13 November 2019

Perintah Literat



Menafsirkan puisi secara suka-suka (atau yang saya sebut dengan tafsir puisi manasuka) adalah kegiatan selingan saya. Tujuan kerja ini adalah upaya menjelaskan sebuah puisi (yang ditafsir) kepada pembaca melalui sudut pandang saya. Dengan kata lain, saya ikut menyumbang “cara membaca” suatu teks dengan cara sendiri supaya muncul ada kemungkinan pandangan yang berbeda. Kata “manasuka” yang saya pasangkan dengan “tafsir puisi” adalah teknik berlindung dari serangan “ngawur secara teoretik”.

Termasuk bagian suka-suka adalah dalam hal memilih puisi. Artinya, suka-suka saya saja dalam memilih: memilih puisi dia dan bukan puisi kamu, memilih punya Pak Ahda dan bukan punya Pak Hadi, dst. Kita tahu, banyak orang menganggap puisi sebagai sesuatu yang sangat rahasia dan sulit dimengerti. Dan yang paling membuat saya senang adalah ketika ada komentar dari pembaca yang—sebab yang saya lakukan ini—merasa telah dibukakan hijabnya dari melihat keindahan sebuah puisi.

Kali ini, saya akan menulis tafsir suka-suka untuk puisi Ahda Imran. Puisi ini saya dapatkan dari seseorang lewat kotak pesan. Puisi ini berjudul “Perintah”. Inilah puisi dimaksud.

PERINTAH

Tulislah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakanmu
dari

Bagaimana menulisnya
sedang tak ada manusia dalam kata
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?

Bacalalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata
dari sederas darah

Berapa abad kata mesti
mencari manusia sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?

Minumlah!

***

Puisi karya Ahda Imran ini, konon, dimuat di koran dan Facebook sekaligus. Saya tidak membaca teks di koran karena memang tidak berlanggganan dan tidak tahu saat dimuat di Facebook beliau karena kami tidak terhubung dalam jaring pertemanan.

Tulislah atas nama Tuhanmu (kalimat ini merupakan resepsi penyair Ahda terhadap teks yang lebih besar, yaitu ayat pembuka Surah Al-Qalam yang secara harfiah bermakna "pena". Teks asli berbunyi “Bacalah atas nama Tuhanmu [yang telah menciptakan]”. Tindakan ini disebut 'iqtibas' [kutipan] di dalam puisi Ahda, sedangkan rujukannya, yaitu teks Al-Quran, sebagai "ekserp"-nya. Namun, penyair Ahda telah memodifikasinya dengan mensubstitusi "bacalah!" ke "tulislah!". Surah Al-Qalam memang berarti "pena", tapi perintah dalam ayat pertama adalah perintah membaca, yakni "bacalah!".
Iqtibas populer dalam tradisi sastra Arab, dan mungkin juga dalam khazanah sastra Inggris yang memiliki sejarah panjang dan tua. Belakangan, dapat juga kita temukan dalam sastra Indonesia [seperti puisi Nanang Suryadi yang berjudul “Kepada Sapardi”]. Iqtibas berbeda dengan plesetan karena plesetan mengandung "parodi" dan "perlawanan atas kemapanan" [terkait plesetan dan anti-kemapanan ini, Faruk HT pernah menulisnya di Harian Bernas, tahun 1994 kalau ndak salah], sedangkan operasi iqtibas tidak demikian, hanya sekadar mengutip adagium atau ayat atau maksim atau pepatah dan menggunakannya sebagai bagian dari karya si pengutip tanpa perlu menyebutkan sumber sebagaimana terjadi pada puisi esai)
yang telah menciptakanmu (tidak perlu tafsir, sudah jelas)
dari
(Bagian di atas ini memang tertulis demikian, “yang telah menciptakanmu / dari”, tanpa ada kelanjutan. Apakah ini disengaja? Kayaknya ini, karena demikian yang tertulis di Facebook maupun yang terpampang dalam versi cetaknya. Namun, jika ia dibuat rumpang, mestinya ‘kan diberi titik tiga […] atau beberapa ketukan, tapi yang ini tidak? Yang jelas, jika menilik kalimat lanjutan pada bait kedua, tindakan tersebut disengaja karena ada pernyataan keraguan sesudah kalimat di atas, pada bait berikutnya, yaitu kalimat pada bait berikutnya, yakni...)

Bagaimana menulisnya (maksudnya, menulis kata yang mestinya ada di dalam kalimat rumpang alias titik-titik tersebut, alias menulis “nama ciptaan” yang pada akhir bait pertama di atas itu tidak diterakan).
sedang (sedangkan) tak ada manusia dalam kata (yang tak jadi dituliskan itu. Tak ada apa pun di sana)
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?
(Apa pula ini? Setahu saya, referensi ular ketika ia disandingkan dengan manusia selalu mengacu peristiwa Nabi Adam di Surga. Biasanya, ia mengacu pada kisah iblis yang menyamar dan masuk ke mulut ular untuk kembali menggoda Nabi Adam. Kejadian ini menjadi “tipa induk”—dalam istilah Abdul Rahman Napiah—bagi semua karya yang ditulis oleh manusia mengingat peristiwa di atas adalah peristiwa yang dialami oleh manusia pertama, dan demikian pula ia adalah “tipa induk” bagi puisi Ahda Imran ini, maupun puisi “Di Kebun Binatang”-nya Sapardi Djoko Damono atau karya lain dengan tema yang sama. Peristiwa ulat dan manusia di Surga adalah sejenis “super-ordinat” dalam silsilah hiponim dan hipernim kata atau sebagai “indeks utama”).

Bacalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata (Inilah iqtibas itu: mengutip redaksi yang sama dengan ayat pertama Surah Al-Alaq, tapi memodifikasi “insan” dengan “kata” dan dengan tetap memosisikannya sebagai cikal-bakal penciptaan, yaitu kata-istilah yang disebut “'alaq” alias “segumpal darah”. 
dari sederas darah (Penyair juga mengubah segumpal darah ‘alaq dengan “sederas darah”. Mengapa demikian? Boleh jadi, si penyair  ingin menerapkan gaya hiperbola, bahwa begitulah proses yang terjadi pada semua manusia: gumpalan-gumpalan darah yang banyak sekali).

Berapa abad kata mesti
mencari manusia (“abad” di dalam kalimat ini memiliki arti "masa yang lama", bukan sekadar 100 tahun, lebih-lebih karena frasa "berapa abad" tersebut ditujukan kepada sesuatu yang secara hakiki sebetulnya tidak pernah sirna, yaitu ras manusia) sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?

(Di dalam puisi “Di Kebun Binatang”, Sapardi Djoko Damono menggambarkan seorang lelaki yang sedang berwisata ke kebun binatang bersama istrinya. Di sana, sang istri lalu melihat ular dan tergoda, merasa tertarik dan merasa senang, sambil membayangkan andaikan kulit ular yang 'gemerlap' karena sisiknya itu dibuat tas dan sepatu [yang kita tahu ia menjadi lambang aksesori wanita yang mahal]. Namun, si suami lalu mengajak istrinya pergi dari tempat [yang dianggapnya terkutuk] itu karena ia ingat sesuatu, ingat peristiwa yang tak lain merupakan pemahaman yang menyatakan bahwa Nabi Adam telah digoda dan akhirnya tergoda ular di Surga sehingga tinggal di dunia yang fana).

Minumlah!

(Lah, kok minum? Wah, saya tidak paham. Saya kira ujungnya bacalah, tapi kok minumlah? Untuk yang ini, saya mundur pelan-pelan saja. Mari, bantu saya membereskannya).


10 Oktober 2019

Joglitfest, Saya, dan Annuqayah


Joglitfest adalah kependekan dari Jogjakarta Literary Festival atau Festival Sastra Jogjakarta. Penggunaan istilah english ini saya kira karena acaranya diagendakan secara internasional, maksudnya karena melibatkan pembicara dari luar Indonesia. Joglitfest pertama kali diadakan tahun ini, 2019. Rangkaian acaranya diselenggarakan selama beberapa hari di bulan Agustus dan September. Agenda di bulan Agustrus adalah pra-acara (special events) sedangkan 27-30 September merupakan acara puncaknya (main events).



foto milik panitia























Acara ini tergolong acara besar karena melibatkan lintas instansi. Di antara yang terlibat adalah  Dinas Kebudayaan DIY, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, sastrawan/penggerak sastra, akademisi, perguruan tinggi, komunitas, penerbit, lembaga pemerintah dalam bidang literasi, dan banyak lembaga swasta lainnya. Ide festival bertujuan untuk mendekatkan dunia sastra dengan publik, sekaligus menjalin keterhubungan antarmasyarakat sastra di dalam dan luar Jogjakarta.

Adapun ketua SC (steering committee) acara ini adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, dibantu oleh sepuluh orang anggota. Sedangkan ketua umum pelaksananya adalah Bapak Suharmono, M.A., dibantu oleh tiga orang ketua bidang, dua orang sekretaris, dan satu staf produksi. Acara ini juga melibatkan panel ahli. Mereka adalah Iman Budhi Santosa, Prof. Faruk, Dr. Aprinus Salam, dan Drs. Dhanu Priyo Prabowo.

Tema festival adalah “Gregah Sastra”. Kata “gregah” diambil dari bahasa Jawa, yang berarti kebangkitan, kesiapsediaan, atau ketangkasan dalam menyambut dan menyerap sesuatu yang datang dari luar dirinya. Adapun kata “sastra” dapat diasumsikan sebagai segala hal yang meliputi wacana kesastraan dan karya sastra baik yang bersifat tradisional maupun modern. Gregah Sastra dimaksudkan untuk memetakan ulang berbagai kecenderungan budaya yang terkait dengan wacana dan isu-isu kesastraan, apresiasi, dan resepsi karya sastra, serta kemungkinan kreatif dan estetik dalam proses penciptaannya. Demikian latar belakang acara yang saya kutip dari laman panitia.

Acaranya beragam, mulai dari workshop, pameran dan diskusi  manuskrip, hingga pasar sastra dan bazar buku. Agenda terpusat di Museum Vredeburg. Adapun kegiatan satelitnya dilaksanakan di beberapa titik, di antaranya di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Adapun acara 'pertunjukan' pada kegiatan intinya berupa diskusi buku, talkshow, dan pertunjukan sastra, termasuk pentas musik.

Saya datang ke acara ini sejak hari pertama, Jumat, 27 September 2019. Saya mengikuti rangkaian pembukaannya yang diresmi dibuka oleh (wakil dari) Menteri Pendidikan & Kebudayaan dan Gubernur DIY. Selanjutnya, pada acara yang diletakkan di halaman Monumen Serangan Oemoem 1 Maret itu, ada pentas musik dari Silampukau dan Gabriella Fernandez serta Jogja Hiphop Foundation. Acara diselingi dengan pembacaan puisi oleh Joko Pinurbo dan Aan Mansyur.

foto milik bustan basir 
Acara Joglitfest berlangsung selama 4 hari menurut angka kalender tapi efektif hanya 3 hari saja. Sebab, hari pertama (27 September) adalah pembukaan dan hari terakhir (Senin, 30 September 2019) adalah penutupannya. Peserta banyak yang check-out dari hotel di malam itu juga, termasuk saya, dan sebagian masih menghabiskan jatah menginap di Melia Purosani hingga hari Selasa esoknya, 1 Oktober).

Acara inti di hari pertama adalah ceramah literasi dan seminar. Temanya “Yogyakarta dalam Konstelasi Sastra Global-Lokal” dan seminar “Arah Pengembangan Sastra dan Kebudayaan Indonesia ke Depan” dengan nara sumber Eka Kurniawan yang secara khusus membidik isu ‘glokalitas’ (global-lokal) di dalam sastra. Adapun sesi siang diisi oleh Bapak Tirto Suwondo dan Prof Suminto A Sayuti. Masing-masing keduanya mengangkat tema “Dinamika Kesusasteraan Yogyakarta, Karya, dan Pengarangnya” serta “Yogyakarta sebagai Inspirasi Karya”.

Pada hari berikutnya, Ahad, 29 Oktober, Joglitfest menampilkan Nirwan Arsuka yang mengangkat tema "Budaya Global-Lokal dalam Sastra Indonesia" dan sesi siangnya diisi oleh Nanang Suryadi dan Ahda Imran, mengangkat isu “Dinamika Sastra di Dunia Maya” dan “Makna Sastra di Dunia Nyata”.

Acara Senin paginya, hari terakhir, tidak ada kegiatan seminar lagi. Acaranya adalah jalan-jalan ke museum dan rembuk budaya di salah satu aulanya, dilanjutkan dengan wisata ke kraton. Tapi, saya undur diri karena harus ngisi sesi siang, yakni tema Pesisir dan Gunung dalam Sastra. Tema ini mungkin dimaksudkan tema binari "agraris dan maritim" dalam wacana sastra. Saya bicara tentang banyak hal karena acaranya talkshow dan bisa sedikit 'menyimpang' dari topik pembicaraan. Di selasar Vredeburg itu, saya juga ingatkan kepada teman-teman yang bergiat di dalam sastra, utamanya puisi, agar tidak melulu sibuk berdandan dengan kata-kata saja. Kita harus kembali ke zaman dulu, mengambil "semangat zaman" mereka yang berjaya di masa lalu.

Saya contohkan bagaimana ilmu sosial atau gramatika dan juga sains bisa diungkapkan dengan baik di dalam puisi sebagaimana kita temukan di dalam nazam-nazam (puisi akademik) di pesantren. Salah satu contoh yang sempat saya kutip adalah Alfiyah dalam hal puisi yang membahas tata bahasa, begitu juga antologi puisi “Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul Musammah bil Mahriyyah” yang merupakan karya Syihabuddin Ahmad bin Majid yang berisi “teori dan teknik pelayaran”. Jadi, menjadi penyair itu tidak cukup hanya bermodalkan kemampuan memilih diksi dan pengetahuan berbahasa saja, apalagi "gaya-gayaan bahasa" alih-alih gaya bahasa. Penyair harus melampaui itu, misalnya dengan membiasakan survei dan melakukan penelitian lebih dulu sebagaimana dulu sempat dilontarkan oleh Ariel Heryanto dengan gagasan "Sastra Kontekstual"-nya.

Memang, acara Joglitfest ini tidak menggunakan sistem seleksi terbuka, melainkan kuratorial tertutup. Para kurator menyunting nama-nama lalu panitia mengundang mereka. Kelak, di masa yang akan datang, tentu apabila Joglitfest ini masih berkelanjutan, panitia mungkin akan membuka seleksi karya untuk menjadi (sebagian atau salah satu) syarat undangan dalam menghadiri acara ini. Tapi, itu juga mungkin, saya tidak tahu.

Bagaimana sastrawan-sastrawan diundang? Kata panitia, untuk kali pertama ini, undangan bersifat seleksi tertutup, yakni dengan pengajuan nama-nama oleh tim dan diseleksi oleh tim kurator (Hamdy Salad, Tia Setiadi, Irwan Bajang, Purwadmadi, Saut Situmorang). “Jika Joglitfest diadakan lagi, insya Allah kami akan buka undangan terbuka,” begitu yang saya dengar dari salah seorang panitia.

Hal yang sangat menyenangkan dari kegiatan sastra seperti ini sebetulnya acara silaturahminya. Saya banyak berkenalan dengan teman baru yang selama ini saya kenal di Facebook, atau tahu namanya saja. Saya juga bisa bernostalgia dengan kawan-kawan lama yang dulu pernah bertemu di dalam kegiatan-kegiatan serupa atau kegiatan sastra lainnya. Silaturahmi merupakan “agenda terselubung” di dalam setiap kegiatan sastra meskipun nyatanya, menurut saya, merupakan hal penting dan sangat utama sebab para penyair itu sering salah paham (penyair itu 'kan suka tensi tinggi biasanya, he he he) kalau tidak bertemu langsung dan tidak ngopi bersama. 

Yang juga menggembirakan dari kegiatan ini adalah karena saya masih sempat “curi waktu” di sela waktu kosong antar-diskusi dan antar-acara yang sangat padat. Saya menyempatkan diri menghadiri undangan Aguk Irawan ke pesantrennya, Baitul Kilmah, di Bantul. Di sana saya diminta untuk bercerita tentang proses kreatif saya, terutama bidang penerjemahan. Pondok Baitul Kilmah memang notabene “pondok penerjemahan”. Makin heran saya karena ternyata, dari lima orang pengampu atau pengasuh madya di pondok itu adalah santri Annuqayah, almamater kami.

Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah; dari enam bidang di kepanitiaan Joglitfest 2019 ini (administrasi, komunikasi, pertunjukan, nonpertunjukan, produksi, dan pengelolaan pengetahuan) yang total jumlahnya ada 48 orang, ada 3 orang alumni Annuqayah yang menjadi panitia (Bernando, Akmal, dan Khairul Fatah); 2 orang yang didapuk menjadi moderator (Mawaidi & Farisi); 2 orang yang menyumbang tulisan di buku antologi (Nurul Ilmi & Ali Fakih); serta 1 orang relawan atau volunteer  (Muafiqul Khalid). Mereka semua adalah alumni Annuqayah, makin banyak kalau ditambah dengan 9 peserta workshop di acara tersebut.

Dari pengalaman ini, saya mulai tahu, bahwa meskipun tidak dimasukkan ke dalam AD/ART, pondok pesantren Annuqayah tidak menggunakan slogan-slogan literasi dan sangat jarang mengadakan workshop menulis atau kepenulisan, kehidupan literer dan literasi di pondok pesantren yang terletak di desa (dan sering disebut dengan Pondok) Luk-Guluk itu hidup dan dinamis karena telah menjadi nafas kehidupan santri dan pesantren. Jadi, kalau sudah menjadi nafas, ya, tidak perlu digembar-gemborkan lagi karena tanpa nafas mereka bakal mati.

_____________________________________________
Selengkapnya bisa dicek di : https://joglitfest.id/agenda/



17 Agustus 2019

Rubaiyat Manaqib Kiai Syarqawi dan Annuqayah


Satu Delapan / Delapan Tujuh / di Tahun Syamsi

Datang seorang / lelaki saleh / ke tempat ini

membuat rumah / menanam dua / Sawo Manila 

Konon katanya / itulah pijak / sebagai sandi


Kiai Muham / mad As-Syarqawi / membuka tanah

awalnya kandang / dari Pak Aziz / hibah jariyah

sepetak huma / darinya jadi / asal-muasal 

bagi pondok pe / santren yang berna / ma “Annuqayah”


Dari Kudus Ki / ai Syarqawi / beliau datang 

bersama janda / Kiai Gemma / ke Perenduan 

Ngaji ke Lasem,/ Hijaz, konon ju / ga ke Pattani

Di Guluk-Guluk,/ Madura jadi / akhir jujukan


Duapuluh li / ma putra-putri / keturunannya

duabelas o / rang yang berjuang / meneruskannya

sedangkan tiga / belas lainnya / telah berpulang 

selagi kecil / dan juga belum / berkeluarga


Nyai Salehah, / Zubaidah, Jauha / ratun Naqiyah

Abdullah Siraj, / Abdullah Sajjad, / serta A'isyah

adik Kiai / Bukhari, Idris, / As’ad, dan Ilyas

Yang terakhir Ha / midah dan Hali / matus Sa’diyah


Said, Zainal A/ bidin, Sa’duddin,/ dan juga Rahmah

Jawahir, Yahya, / dan As’ad sebe / lum Qomariyah

Yasin, Abdul Ma / lik, dan Na’imah, / barulah Maryam

Mereka itu / wafat belia / juga Aminah


Dari enam ka / li pernikahan / dan istri-istri 

lahirlah banyak / anak dan cucu / putra dan putri

Merekalah yang / melanjutkan lang / kah perjuangan

berkahnya Maula / na Ja'far Shadiq / Sunan Kudusi 


Anak seberin / da menyebar ke / berbagai tempat

mengabdi dan men / jadi pengayom / rakyat dan umat

Ada petani, / dan niagawan, / juga pegawai

Tapi terbanyak / di bidang ilmu / dalam berkhidmat 


Bukan saja se / mata-mata di / Pulau Madura 

anak cucu Ki / ai Syarqawi / di mana-mana

Jawa, Sumatera, / di Sulawesi, / dan Kalimantan

bahkan tercatat / juga tinggal di / mancanegara


Di Guluk-Guluk,/ empat orang put / ra yang bermukim

Kiai Idris / di Lempong, barat / laut patobin

Kiai Ilyas, / Kiai Sajjad / Lubangsa - Latee

Nyai Aisyah / hijrah dan pindah / ke Sabajarin 


Pada tahun sem / bilan belas ti / gapuluh tiga

“Annuqayah” ba / ru disematkan / sebagai nama

artinya bersih, / namun mengandung / maksud ilmiah

karena menga / cu pada kitab / dasar agama


“Annuqayah” i / tu kitab karya / Imam Suyuthi

yang menisbatkan / Kiai Khazin / Ilyas Syarqawi

menjadi tanda / peralihan ben / tuk pengajian

ke bentuk kelas / dan pengajaran / ala madrasi


Inilah wari / san agung dan se / bagai leluri

Maka putranya / wajib mengajar / kepada santri

menyebarkan il / mu di madrasah / maupun di langgar

cara berdakwah / teladan bil-hal / itulah suri 


Kiai Idris / bangun jaringan / jauh di luar 

Kiai Ilyas / atur strategi / juga mengajar 

Kiai Sajjad / maju melawan / para penjajah

Kiai Husin / ayomi masya / rakat sekitar


Kiai Sajjad / ditembak di La / pangan Kemmisan

karena taktik / licik penjajah / sang kolonial

Darah syahidnya / menguar tajam / wangi kesturi 

para penggotong / mereka membe / ri kesaksian


Itulah jejak / perjuangan me / nuju merdeka

Satu malam pa / da Agresi Mi / liter Belanda

Di ujung tahun / Empat Tujuh mu / ramlah pesantren 

Kiai Khozin / menyusul wafat / menanggung duka  


Pahlawan pergi / membawa mati / tinggal sejarah

anak cucu tak / boleh berhenti / sampai menyerah

pendidikan dan / pengajaran ser / ta pengajian

wajib berlanjut / haram berakhir / tak boleh sudah


Wahai para san / tri Annuqayah,/ janganlah lemah!

kalian wajib / terus berjuang / tegar dan gagah

Tak boleh redup / haruslah mela / wan kebodohan 

biarlah Sang Sya / hid yang wafat me / lawan penjajah 


mfaizi @17 Agustus 2019 


10 Juni 2019

Menggambar Kota dengan Kapur Tulis (Sainul Hermawan)



Dunia Kapur Rudy Tabuti (Sainul Hermawan)

Nauka berteriak semangat memanggil ayahnya
“Lihat Ayah, Rudy mau menggambar Banjarmasin.”

Sungai Martapura digambar tanpa sampah
Selalu penuh jukung hias  mengantar para pelesir menyisir banua
Sepanjang tepiannya orang-orang bercengkrama santai
Menikmati soto Banjar, untuk-untuk, binka, buras, lontong Kandangan
Bernaung di warung-warung beratap sirap ulin
Asyik menyantap musik panting dan madah-madah madihin

Tapi Rudy tiba-tiba berhenti
Penghapus sudah siap di tangan kirinya
Nauka tiba-tiba menyeru layar kaca itu
“Teruskan Rudy sang pencipta, kamu tak pernah salah.”

Rudy tentu tak bisa dengar karena ia manusia kartun di layar kaca
Tapi kenapa dia berkata, “Maaf anak-anak di seluruh dunia
Ini bukan gambar kota yang benar. Aku harus menghapusnya.”
Papan Rudy kembali hitam dan dia siap menggambar kota lain

Nauka berteriak lagi mengajak ayahnya terus nonton
Lihat ayah, Rudy mau menggambar Banjarbaru.”

Dengan kapur hijau dia menggambar perbukitan
Di atasnya digambar kampus pendidikan termegah: the
center of excellence
Setiap gedung rata-rata berlantai tiga tanpa sampah
Sampah orasi mahasiswa
Sampah cermah dosen-dosennya
Sampah birokrasi

Tapi, lagi-lagi Rudy tiba-tiba berhenti
Penghapus sudah siap di tangan kirinya
Nauka tiba-tiba menyeru layar kaca itu
“Teruskan Rudy sang pencipta, kamu tak pernah salah.”

Rudy pasti tak bisa dengar karena ia manusia kartun di layar kaca
Tapi kenapa dia berkata, “Maaf anak-anak di seluruh dunia,
Ini bukan kota dengan sekolah yang benar.
Aku harus menghapusnya.”
Papan Rudy kembali hitam dan dia siap menggambar kota lain

Kayutangi, 29 Maret 2006



Ini adalah puisi karya Sainul Hermawan, seorang penyair cum dosen di Universitas Lambung Mangkurat, Kalimantan Selatan. Puisi ini dicuplik dari bukunya, Mata untuk Mama (Scripta Cendekia, 2009), yang notabene merupakan kumpulan cerpen dan puisi.

Dunia Kapur Rudy Tabuti

Nauka berteriak semangat memanggil ayahnya
“Lihat Ayah, Rudy mau menggambar Banjarmasin.”

Kita dapat dengan mudah menduga, bahwa tokoh Nauka dalam puisi ini adalah anak si penyair dan yang disebut ayah adalah si penyair itu sendiri: Sainul Hermawan. Kita dapat berfantasi soal ini, terutama bagi mereka yang telah menjadi ayah dan punya anak kecil. Demikianlah cara anak mencari perhatian ayahnya, memanggil-manggil dengan suara yang tinggi meskipun sedang berada di sampingnya, lebih-lebih jika yang ingin ditunjukkan si anak merupakan hal baru dalam dunianya.

Adapun Rudy Tabuti sendiri adalah tokoh dalam Chalkzone, kartun kapur ajaib yang mewujudkan apa pun yang diinginkan si penggambar. Kartun ini menggambarkan fantasi anak-anak yang dapat meluruhkan segala ketidakmungkinan di dunia nyata. Gajah masuk pipa ledeng tidak mungkin terjadi, itu hal itu ada dalam kartun Tom & Jerry. Anak-anak menerima itu sebagai suatu fantasi yang (mungkin) nyata karena mereka tidak pernah membantahnya.

Kejutan dalam dua kalimat pembuka di atas tersebut bukanlah Rudy, melainkan karena ia menggambar kota tempat si Nuaka tinggal, yaitu Banjarmasin, suatu hal yang mungkin istimewa karena kota tersebut dikenal pula oleh pemeran film kartun dunia. Akan tetapi, yang mengambil peran berikutnya adalah si ayah, yaitu sang penyair, karena ia menggambarkan gaya ironi si Rudy, sebagaimana
Sungai Martapura digambar tanpa sampah (padahal mestinya kotor dan berlimbah. Sungai tersebut ditampilkan sisi indahnya saja, seperti)
Selalu penuh jukung hias (sampan kecil untuk pariwisata) mengantar para (orang yang ber-) pelesir menyisir banua (banua adalah sebutan untuk suku Dayak yang tinggal di sepanjang bantaran sungai, khususnya di Kalimantan. Keintiman wisata itu juga terlukis dalam bait berikut:)
Sepanjang tepiannya orang-orang bercengkrama santai
Menikmati soto Banjar, untuk-untuk, binka, buras, lontong Kandangan (jenis-jenis kuliner khas lokal)
Bernaung di warung-warung beratap sirap ulin
Asyik menyantap musik panting dan madah-madah madihin (“madah” berarti pujian dan “madihin” adalah pelakukan, yakni orang yang memuji. Namun, “madah madihin” sendiri merupakan kesenian Kalimantan Selatan, yang biasanya dipentaskan bersama alat musik berdawai yang disebut panting, sejenis gitar khas Tapin)

Ketika si tokoh terpesona pada gambar Rudy, ia terkejut karena gambar indah itu akan dihapusnya. Nauka tidak terima. Ia memberi semangat Rudy agar melanjutkan kerjanya.
Tapi Rudy tiba-tiba berhenti
Penghapus sudah siap di tangan kirinya
Nauka tiba-tiba menyeru layar kaca itu
“Teruskan Rudy sang pencipta, kamu tak pernah salah.”

Nah, pada bagian ini si penyair mengambil peran, menekankan ironi menemukan tempatnya di dalam larik-larik puisi, bahwa apa anak-anak (dan begitu pula orang dewasa yang kekanak-kanakan) cenderung hanya ingin melihat kenyataan berdasarkan sisi baiknya saja, serta cenderung menutupi sisi gelapnya. Pada bagian ini adalah gambaran bagaimana si Rudy harus bersikap: menggambarkan kenyataan.

Rudy tentu tak bisa dengar karena ia manusia kartun di layar kaca
Tapi kenapa dia berkata, “Maaf anak-anak di seluruh dunia
Ini bukan gambar kota yang benar. Aku harus menghapusnya.”
Papan Rudy kembali hitam dan dia siap menggambar kota lain

Pada dasarnya, puisi “Dunia Kapur Rudy Tabuti” ini terdiri dari dua bagian dan keduanya, secara pola dan susunannya mirip. Yang berbeda hanya pada bagian latar saja. Yang sudah saya ulas di atas anggap saja sebagai pertama dan yang berikut ini adalah bagian kedua. .

Nauka berteriak lagi mengajak ayahnya terus nonton
Lihat ayah, Rudy mau menggambar Banjarbaru.”

Sama dengan pola dua bari pertama, bagian ini kembali Nauka meminta perhatian si ayah (penyair). Yang membedakan dengan bagian pertama di atas, bagian ini menampilkan kota Banjarbaru sebagai latarnya. Suasana yang dibanugn pun berbeda,

Dengan kapur hijau dia menggambar perbukitan
Di atasnya digambar kampus pendidikan termegah: the
center of excellence
Setiap gedung rata-rata berlantai tiga tanpa sampah
(Tiga larik di atas ini merupakan gambaran lembaga pendidikan tinggi yang oleh penyair,melalui tangan Rudy dan kapurnya, digambarkan sebagai lambang rujukan, asri pula, dan megah. Sempurnalah ia. Tapi, mengapa gedung berlantai disandingkan dengan sampah? Sama seperti bagian pertama, sungai diandaikan bersanding dengan kebersihan, tanpa sampah. Barangkali, begitulah satire dibuat, bahwa sungai Martapura itu kotor dan gedung yang megah itu banyak sampah. kita tidak tahu, kampus apakah yang dimaksud si penyair, tapi besar kemungkinan adalah kampus tempat dia mengabdi. Kok bisa dia mengejek rumah sendiri? Bukan mengejek, agaknya ini refleksi, kritik untuk diri sendiri, karena sejauh ini ia menemukan)
Sampah orasi mahasiswa
Sampah cermah dosen-dosennya
Sampah birokrasi
(di kampus yang katanya the center of excellence tersebut).

Masih seperti sebelumnya, gayanya masih sama: mengulang ucapan Nauka dalam memberi semangat terhadap si tokoh cerita, Rudy Tabuti.
Tapi, lagi-lagi Rudy tiba-tiba berhenti
Penghapus sudah siap di tangan kirinya
Nauka tiba-tiba menyeru layar kaca itu
“Teruskan Rudy sang pencipta, kamu tak pernah salah.”

Rudy pasti tak bisa dengar karena ia manusia kartun di layar kaca
Tapi kenapa dia berkata, “Maaf anak-anak di seluruh dunia,
Ini bukan kota dengan sekolah yang benar.
Aku harus menghapusnya.”
Papan Rudy kembali hitam dan dia siap menggambar kota lain

Kayutangi, 29 Maret 2006

Ada dua gagasan penting di sini: pertama, “bukan gambar kota yang benar” dan “bukan kota dengan sekolah yang benar”. Itulah mengapa Rudy harus menghapus dan membuat gambar yang lain, yang meskipun tidak fantastis dalam karya, tapi lebih ikonik, lebih dekat dengan kenyataan. Begitulah cara penyair mengkritik, tidak harus dengan kata dan tangannya sendiri. Sainul Hermawan meminjam kapur Rudy dan tokoh Nauka untuk menjelaskan gagasannya, bahwa Banjarmasin dan Banjarbaru adalah dua kota yang meskipun punya sejarah yang hebat, tapi menurutnya belum benar-benar seperti yang diharapkan oleh masyarakatnya.
  
Wallahu a’lam




04 Mei 2019

Rumah Tak Berpenghuni


Berada di antara kerumunan tempat tinggal dan perkampungan, rumah itu tampak biasa. Tetapi, karena halamannya jembar, ia kelihatan sedikit berbeda. Selebihnya, tak ada yang mengistimewakannya dibandingkan dengan yang lainnya. Namun, jika engkau melintas di depannya, di malam hari, barulah engkau akan tahu, rumah itu tak berpenghuni.

Saat aku memasuki halamannya, tapak langkahku terantuk sesuatu. Di antara rumputnya yang semata kaki, tersangkut aku pada sebuah gelas keramik. Kupungut dan kuamati: ini sisa bahan tembikar dari masa lalu. Astaga, betapa kenangan silam itu kecil, tapi, ah, kadang mengganggu.
foto tidak merujuk kepada teks, foto hanya ilustrasi,
foto oleh Haris Santoso

Pintu-pintu mulai rusak. Beberapa harus dibuka dengan cara didorong sembari sedikit dihentak. Udaranya pengap menyergap, padahal ubinnya keramik dan atapnya tinggi bersirap. Ada sarang laba-laba di beberapa pojoknya, menandai rentang masa tertentu nan lama: rumah ini tidak disambangi manusia.

Seperangkat sice, meja papan jati Jawa dan kursi rotan dari Manau, tanpa piring dan gelas, juga pot tanpa bunga, berlurub debu dikangkang waktu. Ada lemari kayu berkaca lebar. Mungkin ia tempat menyimpan cangkir dan mangkuk keramik serta barang pecah-belah, atau pula menyimpan kemegahan dalam wujud perabotan-perabotan rumah. Semuanya, kini kosong tiada tersisa, kecuali sepasang garpu dan sendok yang bengkok ada di pojok, serta patahan gagang gelas yang teronggok.

Aku menyapu pandangan, mengeliling, mengitar.
"Hai, para penghuni, ada di mana kalian?"

Panggilan membentur dinding. Keheningan mengembalikan suara. Yang kuterima hanyalah perasaan berdesir, serupa kuduk dielus semilir.

Kenangan-kenangan laksana peri, berkelebat, di antara tembok putih yang mulai pucat. Ia seperti kelir, tapi pertunjukan wayang sudah lama berakhir. Manakala aku berada di antara suasana terpikat dan tercekat, keheningan rumah itulah yang seakan-akan ganti bercakap-cakap.

Di ruang tengah yang lebar, ada sofa panjang. Ujungnya lapuk dan bertelutuh, pertanda kayu kasau hancur tak kuat menopang. Mungkin, terlalu lama tak ada orang yang duduk di sana, sehingga ketika ada tetes air hujan yang mengucur dari layas yang rubuh, tak orang yang sempat memperbaikinya. Karpet tebalnya sudah tiada. Televisi sudah tiada. Mainan anak-anak, yang biasanya berserakan di sana, juga tiada.

Di manakah benda-benda itu kini berada?

Aku melongok ke kamar tidur: tersisa dipan tanpa kasur. Sandarannya patah, rapuh dimakan rayap. Gantungan baju tetap terpasak, tapi sama sekali tak ada pakaian. Yang tersisa hanyalah sebuah lemari dengan pintu terbuka, tapi engsel bagian atas sudah rusak. Ia tidak bisa ditutup dan terus terbuka.
Aku merasa: ada kemesraan di kamar ini, percakapan pelan di bantal yang lembut dan wangi. Barangkali, ada pula jejak pertengkaran, suara keras di tengah malam yang sepi. Ada tawa yang kini hilang, sebagaimana tangisan dan sesenggukan yang dulu menyelai.

Sejurus, aku berdiri di tengah pintu. Setelah memasuki ruang-ruang kosong dan menilik setiap pojok ruangan, kini aku hendak pulang. Aku menoleh: tak ada apa pun, tak ada siapa pun. Di belakangku hanya ada bayang-bayangku.

Aku menatap ke depan, menarik nafas panjang, menunduk, melangkah ke luar.

Setelah beberapa langkah menjauh, rumah itu tampak samar dalam keheningan. Semua perabotan di dalamnya telah membeku oleh waktu: tak ada tangan yang memegang sendok dan piring, tak ada lagi tubuh yang rehat berbaring, tak ada suara dan percakapan. Ia yang dulu besar dan megah, kesendirian membuatnya tampak kusam tanpa kimah.

Sebelum menghilang di ujung jalan, aku menoleh, sejurus melihat. Ah, seperti diriku dan dirimu ada di sana, duduk di berandanya. Tapi, begitu kuamati sekali lagi, aku sadar, kita tidak lagi tinggal bersama di sana. Dan rumah itu benar-benar tanpa penghuni.

Kelak, kalian, semua yang pernah hidup, akan mengalami perjalanan waktu seperti ini. Kita akan meninggalkan rumah yang kita huni karena harus pergi, harus pergi, ke tempat yang jauh sekali. Sementara rumah itu tetaplah ada, selalu ada, menjadi bagian dari saksi apa saja yang kita lakukan selama tinggal di sana.

14 April 2019

08 Maret 2019

Renungan dari Meja Makan


Tangan-tangan yang kekar
silang-sengkarut di atas meja
Cumi dan rajungan, rawon dan gulai
bagaikan aurat: kolesterin merangsang selera
Lalu sedih saat melihat pengidap gula
yang bersyahwat tapi tak kuasa

Garpu dan sendok beradu sempat
membalik, menusuk, menyuap
Terdengar gemerincing piring

Pangek Situjuah, foto: Akhyar Fuadi 
Gelas berdenting beradu genting
Cecap mulut dan serdawa
mengiringi orkestra meja makan raksasa

Pramusaji datang dan pergi
mengantar dan bergegas
Orang-orang asyik tak peduli
kecuali menyantap yang dihadapi

Dari tanah manakah ini kentang dikerat dadu?
dari Wonosobo atau kabupaten Bandung?
Seperti apakah bentuk muasalnya dahulu?
Berbentuk bulat atau runjung?

Tangan siapakah yang menyembelih?
dagingnya tebal dan lezat sekali
Adakah si jagal baca basmalah
Atau di pisau-mesinkah ia mati?

Tangan-tangan berjibaku di atas meja
silang-sengkarut di atas meja
ambil yang sini, jangkau yang sana

Makan bukanlah sekadar pesta bagi mulut
bukan pula sekadar ganjal bagi bagi perut
Ia adalah upacara atas nikmat terberi
untuk indera pencecap yang masih berfungsi
untuk tangan yang masih bisa menyuap
untuk hidung yang masih mampu mengendus
untuk mata yang masih bisa memilih
bahwa semua ini tidak datang serta-merta
Ada yang menumbuhkan, ada yang menghidupkan
dan karena itu haruslah engkau tahu
bahwa makanan adalah nyawa ibadahmu

27/2/2019


18 Februari 2019

Rahasia Ampas Kopi (Muhammad Zamiel el-Muttaqien)


RAHASIA AMPAS KOPI

pada akhirnya kukembalikan kepalaku selalu ke pangkuanmu
manakala bantal-bantal empuk tinggal menyediakan mimpi buruk
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu
ladang tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk

belaian demi belaian menyelamatkanku dari kefanaan yang mencengkeram
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit kelam
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam

untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah

bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku
telah kuendapkan ia ke pekat ampas kopi yang membeku
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada halaman-halaman buku
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.

bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018

***

Adakalanya, sebuah puisi akan berbeda dibaca (dipahami) ketika si penyair masih ada dan ketika dia sudah wafat. Terkadang, puisi tertentu tampak sebagai pujian untuk seseorang (biasa) tapi ternyata ia adalah sanjungan untuk orang yang istimewa ketika dibaca ulang. Puisi berjudul “Padamu Jua”—yang sangat terkenal itu—karya Amir Hamzah adalah contoh yang diperdebatkan soal kepada siapa sejatinya puisi ini ditujukan. Demikian pula dengan beberapa lirik (puisi) yang dibawakan oleh Ummu Kulsum, seperti pada lagu “Saalu Qalbi” dan “Al-Qalb Ya’syaq Kulla Jamil”.

Puisi ini ditulis oleh Muhammad Zamiel el-Muttaqien pada pertengahan tahun 2018 tetapi baru saya baca (dan saya tafsiri) di pertengahan Februari 2019. Tentu saja, tafsir saya akan berbeda andai saja saya tulis saat beliau masih hidup. Namun, inilah tafsir manasuka  yang saya tulis setelah beliau pergi untuk selama-lamanya pada hari Selasa, 12 Februari, 2019, di usia menjelang 40 tahun.

Ketika dibaca selintas, yang dimaksud "rahasia" pada judul "rahasia ampas kopi" tersebut adalah “khasiat”, semacam khasiat ampas kopi untuk lulur atau antioksidan. Namun, begitu puisi tuntas dibaca, persepsi pembaca akan berubah. Ini bukan tentang rahasia itu, tapi tentang lainnya. Tentu saja, pandangan ini sangat subjektif, hanya melalui kedangkalan pemahaman saya terhadap puisi, terhadap almarhum, dan perihal cerita kopi sebagai minuman para akhwat tarekat—terutama—Syadziliyah.

“Rahasia Ampas Kopi” #tafsirpuisimanasuka

pada akhirnya (setelah berusaha, ujicoba) kukembalikan kepalaku selalu ke pangkuanmu (kembali ke haribaanmu, ke kamu, bukan ke yang lain. Bagian ini menjelaskan rehat, istirah, sebab ada kata bantal—pada baris kedua—yang menjadi penunjuk hubungan maknanya. Tapi, siapakah "-mu" di situ? Jika kita mengacu pada judul, maka yang dimaksud "dirimu" di situ adalah ampas. Akan tetapi, kita dapat melihat bagaimana penyair melakukan pengalihan amanat di sini—kita dapat menerka ini sebagai suatu pengalihan apabila kita membaca puisi secara tuntas sampai di ujung bait terakhir, yakni pengalihan dari “ampas kopi” ke “orang”, tepatnya ke orang yang menurutnya layak menerima kepala untuk menyandarkan kegundahan, persoalan, dan masalah-masalah lainnya)
manakala bantal-bantal empuk (lambang rehat yang mestinya nyaman) tinggal menyediakan mimpi buruk (ironi, karena tempat yang paling nyaman pun ternyata menyisakan kegundahan, bahkan ketakutan. Menurut sang penyair, itu)
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu (masa yang akan datang yang tidak jelas dan seolah-olah ia akan menjadi serupa) ladang tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk (yang selalu ditemukan, di mana-mana, serta selalu ada karena orang semakin rakus untuk mencarinya)

belaian demi belaian (tidak dijelaskan, “belaian siapa” atau “siapakah yang membelai” di sini, tetapi kita dapat menebak subjek melalui predikat yang disebut sesudahnya, yakni belaian [orang] yang dapat) menyelamatkanku dari kefanaan yang mencengkeram
(maka, yang dapat menyelamatkan dari kefanaan tentu saja adalah yang memiliki unsur baka, keabadian. Jika ini bukan personifikasi, maka belaian dapat dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik kepada nilai-nilai keabadian, yang bersifat ukhrawi, nilai-nilai amal sesudah mati. Sesungguhnya, kata “belaian” berpotensi negatif, seperti belaian yang menipu, yang sejenak menghibur. Tapi, di sini kita dapat memaknainya sebagai sesuatu yang positif karena ada frasa “agar paham” di akhir larik pada bait kedua: itulah belaian yang memberikan pemahaman. Menurut penyair, belaian tersebut telah menyelamatkan dia dari kefanaan yang memiliki daya dalam hal mencengkeram, kefanaan yang membuat dirinya)
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit kelam (Apa artinya? Belaian yang dapat menguasai dirinya tanpa daya, lebih-lebih di dalam situasi gelap tanpa cahaya. Salah satu dampak dari itu adalah ungkapan berikut ini:)
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam (dasar malam artinya segelap-gelapnya gelap, malam diumpamakan dasar laut atau sumur yang tentu saja sangat gelap. Selanjutnya, penyair menyatakan beberapa pernyataan satire: sebuah gaya bahasa ungkapan dengan cara menyindir, mengejek secara halus, berbeda dengan ironi yang lebih bersifat langsung dan terang-terangan)
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam (Apakah terpejam? tidur atau mati? Sesungguhnya, tidur pun adalah ‘mati’ di dalam hidup karena yang bergerak tinggallah jantung, sedangkan mati sejati pun masihlah hidup karena ada ruh yang mendengar doa dan ia pun akan kembali kelak, pada masanya)

untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah (mendekat adalah tindakan yang membutuhkan pengetahuan terhadap gerakan dan arah, tapi di sini justru kebalikannya)
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah (yang dapat membuat orang bisa menyapa adalah karena lidahnya, tapi penyair menyatakan diri harus menggunting lidahnya)
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah (sesungguhnya, nyaris tidak ada tindakan tanpa gairah, bukankah dengan memadamkannya berarti dia tidak akan bisa melakukan apa-apa?)
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah (dan ini adalah puncak satirenya: merindukan sesuatu tetapi dengan pengorbanan yang karenanya justru dia malah tidak akan mampu melakukan tindakan “merindukan” itu sendiri. Satire bukan satire jika harus dipahami secara literal [tersurat], melainkan harus dipahami bahwa ia adalah sindiran)

bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku (pada bait terakhir, penyair kembali membuat statemen, pernyataan akan keyakinan penyair terhadap rahasia itu, rahasia yang akan tetap menjadi rahasia bagi siapa pun. Biasanya, orang yang sedang dirundung rindu kerap kali tidak tahan untuk tidak menyampaikan atau menampakkan isi hatinya kepada orang lain, baik dalam bentuk ekspresi muka, ucapan, atau tulisan. Tapi, di sini, penyair menyatakan mampu melakukannya karena)
telah kuendapkan ia (rahasia dimaksud; seperti yang di sampaikan di muka) ke (dalam) pekat ampas kopi yang membeku (inilah alasan mengapa pada tafsir di atas, yang dimaksud “mu” itu bukanlah ampas kopi, melainkan sesuatu yang dia endapkan ke dalam ampas kopi. Apa yang diendapkan? Barangkali ia berupa amalan atau perbuatan yang mengharuskan ia berjaga dan nanar, ditemani kopi).
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada halaman-halaman buku (sebagaimana kesedihan seseorang dapat terbaca pada tulisan, seperti pada memoar)
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.
(Adapun yang disebut “tidak mampu menerjemahkan” bukan berarti tidak bisa menerjemahkan, melainkan semacam keyakinan penyair bahwa dia benar-benar merasakan kebahagiaan, kegirangan, yang tidak dapat diungkapan, yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain—termasuk tafsir ini—tentang betapa bahagianya si penyair jika ia telah sampai pada kondisi itu, keadaan yang diidam-idamkan. Kondisi apakah itu? Sangat mungkin ia adalah pertemuan, sebuah pertemuan yang terjadi hanya jika ia berpejam, kedekatan yang tidak lagi membutuhkan arah; sapaan yang tidak lagi membutuhkan ucapan, ciuman yang tak butuh lagi gairah, rindu yang terbayar setelah melalui perjuangan berdarah-darah. Itulah pertemuan dengan Junjungan yang Dirindukan, yang setiap malam ia harus berjaga, ditemani [ampas] kopi, demi pertemuan itu sendiri: suatu pertemuan yang harus dicapai melalui perjalanan panjang yang penuh kepahitan dan kegetiran dan—sekali lagi—setelah mata terpejam)

Wallahu a’lam

bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018

27 Januari 2019

Manuskrip Kota 24 (Rakhmat Giryadi)




Lewat tangga berjalan aku menuju kotamu. Lorong lorong sesak.suara para combre seperti memburu kuntilanak.

Betapa bising dan misteri, kawan.

Di persimpangan hanya ada iklan iklan berebut simpati dgn wajah kosong penuh debu. Aku menduga itu wajah yg menyaru.

Betapa kelu kotamu, kawan.

Langit penuh huru hara. Suara di luaran sana berjibaku seperti sebuah pasien dalam raungan maut, menembus kemacetan.

Aku terperangkap dalam jelaga hitam yg berarakan, seperti orang orang berbondongan mencari kota baru. Kota yg sering kau ceritakan biru dan tak berdebu.

Lewat tangga berjalan ini kawan, aku lihat pintu kota seperti gerbang tua yg menunggu purba.

2017

****

Manuskrip Kota (24) adalah puisi serial karya Rakhmat Giryadi, seorang teatrawan yang juga sering menulis Puisi. Cak Gir—panggilan akrabnya—agaknya memang menulis beberapa puisi bertema kota. Puisi ini adalah puisi yang nomor 24 (sebagaimana tercantum di judul. Saya menemuannya secara sepintas di kabar berita Facebook, 24 Oktober 2018. Langsung saja saya ‘garap’ dengan pendekatan suka-suka: #tafsirpuisimanasuka

“Manuskrip Kota (24”

Lewat tangga berjalan (eskalator, diterjemahkan menggunakan pola frase atributif berimbuhan [yaitu satuan bahasa yang terdiri dari dua kata atau lebih yang satu kata tersebut merupakan unsur perluasan dari kata yang lain dan unsur perluasannya itu berimbuhan] aku menuju kotamu (penyair mengganggap kotamu itu hanyalah semacam lantai dua atau lantai tiga di suatu pertokoan; simbolis). Lorong lorong sesak (karena orang-orang yang berseliweran dan sibuk. DI samping lorong yang sesak, lorong-lorongnya juga ramai karena dipenuhi) suara para combre (entah apa combre itu, yang pasti suaranya berisik dan menakutkan yang tergambar dalam ungkapan penyair bahwa mereka) seperti (sedang) memburu kuntilanak.

Betapa bising (kotamu) dan (betapa ia penuh) misteri, kawan.

Di persimpangan (maksudnya di tempat yang ramai, pusat publik) hanya ada iklan iklan berebut simpati (dari para pelalu lalang. Iklan-iklan itu mungkin bukan papan iklan [billboard] biasa, tetapi iklan calog legislatif karena ada penanda ke arah itu, yakni) dgn wajah kosong penuh debu (yang meskipun wajahnya tersenyum dan mengkilat karena sudah masuk bengkel rekayasa digital, ia masih tampak menyimpan keraguan dan kecemasan, masih kosong. Sebab itulah). Aku menduga itu wajah yg menyaru (karena wajah sejatinya tidaklah seperti itu).

Betapa kelu (artinya tidak bisa menyampaikan sesuatu secara jelas, tidak jelas konsepnya) kotamu, kawan.

Langit penuh huru hara (barangkali, yang dikehendaki si penyair adalah keberisikan bunyi mesin, klakson, knalpot, serta sumber suara lainnya yang tidak merdu, polusi suara di antara polusi udara. Maka dari itu, ia menyatakan kalau). Suara di luaran sana berjibaku (antara suara yang satu dengan suara lainnya) seperti sebuah pasien dalam raungan maut (pada masa-masa klimaktorium), menembus kemacetan (bagian ini mengacu pada baris pertama di bait ini, bukan penjelas pada kalimat sebelumnya).

Aku terperangkap dalam jelaga hitam yg berarakan (“jelaga hitam yang berarakan”, secara denotatif, boleh jadi sebagai gambaran asap knalpot kendaraan bermotor bermesin disel yang belum ‘tersertifikasi’ standar emisi gas buang EURO, tetapi secara konotatif, penyair memaksudkannya sebagai serangkaian persoalan yang berbanjar-banjar, panjang dan mengular, yang membelit seluruh problem kota yang dimaksud si penyair. Hal itu diibaratkannya), seperti orang orang berbondongan mencari kota baru (tempat tinggal yang baru, yang penuh harapan, tapi bukan Kota Harapan Indah di Bekasi. Yang dicari mereka barangkali adalah). Kota (idaman) yg sering kau ceritakan biru (simbol kemajuan) dan tak berdebu (maksudnya bersih).

Lewat tangga berjalan (repetisi, menegaskan situasi seperti di muka) ini kawan, aku lihat pintu kota seperti gerbang tua yg menunggu purba (jika pada bagian awal penyair cemas dan pesimis tentang keberadaan suatu kota, hingga pada bagian penutup puisi, si penyair semakin meyakini kebenaran pernyataannya sebagaimana di muka, yakni kota yang dimaksud—kota tempat tinggal kawannya itu, mungkin Jakarta atau Bekasi—mungkin saja, lho—akan segera menjadi kota yang ramai [sebagai ciri kota metropolitan] meskipun pada dasarnya, kerena adanya tata kota atau tidak adanya konsep yang jelas yang menjadi identitas kota tersebut, ia akan segera menjadi kota yang ketinggalan zaman.

2017 (artinya puisi ditulis tahun 2017, entah tangga dan bulannya)

M. Faizi 25 Okt 2018

17 Januari 2019

Puisi Adalah Negeri (Abdul Hadi WM)



Puisi adalah negeri
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
Para pelancong pun tak tahu
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat
seperti lawatan manusia ke dunia fana
Namun sabarlah engkau Cintaku, keindahan
akan terus memancar dari wajahmu
Dan orang akan berdatangan melihatmu
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia


sumber: FP Muktamar Sastra
Abdul Hadi WM (Wiji Muthari) adalah guru besar di beberapa perguruan tinggi. Ia dikenal dengan puisi-puisi sufistiknya dan meneliti banyak karya Melayu Nusantara. Beliau adalah penyair kelahiran Pasongsongan, Sumenep, 24 Juni 1946. Puisi ini saya temukan di Facebook. Saya melakukan pendekatan suka-suka atau #tafsirpuisimanasuka untuk membuat puisi ini lebih dekat dengan para pembaca.

#tafsirpuisimanasuka

Puisi Adalah Negeri

Puisi adalah (seperti) negeri (Pada saat penyair menyatakan “adalah”, karena ini pernyataan metaforis, maka pada saat yang sama ia bisa bermakna “adalah tidak” atau “adalah bukan”. Dengan demikian, pernyataan “puisi adalah negeri” dapat dipahami sebagai pernyataan yang menyatakan bahwa puisi itu tumpukan gagasan dalam bait-bait, bukan sebuah negeri, tapi bisa jadi ia seperti sebuah negeri kalau kita serupakan dan kita bandingkan kemiripan dalam hal unsur-unsurnya. Penyair mengatakan bahwa puisi itu ibarat suatu negeri).  
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
(Tiga baris di atas saya bagi sebagai satu bait karena memiliki satu gagasan utama, pernyataan pertama. Di sini, pada bagian ini, penyair membandingkan puisi dengan sebuah negeri, yaitu negeri yang sebetulnya indah dan kaya tetapi ditinggalkan oleh [banyak] warganya untuk mencari kesenangan di tempat lain. Memang, ada apa di tempat lain? Ada keindahan yang lebih menarik tentunya, keindahan yang tampak lebih menarik dibandingkan dengan keindahan negerinya. Adalah hal yang wajar jika manusia cenderung menyukai sesuatu yang baru, tidak melulu yang itu-itu. Orang desa merasa senang ketika tiba di kota besar, sedangkan orang kota besar malah ingin suasana tenteram seperti di desa. Begitulah, manusia ditakdirkan menyukai yang wadag, seperti yang ada di kota lain karena yang wadag cenderung lebih memuaskan hawa nafsu ketimbang yang sakral dan abadi yang biasanya lebih cepat membuat jemu. Dan puisi—ia yang disakralkan dan diagung-agungkan—seringkali membuat jemu pembacanya).

Para pelancong (yaitu warga yang meninggalkan negeri itu) pun tak tahu (karena bingung saat melihat sekaligus menikmati)
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat (yang membuat mereka bingung itu sebetulnya karena masa kunjungan yang terbatas, yang singkat, bukan karena tujuan yang tidak menarik hati. Hal itu diumpamakan penyair)
seperti lawatan manusia ke dunia fana (Negeri manusia itu, aslinya, adalah akhirat. Ke dunia yang wadag dan fana ini mereka hanya melancong saja, sebentar saja, tapi kerap bikin manusia lupa rumah asal-muasal karena daya tarik yang wadag itu memang sungguh menawan, luar biasa. Sudah dikasih tahu kalau dunia ini fana, tetap saja mereka tidak peduli. Terbukti, mereka habis-habisan mengurus dan menikmati “wisata dunia” itu sampai-sampai lupa pada rumah asalnya, padahal mereka telah tahu bahwa alam akhiratlah yang baka dan utama [sebagaimana dijelaskan di dalam Surah Ad-Duha, ayat ke-4]).

Namun sabarlah engkau(,) Cintaku (pada bagian ini terjadi pengalihan amanat, yakni “iltifat” atau apostrof: Penyair yang semula menyatakan sebagai puisi dengan status sebagai “orang ketiga”, tiba-tiba mengubah posisinya ke kata ganti “orang kedua”, yakni “engkau” yang juga diwakili oleh ungkapan “Cintaku” untuk memberikan tekanan pada persoalan) keindahan
akan terus memancar dari wajahmu (yang dimaksud “mu” di sini tentulah puisi, tepatnya keindahan yang terkandung di dalam puisi, yang samar, yang tidak segera diketahui karena manusia lebih tergoda pada keindahan lain yang langsung dapat dinikmati karena kecantikan kosmetiknya. Dan karena keindahan yang tersamar itu asli, bukan keindahan artifisial yang dicari oleh orang-orang itu, maka ia akan bersifat abadi).
Dan orang akan berdatangan melihatmu (untuk menemukan keindahan batin mereka sendiri yang terpancar di dalam puisi)
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia (Penyair yakin, bahwa puisi itu mengandung nilai luhur kebenaran yang harus digali lebih dulu, harus bersusah-payah dulu, untuk mendapatkannya. Hal demikian sudah digambarkan di atas, seperti manusia yang harus bersusah payah di dunia untuk mendapatkan gemilangannya Kebenaran dan Surga. Termaktub dalam diktum kuno suatu ungkapan, bahwa keindahan senantiasa duduk bersanding dengan kebenaran: pulchrum continetur in bono. Bonum enim quod placet. Pulchrum authem estquod visum placet. Kurang lebihnya demikian. Wallahu a’lam)


M. Faizi

13 Januari 2019

Meramal Kematian (Tafsir Puisi "Ode" Karya Gunawan Tri Atmodjo)


Meramal kematian? Yang bener! Kematian, atau ajal, dan sebagaimana rezeki, adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Terkadang, melalui astrologi dan nujum, seseorang bermain teka-teki soal hari jatuhnya kematian. Memang, kematian tidak dapat ditebak, bahkan diramalkan. Tapi, sering kali kita dengar orang memberikan isyarat-isyarat menjelang kematiannya, beberapa saat sebelumnya. Dan isyarat itu pun tanpa disadarinya.

ODE

aku kekosongan yang mencintaimu dengan ketiadaan
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya
cintailah aku sebagai kehampaan
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan
barangkali sesunyi doa
yang meski diam namun menolak sia-sia
Solo, 2013

* * *

Ode adalah genre puisi yang jika tidak berisi sanjungan (terhadap seseorang), biasanya ia mengandung ratapan. Nah, ode atau puisi ini seakan ditulis dan dipersiapkan untuk sebuah kepergian, entah itu mendiang putra penyair atau malah almarhumah istrinya. Barangkali, penyair memang tidak pernah meramal, tapi bisa jadi ada ‘kebetulan’ yang digariskan Tuhan dalam lembar suratan.
Dulu, ada seorang penyair yang puisi-puisinya seperti ramalan kematiannya. Puisi-puisi itu diterbitkan oleh Hasta Mitra, tahun 1983: “Shanti, Penyair yang Meramalkan Kematiannya”. Kini, kita temukan 'sensasi' itu dalam puisi Gunawan Tri Atmodjo ini, meskipun dalam sudut pandang berbeda.

#tafsirpuisimanasuka

“Ode”
aku (adalah) kekosongan (kehampaan) yang mencintaimu dengan ketiadaan ("dengan ketiadaan" bisa bermakna "kenestapaan", tetapi penyair seperti sedang membuat perbandingan sinonimitas dengan menyejajarkan “kekosongan” dengan “ketiadaan”. Adapun makna asal kosong berhubungan dengan volume/isi, sedangkan ketiadaan mengacu pada kehadiran atau ketakhadiran)
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya (ini adalah pernyataan negasi yang tujuannya adalah menunjukkan kesejatian. Artinya, ia befungsi untuk meneguhkan pernyataan si penyair sebagaimana tersurat pada larik di atas)
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya (dalam bentuk kalimat langsung, pernyataan tersebut bisa berupa; “engkau tidak yakin pun”, kata penyair, “aku akan tetap ‘mengada’, tetap yakin dan teguh pendirian, lebih-lebih jika engkau mempercayai pernyataanku”).
cintailah aku sebagai kehampaan (meminta agar si penyair dicintai apa adanya, yaitu dengan segala kehampaannya).
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan (seperti orang tidak akan pernah merasa kehilangan jika ia tidak pernah [merasa] memiliki)
barangkali (hal itu) sesunyi doa (seperti doa yang dipanjatkan dengan khidmat, dalam kesunyian)
yang meski diam namun menolak sia-sia (artinya, selirih apa pun doa itu dipanjatkan, orang yang berdoa tidak akan pernah berharap doanya tidak terkabulkan)
Solo, 2013
(Mari diperhatikan! Ketika puisi ini ditulis [2013], penyair Gunawan menulisnya dengan aku lirik: dia sebagai penulis sekaligus sebagai orang yang menyatakan, anggaplah ode ini untuk orang lain, untuk mendiang putranya atau entah siapa. Tetapi, sekarang (2018), ketika istrinya (Epi Paryani) telah berpulang beberapa waktu yang lalu, nyatalah kalau puisi ini tampak seolah ditulis oleh almarhumah untuk suaminya, Gunawan Tri Atmodjo.

Betapa aneh dan ajaibnya kematian! Ia memang sebaik peringatan. Sementara kehidupan ini fana. Kehidupan itu ada, kita jalani, tapi sebetulan merupakan ketiadaan. Ia ada sekaligus tiada. Kata Gus Muhammad al- Fayyadl "Sejauh yang “tidak ada” merupakan sesuatu yang “tidak aktual” dan karenanya “tidak terjadi”,”yang tidak ada” tidak dapat dipahami sebagai “yang tidak ada sama sekali”. “Yang tidak ada” mesti dimengerti sebagai “yang secara relatif belum ada” tetapi “akan ada” [Filsafat Negasi, hal.23]. Maka itulah, kita harus menyadari bahwa kematian adalah suatu cara Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang lebih indah daripada kehidupan. wallahu a’lam.

Turut berduka, Kawan.