hari tanpa jeda. Bukankah
hidup adalah detak detik bergerak, wujud setiap rencana?

Tapi segalanya memang harus berakhir ketika layar
ditutup. Aku tersadar dari sihir partitur klasik pemuja
seni yang mengembara di udara beraroma rindu.
Sebuah kisah terbakar api, tapi puisi-puisiku tetap abadi.

2017-2018

M Faizi, macak nulis di Jembatan Beethoven, Leipzig
Kamis, 26 Juli 2018, sebuah tautan puisi melintas di kabar berita Facebook: sejumlah puisi karya Weni Suryandari yang dimuat di basabasi. Karena kebetulan senggang, saya lantas menulis tafsirnya. Tentu saja, yang saya lakukan ini terburu-buru karena esai tafsir mana suka yang saya tulis ini juga saya lampirkan dalam komentar di tautan tersebut (esai di dalam komentar relatif berbeda dengan esai ini). Berikut hasilnya.

“Komposisi Beethoven: Moonlight Sonata”

(Puisi Weni Suryandari kali ini bertema musik klasik. Definisi Klasik—apabila ia mengacu kepada masa tertentu—dapat diperdebatkan, tapi ketika ia mengacu kepada sonata, lebih-lebih pada karya Moonlight Sonata-nya Beethoven, selesai sudah masalah. Orang boleh berbeda pendapat soal masa itu, periode itu, tetapi mereka akan sepakat bahwa “Moonlight Sonata” [‘moonlight’ bermakna cahaya bulan; ‘sonata’ bermakna komposisi musikal-instrumentalia) adalah satu karya maestro dan virtuoso, Ludwig van Beethoven, seorang komponis Jerman-Austria yang sangat masyhur, atau malah yang paling masyhur. Weni, penyair kita kali ini, berandai-andai bahwa Moonlight Sonata merupakan) Sebagian cerita maha duka dari lirih tempo alunan piano, (bagi penyair, komposisi ini)
adalah komposisi purna menyayat perasaan kehilangan (akan)
keindahan musim semi di Vienna (ibu kota Austria, lidah kita menyebutnya Wina, bukan Weni, apalagi Wine), bunga melayu di mataku (penjelasan dari kalimat sebelumnya; perlambang kesedihan yang mendalam).

Malam ini (yakni pada malam ketika puisi ditulis atau pada saat si penyair mendengarkan komposisi Moonlight Sonata yang membuat dia terinspirasi untuk menulis puisi ini, kondisi) bulan tidak bulat purnama (maksudnya, tidak benar-benar purnama, mungkin perbani, yaitu proses menjelang purnama) bersama sonata (yang menjadi latarnya)
bergulir bagai drama dalam partitur Una Fantasia (Apa partitur Una Fantasia? Adakah varian dalam notasi? Saya kurang tahu. Yang saya pahami, bahwa penyair menangkap situasi dramatis di situ sehingga ia mengumpamakannya dalam frase “bagai drama”. Maksudnya, perpindahan notasi di dalam partitur itulah disebutnya drama, bisa terkait tempo atau birama)
dengan tempo adagio (terkait dengan birama dan jeda; istilah untuk tempo yang lambat, bukan nama koran atau majalah. Biasanya, yang begini ini mengesankan kemurungan atau meditatif, sehingga wajar apabila si penyair merasakan komposisi itu dapat), mengelus-elus pendengaran.

Rupanya, penyair Weni begitu serius mendengarkan komposisi ini. Ia semata-mata mendengarkan, tidak mendengarkan sambil lalu, seperti mendengarkan sekaligus sambil bersih-bersih kamar atau memasak. Pantas saja, komposisi tersebut—menurut pengakuannya—membuat) Imajinasiku melambung jauh ke pintu peradaban
klasik (“peradaban klasik” yang dimaksudkan penyair boleh jadi Abad Pencerahan, tetapi jika menilik redaksi puisi, yang dimaksudkannya agaknya adalah masa-masa abad 16 hingga abad 17-an, yakni masa di mana komposer-komposer musik klasik lahir dan berjaya) dalam concerto berirama haru, lalu melambat (soal ketukan; tempo, yang membuat suasana batin pendengarnya pun berubah. Penyair menangkap kesan kesedihan yang mendalam)
seperti bunga-bunga kematian, (sehingga) aku disergap kesedihan.

Jarak di antara dua belas pinus di tepi danau Lucerne (nama danau indah di Swiss),
di hutan empat musim (maksudnya bukan hutan tropis) dalam melodi rumit (seperti di dalam komposisi, mengesankan sebuah upaya yang rumit di antara nuansa tenang yang tercipta dari sonata. Komposisi itu tak ubahnya kekuatan yang), membawa
kaki berlari dari kejaran hari-hari tanpa jeda (Sebentar, mengapa penyair, kok, tiba-tiba berfantasi terhadap barisan pohon pinus di danau Lucerne? Kemungkinan yang pertama, Moonlight Sonata berasosiasi dengan tempat itu; kemungkinan kedua, penyair bernostalgia dengan tempat tersebut ketika puisi ini ditulis; kemungkinan yang ketiga, penyair sedang membandingkan komposisi klasik ini dengan tempat yang tenang dan sama indahnya dengan citraan yang berbeda indera, semacam sinestesia. Setelah menggambarkan suasana yang berbeda ini, penyair lantas mengajukan pertanyaan retoris:). Bukankah
hidup adalah detak detik bergerak, wujud setiap rencana?

Namun, segala yang ia rasakan, baik itu kesedihan atau kebahagiaan, akan mengalami masanya sendiri. Yang pernah bermula akan pula berakhir. Katanya:)
Tapi segalanya memang harus berakhir ketika layar
ditutup (dan ungkapan ini agaknya merupakan gambaran bagian akhir komposisi Moonlight Sonata, menjelang selesai). Aku tersadar dari sihir partitur klasik pemuja
seni yang mengembara di udara beraroma rindu (bagian ini menunjukkan bahwa si penyair—yang dalam hal ini merupakan pendengar sekaligus penikmat karya-karya musik klasik—sempat terhanyut oleh alunan musik, laksana seorang ‘astral traveler’, melintasi abad demi abad tetapi tetap dalam keadaan tidak berpindah tempat duduk. Demikian pula, komposisi tersebut dapat membawanya melambung jauh ke masa/periode Klasik tetapi tetap dalam keadaan terpekur di depan laptop. Baginya, keadaan ini bagaikan)
Sebuah kisah terbakar api (dan karenanya menjadi musnah. Lalu, apa yang tersisa? Meskipun yang lain akan musnah), tapi puisi-puisiku tetap abadi.

2017-2018

@ M Faizi 

14 Juli 2018

Percakapan di Meja Makan




TANGAN: “Hai, Mulut, bukalah! Bubur ini akan kudulang."

MULUT: “Mengapa engkau kaku saat menyuap?”

TANGAN: “Hanya ini belas tersisa
sebab yang lain telah engkau bagikan
untuk mereka yang mencintaimu di saat lantang,
tapi menghilang kala engkau terbungkam.”

MULUT: “Sungguh, hasratku masih membuncah.
Aku ingin sembuh, berdoa, dan menyembah.”

TANGAN: “Ingatkah saat engkau
menyuruhku menyuap si rakus:
mereka yang tak lapar tapi makan terus-menerus?
Ingatlah saat engkau mampu bicara petah:
memuji penganggur yang selalu minta upah!”

MULUT: “Sekarang aku bertobat.”

TANGAN: “Aku tak mampu membeli obat.”

MULUT: "Sekarang aku pasrah..."

TANGAN: "Tangkup doaku tak juga diijabah."

MULUT: "Hai, Tangan, suapi aku dengan cinta!"

TANGAN: "Sungguh, hanya inilah yang tersisa."

***

Di balik bilik yang senyap
mulut dan tangan saling-bersilang
Mulut bercakap lewat isyarat.
Tangan bekerja melalui syaraf.

Cahaya matahari masih hangat,
orang-orang masih menyambang.
Kesepian bukanlah kesunyian
melainkan raibnya cinta
seiring hilangnya daya pada raga

MULUT: "Lalu, apakah makna hidup sebenarnya?"

TANGAN: "Kita adalah sepasang kekasih
yang tinggal di satu tubuh
denyut jantung penanda hidup bersama
tapi tak ada lagi cinta di antara kita."

23/01/2018 © M. Faizi    


11 Juli 2018

Hanoman di Prambanan (Martin Jankowski)


Hanoman di Prambanan (Martin Jankowski)


saat Hanoman sang raja kera
diam-diam menyerahkan cincin Rama
Sinta tahu dia akan selamat
dan Rahwana akan kalah

sementara ketujuh anak Hanoman duduk
di depan teve di rumah dan menonton
film kartun jepang sedang istri Rahwana
memasak nasi dengan ikan asin dan suami Sinta
menyopir kijang usangnya sebagai taksi liar di Yogya

di Prambanan busur-busur emas berkilauan
cinta akhirnya menang dan para penari
membungkuk dengan anggun di hadapan tamu-tamu
untuk foto digital yang penghabisan

membungkuk di hadapan tamu dari belanda
dari jepang prancis dan jerman sebab
orang indonesia hanya menginjak tempat pertunjukan
mewah di depan candi suci Prambanan
itu sebagai penari atau pelayan

yang lain terlalu mahal


***



Martin Jankowski adalah penyair dari Jerman yang lebih dulu masyhur sebagai penulis lagu dan penyanyi folk. Ia sering melawat ke Indonesia. Martin menulis sebuah novel Rabet, sebuah novel yang mengungkap ‘sejarah yang tak terkuak’ dari gerakan oposisi dalam memperjuangkan demokratisasi. Latar novel tersebut adalah peristiwa reunifikasi Jerman dengan penandaan runtuhnya Tembok Berlin.

Dalam buku “indonesisches sekundenbuch”, ia merekam jejak-jejak budaya perjalanan ke beberapa kota di Indonesia. Salah satunya berjudul “Hanoman in Prambanan”. Buku tersebut diterjemahkan oleh Katrin Bandel dan diberi judul “Detik-detik Indonesia”.

“Hanoman di Prambanan”

Judul di atas merupakan gambaran singkat sendratari Ramayana yang dilangsungkan di pelataran candi Prambanan. Pertunjukan ini bersifat kolosal dan banyak menyedot wisatawan, terutama pelancong dari mancanegara. Tentu saja, pertunjukan yang ditonton oleh si penyair ini bukanlah sekadar pertunjukan tentang Hanoman, melainkan drama penculikan Sinta, sebuah pertunjukan yang salah satu adegannya yang paling terkenal adalah keterlibatan Hanoman.

saat Hanoman sang raja kera (yang di dalam epos Ramayana memang disebut sebagai wanara [kera], ditugaskan oleh Sri Rama untuk menjemput Sinta di Alengka, lalu secara)
diam-diam menyerahkan cincin Rama (sebagai “sandi khusus”, pada saat itu pula)
Sinta tahu dia akan selamat
dan Rahwana akan kalah (Kenyataan ceritanya memang demikian).

Yang digambarkan oleh penyair pada bait pertama ini adalah pengantar untuk masuk ke dalam ruang tafsirnya yang baru dalam memandang Ramayana sebagai wiracarita, juga sebagai pertunjukan, juga sebagai fenomena sosial-budaya. Martin tidak perlu berpanjang lebar dalam menggambarkan agedan “Hamoman obong” ini karena yang sebetulnya ingin dia sampaikan adalah hal lain, yakni konteks masyarakat Jawa-Indonesia yang menyambutnya serta latar sosial dan budaya yang meligkupinya.

sementara ketujuh anak Hanoman duduk
di depan teve di rumah (Nah, pada bait kedua inilah sudut pandangnya mulai diubah. Jika Hanoman pada paragraf pertama adalah tokoh cerita di atas panggung, pada bagian ini, yang dimaksud Hanoman adalah “orang yang berperan sebagai Hanoman di atas panggung”. Makanya, penyair menggambarkan identitas Hanoman melalui “tujuh orang anaknya”, bukan “dua orang anaknya” sebagaimana diketahui dalam pewayangan (Trigangga dan Purwaganti). Tetapi, mengapa di sini ada tujuh? Jumlah itu mungkin untuk menggambarkan situasi ekonomi yang sulit jika ditakar bagi seorang seniman panggung sebagai tulang punggung, tapi memang boleh jadi demikian adanya. Dilukiskan, mereka yang tujuh itu tampak sedang) [dan] menonton
film kartun jepang (gambaran tontonan berdasarkan selera kebanyakan ketika puisi ini ditulis) sedang(kan) istri Rahwana (nah, dalam wiracarita Ramayana, istri Rahwana tidak menempati posisi sentral cerita karena Rahwana sendiri masyhur sebagai penakluk wanita, mempunya banyak istri. Sebab itu, yang dimaksud istri Rahwana pada bagian ini sama seperti pada contoh sebelumnya, yakni “istri daripada pemeran Rahwana”. Rupanya, si istri tersebut juga miksin, tergambar dalam frase).

memasak nasi dengan ikan asin (yang notabene merupakan gambaran kehidupan masyarakat kelas bawah. Penyair juga tidak lupa menggambarkan kehidupan pemeran yang lain, yakni Rama, yang terlukis dengan ungkapan “suami Sinta”, dan penyair tidak menggunakan istilah “Sri Rama”) dan suami Sinta

menyopir kijang usangnya sebagai taksi liar di Yogya (bagian ini juga menggambarkan hal yang sama dengan potret kehidupan keluarga para seniman pemain pementasan Ramayana di Prambanan itu. Yang ini, kebetulan, secara harian bekerja sebagai sopir taksi liar dengan mobil Toyota Kijang sebagai lambang keusangan)

di Prambanan busur-busur emas berkilauan (pada bagian ini si penyair membuat gambaran pertentangan: Jika di dalam kehidupan nyata para seniman panggung itu hidup dalam situasi kesederhanaan, tetap di panggung, mereka tampil dalam keserbamewahan yang dilambangkan dengan “busur emas berkilauan”. Salah satunya adalah karena pertunjukan tersebut adalah pertunjukan kolosal di pelataran candi suci Prambanan. Adapun bagian perebutan Hanoman yang ditugas Rama untuk menejmput Sinta diamsalkan pertarungan antara cinta dan kesumat, di mana)

cinta akhirnya menang (sampai pada baris inilah akhir daripada pertunjukan itu. Kalau diibaratkan, bagian di atas merupkan latar dan pada bagian berikutnya, setelah ini, merupakan kritik penyair dalam menyikapi fenomena sosial secara umum. Penyair Martin menggambarkan) dan para penari
membungkuk dengan anggun di hadapan tamu-tamu
untuk foto digital yang penghabisan (sebagai bagian daripada rentetan acara ‘seremonial’ yang biasa terjadi dan ditemukan di setiap pertunjukan. Biasanya, setelah menyelesaikan pertunjukan, para penampil akan berdiri berjajar di atas panggung, menjura dan membungkuk bersama-sama sebagai salah satu bentuk penghormatan. Di saat yang sama, juru foto dan penonton secara bersamaan akan mengabadikan momen tersebut lewat kamera. Penghormatan yang diejawantahkan dengan cara “membungkuk” sebagai bagian dari tradisi Timur yang juga ditemukan di negara lain di Asia, terutama Jepang dan Cina, menjadi perhatian penting bagi si penyair karena hal itu barangkali tidak mudah ditemukan di negaranya, di Eropa. Sebab itulah, penyair merasa perlu menggunakan repetisi untuk bagian ini, bahkan mengulangnya dalam bait terpisah).

(Para seniman dan awak panggung itu) membungkuk di hadapan tamu dari belanda
dari jepang prancis dan jerman (bagian ini [penyebutan nama-nama negera] sekadar merupakan ilustrasi keterwakilan saja, bahwa pertunjukan yang dilaksanakan di pelataran candi suci Prambanan itu adalah pertunjukan besar dan hebat dan/atau kolosal yang digambarkan si penyair dalam ilustrasi kehadiran para penonton yang datang dari berbagai negara. Hal ini menjadi butir penting) sebab (kata si penyair)
orang indonesia hanya menginjak tempat pertunjukan
mewah di depan candi suci Prambanan
itu sebagai penari atau pelayan (jika bukan penari atau pelayan, penyair melihat pertunjukan itu hanya dihadiri dan ditonton oleh orang-orang asing, orang bule, bukan penduduk dan warga. Tentu saja, orang Indonesia pada umumnya, orang Jogja dan Jawa pada khususnya, juga menonton sendratari di tempat yang lain, di ruang yang lebih kecil. Adapun pertunjukan di Prambanan hanya ditonton oleh mereka yang rela merogoh koceknya lebih dalam. Inilah titik tekan ironi sebagaimana tergambar pada bagaian akhir puisi yang hanya terdiri dari satu baris satu bait saja, satu bagian frase yang sebetulnya secara tata bahasa dapat menjadi serangkai dengan paragraf sebelumnya. Penyair Martin menyendirikan frase di dalam bait tersendiri itu dengan maksud memberikan penekanan melalui tipografi. Dia merasa penting untuk menyampaikan adanya kesenjangan sosial, di mana sebuah pertunjukan kolosal ditonton oleh para bule yang menganggapnya sebagai kebutahan sekunder dan sebagian lain menganggapnya sebagai kebutuhan mewah karena tiket pertunjukan masih tidak terjangkau.

Menurut Martin, “orang kita”, berperan di luar sebagai pelayan atau pemain—misalnya dengan menjadi penonton—di sebuah pertunjukan kolosal di pelataran candi Prambanan itu adalah sesuatu yang mewah dan mahal. Maka dari itu ia menulis: “yang lain terlalu mahal”.

Wallahu a’lam

11/07/2018 © M. Faizi