dalam remang epitaf, aku temu namamu tanpa penanda waktu
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam
seperti janji kata pada bunyi, seperti hasrat yang diam di urat
nadi, seperti aku sepasang mata yang lelah membaca
nujum yang tergurat di dedaunan nasib, yang bakal terbelah atau
menyatu
di ujung titik atau berbalik...
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa, aku mengetuk jendela
rahasia
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut, hanya kabut tak
habis-habisnya
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran
juga perpindahan bentang angka-angka
Yogyakarta, 2011
Kitab puisi "Munajat Buaya Darat" adalah buku kumpulan
puisi Mashuri. Di dalamnya ada sekian puisi, tapi saya memilih "Nujum
Maut" karena beberapa alasan, salah satunya adalah karena ia cukup pendek
sehingga tidak terlalu menguras waktu untuk ditafsirkan. Proyek
#tafsirpuisimanasuka ini tidak disokong oleh pariwara atau iklan dari penerbit maupun
orangnya meskipun saya ulas dan saya terbitkan berbarengan dengan pemilukada
Jawa Timur. Semua ini seperti hidup, serba suka-suka, meskipun yang sedang
dibicarakan adalah maut.
"Nujum Maut"
Nujum artinya bintang-bintang. Dalam tradisi Indonesia kebanyakan,
yang dimaksud nujum adalah ramalan, terutama yang berpangkal pada rasi bintang.
Ilmu perbintangan tidak hanya astronomi, melainkan juga astrologi. Dalam
tradisi Islam, perbintangan diaplikasikan dalam ilmu falak untuk menentukan
waktu shalat. Namun, sebagian juga menggunakannya sebagai ramalan nasib. Abu
Ma'syar al- Falaki adalah satu nama penting di bidang ini.
Melalui ilmu ini, seorang mumpuni bahkan bisa memprakirakan hal-hal
rumit dan misterius, seperti kapan helai-helai daun pohon tertentu akan gugur, dsb.
Apa pun dapat dinujum. Sebatas memprakirakan, bukan menebak apalagi menentukan
sembari meyakini bahwa keputusan tertinggi tetap berada di tangan Tuhan,
begitulah pandangan masyarakat umum. Akan tetapi, dalam puisi ini, nujum
tidaklah bermaksud ke situ, malah sebaliknya. Penyair sedang ‘meramal’ masa
hidup seseorang justru ketika dia sudah mati. Alasannya adalah karena dia ingin
tahu jejaknya semasa hidup karena tak ada kabar dan data yang tersisa.
* * *
dalam remang epitaf (epitaf adalah tulisan pada nisan, tapi remang
yang dimaksud penyair pada puisinya ini bukanlah penanda suasana, melainkan
kesamaran data-data atau riwayat perihal jasad orang yang terbaring di
baliknya, di dalam tanah. Hal itu tergambar pada kalimat berikut), aku temu
namamu tanpa penanda waktu/ (artinya, penyair hanya sekadar menemukan nama orang,
tetapi tidak menemukan data yang lebih dari itu, termasuk soal tanggal dan
waktunya: kapan. Penyair juga meneguhkan hal ini pada baris selanjutnya)
aku mencatat jejak tanggal yang tanggal dari batu/ (“tanggal yang
tanggal” adalah permainan homograf. Yang pertama bermakna perhitungan
hari/bulan, yang kedua bermakna lepas. Penyair menggambarkan data tanggal itu
seolah terlepas dari batu nisan. Akan tetapi, meskipun data-data semacam itu
penting bagi “dia yang hidup” tetapi “tidak bagi yang mati”, ia menganggap
bahwa nilai kesejarahan dan perjuangan si jasad terkubur tetaplah bergelora,
seperti api. Pada larik berikutnya, penyair Mashuri menggambarkan)
tapi api itu masih berapi dan menyepi di tepi prasasti/ (di bagian
ini, penyair lagi-lagi bermain bunyi pada kata-katanya. Artinya, semangat dan
hasil perjuangannya tetap terbaca, tetap kelihatan bagi mata penyair yang nanar
meskipun ia sepertinya tersamar, pada prasasti yang ada di areal kuburan.
Situasi seperti ini ia gambarkan seperti matahari yang menyebabkan “malam di
sini” tetapi “siang di tempat lain”. Ungkapnya:)
segalanya terpendam seperti matahari dalam malam/ (dan karena
merasa penting untuk menggambarkan jasa-jasa mendiang yang berkalang tanah itu,
ia membuat dua perumpamaan lagi) seperti janji kata pada bunyi (yang terkadang
memang dibutuhkan unsur auditifnya, wabil khusus dalam puisi mantra), seperti
hasrat yang diam di urat/
nadi/ (bagaimana hasrat seseorang yang tidak tersurat dan bisa
ditangkap oleh mata inderawi, melainkan nampak nyata mengalir di urat nadi,
pada syaraf-syaraf, sehingga seseorang yang terkena stroke—misalnya—hanya tinggal
punya hasrat, tetapi perintahnya tidak dapat ditunaikan melalui ‘urat-urat nadi’
itu karena ada masalah pada sistem sensornya, pada motoriknya. Penyair juga
menjadikan dirinya sebagai tamsil), seperti aku sepasang mata yang lelah
membaca/ (merasakan dirinya menjadi mata yang lelah membaca, yang capai dalam
meramal dengan)
nujum yang tergurat di dedaunan nasib/ (“dedaunan nasib” adalah
metafora rahasia [sebagaimana dijelaskan di muka: tentang ramalan daun melalui nujum],
yang bakal terbelah atau menyatu/
di ujung titik atau berbalik.../(maksud daripada dua larik ini adalah
sama, yakni tentang kemungkinan dari hasil nujum; terbelah atau menyatu; ujung
titik atau berbalik. Dengan demikian, penyair tetap berpegang teguh pada
prinsip bahwa nujum adalah upaya mendekat untuk ‘melihat’ takdir berdasarkan
tanda-tanda, dengan peta langit atau tanda alam lainnya, bukan meramal dan
memastikan, apalagi menetapkan keputusan).
dalam bayang-bayang, ketika cahaya papa (bagian ini sama seperti
baris pembuka, akan tetapi, remang pada bagian ini bermakna denotatif, remang
sungguhan, yakni situasi nisan/makam di malam hari karena rendah cahaya, cuma
penyair menggunakan diksi ‘papa’ yang artinya miskin atau yatim. Upaya ini
adalah untuk menyangtkan, terbukti penyair lantas membenturkannya dengan upaya
penggalian rahasia yang mestinya membutuhkan limpahan penerangan, banyak data),
aku mengetuk jendela rahasia/ (dan pernyataan ini pun masih dipertentangkan
lagi dengan baris berikutnya)
tapi di baliknya, tak ada sungkawa, tak ada maut (sudah situasi
makamnya remang, tidak ada petunjuk apa pun, malah digambarkan dengan tiadanya
kedukaan, bahkan tiadanya tanda kematian, di balik tempat yang didiami oleh “orang
yang mati” itu. Lalu, apa yang tersisa?) hanya kabut tak habis-habisnya/ (kabut
adalah perlambang kesamaran. Dengan begitu, situasinya semakin dekat dengan
diksi “remang” dan “cahaya papa” di atas)
dalam remang nisan itu, hanya kelahiran/
juga perpindahan bentang angka-angka/ (puisi ditutup dengan lukisan
perihal proses manusia menjalani hidup, bahwa sebetulnya kita hanyalah
angka-angka di tahun lahir dan disudahi dengan angka di tahun terakhir. Di bentangan
itulah manusia hidup, menjalani kehidupan. Adapaun karya, jasa, dan amalnya
akan melampaui itu semua).
Wallahu a’lam.
© M. Faizi, 27 Juni 2018
Keterangan:
1.
Lambang “ / “
adalah tanda akhir baris
2.
Semua huruf
memang ditulis dengan huruf kecil
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar