PUISI TERJEMAHAN
di hutan-hutan
aku belajar
bahasa pepohonan
kuhafal setiap kosakata
dan pengucapannya
aku tiru suara pohon tumbang
bunyi akar menembus tanah
dan sejumlah kalimat
untuk menggugurkan dedaunan
ke dalam bahasa pohon
aku terjemahkan
puisi pemberontakan
juga puisi tentang hijaunya
kampung halaman
dan akan kubaca
dengan logat tunggul kayu
tapi sungguh
entah mengapa
terjemahan kata tumbuh
tak kunjung aku temukan
dalam bahasa pepohonan
Menimbang judul puisi (Puisi Terjemahan), persepsi pembaca seakan langsung dibawa pada persoalan puisi asing yang diterjemahkan atau tentang musykilnya menerjemhkan puisi. Pada saat itu, kita akan ingat statemen Robert Frost akan ketidakmungkinannya, tentang hal-hal yang akan hilang dari proses penerjemahan puisi. Akan tetapi, setelah bait pertama dibaca, jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Heru Joni Putra (HJP), puisi ini bukan tentang itu, melainkan tentang upaya penyair untuk memahami bahasa pepohonan (yang ia ibaratkan sebagai ‘menerjemahkan’), saat ia tumbuh dan begitu juga ketika tumbang.
Tipografi dua bait pembuka puisi dibikin menjorok ke dalam. Hal yang sama juga begitu pada dua bait penutupnya. Kedua bagian ini adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar jika puisi diandaikan sebagai sebuah ruang. Di pintu masuk, kita disambut oleh pernyataan penyair bahwa ia sedang mempelajari “bahasa pepohonan”, sebuah sistem komunikasi yang terbentuk dari simbol-simbol berdasarkan konvensi antarpohon yang mungkin tidak pernah diketahui oleh awam bagaimana ia berlangsung. Sains modern mungkin belum menemukan kode-kode itu meskipun sebetulnya boleh jadi ia ‘telah selesai’ dalam pengetahuan Kepercayaan dan mistisisme.
Dalam hal ini, yang dipelajari si penyair bukanlah sistem komunikasi verbal sebagaimana dibentuk dan disepakati oleh manusia, melainkan sesuatu yang yang ada pada pohon. Seperti apa bahasa komunikasi itu? Karena perbedaan media dan simbol, maka sebab itulah si penyair mengistilahkannya dengan “terjemahan”, yaitu menerjemahkan simbol bunyi pohon ke dalam bahasa simbol manusia.
Seandainya dibikin normal, struktur pembuka puisi akan menjadi seperti ini: “Aku belajar bahasa pepohonan di hutan-hutan. Kuhafal setiap kosakata dan pengucapannya”. Penyair membuat insanan, menyamakan pohon dengan manusia yang produk bahasanya dapat diidentifikasi dengan kosakata dan pengucapan. Dalam bahasa pepohonan, kosakata dan pengucapan ini adalah simbol bicara, suara atau ide yang disampaikan.
Jika suara pohon itu adalah modulasi, yang dilakukan penyair adalah demodulasi. Dengan cara inilah penyair melakukan proses menerjemahkan sehingga ia dapat mengenal, meniru, dan menghayati sebagaimana ia men-”tiru suara pohon tumbang, bunyi akar menembus tanah dan sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan”. Di sini, penyair mencermati suara pohon yang tumbang, akar yang ada di dalam tanah. Dua perbandingan tersebut tidak setara karena mengekspresikan satu hal yang berbunyi dan satu lainnya yang nirbunyi. Dua masalah bertambah, menjadi tiga, setelah dipungkasi “sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan”. Untuk statemen terakhir, bisa jadi ia adalah tindakan yang berasal dari si penyair atau suara mesin atau angin (namun tidak sebaliknya [seperti dua perbandingan sebelumnya]) karena adanya bentuk kalimat transitif “menggugurkan”.
Pada bait berikutnya, sudut pandang penyair terbalik. Ia bukan menerjemahkan suara dari pepohonan ke dalam bahasa penyair, melainkan menerjemahkan bahasa dan suara (hati) penyair ke dalam pohon: “Ke dalam bahasa pohon, aku terjemahkan puisi pemberontakan (dan) juga puisi tentang hijaunya kampung halaman”. Penyair menggambarkan visi ekologisnya atas bentuk idealisasi yang ada pada objek yang dikehendaki: pohon dan kampung halaman. Tindakan selanjutnya adalah mengumpakan terjemahan tersebut telah ia baca. Karena itulah, istilah yang muncul kemudian adalah “logat” yang diejawantahkan pada wujud “tunggul” (bekas bonggol kayu setelah ditebang atau tumbang), sebuah ekspresi atas entah kesedihan atau fase akhir sebuah kehidupan.
Statemen “tapi sungguh” di bagian akhir puisi menunjukkan bahwa penyair merasa heran pada dirinya sendiri, pada ketidakmampuannya untuk menemukan terjemahan kata “tumbuh” di antara kata-kata antonim lainnya yang bermakna kebalikannya (gugur, tumbang). Kenyataan ini seakan menunjukkan bahwa aku-penyair adalah aku-kebanyakan, bahwa orang-orang dengan mudah melihat bagaimana pohon tumbang, namun sebaliknya ia tidak mampu menyadari bagaimana ia tumbuh: sebuah proses puluhan tahun untuk berkembang namun hanya lima menit saja ia habis ditebang.
Pungkasnya;
“terjemahan kata tumbuh
tak kunjung aku temukan
dalam bahasa pepohonan”




