Saya tidak bisa membayangkan andaikan teks
puisi—yang cenderung metaforis—itu harus ‘dibaca’ apa adanya,
dipahami secara harfiah. Yang akan lahir adalah pemahaman yang rancu,
yang tidak masuk akal, yang terlarang sebab yang literal tidak akan
mampu selaras membaca yang metaforis, begitu pula sebaliknya.
Pada
gaya asosiasi saja, misalnya di dalam partikel “seperti”, secara
tersirat juga terkandung kopula negasi yang andai saja ditulis
kira-kira menjadi; “tidak merupakan” atau “adalah bukan”
(contoh: “engkau laksana bulan” dan dalam waktu yang sama juga
bermakna; “engkau itu manusia, indah seperti bulan, tapi tidak
seperti bulan karena engkau manusia”). Itu baru asosiasi yang di
dalamnya terkandung “pembanding” sekaligus “yang dibandingkan”.
Bagaimana dengan metafora yang perbandingannya langsung? Tanpa
partikel seperti atau sejenisnya? Kesenjangannya akan lebih dari itu,
lebih jauh lagi ketegangannya.

Orang
yang melarang hormat kepada apa pun selain Allah, seperti hormat bendera di dalam upacara Agustusan karena alasan
tidak ada ajaran dasarnya, atau karena alasan tidak ada penghormatan
yang diperbolehkan kecuali hanya kepada Tuhan, saya kira alasan dasarnya kurang lebih sama dengan penjelasan ini: menyamaratakan
penggunaan kata “hormat” dalam berbagai penggunaan, padahal ia
digunakan secara berbeda pada frasa “hormat bendera”, “hormat
orangtua”, atau hormat pada yang lainnya. Apalagi puisi, tanpa ada
penafsiran, akan ada ketimpangan di dalam memahaminya.
Di
bawah ini, secara iseng saya mencoba menulis “tafsirmanasuka”
untuk lirik lagu karya Tito Sumarsono yang dipopulerkan oleh Ruth
Sahanaya. Tentu saja, ini tafsir gurauan saja. Saya sedang
berandai-andai betapa akan kacaunya pemahaman andaikan lirik lagu di
bawah ini harus dipahami secara harfiah dan polosan saja.
Liriknya
sebagai berikut:
Mungkin
hanya Tuhan
yang
tahu segalanya
Apa
yang ku inginkan
Di
saat-saat ini
Kau
takkan percaya
Kau
selalu di hati
Haruskah
kumenangis
'Tuk
mengatakan yang sesungguhnya
Kaulah
segalanya untukku
Kaulah
curahan hati ini
Tak
mungkin
Ku
melupakanmu (tiada lagi yang ku harap hanya kau)
Tiada
lagi yang ku harap hanya kau seorang (Kau seorang)
Ha-ha-ha-aa
hai-ya-ye he
Baik,
kita mulai…
MUNGKIN
HANYA TUHAN (baru saja mulai, lirik ini langsung bermasalah. Mana
mungkin Tuhan masih di-mungkin-kan dalam keadaan maklum bahwa Dia
memang memiliki sifat Mahatahu atas segalanya. Dengan demikian, frase
berikutnya, yaitu) YANG TAHU SEGALANYA (itu menjadi nonsense karena
adanya kebermungkinan di saat yang sama kita meyakini secara pasti
akan kemahatahuan-Nya atas segala-gala. Mestinya, jika kata “mungkin”
pada awal larik itu dipasang hanya demi kesesuaian irama dan birama
dalam lagu, Pak Tito bisa menggantinya dengan “yakin” karena
secara ‘scansion’, suku katanya juga mirip dengan “mungkin”).
Sementara teks APA YANG KU INGINKAN, DI SAAT-SAAT INI tidak perlulah
dibahas karena posisinya tidak krusial. Ia hanyalah pelengkap saja,
ekspresi biasa saja, ngasih tahu aja.
KAU
TAKKAN PERCAYA (bagian ini adalah upaya membuat negasi demi
menguatkan posisi teks sesudahnya, yaitu kalimat) KAU SELALU DI HATI.
Tujuannya seakan-akan meragukan, padahal maksudnya memastikan. Lalu,
si penulis menambah penguat yang lain, yang sekiranya dapat mendukung
pernyataan sebelumnya, yaitu pertanyaan retoris—yakni pertanyaan
yang sebetulnya tidak perlu dijawab karena dianggap “sudah selesai”
alias diketahui jawabannya oleh ‘addresse’. Sebetulnya, dan
semestinya, HARUSKAH KUMENANGIS itu tidak perlu jika hanya un- 'TUK
MENGATAKAN YANG SESUNGGUHNYA, karena mestinya ‘addresse’
tersebut tahu diri. Masa enggak nyadar, sih?
KAULAH
SEGALANYA UNTUKKU (ini merupakan pernyataan yang mengandung syirik.
Tidak boleh kita menyegalakan apa pun selain Tuhan. Lagi pula, di
awal-awal sudah disebutkan kemahasegalaan-Nya, eh, kok di sini yang
di-segala-kan malah pacar? Bid’ah sekali lirik/nyanyian ini. Jika
dinyatakan bahwa KAULAH, alias si doi yang dimaksudnya itu, adalah
CURAHAN HATI INI, yakni hatinya si penyanyi, bukan hatinya Pak Tito
Soemarsono selaku penulis dan pengarang lagu untuk Ruth Sahanaya,
masih mendinglah, standar dan datar saja pemahamannya.
Sementara
pernyataan TAK MUNGKIN, KU MELUPAKANMU itu gombal. Mana mungkin
manusia itu akan berstatus “tidak mungkin” sementara manusia
adalah ciptaan yang paling berubah-ubah karena dia punya hati dan
perasaan, akal dan pikiran? Yang serba-pasti itu hanya Tuhan, hanya
Allah. Nah, syirik lagi, kan? Dan syirik pun kian menjadi-jadi
gara-gara penutup lirik lagu ini, yakni TIADA LAGI YANG KU HARAP
HANYA KAU SEORANG. Berharap, kok, sama manusia?! Kalau manusianya
selingkuh, dia kecewa; kalau berbohong, dia bakal marah. Makanya,
berharaplah hanya kepada Yang Tahu Segalanya. Dan hentikan
nyanyi-nyanyi, apalagi mengumbar kepalsuan dan kesyirikan semacam
ini.
***
Ya, namanya juga fantasi, ya, begitulah. Sejujurnya, saya tidak tahu, apa saja atau semacam apa yang terlintas di dalam pikiran orang dengan cara pandang yang polos begitu. Tapi, saya meyakininya kok kira-kira tidak begitu jauh dari yang saya tulis di atas ini.