31 Agustus 2018
Bermalam di Hotel
Malam panjang bagi bunga yang kuncup di taman
tapi singkat bagi tamu yang mimpinya mekar di kamar
Tak seorang pun lewat
kecuali petugas yang melintas
Satpam di sana, terkantuk tapi bertahan jaga
Koki di dapur, meramu menu dengan air mata
untuk keluarga di rumah yang tidur tanpa dirinya
Sementara di dalam kamar, benda-benda bicara
SEPRAI:
“Seorang lelaki dengan beberapa ajudan, masuk
lalu ditinggalkan sendiri
Yang tersisa hanyalah seorang perempuan
bukan istri dan bukan mahram
Betapa berat hidupku menjadi seprai!”
BANTAL:
“Aku pun mendengar rintihan
keluhan atas siksaan dalam hidup
Helai sapu tangan tak mampu menyerap air matanya
ia lantas menyekanya padaku,
menelungkup ke arahmu.”
DINDING:
“Kadang pula ada anak-anak muda
yang sama sekali tidak kalian tahu
sebab semalam suntuk mereka begadang
padahal di rumah, orangtuanya menunggu.”
KAMAR MANDI:
“Setiap tamu, pastilah pernah masuk ke mari
Mereka membersihkan tubuh dengan air hangat
tapi tak pernah benar-benar mampu
membersihkan kenangannya yang gelap
dari daki masa lalu...”
CERMIN:
“Ada pula yang sekadar berkaca,
melihat wajahnya pada diriku, lama-lama
bahwa kulit dapat dikencangkan
bahwa flek dapat dibersihkan
tapi usia melaju tak dapat ditahan.”
***
Di beranda hotel, sunyi begitu saja
tak ada tawa, tak ada tangisan
tak ada apa pun,
kecuali pramusaji dan petugas kebersihan
yang bergegas dan tak sempat bertanya,
‘di dalam, apa yang terjadi semalam?’
karena semuanya berlalu begitu saja,
seperti biasa
seperti hari-hari biasa
11/2/2018
28 Agustus 2018
Azan di Estrel
Aku dengar
azanmu di sana
mengalun pada
cahaya yang mengirim cuaca
namun musim
mengulur matahari
bersinar lebih
lama
Di atas secarik
mori aku bersujud,
untuk kelupaan
atas banyak hal, banyak nama
namun aku
terbenam dalam imaji
tentang
kesendirian nan sunyi
tentang suara
itu, lima kali
dalam sehari
Dari lantai 4,
kamar 40404
aku melihat
langit yang sama
juga sisa cahaya
teja yang sama
namun, hanya satu nada untuk azan
2/7/2011
19 Agustus 2018
Kembalikan Makna Pancasila (Gus Mus)
selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud
suka-suka yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah:
kesetanan yang maha perkasa
kebinatangan yang degil dan biadab
perseteruan indonesia
kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
dan sorga kami pun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya dicabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
1998
hak cipta foto ini bukan pada saya tapi saya punya buku ini cuma tak ada kamera |
* * *
Puisi ini ditulis dengan pola rata tengah. Dengan tanpa
bermaksud mengubah niat Penyair melalui topografinya, saya membuatnya rata kiri
demi memudahkan penafsiran. Secara tema, puisi ini memiliki semangat perlawanan
terhadap penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum anak negeri dalam hal menjarah
kekayaan bumi yang ditempatinya sendiri, Bumi Indonesia, dengan cara korupsi
dan kejahatan lainnya. Puisi ini saya cuplik dari buku puisi “Album Sajak Sajak
A Mustofa Bisri” (editor: Ken Sawitri, terbitan Mataair, 2008), halaman 277.
Dan seperti yang saya lakukan atas puisi-puisi sebelumnya, saya menggunakan
pola tafsir puisi manasuka untuk menguraikannya.
“Kembalikan Makna Pancasila”
selama ini di depan kami (di hadapan kami, maksudnya adalah perilaku
yang tampak oleh kami agaknya berlangsung baik-baik saja)
terus kalian singkat-singkat pancasila (kalian—orang yang
dimaksud, yang melakukan kejahatan terhadap negara dan bangsa—selalu menyingkat-nyingkat
Pancasila. Yang dikehendaki si penyair terhadap
bagian ini adalah gambaran mereka yang seolah-olah menyampaikan pesan dan
ajaran Pancasila sesuka hati, secara sederhana, tetapi sesungguhnya disesuaikan
dengan kepentingannya sendiri karena adanya maksud terselubung. Jadi,
menyampaikan pancasila dengan cara seperti itu [singkat-singkat] bukan demi
menunjukkan kesetiaan, melainkan justru untuk mengambil keuntungan darinya. Artinya,
“Kalian itu,” kata penyair Gus Mus, “tidak benar-benar menyampaikan isi
Pancasila...)
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud (rupanya,
“kalian punya pancasila versi suka-suka, versi kalian sendiri”)
suka-suka (kegemaran; hasrat) yang kalian anut (yang dituju;
yang dikehendaki. Dan hal itu bertolak-belakang dengan yang diajarkan oleh para
pendiri negeri ini yang diejawantahkan ke dalam Pancasila. Tindakan seperti itu
adalah munafik karena)
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan (melalui penataran P4
[Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] yang biasanya diterapkan di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi)
(Kira-kira, andai diparafrasekan, Gus Mus selaku penyair,
mempertanyakan sikap itu dengan pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Mengapa semua
ini terjadi? Mengapa kalian tega bersikap dan bersifat munafik, yakni
menyeleweng terhadap ajaran yang justru kalianlah para penatarnya?”. Si penyair
lalu menjawabnya sendiri, bahwa hal itu terjadi karena godaan syahwat, karena):
kepentingan-kepentingan sempit sesaat (seperti kepentingan
demi meraih kekuasaan dan kekayaan yang)
telah terlalu jauh menyeret kalian (ke dalam kubangan hasrat
yang tidak ada batasnya. Oleh sebab itu)
maka pancasila (versi) kalian pun selama ini (adalah “Pancasila
KW” yang justru bertentangan dengan Pancasila sejati. Nilai-nilai dasarnya malah
berkebalikan. Adapun kelima sila yang dimaksud) adalah:
(1) kesetanan yang maha perkasa
(2)kebinatangan yang degil dan biadab
(3)perseteruan indonesia
(4) kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
(5) kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
‘Pancasila’ seperti di atas adalah ‘iqtibas’ (quotation),
yakni proses memasukkan bagian teks tertentu ke dalam suatu gubahan yang baru,
baik secara bentuk atau pola saja. Di Indonesia, kita terkadang menyebutnya “plesetan”,
tetapi sebetulnya hal itu jauh berbeda karena rujukan utama ‘iqtibas’ biasanya kepada
‘teks besar’ [bisa berupa “tipa utama” dalam teori intertekstual], seperti
Alquran dan dalam hal ini teks Pancasila. Jika operasi iqtibas biasanya berupa
penggantian kata, plesetan lebih cenderung ke penggantian huruf pada kata tertentu
dengan huruf lainnya yang secara auditif nyaris sama dengan kata yang dirujuk. Dengan
catatan; adanya perkiraan dan kemungkinan acuan/rujukan yang terjangkau oleh
pendengar [atau pembaca]. Adapun bentuk penggantiannya terkadang dengan langkah
menukar salah satu huruf intra-frase. Contoh: “telok ceplor” untuk “telor
ceplok”)
dan sorga kami pun menjadi neraka (sorga yang dimaksud
adalah Indonesia yang dikenal dengan istilah “sepotong sorga yang ada di muka
Bumi” di mana “tongkat dan batu jadi tanaman” karena demikian subur tanahnya)
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan (acuan ibu pertiwi masih
sama, yaitu Indonesia; tanah air)
merahputihnya dicabik-cabik (merah putih mengacu kepada
bendera yang dalam hal ini merupakan simbol utamanya. Inilah puncak ironi itu,
di mana kesakralannya telah dicabik-cabik justru oleh anak yang disusuinya
[karena Penyair mengandaikan Indonesia itu seperti seorang “ibu”]. Mereka itu
adalah)
anak-anaknya sendiri (yang rakus dan kejam) bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
(Di bagian akhir puisi—yang saya pisahkan menjadi tiga
paragraf demi kemudahan dalam menafsir walaupun sebetulnya hanya ada satu
paragraf saja—penyair Gus Mus mengajak pembaca untuk melakukan permenungan
dengan pertanyaan retoris).
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
(Mengapa penyair mengaku tidak berani memohon ampun padahal
tindakan ini memang diperintahkan? Sekali lagi, ini adalah retoris! Memang benar
demikian tetapi tidak benar-benar demikian. Lalu? Sebagaimana kita ketahui,
memohon ampun itu adalah bertaubat, mengaku salah. Adapun syaratnya adalah
berhenti melakukan kesalahan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Nah, betapa tidak tahu malu artinya jika kita mohon ampun tetapi sambil lalu
terus-menerus melakukan kejahatan dan kemaksiatan?)
1998 (menandakan tahun penciptaan puisi; ditulis pada Tahun
Reformasi, 1998. Gus Mus, adakalanya, juga mencantumkan tahun penciptaan puisinya
dengan tahun Hijriyah yang biasanya dicirikan dengan penulisan tahun berkepala “14”).
Wallahu a’lam
13 Agustus 2018
Situbondo (Zainul Walid)
Situbondo
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya
Aku hanya bayi lemah
anak pohon ara-ara
yang dibawa sehelai daun
menyeberangi lautan
sampai ke haribaanmu
Atas kasihmu
kaurengkuh aku, rapat di dadamu
kaulekatkan mulutku pada puting susumu
mengalirlah darahmu dalam darahku
panaslah cintamu dalam cintaku
Situbondo
matahari terus tumbuh
burung-burung ramai berkicau
menyeruak dari lebat alismu
Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri
Aku memang bukan anakmu
tapi aku telah menyusu padamu
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu
-------------
Zainul Walid, 7 Agustus 2018
#tafsirpuisimanasuka
sumber foto: https://goo.gl/5oohhW |
"Situbondo"
Situbondo (penyair menyebut nama daerah seolah-olah memanggil nama orang, sebagai manusia; insanan. Hal ini dibuktikan dengan larik-larik selanjutnya yang menggunakan sudut pandang aku-engkau)
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang (penyebutan dua negara ini jelas mengacu kepada agresi militer, terutama Agresi Militer II Belanda di sekitaran tahun 1947, di mana Belanda menyerbu PP Salafiyyah Syafiiyyah Sukorejo sebagaimana mereka juga menyerang dan menembak Kiai Abdullah Sajjad di pondok Guluk-Guluk. Kedekatan diksi "Belanda" dengan "Situbondo" juga ditandai dengan de Groote Postweg atau Jalan Raya Pos yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Jalan Raya Deandels [mengacu kepada nama Gubernur Herman Willem Daendles] yang membentang dari Anyer [sekarang Banten] sampai Panarukan [di Situbondo]; cek buku “Dua Abad Jalan Raya Pantura”, terbitan Nurmahera]. Demikian pula dengan kata "Jepang" pada baris selanjutnya yang tercatat dalam sejarah pertarungan sengit dan menewaskan banyak orang. Konon, nama Batangan—dekat hutan wisata Baluran—mengacu pada peristiwa ini. Dalam hal ini, penyair yang merupakan perantau dari Madura dan sekarang tinggal di Situbondo, menyangkal diri, memastikan, bahwa ia bukanlah “penjajah”, melainkan semata-mata “perantau”. Adapun penjajah adalah mereka...)
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya (beginilah ‘kelakukan’ penjajah. Sudah datang ke rumah orang, merusak, merampok, bahkan mengusir penghuninya. ‘Mafhum mukhalafah’-nya: kalau aku tentu tidak seperti itu karena aku adalah perantau, bukan penjajah).
Aku hanya bayi lemah (memposisikan diri di titik terendah [sebagai bayi] adalah salah satu adab orang yang memohon, meminta, atau berdoa)
anak pohon ara-ara (pohon ara-ara ditengarai sebagai cikal bakal penamaan Pulau Madura, tempat lahir penyair; bisa juga dicek dalam kisah "Bangsacara dan Ragapadmi". Makamnya ada di Pulau Mandangin atau disebut Pulau Kambing, Kabupaten Sampang; buku serial cerita rakyat ini terbitan Grasindo),
yang dibawa sehelai daun (ungkapan pengandaian; merantau)
menyeberangi lautan (menyeberangi selat Madura)
sampai ke haribaanmu (“mu” di sini adalah Situbondo. Penyair merantau dari Pulau Madura, menyeberangi selat, dan tiba di Situbondo. Penggunaan kata “haribaan” mulai menunjukkan ke arah mana puisi ini akan ditujukan. Ini adalah pengandaian anak dan ibu, sebagaimana sebelumnya telah digunakan kata “bayi” dan “anak”)
Atas kasihmu (maksudnya, “disebabkan karena limpahan kasihmu kepadaku”)
kaurengkuh aku, rapat di dadamu (ungkapan kasih sayang, belas kasihan layaknya seorang ibu kepada anaknya)
kaulekatkan mulutku pada puting susumu (ungkapan yang sama; bentuk ungkapan penguat bagi larik sebelumnya)
mengalirlah darahmu dalam darahku (pada bagian ini, penyair mengandaikan diri sebagai anak kandung Madura tetapi lalu menjadi anak susuan bagi Situbondo. Maka dari itu, ia menyatakan secara tersirat, susu yang ia ‘mimik’ dari ibu susuannya itu—sebab ia “masih dalam keadaan bayi” pada saat merantau—telah menjadi darah, menjadi daging, membentuk “diri”-nya, semacam “dasein”. Karena itulah, ayoman yang diberikan oleh Situbondo turut pula membentuk kepribadiannya sehingga penyair mengungkapkannya dengan:)
panaslah cintamu dalam cintaku (ungkapan penyangatan).
Situbondo
matahari terus tumbuh (penanda waktu yang berlalu; proses)
burung-burung ramai berkicau (citraan alam sekitar; bisa juga sebagai kasak-kusuk atau pendapat orang)
menyeruak dari lebat alismu (jika Situbondo diibaratkan sebagai seorang ibu, maka seorang perempuan dengan alis yang lebat adalah isyarat perempuan yang cantik secara fisik dan/atau bermakna perempaun yang tegas menurut ilmu tafsir jasmaniah sebagaimana termaktub di dalam kitab khazanah asmara Melayu, cek buku “Mutiara yang Terpendam”; terbitan Malaysia, lupa nama penerbit [buku sudah raib])
Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri
(Satu bait yang berisi dua baris ini merupakan pernyataan sekaligus peneguhan ke-diri-an si penyair Zainul Walid). Dalam pernyataan ini, terkandung makna bagaimana mestinya hubungan sosial itu dibangun. Para perantau dari Madura yang sangat banyak menyebar di area Tapal Kuda, terutama Situbondo, sudah barang tentu paham soal hubungan dan interaksi ini. Terbukti, mereka hidup layaknya ‘pribumi’ setempat, bahkan sebagian besar tidak kembali lagi ke Madura, menjadi warga baru dan menetap di sana)
Aku memang bukan anakmu (pernyataan pengulangan, sama seperti pada bait pertama: kalimat negasi [pengingkaran] untuk menguatkan pemahanan-sebaliknya)
tapi aku telah menyusu padamu (nah, di sinilah penyair melakukan ‘bantahan’ terhadap pengingkarannya tadi. Tujuannya justru untuk menemukan kekuatannya. Hal serupa terjadi juga pada bait pertama syair I’tiraf-nya Abu Nuwas yang terkenal itu: Tuhanku, “bukan”-lah aku penghuni Firdaus-Mu, “tetapi” aku tak mampu berada di neraka Jahanam-Mu).
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu
(bagian penutup daripada puisi ini adalah pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Untuk apa bertanya tetapi tidak perlu jawaban? Tujuan penyair adalah agar pembacalah yang menjawabnya sendiri, karena penyair sudah yakin, bahwa baik dirinya maupun sekalian pembaca sudah “tahu-sama-tahu” atas jawaban itu, yaitu jawaban yang membutuhkan permenungan panjang—dengan mengembalikan seluruh ingatan pada semua peristiwa yang dibangun sejak awal—untuk menjawabnya).
Walla'hu a'lam
M. Faizi, 8 Agustus 2018
09 Agustus 2018
Nyalasar: Bunga Rampai Tafsir Puisi
Belakangan ini, saya sering menulis tafsir puisi. Kerja
penafsiran ini bersifat tertutup. Adapun praktiknya adalah menjelaskan kata,
frase, atau kalimat dengan cara memparafrasekan (frase atau kalimat) atau mencarikan
sinonim (satu kata tertentu) atau menguraikan ungkapan-ungkapan metaforis puisi
ke dalam bahasa literal, dan semua itu hanya berdasarkan “semampu gue”. Tentu saja, ke-semampu-gue-an ini bukan berarti
ngawur, lho, ya! Sederhananya begitu.
Meskipun sejauh ini saya menerima tanggapan yang baik dari banyak
pembaca melalui langkah ini, tetapi saya juga rada risih atau sungkan, khawatir langkah ini ‘menciderai’ mereka yang melakukan interpretasi sekaligus
kritik dengan kapasitas keilmuan yang memadai, sementara yang saya lakukan lebih
terkesan iseng. Umumnya, orang melakukan tafsir atau kritik itu demi
kepentingan ilmiah (skripsi), atau publikasi (kata pengantar), atau diskusi
(makalah). Biasanya, tafsir dalam ketiga jenis karya tulis seperti itu adalah "tafsir
sambil lalu", melainkan lebih banyak penekanan kritiknya. Nah, di sinilah bedanya, "tafsir puisi manasuka" yang saya tempuh justru sepenuhnya tafsir puisi dengan nyaris—saya ulangi;
nyaris—tanpa ada kritik (dalam arti 'kritik' sebenarnya) terhadap puisi yang saya tafsirkan tersebut.
Landasan yang saya lakukan adalah keinginan bertegur sapa,
sebab puisi itu—dalam sementara anggapan saya—cenderung kesepian sebagai karya di
tengah masyarakat umum, lebih-lebih di masa sekarang ketika masyarakat yang
jangankan suka berpikir mendalam dan mengakar, membaca esai yang
sedikit panjang saja malas. Yang laris adalah cuitan, status pendek,
atau posting satu baris (one-line-posting), sebuah istilah yang sempat populer di era mailing-list
dulu. Sekarang, orang-orang sudah sama-sama sibuk.
Tentu saja, kerja seperti ini menguras energi dan waktu
sebab saya harus menggali sebanyak mungkin informasi tentang satu tema yang
dibicarakan oleh si penyair yang puisinya saya tafsirkan, juga pekerjaan berat karena harus mengumpulkan ingatan-ingatan bacaan dan informasi yang
pernah saya baca dan pernah saya serap sebelumnya, untuk selanjutnya saya olah
dan saya tuliskan kembali. Akibatnya, waktu untuk menulis puisi sendiri pun
jadi berkurang.
Saya berharap, apa yang saya lakukan ini dapat merangsang
para penyair untuk terus menulis juga merangsang pembaca umum agar lebih
mencintai puisi sebab yang semula mereka anggap samar dan rumit kini jadi sedikit terkuak. Tentu
saja, tafsir tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, baik pembaca maupun si penyair berhak
menolak pendapat saya. Paling tidak, bagi pembaca, saya telah merintis jalan agar
mereka lebih mudah melaluinya. Pekerjaan "membukakan jalan" ini saya ibaratkan seorang pelancong yang hendak masuk ke dalam rimba makna di dalam puisi itu. Meskipun yang saya tulis bukan puisi, tapi juga tak kalah
puitis, bukan?
Menurut Iman Budi Santosa di dalam kata pengantar buku “Nyalasar”,
tindakan serupa ini, dulu, sudah pernah dilakukan oleh Saini KM. Makanya, kata
dia, adanya buku ini seakan-akan membangkitan ingatan masa lalu. Mendengar
kabar ini, saya senang sekali. Sebuah niat gerakan literasi dengan pola yang
lain saya harap bermula dari sini.
Penafsiran dimulai pertama kali pada 24 Desember 2017.
Ketika itu, Malkan Junaidi menulis puisi di akun Facebooknya, Pisah Ranjang.
Entah mengapa, saya tertarik dan langsung menulis tafsir untuk puisinya di kolom
komentar. Begitulah, puisi demi puisi saya baca dan saya buatkan tafsirnya. Kerja ini terus berlanjut sampai sekarang (bahkan setelah dibukukan). Saya membuka kembali
buku-buku puisi yang menumpuk dan lama tidak tersentuh. Alhamdulillah, berkat proyek tafsir puisi manasuka, buku puisi yang 'kesepian' di rak buku saya itu kini mendapatkan tangan untuk menyentuhnya, merengkuhnya.
Puncaknya, ketika saya menulis tafsir—kalau tidak salah—yang
keempat belas, pihak Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menghubungi saya dan
menyatakan diri untuk siap menerbitkannya. Semula saya ragu karena saya kira
ini hanya kerja main-main. Pihak Reboeng meyakinkan saya kalau mereka
benar-benar siap membiayai penerbitan ini sepenuhnya. Sip, terbitlah buku
ini. Reboeng bahkan juga menyiapkan acara peluncuran dan diskusinya di Taman BudayaYogyakarta, 6 Juli 2018.
Demikianlah kisah perjalanan tafsir puisi yang saya sebut
dengan tafsir puisi manasuka ini karena memang saya kerjakan dengan sesuka hati, "semampu gue", tanpa tekanan, tanpa pesanan. Ada 29 esai di dalam buku ini. Keduapuluh sembilan esai
tersebut membahas satu puisi dari masing-masing penyair berikut ini: Malkan
Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Jamil Massa, Sahlul Fuad & Binhad
Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riadi, WAA Ibrahimy, Joko Pinurbo, Zeffry Alkatiri,
Iman Budhi Santosa, Kim Al Ghozali, Abdul Wahid Hasan, Nana Ernawati, Afrizal
Malna, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Raudal Tanjung Banua,
Abdul Wachid BS, Rudi Fofid, Aly D Musyrifa, Sutarji Calzoum Bachri & Sitor
Situmorang, Iyut Fitra, Paox Iben, Nuryana
Asmaudi, Acep Zamzam Noor, Made Adnyana Ole, dan Yuli Nugrahani. Lah, mengapa hanya karya mereka saja? Nah, itu dia, pemilihannya pun juga berdasarkan manasuka.
Semoga kerja ini dicatat sebagai amal saleh.
IDENTITAS BUKU:
Nyalasar: Tafsir Puisi
Penulis: M. Faizi
Kurator: Nana Ernawati
Editor: Iman Budhi Santosa
Cetakan Pertama, Juni 2018 Halaman: 190
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60093-4-0
Penerbit: LSS REBOENG
Jl. Gaharu 1/8 Cipete Selatan, Jakarta Selatan
Email: khususreboeng2016@gmail.com
Web: senisastrareboeng.or.id
HARGA: Rp 50.000
CATATAN: buku ini tidak dijual di toko manapun, hanya bisa
dipesan kepada penulis (SMS/telp: 0817392631)
02 Agustus 2018
Shalawat Tanah (Kyai Matdon)
tangan tuhan menempel di tanah merah
gunung gunung, hutan rimba, pantai, sampai ke darah
dan kuburan kematian
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi
tanah diinjak-injak sekaligus dijadikan tuhan
perumahan diimpikan sekaligus pengusuran
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil
Tuhan tersenyum di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung dimainkan
sesepuh iblis;
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelak kita lelah
Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah?
bandung 1990
Sejak dulu, persoalan tanah kerap berhubungan dengan kekuasaan, konflik, hingga pencaplokan. Lebih-lebih saat ini, persoalannya semakin runyam, melebar ke wilayah agraria. Alih fungsi lahan, penguasaan tanah (secara paksa), kapitalisasi dan privatisasi, adalah serangkaian isu tanah terkini. Isu ini terus muncul dan secara signifikan tidak terselesaikan dengan baik kecuali hanya satu dua kasus saja.
“Shalawat Tanah”
#tafsirpuisimanasuka
tangan tuhan menempel di tanah merah (Ada dua frase kunci pada larik ini, yaitu “tangan tuhan” dan “tanah merah”. Ulama salaf [maksudnya ulama yang hidup pada periode Klasik dalam, antara zaman nabi hingga ulama abad ke 3 hijriyah, yakni masa atba’tabiin, eranya Imam Syafii, Imam Habnali, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para penyusun Kutub as-Stittah; bukan nama kelompok atau gerakan tertentu] tidak menafsir “anggota tubuh” yang disematkan kepada Allah. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh yang lain di luar yang memang dipergunakan sendiri oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya, mencakup "tangan", "bersemayam" [istawa/istiwa'] dan "mata". Ulama khalaf [kontemporer], menafsir 'yadun' [tangan]—sebagai perbandingan langsung atau metafora bagi “nikmat” atau “kudrat”. Mereka juga menafsirkan "istawa" dengan “menguasai”.
(Tafsir untuk frase “tanah merah” pun dapat dilihat dari tiga sudut: pertama, konotasi; merah pada tanah menunjukkan keberanian--sebagaimana pemahaman umum; kedua, denotasi, tanah merah sebagai tanah yang berwarna kemerahan, mengandung unsur lempung, kesuburan, dan; ketiga, geografi, tanah merah sebagai nama wilayah/tempat [nama kecamatan di Bangkalan atau nama kota di Singapura). Anda maunya yang mana?
(Adapun bagian berikutnya) gunung gunung, hutan rimba, pantai (merupakan rincian dari “benda/item yang ditempeli tangan tuhan”, sama seperti tanah merah), sampai ke darah
dan kuburan kematian (frase ini merupakan ungkapan penyangatan yang artinya pamuncak daripada seluruh “yang ditempeli tangan tuhan” tersebut.
(Selanjutnya, penyair Matdon membuat gambaran yang lain, gambaran gairah dan hasrat manusia yang lebih mengerikan lagi, tentu saja masih seputar isu tanah sebagaimana tertera pada judul puisi di atas. Tanah, dalam sejarah manusia, adalah ‘aurat’ yang paling menggoda. Ia merupakan harta yang paling sering mengundang syahwat orang untuk bersengketa. Kata para tetua, tanah memiliki daya magis yang mampu membuat seseorang mudah tersihir untuk menguasainya. Sebab itu, banyak petuah yang kita dengar agar berhati-hati ketika hendak membeli atau memiliki tanah. Di sini, penyair Kyai Matdon menyatakan perihal banyaknya bukti itu, tersurat dan tersirat dalam jejak peradaban manusia).
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi (penegasan atas statemen sebelumnya, bahwa)
tanah diinjak-injak (posisinya yang berada di bawah titik nadir manusia maka secara sunnatullah ia diinjak. Pernyataan ini denotatif. Namun, pada bagian) sekaligus dijadikan tuhan, (perumpamaan yang dikehendaki penyair adalah konotatif. “Tuhan” pada anak kalimat ini adalah pengkultusan, sanjungan berlebihan atas keinginan manusia. Penjelasan contohnya terdapat pada larik berikutnya, yakni)
perumahan diimpikan sekaligus penggusuran (orang ingin punya rumah [perumahan] tetapi seringkali pembangunannya diwarnai oleh penggusuran, sebuah pemandangan ironis. Semua itu mengacu pada tanah, sebagaimana)
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian (bahwa manusia tetap takut mati, tetapi acapkali mereka melakukan pembantaian atas nama apa pun, termasuk penggusuran dan penguasaan modal. Ujung-ujungnya, persoalan tetaplah mengacu ke tanah, penguasaan lahan, pencaplokan wilayah)
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil (ini adalah gambaran kejahatan yang dilakukan manusia terkait tema pembuhunan yang diyakini diawali oleh tragedi Habil dan Kabil)
Tuhan tersenyum (apakah makna senyum? Terkadang bermakna setuju, terkadang justru ekspresi ‘nyinyir’, isyarat satire. Bagaimana cara memahaminya dalam konteks ini? Periksa susunan kata-kata berikutnya) di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri (kempat frase ini adalah perlambang kemurungan, kesedihan, atau dampak perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia. Kesemuanya itu berada dan terjadi di atas tanah)
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung (bahwa status “tanah keadilan” itu nyatanya sangat samar, tidak jelas karena) dimainkan
(oleh) sesepuh iblis (siapa sesepuhnya? Lucifer atau Ifrit. Apa dampaknya?);
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelah kita lelah
(Keempat kalimat repetitif ini mengandung unsur sebab-akibat, seperti plot, bukan sekadar urutan kejadian belaka. Artinya, jika ‘dilengkapi’, susunannya akan menjadi seperti ini: ketika tanah menangis, maka langit pun ikut menangis [karena bersedih], ketika tanah bersedih, maka gunung pun ikut-ikutan bersedih. Dan manakala tanah berdzikir, maka lembah pun turut berdzikir. Akhirnya, ketika tanah menjadi lelah, maka kita pun menjadi lelah.
(Pada akhirnya, puisi ini ditutup dengan pertanyaan retoris)
Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah? (yang artinya, penyair bertanya kepada Tuhan, satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena jawaban memang tidak dibutuhkan sebab semua orang sudah dianggap tahu jawabannya. Tanah terlalu sering jadi ladang sengketa. Korbannya banyak pula, baik raga maupun jiwa. Lalu, mengapa penyair menggunakan kata “shalawat” untuk “tanah”? Sebab penyair masih meyakini atas peran penting Sang Nabi untuk semua urusan ini).
bandung 1990
Langganan:
Postingan (Atom)