25 Juni 2018

Jawaban Batu (Sinta Ridwan)


Berharap pada pintu waktu.
Demi mengungkap batu.
Menjadi bukti masa lalu.

Berbisik pada hampa.
Mengurai kata jelma palapa.
Sebagaimana api redup dupa.

Mengapa simbol sembunyi.
dalam tubuh batu yang mati.
Generasi menjawab nanti.
Berdasar kepekaan diri.
Hati. Juga pola pikir.

Cita cinta pemahat diukir.
Bermotif bayi baru lahir.
Punya sayap lalu hadir.
Di atas derasnya hilir.
kala miris bergulir.

Tengahi perang antar keris
dan tombak. Gajah Mada meringis
dapat peran: antagonis manis

Batu menjawab,
ditemani daun berdebu lembab
bertuliskan nada irama rebab.

Ujungberung V, 2 Oktober 2008


Kali ini, saya akan menafsir satu puisi karya penyair Cirebon, Sinta Ridwan. Dia adalah seorang filolog muda. Puisi yang saya baca kali ini berjudul "Jawaban Batu" dari buku "Secangkir Bintang", Gambang, 2017.

#tafsirpuisimanasuka

sumber: https://goo.gl/9G6krZ
Kita terkadang bertanya, jika susunan dalam baris per baris atau bahkan bait per bait di  dalam puisi itu tidak predikatif, lalu hendak menyampaikan apa sebenarnya puisi itu? Dengan keadaan demikian, puisi berarti hanyalah setumpuk frase. Kita sedang membicarakan ini dalam wacana tata bahasa Indonesia. Jika susunan yang saya maksud (non-predikatif) terjadi dalam bahasa Arab—misalnya—maka ia bisa ditoleransi karena sistem tatabahasa Arab menganut kira-kira, subjek yang dikira-kira ada meskipun tidak tampak, seperti “kalimat minor”. Lalu, bagaimana dengan yang ini?

Bait yang terdiri dari tiga baris di bawah ini bukanlah kalimat, hanya susunan frase, hanya  menampilkan predikat tanpak subjek. Penyair rupanya menghendaki adanya subjek bayangan tanpa menyebutnya. Dalam hal ini, saya menduga, subjek dari predikat di bawah ini adalah “aku-filolog” atau “dia-arkeolog”. Saya memperkirakan, susunannya menjadi seperti ini:

(Seorang arkeolog itu) Berharap pada pintu waktu.
Demi mengungkap batu (dengan cara mempelajarinya. Banyak awam yang mengenal usia kuburan, misalnya, cukup hanya dengan mengetahui bentuk kijingnya atau juga pahatan atau simbol lainnya. Sementara filolog mengetahui usia kertas [bahan yang digunakan menyalin tulisan sebagai penentu waktu tulisan dibuat] dengan—salah satunya—menelisik “cap air” [watermark]. Arkeolog menggunakan metode “radiometic dating” untuk menentukan usia batuan. Tentu saja, ada cara yang lain sebagai pendukung dan penyokong datanya. Karena itu, arkeologi nanti harus menggandeng disiplin ilmu yang lain, seperti stratigafi yang notabene merupakan cabang ilmu geologi. Stratigafi memperlajari kerak dan lapisan batuan di lapisan terluar bumi, termasuk proses terbentuknya. Kata penyair, semua cara yang dilakukan oleh si subjek tersebut akan)
Menjadi bukti masa lalu.

(Penyair berupaya mengajak pembaca untuk berempati—maksudnya berempati sebagai arkeolog atau antropolog—agar berusaha meresapi kerja mereka dengan mengandaikan diri menjadi dirinya. Bagaimana rasanya seorang arkeolog yang sering atau nyaris bekerja dalam kesunyian, yang dalam istilah Sinta Ridwan diibaratkan dengan)
Berbisik pada hampa (Maksudnya, ini beda jauh dengan seorang antropolog yang ketika ingin menggali data lebih lanjut dapat mencari sumber rujukan kepada makhluk hidup, bukan kepada patung, kepada batu. Tugas arkeolog akan sangat berat, misalnya terus-menerus berusaha untuk) Mengurai kata jelma palapa (Palapa di sini dikaitkan dengan “Sumpah Palapa, sumpah Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara. Penyair Sinta, dalam membayangkan kerja arkeologis seperti itu, layaknya mengipas-ngipas bara api yang selalu nyaris mati)
Sebagaimana api redup dupa (katanya. Bagaimana terbayang jikalau kita membakar dupa tapi baranya terus meredup?).

(Dan kesulitan-kesulitan itu, antara lain, tampak dalam kerja keras membaca ‘sandi’ yang ditanamkan oleh moyang leluhur melalui simbol, seperti pada relief candi dan/atau mural pada batu. Penyair Sinta mengenluhkan kesukaran usaha semacam ini dalam sebentuk pertanyaan)
Mengapa simbol sembunyi.
dalam tubuh batu yang mati (frase “dalam tubuh yang mati bukan berarti mumi. Sinta membayangkan bahwa patung-patung adalah “tubuh yang mati” dalam wujud batu karena di sana para leluhur hanya menggunakan simbol-simbol di dalam patung tersebut, tidak serta-merta patung itu realis, meskipun ikonik. Sementara simbol mengakar dan tertanam di dalam Realitas. Meskipun saat ini, masalah-masalah ini belum terpecahkan, tetapi dia berharap)
Generasi menjawab nanti (untuk hal-hal yang tersembunyi itu. Dan semuanya akan tersingkap apabila generasi yang akan datang memiliki beberapa hal, salah satunya adalah).
Berdasar kepekaan diri (dan).
Hati. Juga pola pikir (Artinya, kalau hanya mengandalkan yang terakhir [pola pikir] tetapi tidak memiliki kepekaan, langkah generasi tersebut akan sulit karena kerja arkeologis seringkali berhubungan dengan hal-hal yang membutuhkan kerja otak kanan, seperti apresiasi terhadap nilai-nilai karya seni, simbol-simbol kesejarahan, dlsb).

Pada bagian bait ini, rujukan kita terbawa pada batu-batu monolitik di Pulau Paskah. Di dalam kehidupan modern seperti sekarang, untuk memindah batu dari satu tempat ke tempat lain saja susah. Apakah mungkin ia didatangkan dari daratan Amerika Latin terdekat? Pesisir barat Chili? Apakah batu-batu itu terjun begitu saja dari langit? Semakin tidak masuk akal. Lalu, kita mesti berkipir keras, bagaimana bisa  batu-batu raksasa itu ada di sana, batu-batu yang berusia ratusan tahun si pulau yang sangat terpencil itu teronggok kaku di situ? Bagaiama cara orang dulu melukis dan menata? Atau, jangan-jangan, orang di zaman itu adalah para raksasa sehingga baru sebesar gedung itu hanya kerikil di tangan mereka? Ataukah, arca kepala itu adalah mahakarya makhluk luar angkasa? Nah, bahkan hingga saat ini pun, ilmuwan belum menemukan jawaban pasti, hanya duga-menduga saja.

Cita cinta pemahat diukir.
Bermotif bayi baru lahir (salah satu kode dalam ‘jagat’ ini adalah motif bayi lahir. Menurutnya, motif seperti ini merupakan pertanda cinta sang pemahat dan diungkapkan melalui media batu. Lebih dari itu, biasanya, si bayi—seperti Pegasus dalam mitologi Yunani—selalu dilambangkan).
Punya sayap lalu hadir.
Di atas derasnya hilir. (Penanda kekuatan dalam hal menghayutkan berada di belakang, pada masa belakangan. Namun, di masa itu, kekuatan menghanyutkan adalah sebentuk kesedihan, yakni)
kala miris bergulir.

Tengahi perang antar keris
dan tombak (bagian ini merupakan gambaran peperangan, baik itu peperangan fisik maupun perang ideologis. Penyair Sinta melukiskan situasi keris dan tombak sebagai ilustrasi persenjataan di masa kerajaan, di masa lalu). Gajah Mada meringis
dapat peran: antagonis manis (peran antagonis adalah peran “menjadi lawan”, peran musuh, karena itulah dia meringis).

Nah, inilah salah satu bukti bahwa kita memang tidak diperkenankan membaca teks-teks metaforis dengan sudut pandang literal karena tindakan yang demikian itu menyesatkan. Memang, penyair ini tidak sedang menyajikan sejarah dan data-data tentang Majapahit dan Gajah Mada, melainkan sekadar mencoba memasukkannya ke dalam wacana yang yang lebih besar, yakni wacana arkeologis dan bagaimana batu-batu itu ‘bicara’, menyumbangkan informasi kepada manusia yang ingin mengulik data-data sebagaimana posisi kertas di dalam khazanah filologi. Maka, alangkah peran arkeolog maupun filolog begitu penting di dalam hidup ini! Tampaknya, demikianlah yang ingin penyair ini sampaikan. Dan sebab itulah kemudian dia bilang).

Batu menjawab (artinya memberikan data-data kepada manusia melalui sentuhan arkeolog),
ditemani daun berdebu lembab (bagian ini juga merupakan citraan arkeologis)
bertuliskan nada irama rebab (di mana, data-data itu juga ditemukan di media yang lain, seperti daun, daun lontar misalnya. Mengapa ada “nada irama rebab” pada bagian ini? Yang kita tahu, rebab adalah alat musik berdawai yang menyebar ke Nusantara melalui jalur perdangangan Islam. Agaknya, ke situlah puisi ini diarahkan).

© M. Faizi, 25, 06, 2018


2 komentar:

  1. Penafsir sangat piawai menyambungkan puisi, yang saat dibaca sekilas tampak tak berkesinambungan itu. Kalau orang yang tidak tahu apa-apa, mungkin puisi itu dianggap suatu bualan, seperti yang ditulis tadi, "hanya kumpulan frase". Eh rupanya, dia bisa lengkap kalau ditelusuri subjeknya.
    Pengulas sepertinya lebih paham dibanding si yang punya puisi.
    Maaf, saya berkomentar tidak untuk persahabatan, tapi lebih dari itu...

    BalasHapus
  2. Terima kasih, Ali Mukoddas. Kunjungan dan komentar Anda membuat saya makin mantap kerja seperti ini

    BalasHapus

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar