27 Juni 2018

Nujum Maut (Mashuri)




dalam remang epitaf, aku temu namamu tanpa penanda waktu
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam
seperti janji kata pada bunyi, seperti hasrat yang diam di urat
nadi, seperti aku sepasang mata yang lelah membaca
nujum yang tergurat di dedaunan nasib, yang bakal terbelah atau menyatu
di ujung titik atau berbalik...
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa, aku mengetuk jendela rahasia
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut, hanya kabut tak habis-habisnya
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran
juga perpindahan bentang angka-angka

Yogyakarta, 2011

Kitab puisi "Munajat Buaya Darat" adalah buku kumpulan puisi Mashuri. Di dalamnya ada sekian puisi, tapi saya memilih "Nujum Maut" karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena ia cukup pendek sehingga tidak terlalu menguras waktu untuk ditafsirkan. Proyek #tafsirpuisimanasuka ini tidak disokong oleh pariwara atau iklan dari penerbit maupun orangnya meskipun saya ulas dan saya terbitkan berbarengan dengan pemilukada Jawa Timur. Semua ini seperti hidup, serba suka-suka, meskipun yang sedang dibicarakan adalah maut.

"Nujum Maut"

Nujum artinya bintang-bintang. Dalam tradisi Indonesia kebanyakan, yang dimaksud nujum adalah ramalan, terutama yang berpangkal pada rasi bintang. Ilmu perbintangan tidak hanya astronomi, melainkan juga astrologi. Dalam tradisi Islam, perbintangan diaplikasikan dalam ilmu falak untuk menentukan waktu shalat. Namun, sebagian juga menggunakannya sebagai ramalan nasib. Abu Ma'syar al- Falaki adalah satu nama penting di bidang ini.

Melalui ilmu ini, seorang mumpuni bahkan bisa memprakirakan hal-hal rumit dan misterius, seperti kapan helai-helai daun pohon tertentu akan gugur, dsb. Apa pun dapat dinujum. Sebatas memprakirakan, bukan menebak apalagi menentukan sembari meyakini bahwa keputusan tertinggi tetap berada di tangan Tuhan, begitulah pandangan masyarakat umum. Akan tetapi, dalam puisi ini, nujum tidaklah bermaksud ke situ, malah sebaliknya. Penyair sedang ‘meramal’ masa hidup seseorang justru ketika dia sudah mati. Alasannya adalah karena dia ingin tahu jejaknya semasa hidup karena tak ada kabar dan data yang tersisa.

* * *

dalam remang epitaf (epitaf adalah tulisan pada nisan, tapi remang yang dimaksud penyair pada puisinya ini bukanlah penanda suasana, melainkan kesamaran data-data atau riwayat perihal jasad orang yang terbaring di baliknya, di dalam tanah. Hal itu tergambar pada kalimat berikut), aku temu namamu tanpa penanda waktu/ (artinya, penyair hanya sekadar menemukan nama orang, tetapi tidak menemukan data yang lebih dari itu, termasuk soal tanggal dan waktunya: kapan. Penyair juga meneguhkan hal ini pada baris selanjutnya)
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu/ (“tanggal yang tanggal” adalah permainan homograf. Yang pertama bermakna perhitungan hari/bulan, yang kedua bermakna lepas. Penyair menggambarkan data tanggal itu seolah terlepas dari batu nisan. Akan tetapi, meskipun data-data semacam itu penting bagi “dia yang hidup” tetapi “tidak bagi yang mati”, ia menganggap bahwa nilai kesejarahan dan perjuangan si jasad terkubur tetaplah bergelora, seperti api. Pada larik berikutnya, penyair Mashuri menggambarkan)
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti/ (di bagian ini, penyair lagi-lagi bermain bunyi pada kata-katanya. Artinya, semangat dan hasil perjuangannya tetap terbaca, tetap kelihatan bagi mata penyair yang nanar meskipun ia sepertinya tersamar, pada prasasti yang ada di areal kuburan. Situasi seperti ini ia gambarkan seperti matahari yang menyebabkan “malam di sini” tetapi “siang di tempat lain”. Ungkapnya:)
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam/ (dan karena merasa penting untuk menggambarkan jasa-jasa mendiang yang berkalang tanah itu, ia membuat dua perumpamaan lagi) seperti janji kata pada bunyi (yang terkadang memang dibutuhkan unsur auditifnya, wabil khusus dalam puisi mantra), seperti hasrat yang diam di urat/
nadi/ (bagaimana hasrat seseorang yang tidak tersurat dan bisa ditangkap oleh mata inderawi, melainkan nampak nyata mengalir di urat nadi, pada syaraf-syaraf, sehingga seseorang yang terkena stroke—misalnya—hanya tinggal punya hasrat, tetapi perintahnya tidak dapat ditunaikan melalui ‘urat-urat nadi’ itu karena ada masalah pada sistem sensornya, pada motoriknya. Penyair juga menjadikan dirinya sebagai tamsil), seperti aku sepasang mata yang lelah membaca/ (merasakan dirinya menjadi mata yang lelah membaca, yang capai dalam meramal dengan)
nujum yang tergurat di dedaunan nasib/ (“dedaunan nasib” adalah metafora rahasia [sebagaimana dijelaskan di muka: tentang ramalan daun melalui nujum], yang bakal terbelah atau menyatu/
di ujung titik atau berbalik.../(maksud daripada dua larik ini adalah sama, yakni tentang kemungkinan dari hasil nujum; terbelah atau menyatu; ujung titik atau berbalik. Dengan demikian, penyair tetap berpegang teguh pada prinsip bahwa nujum adalah upaya mendekat untuk ‘melihat’ takdir berdasarkan tanda-tanda, dengan peta langit atau tanda alam lainnya, bukan meramal dan memastikan, apalagi menetapkan keputusan).

dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa (bagian ini sama seperti baris pembuka, akan tetapi, remang pada bagian ini bermakna denotatif, remang sungguhan, yakni situasi nisan/makam di malam hari karena rendah cahaya, cuma penyair menggunakan diksi ‘papa’ yang artinya miskin atau yatim. Upaya ini adalah untuk menyangtkan, terbukti penyair lantas membenturkannya dengan upaya penggalian rahasia yang mestinya membutuhkan limpahan penerangan, banyak data), aku mengetuk jendela rahasia/ (dan pernyataan ini pun masih dipertentangkan lagi dengan baris berikutnya)
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut (sudah situasi makamnya remang, tidak ada petunjuk apa pun, malah digambarkan dengan tiadanya kedukaan, bahkan tiadanya tanda kematian, di balik tempat yang didiami oleh “orang yang mati” itu. Lalu, apa yang tersisa?) hanya kabut tak habis-habisnya/ (kabut adalah perlambang kesamaran. Dengan begitu, situasinya semakin dekat dengan diksi “remang” dan “cahaya papa” di atas)
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran/
juga perpindahan bentang angka-angka/ (puisi ditutup dengan lukisan perihal proses manusia menjalani hidup, bahwa sebetulnya kita hanyalah angka-angka di tahun lahir dan disudahi dengan angka di tahun terakhir. Di bentangan itulah manusia hidup, menjalani kehidupan. Adapaun karya, jasa, dan amalnya akan melampaui itu semua).

Wallahu a’lam.

© M. Faizi, 27 Juni 2018

Keterangan:
1.      Lambang “ / “ adalah tanda akhir baris
2.      Semua huruf memang ditulis dengan huruf kecil


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar