13 November 2019
Perintah Literat
10 Oktober 2019
Joglitfest, Saya, dan Annuqayah
Joglitfest adalah kependekan dari Jogjakarta Literary Festival atau Festival Sastra Jogjakarta. Penggunaan istilah english ini saya kira karena acaranya diagendakan secara internasional, maksudnya karena melibatkan pembicara dari luar Indonesia. Joglitfest pertama kali diadakan tahun ini, 2019. Rangkaian acaranya diselenggarakan selama beberapa hari di bulan Agustus dan September. Agenda di bulan Agustrus adalah pra-acara (special events) sedangkan 27-30 September merupakan acara puncaknya (main events).
![]() |
foto milik panitia |
Acara ini tergolong acara besar karena melibatkan lintas instansi. Di antara yang terlibat adalah Dinas Kebudayaan DIY, Dirjen Kebudayaan Kemendikbud RI, sastrawan/penggerak sastra, akademisi, perguruan tinggi, komunitas, penerbit, lembaga pemerintah dalam bidang literasi, dan banyak lembaga swasta lainnya. Ide festival bertujuan untuk mendekatkan dunia sastra dengan publik, sekaligus menjalin keterhubungan antarmasyarakat sastra di dalam dan luar Jogjakarta.
Adapun ketua SC (steering committee) acara ini adalah Sri Sultan Hamengku Buwono X, dibantu oleh sepuluh orang anggota. Sedangkan ketua umum pelaksananya adalah Bapak Suharmono, M.A., dibantu oleh tiga orang ketua bidang, dua orang sekretaris, dan satu staf produksi. Acara ini juga melibatkan panel ahli. Mereka adalah Iman Budhi Santosa, Prof. Faruk, Dr. Aprinus Salam, dan Drs. Dhanu Priyo Prabowo.
Tema festival adalah “Gregah Sastra”. Kata “gregah” diambil dari bahasa Jawa, yang berarti kebangkitan, kesiapsediaan, atau ketangkasan dalam menyambut dan menyerap sesuatu yang datang dari luar dirinya. Adapun kata “sastra” dapat diasumsikan sebagai segala hal yang meliputi wacana kesastraan dan karya sastra baik yang bersifat tradisional maupun modern. Gregah Sastra dimaksudkan untuk memetakan ulang berbagai kecenderungan budaya yang terkait dengan wacana dan isu-isu kesastraan, apresiasi, dan resepsi karya sastra, serta kemungkinan kreatif dan estetik dalam proses penciptaannya. Demikian latar belakang acara yang saya kutip dari laman panitia.
Acaranya beragam, mulai dari workshop, pameran dan diskusi manuskrip, hingga pasar sastra dan bazar buku. Agenda terpusat di Museum Vredeburg. Adapun kegiatan satelitnya dilaksanakan di beberapa titik, di antaranya di kampus-kampus dan sekolah-sekolah. Adapun acara 'pertunjukan' pada kegiatan intinya berupa diskusi buku, talkshow, dan pertunjukan sastra, termasuk pentas musik.
Saya datang ke acara ini sejak hari pertama, Jumat, 27 September 2019. Saya mengikuti rangkaian pembukaannya yang diresmi dibuka oleh (wakil dari) Menteri Pendidikan & Kebudayaan dan Gubernur DIY. Selanjutnya, pada acara yang diletakkan di halaman Monumen Serangan Oemoem 1 Maret itu, ada pentas musik dari Silampukau dan Gabriella Fernandez serta Jogja Hiphop Foundation. Acara diselingi dengan pembacaan puisi oleh Joko Pinurbo dan Aan Mansyur.
![]() |
foto milik bustan basir |
Acara inti di hari pertama adalah ceramah literasi dan seminar. Temanya “Yogyakarta dalam Konstelasi Sastra Global-Lokal” dan seminar “Arah Pengembangan Sastra dan Kebudayaan Indonesia ke Depan” dengan nara sumber Eka Kurniawan yang secara khusus membidik isu ‘glokalitas’ (global-lokal) di dalam sastra. Adapun sesi siang diisi oleh Bapak Tirto Suwondo dan Prof Suminto A Sayuti. Masing-masing keduanya mengangkat tema “Dinamika Kesusasteraan Yogyakarta, Karya, dan Pengarangnya” serta “Yogyakarta sebagai Inspirasi Karya”.
Pada hari berikutnya, Ahad, 29 Oktober, Joglitfest menampilkan Nirwan Arsuka yang mengangkat tema "Budaya Global-Lokal dalam Sastra Indonesia" dan sesi siangnya diisi oleh Nanang Suryadi dan Ahda Imran, mengangkat isu “Dinamika Sastra di Dunia Maya” dan “Makna Sastra di Dunia Nyata”.
Acara Senin paginya, hari terakhir, tidak ada kegiatan seminar lagi. Acaranya adalah jalan-jalan ke museum dan rembuk budaya di salah satu aulanya, dilanjutkan dengan wisata ke kraton. Tapi, saya undur diri karena harus ngisi sesi siang, yakni tema Pesisir dan Gunung dalam Sastra. Tema ini mungkin dimaksudkan tema binari "agraris dan maritim" dalam wacana sastra. Saya bicara tentang banyak hal karena acaranya talkshow dan bisa sedikit 'menyimpang' dari topik pembicaraan. Di selasar Vredeburg itu, saya juga ingatkan kepada teman-teman yang bergiat di dalam sastra, utamanya puisi, agar tidak melulu sibuk berdandan dengan kata-kata saja. Kita harus kembali ke zaman dulu, mengambil "semangat zaman" mereka yang berjaya di masa lalu.
Saya contohkan bagaimana ilmu sosial atau gramatika dan juga sains bisa diungkapkan dengan baik di dalam puisi sebagaimana kita temukan di dalam nazam-nazam (puisi akademik) di pesantren. Salah satu contoh yang sempat saya kutip adalah Alfiyah dalam hal puisi yang membahas tata bahasa, begitu juga antologi puisi “Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul Musammah bil Mahriyyah” yang merupakan karya Syihabuddin Ahmad bin Majid yang berisi “teori dan teknik pelayaran”. Jadi, menjadi penyair itu tidak cukup hanya bermodalkan kemampuan memilih diksi dan pengetahuan berbahasa saja, apalagi "gaya-gayaan bahasa" alih-alih gaya bahasa. Penyair harus melampaui itu, misalnya dengan membiasakan survei dan melakukan penelitian lebih dulu sebagaimana dulu sempat dilontarkan oleh Ariel Heryanto dengan gagasan "Sastra Kontekstual"-nya.
Memang, acara Joglitfest ini tidak menggunakan sistem seleksi terbuka, melainkan kuratorial tertutup. Para kurator menyunting nama-nama lalu panitia mengundang mereka. Kelak, di masa yang akan datang, tentu apabila Joglitfest ini masih berkelanjutan, panitia mungkin akan membuka seleksi karya untuk menjadi (sebagian atau salah satu) syarat undangan dalam menghadiri acara ini. Tapi, itu juga mungkin, saya tidak tahu.
Bagaimana sastrawan-sastrawan diundang? Kata panitia, untuk kali pertama ini, undangan bersifat seleksi tertutup, yakni dengan pengajuan nama-nama oleh tim dan diseleksi oleh tim kurator (Hamdy Salad, Tia Setiadi, Irwan Bajang, Purwadmadi, Saut Situmorang). “Jika Joglitfest diadakan lagi, insya Allah kami akan buka undangan terbuka,” begitu yang saya dengar dari salah seorang panitia.
Hal yang sangat menyenangkan dari kegiatan sastra seperti ini sebetulnya acara silaturahminya. Saya banyak berkenalan dengan teman baru yang selama ini saya kenal di Facebook, atau tahu namanya saja. Saya juga bisa bernostalgia dengan kawan-kawan lama yang dulu pernah bertemu di dalam kegiatan-kegiatan serupa atau kegiatan sastra lainnya. Silaturahmi merupakan “agenda terselubung” di dalam setiap kegiatan sastra meskipun nyatanya, menurut saya, merupakan hal penting dan sangat utama sebab para penyair itu sering salah paham (penyair itu 'kan suka tensi tinggi biasanya, he he he) kalau tidak bertemu langsung dan tidak ngopi bersama.
Yang juga menggembirakan dari kegiatan ini adalah karena saya masih sempat “curi waktu” di sela waktu kosong antar-diskusi dan antar-acara yang sangat padat. Saya menyempatkan diri menghadiri undangan Aguk Irawan ke pesantrennya, Baitul Kilmah, di Bantul. Di sana saya diminta untuk bercerita tentang proses kreatif saya, terutama bidang penerjemahan. Pondok Baitul Kilmah memang notabene “pondok penerjemahan”. Makin heran saya karena ternyata, dari lima orang pengampu atau pengasuh madya di pondok itu adalah santri Annuqayah, almamater kami.
Dan yang lebih mengagetkan lagi adalah; dari enam bidang di kepanitiaan Joglitfest 2019 ini (administrasi, komunikasi, pertunjukan, nonpertunjukan, produksi, dan pengelolaan pengetahuan) yang total jumlahnya ada 48 orang, ada 3 orang alumni Annuqayah yang menjadi panitia (Bernando, Akmal, dan Khairul Fatah); 2 orang yang didapuk menjadi moderator (Mawaidi & Farisi); 2 orang yang menyumbang tulisan di buku antologi (Nurul Ilmi & Ali Fakih); serta 1 orang relawan atau volunteer (Muafiqul Khalid). Mereka semua adalah alumni Annuqayah, makin banyak kalau ditambah dengan 9 peserta workshop di acara tersebut.
Dari pengalaman ini, saya mulai tahu, bahwa meskipun tidak dimasukkan ke dalam AD/ART, pondok pesantren Annuqayah tidak menggunakan slogan-slogan literasi dan sangat jarang mengadakan workshop menulis atau kepenulisan, kehidupan literer dan literasi di pondok pesantren yang terletak di desa (dan sering disebut dengan Pondok) Luk-Guluk itu hidup dan dinamis karena telah menjadi nafas kehidupan santri dan pesantren. Jadi, kalau sudah menjadi nafas, ya, tidak perlu digembar-gemborkan lagi karena tanpa nafas mereka bakal mati.
_____________________________________________
Selengkapnya bisa dicek di : https://joglitfest.id/agenda/
17 Agustus 2019
Rubaiyat Manaqib Kiai Syarqawi dan Annuqayah
Satu Delapan / Delapan Tujuh / di Tahun Syamsi
Datang seorang / lelaki saleh / ke tempat ini
membuat rumah / menanam dua / Sawo Manila
Konon katanya / itulah pijak / sebagai sandi
Kiai Muham / mad As-Syarqawi / membuka tanah
awalnya kandang / dari Pak Aziz / hibah jariyah
sepetak huma / darinya jadi / asal-muasal
bagi pondok pe / santren yang berna / ma “Annuqayah”
Dari Kudus Ki / ai Syarqawi / beliau datang
bersama janda / Kiai Gemma / ke Perenduan
Ngaji ke Lasem,/ Hijaz, konon ju / ga ke Pattani
Di Guluk-Guluk,/ Madura jadi / akhir jujukan
Duapuluh li / ma putra-putri / keturunannya
duabelas o / rang yang berjuang / meneruskannya
sedangkan tiga / belas lainnya / telah berpulang
selagi kecil / dan juga belum / berkeluarga
Nyai Salehah, / Zubaidah, Jauha / ratun Naqiyah
Abdullah Siraj, / Abdullah Sajjad, / serta A'isyah
adik Kiai / Bukhari, Idris, / As’ad, dan Ilyas
Yang terakhir Ha / midah dan Hali / matus Sa’diyah
Said, Zainal A/ bidin, Sa’duddin,/ dan juga Rahmah
Jawahir, Yahya, / dan As’ad sebe / lum Qomariyah
Yasin, Abdul Ma / lik, dan Na’imah, / barulah Maryam
Mereka itu / wafat belia / juga Aminah
Dari enam ka / li pernikahan / dan istri-istri
lahirlah banyak / anak dan cucu / putra dan putri
Merekalah yang / melanjutkan lang / kah perjuangan
berkahnya Maula / na Ja'far Shadiq / Sunan Kudusi
Anak seberin / da menyebar ke / berbagai tempat
mengabdi dan men / jadi pengayom / rakyat dan umat
Ada petani, / dan niagawan, / juga pegawai
Tapi terbanyak / di bidang ilmu / dalam berkhidmat
Bukan saja se / mata-mata di / Pulau Madura
anak cucu Ki / ai Syarqawi / di mana-mana
Jawa, Sumatera, / di Sulawesi, / dan Kalimantan
bahkan tercatat / juga tinggal di / mancanegara
Di Guluk-Guluk,/ empat orang put / ra yang bermukim
Kiai Idris / di Lempong, barat / laut patobin
Kiai Ilyas, / Kiai Sajjad / Lubangsa - Latee
Nyai Aisyah / hijrah dan pindah / ke Sabajarin
Pada tahun sem / bilan belas ti / gapuluh tiga
“Annuqayah” ba / ru disematkan / sebagai nama
artinya bersih, / namun mengandung / maksud ilmiah
karena menga / cu pada kitab / dasar agama
“Annuqayah” i / tu kitab karya / Imam Suyuthi
yang menisbatkan / Kiai Khazin / Ilyas Syarqawi
menjadi tanda / peralihan ben / tuk pengajian
ke bentuk kelas / dan pengajaran / ala madrasi
Inilah wari / san agung dan se / bagai leluri
Maka putranya / wajib mengajar / kepada santri
menyebarkan il / mu di madrasah / maupun di langgar
cara berdakwah / teladan bil-hal / itulah suri
Kiai Idris / bangun jaringan / jauh di luar
Kiai Ilyas / atur strategi / juga mengajar
Kiai Sajjad / maju melawan / para penjajah
Kiai Husin / ayomi masya / rakat sekitar
Kiai Sajjad / ditembak di La / pangan Kemmisan
karena taktik / licik penjajah / sang kolonial
Darah syahidnya / menguar tajam / wangi kesturi
para penggotong / mereka membe / ri kesaksian
Itulah jejak / perjuangan me / nuju merdeka
Satu malam pa / da Agresi Mi / liter Belanda
Di ujung tahun / Empat Tujuh mu / ramlah pesantren
Kiai Khozin / menyusul wafat / menanggung duka
Pahlawan pergi / membawa mati / tinggal sejarah
anak cucu tak / boleh berhenti / sampai menyerah
pendidikan dan / pengajaran ser / ta pengajian
wajib berlanjut / haram berakhir / tak boleh sudah
Wahai para san / tri Annuqayah,/ janganlah lemah!
kalian wajib / terus berjuang / tegar dan gagah
Tak boleh redup / haruslah mela / wan kebodohan
biarlah Sang Sya / hid yang wafat me / lawan penjajah
mfaizi @17 Agustus 2019
10 Juni 2019
Menggambar Kota dengan Kapur Tulis (Sainul Hermawan)

04 Mei 2019
Rumah Tak Berpenghuni
Berada di antara kerumunan tempat tinggal dan perkampungan, rumah itu tampak biasa. Tetapi, karena halamannya jembar, ia kelihatan sedikit berbeda. Selebihnya, tak ada yang mengistimewakannya dibandingkan dengan yang lainnya. Namun, jika engkau melintas di depannya, di malam hari, barulah engkau akan tahu, rumah itu tak berpenghuni.
Saat aku memasuki halamannya, tapak langkahku terantuk sesuatu. Di antara rumputnya yang semata kaki, tersangkut aku pada sebuah gelas keramik. Kupungut dan kuamati: ini sisa bahan tembikar dari masa lalu. Astaga, betapa kenangan silam itu kecil, tapi, ah, kadang mengganggu.
![]() |
foto tidak merujuk kepada teks, foto hanya ilustrasi, foto oleh Haris Santoso |
Pintu-pintu mulai rusak. Beberapa harus dibuka dengan cara didorong sembari sedikit dihentak. Udaranya pengap menyergap, padahal ubinnya keramik dan atapnya tinggi bersirap. Ada sarang laba-laba di beberapa pojoknya, menandai rentang masa tertentu nan lama: rumah ini tidak disambangi manusia.
Seperangkat sice, meja papan jati Jawa dan kursi rotan dari Manau, tanpa piring dan gelas, juga pot tanpa bunga, berlurub debu dikangkang waktu. Ada lemari kayu berkaca lebar. Mungkin ia tempat menyimpan cangkir dan mangkuk keramik serta barang pecah-belah, atau pula menyimpan kemegahan dalam wujud perabotan-perabotan rumah. Semuanya, kini kosong tiada tersisa, kecuali sepasang garpu dan sendok yang bengkok ada di pojok, serta patahan gagang gelas yang teronggok.
Aku menyapu pandangan, mengeliling, mengitar.
"Hai, para penghuni, ada di mana kalian?"
Panggilan membentur dinding. Keheningan mengembalikan suara. Yang kuterima hanyalah perasaan berdesir, serupa kuduk dielus semilir.
Kenangan-kenangan laksana peri, berkelebat, di antara tembok putih yang mulai pucat. Ia seperti kelir, tapi pertunjukan wayang sudah lama berakhir. Manakala aku berada di antara suasana terpikat dan tercekat, keheningan rumah itulah yang seakan-akan ganti bercakap-cakap.
Di ruang tengah yang lebar, ada sofa panjang. Ujungnya lapuk dan bertelutuh, pertanda kayu kasau hancur tak kuat menopang. Mungkin, terlalu lama tak ada orang yang duduk di sana, sehingga ketika ada tetes air hujan yang mengucur dari layas yang rubuh, tak orang yang sempat memperbaikinya. Karpet tebalnya sudah tiada. Televisi sudah tiada. Mainan anak-anak, yang biasanya berserakan di sana, juga tiada.
Di manakah benda-benda itu kini berada?
Aku melongok ke kamar tidur: tersisa dipan tanpa kasur. Sandarannya patah, rapuh dimakan rayap. Gantungan baju tetap terpasak, tapi sama sekali tak ada pakaian. Yang tersisa hanyalah sebuah lemari dengan pintu terbuka, tapi engsel bagian atas sudah rusak. Ia tidak bisa ditutup dan terus terbuka.
Aku merasa: ada kemesraan di kamar ini, percakapan pelan di bantal yang lembut dan wangi. Barangkali, ada pula jejak pertengkaran, suara keras di tengah malam yang sepi. Ada tawa yang kini hilang, sebagaimana tangisan dan sesenggukan yang dulu menyelai.
Sejurus, aku berdiri di tengah pintu. Setelah memasuki ruang-ruang kosong dan menilik setiap pojok ruangan, kini aku hendak pulang. Aku menoleh: tak ada apa pun, tak ada siapa pun. Di belakangku hanya ada bayang-bayangku.
Aku menatap ke depan, menarik nafas panjang, menunduk, melangkah ke luar.
Setelah beberapa langkah menjauh, rumah itu tampak samar dalam keheningan. Semua perabotan di dalamnya telah membeku oleh waktu: tak ada tangan yang memegang sendok dan piring, tak ada lagi tubuh yang rehat berbaring, tak ada suara dan percakapan. Ia yang dulu besar dan megah, kesendirian membuatnya tampak kusam tanpa kimah.
Sebelum menghilang di ujung jalan, aku menoleh, sejurus melihat. Ah, seperti diriku dan dirimu ada di sana, duduk di berandanya. Tapi, begitu kuamati sekali lagi, aku sadar, kita tidak lagi tinggal bersama di sana. Dan rumah itu benar-benar tanpa penghuni.
Kelak, kalian, semua yang pernah hidup, akan mengalami perjalanan waktu seperti ini. Kita akan meninggalkan rumah yang kita huni karena harus pergi, harus pergi, ke tempat yang jauh sekali. Sementara rumah itu tetaplah ada, selalu ada, menjadi bagian dari saksi apa saja yang kita lakukan selama tinggal di sana.
14 April 2019
08 Maret 2019
Renungan dari Meja Makan
![]() |
Pangek Situjuah, foto: Akhyar Fuadi |
18 Februari 2019
Rahasia Ampas Kopi (Muhammad Zamiel el-Muttaqien)

(maka, yang dapat menyelamatkan dari kefanaan tentu saja adalah yang memiliki unsur baka, keabadian. Jika ini bukan personifikasi, maka belaian dapat dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik kepada nilai-nilai keabadian, yang bersifat ukhrawi, nilai-nilai amal sesudah mati. Sesungguhnya, kata “belaian” berpotensi negatif, seperti belaian yang menipu, yang sejenak menghibur. Tapi, di sini kita dapat memaknainya sebagai sesuatu yang positif karena ada frasa “agar paham” di akhir larik pada bait kedua: itulah belaian yang memberikan pemahaman. Menurut penyair, belaian tersebut telah menyelamatkan dia dari kefanaan yang memiliki daya dalam hal mencengkeram, kefanaan yang membuat dirinya)
27 Januari 2019
Manuskrip Kota 24 (Rakhmat Giryadi)
17 Januari 2019
Puisi Adalah Negeri (Abdul Hadi WM)
![]() |
sumber: FP Muktamar Sastra |
M. Faizi
13 Januari 2019
Meramal Kematian (Tafsir Puisi "Ode" Karya Gunawan Tri Atmodjo)
Meramal kematian? Yang bener! Kematian, atau ajal, dan sebagaimana rezeki, adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Terkadang, melalui astrologi dan nujum, seseorang bermain teka-teki soal hari jatuhnya kematian. Memang, kematian tidak dapat ditebak, bahkan diramalkan. Tapi, sering kali kita dengar orang memberikan isyarat-isyarat menjelang kematiannya, beberapa saat sebelumnya. Dan isyarat itu pun tanpa disadarinya.
ODE
aku kekosongan yang mencintaimu dengan ketiadaan
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya
cintailah aku sebagai kehampaan
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan
barangkali sesunyi doa
yang meski diam namun menolak sia-sia
Solo, 2013
* * *
Ode adalah genre puisi yang jika tidak berisi sanjungan (terhadap seseorang), biasanya ia mengandung ratapan. Nah, ode atau puisi ini seakan ditulis dan dipersiapkan untuk sebuah kepergian, entah itu mendiang putra penyair atau malah almarhumah istrinya. Barangkali, penyair memang tidak pernah meramal, tapi bisa jadi ada ‘kebetulan’ yang digariskan Tuhan dalam lembar suratan.
Dulu, ada seorang penyair yang puisi-puisinya seperti ramalan kematiannya. Puisi-puisi itu diterbitkan oleh Hasta Mitra, tahun 1983: “Shanti, Penyair yang Meramalkan Kematiannya”. Kini, kita temukan 'sensasi' itu dalam puisi Gunawan Tri Atmodjo ini, meskipun dalam sudut pandang berbeda.
#tafsirpuisimanasuka
“Ode”
aku (adalah) kekosongan (kehampaan) yang mencintaimu dengan ketiadaan ("dengan ketiadaan" bisa bermakna "kenestapaan", tetapi penyair seperti sedang membuat perbandingan sinonimitas dengan menyejajarkan “kekosongan” dengan “ketiadaan”. Adapun makna asal kosong berhubungan dengan volume/isi, sedangkan ketiadaan mengacu pada kehadiran atau ketakhadiran)
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya (ini adalah pernyataan negasi yang tujuannya adalah menunjukkan kesejatian. Artinya, ia befungsi untuk meneguhkan pernyataan si penyair sebagaimana tersurat pada larik di atas)
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya (dalam bentuk kalimat langsung, pernyataan tersebut bisa berupa; “engkau tidak yakin pun”, kata penyair, “aku akan tetap ‘mengada’, tetap yakin dan teguh pendirian, lebih-lebih jika engkau mempercayai pernyataanku”).
cintailah aku sebagai kehampaan (meminta agar si penyair dicintai apa adanya, yaitu dengan segala kehampaannya).
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan (seperti orang tidak akan pernah merasa kehilangan jika ia tidak pernah [merasa] memiliki)
barangkali (hal itu) sesunyi doa (seperti doa yang dipanjatkan dengan khidmat, dalam kesunyian)
yang meski diam namun menolak sia-sia (artinya, selirih apa pun doa itu dipanjatkan, orang yang berdoa tidak akan pernah berharap doanya tidak terkabulkan)
Solo, 2013
(Mari diperhatikan! Ketika puisi ini ditulis [2013], penyair Gunawan menulisnya dengan aku lirik: dia sebagai penulis sekaligus sebagai orang yang menyatakan, anggaplah ode ini untuk orang lain, untuk mendiang putranya atau entah siapa. Tetapi, sekarang (2018), ketika istrinya (Epi Paryani) telah berpulang beberapa waktu yang lalu, nyatalah kalau puisi ini tampak seolah ditulis oleh almarhumah untuk suaminya, Gunawan Tri Atmodjo.
Betapa aneh dan ajaibnya kematian! Ia memang sebaik peringatan. Sementara kehidupan ini fana. Kehidupan itu ada, kita jalani, tapi sebetulan merupakan ketiadaan. Ia ada sekaligus tiada. Kata Gus Muhammad al- Fayyadl "Sejauh yang “tidak ada” merupakan sesuatu yang “tidak aktual” dan karenanya “tidak terjadi”,”yang tidak ada” tidak dapat dipahami sebagai “yang tidak ada sama sekali”. “Yang tidak ada” mesti dimengerti sebagai “yang secara relatif belum ada” tetapi “akan ada” [Filsafat Negasi, hal.23]. Maka itulah, kita harus menyadari bahwa kematian adalah suatu cara Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang lebih indah daripada kehidupan. wallahu a’lam.
Turut berduka, Kawan.