13 November 2019

Perintah Literat



Menafsirkan puisi secara suka-suka (atau yang saya sebut dengan tafsir puisi manasuka) adalah kegiatan selingan saya. Tujuan kerja ini adalah upaya menjelaskan sebuah puisi (yang ditafsir) kepada pembaca melalui sudut pandang saya. Dengan kata lain, saya ikut menyumbang “cara membaca” suatu teks dengan cara sendiri supaya muncul ada kemungkinan pandangan yang berbeda. Kata “manasuka” yang saya pasangkan dengan “tafsir puisi” adalah teknik berlindung dari serangan “ngawur secara teoretik”.

Termasuk bagian suka-suka adalah dalam hal memilih puisi. Artinya, suka-suka saya saja dalam memilih: memilih puisi dia dan bukan puisi kamu, memilih punya Pak Ahda dan bukan punya Pak Hadi, dst. Kita tahu, banyak orang menganggap puisi sebagai sesuatu yang sangat rahasia dan sulit dimengerti. Dan yang paling membuat saya senang adalah ketika ada komentar dari pembaca yang—sebab yang saya lakukan ini—merasa telah dibukakan hijabnya dari melihat keindahan sebuah puisi.

Kali ini, saya akan menulis tafsir suka-suka untuk puisi Ahda Imran. Puisi ini saya dapatkan dari seseorang lewat kotak pesan. Puisi ini berjudul “Perintah”. Inilah puisi dimaksud.

PERINTAH

Tulislah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakanmu
dari

Bagaimana menulisnya
sedang tak ada manusia dalam kata
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?

Bacalalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata
dari sederas darah

Berapa abad kata mesti
mencari manusia sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?

Minumlah!

***

Puisi karya Ahda Imran ini, konon, dimuat di koran dan Facebook sekaligus. Saya tidak membaca teks di koran karena memang tidak berlanggganan dan tidak tahu saat dimuat di Facebook beliau karena kami tidak terhubung dalam jaring pertemanan.

Tulislah atas nama Tuhanmu (kalimat ini merupakan resepsi penyair Ahda terhadap teks yang lebih besar, yaitu ayat pembuka Surah Al-Qalam yang secara harfiah bermakna "pena". Teks asli berbunyi “Bacalah atas nama Tuhanmu [yang telah menciptakan]”. Tindakan ini disebut 'iqtibas' [kutipan] di dalam puisi Ahda, sedangkan rujukannya, yaitu teks Al-Quran, sebagai "ekserp"-nya. Namun, penyair Ahda telah memodifikasinya dengan mensubstitusi "bacalah!" ke "tulislah!". Surah Al-Qalam memang berarti "pena", tapi perintah dalam ayat pertama adalah perintah membaca, yakni "bacalah!".
Iqtibas populer dalam tradisi sastra Arab, dan mungkin juga dalam khazanah sastra Inggris yang memiliki sejarah panjang dan tua. Belakangan, dapat juga kita temukan dalam sastra Indonesia [seperti puisi Nanang Suryadi yang berjudul “Kepada Sapardi”]. Iqtibas berbeda dengan plesetan karena plesetan mengandung "parodi" dan "perlawanan atas kemapanan" [terkait plesetan dan anti-kemapanan ini, Faruk HT pernah menulisnya di Harian Bernas, tahun 1994 kalau ndak salah], sedangkan operasi iqtibas tidak demikian, hanya sekadar mengutip adagium atau ayat atau maksim atau pepatah dan menggunakannya sebagai bagian dari karya si pengutip tanpa perlu menyebutkan sumber sebagaimana terjadi pada puisi esai)
yang telah menciptakanmu (tidak perlu tafsir, sudah jelas)
dari
(Bagian di atas ini memang tertulis demikian, “yang telah menciptakanmu / dari”, tanpa ada kelanjutan. Apakah ini disengaja? Kayaknya ini, karena demikian yang tertulis di Facebook maupun yang terpampang dalam versi cetaknya. Namun, jika ia dibuat rumpang, mestinya ‘kan diberi titik tiga […] atau beberapa ketukan, tapi yang ini tidak? Yang jelas, jika menilik kalimat lanjutan pada bait kedua, tindakan tersebut disengaja karena ada pernyataan keraguan sesudah kalimat di atas, pada bait berikutnya, yaitu kalimat pada bait berikutnya, yakni...)

Bagaimana menulisnya (maksudnya, menulis kata yang mestinya ada di dalam kalimat rumpang alias titik-titik tersebut, alias menulis “nama ciptaan” yang pada akhir bait pertama di atas itu tidak diterakan).
sedang (sedangkan) tak ada manusia dalam kata (yang tak jadi dituliskan itu. Tak ada apa pun di sana)
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?
(Apa pula ini? Setahu saya, referensi ular ketika ia disandingkan dengan manusia selalu mengacu peristiwa Nabi Adam di Surga. Biasanya, ia mengacu pada kisah iblis yang menyamar dan masuk ke mulut ular untuk kembali menggoda Nabi Adam. Kejadian ini menjadi “tipa induk”—dalam istilah Abdul Rahman Napiah—bagi semua karya yang ditulis oleh manusia mengingat peristiwa di atas adalah peristiwa yang dialami oleh manusia pertama, dan demikian pula ia adalah “tipa induk” bagi puisi Ahda Imran ini, maupun puisi “Di Kebun Binatang”-nya Sapardi Djoko Damono atau karya lain dengan tema yang sama. Peristiwa ulat dan manusia di Surga adalah sejenis “super-ordinat” dalam silsilah hiponim dan hipernim kata atau sebagai “indeks utama”).

Bacalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata (Inilah iqtibas itu: mengutip redaksi yang sama dengan ayat pertama Surah Al-Alaq, tapi memodifikasi “insan” dengan “kata” dan dengan tetap memosisikannya sebagai cikal-bakal penciptaan, yaitu kata-istilah yang disebut “'alaq” alias “segumpal darah”. 
dari sederas darah (Penyair juga mengubah segumpal darah ‘alaq dengan “sederas darah”. Mengapa demikian? Boleh jadi, si penyair  ingin menerapkan gaya hiperbola, bahwa begitulah proses yang terjadi pada semua manusia: gumpalan-gumpalan darah yang banyak sekali).

Berapa abad kata mesti
mencari manusia (“abad” di dalam kalimat ini memiliki arti "masa yang lama", bukan sekadar 100 tahun, lebih-lebih karena frasa "berapa abad" tersebut ditujukan kepada sesuatu yang secara hakiki sebetulnya tidak pernah sirna, yaitu ras manusia) sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?

(Di dalam puisi “Di Kebun Binatang”, Sapardi Djoko Damono menggambarkan seorang lelaki yang sedang berwisata ke kebun binatang bersama istrinya. Di sana, sang istri lalu melihat ular dan tergoda, merasa tertarik dan merasa senang, sambil membayangkan andaikan kulit ular yang 'gemerlap' karena sisiknya itu dibuat tas dan sepatu [yang kita tahu ia menjadi lambang aksesori wanita yang mahal]. Namun, si suami lalu mengajak istrinya pergi dari tempat [yang dianggapnya terkutuk] itu karena ia ingat sesuatu, ingat peristiwa yang tak lain merupakan pemahaman yang menyatakan bahwa Nabi Adam telah digoda dan akhirnya tergoda ular di Surga sehingga tinggal di dunia yang fana).

Minumlah!

(Lah, kok minum? Wah, saya tidak paham. Saya kira ujungnya bacalah, tapi kok minumlah? Untuk yang ini, saya mundur pelan-pelan saja. Mari, bantu saya membereskannya).