30 September 2022

Membayangkan Nasib Lagu Tito Sumarsono Jika Liriknya Dibaca Secara Harfiah

 

 

Saya tidak bisa membayangkan andaikan teks puisi—yang cenderung metaforis—itu harus ‘dibaca’ apa adanya, dipahami secara harfiah. Yang akan lahir adalah pemahaman yang rancu, yang tidak masuk akal, yang terlarang sebab yang literal tidak akan mampu selaras membaca yang metaforis, begitu pula sebaliknya.


Pada gaya asosiasi saja, misalnya di dalam partikel “seperti”, secara tersirat juga terkandung kopula negasi yang andai saja ditulis kira-kira menjadi; “tidak merupakan” atau “adalah bukan” (contoh: “engkau laksana bulan” dan dalam waktu yang sama juga bermakna; “engkau itu manusia, indah seperti bulan, tapi tidak seperti bulan karena engkau manusia”). Itu baru asosiasi yang di dalamnya terkandung “pembanding” sekaligus “yang dibandingkan”. Bagaimana dengan metafora yang perbandingannya langsung? Tanpa partikel seperti atau sejenisnya? Kesenjangannya akan lebih dari itu, lebih jauh lagi ketegangannya.


Orang yang melarang hormat kepada apa pun selain Allah, seperti hormat bendera di dalam upacara Agustusan karena alasan tidak ada ajaran dasarnya, atau karena alasan tidak ada penghormatan yang diperbolehkan kecuali hanya kepada Tuhan, saya kira alasan dasarnya kurang lebih sama dengan penjelasan ini: menyamaratakan penggunaan kata “hormat” dalam berbagai penggunaan, padahal ia digunakan secara berbeda pada frasa “hormat bendera”, “hormat orangtua”, atau hormat pada yang lainnya. Apalagi puisi, tanpa ada penafsiran, akan ada ketimpangan di dalam memahaminya.


Di bawah ini, secara iseng saya mencoba menulis “tafsirmanasuka” untuk lirik lagu karya Tito Sumarsono yang dipopulerkan oleh Ruth Sahanaya. Tentu saja, ini tafsir gurauan saja. Saya sedang berandai-andai betapa akan kacaunya pemahaman andaikan lirik lagu di bawah ini harus dipahami secara harfiah dan polosan saja.


Liriknya sebagai berikut:

Mungkin hanya Tuhan

yang tahu segalanya

Apa yang ku inginkan

Di saat-saat ini


Kau takkan percaya

Kau selalu di hati

Haruskah kumenangis

'Tuk mengatakan yang sesungguhnya


Kaulah segalanya untukku

Kaulah curahan hati ini

Tak mungkin

Ku melupakanmu (tiada lagi yang ku harap hanya kau)

Tiada lagi yang ku harap hanya kau seorang (Kau seorang)

Ha-ha-ha-aa hai-ya-ye he


Baik, kita mulai…


MUNGKIN HANYA TUHAN (baru saja mulai, lirik ini langsung bermasalah. Mana mungkin Tuhan masih di-mungkin-kan dalam keadaan maklum bahwa Dia memang memiliki sifat Mahatahu atas segalanya. Dengan demikian, frase berikutnya, yaitu) YANG TAHU SEGALANYA (itu menjadi nonsense karena adanya kebermungkinan di saat yang sama kita meyakini secara pasti akan kemahatahuan-Nya atas segala-gala. Mestinya, jika kata “mungkin” pada awal larik itu dipasang hanya demi kesesuaian irama dan birama dalam lagu, Pak Tito bisa menggantinya dengan “yakin” karena secara ‘scansion’, suku katanya juga mirip dengan “mungkin”). Sementara teks APA YANG KU INGINKAN, DI SAAT-SAAT INI tidak perlulah dibahas karena posisinya tidak krusial. Ia hanyalah pelengkap saja, ekspresi biasa saja, ngasih tahu aja.


KAU TAKKAN PERCAYA (bagian ini adalah upaya membuat negasi demi menguatkan posisi teks sesudahnya, yaitu kalimat) KAU SELALU DI HATI. Tujuannya seakan-akan meragukan, padahal maksudnya memastikan. Lalu, si penulis menambah penguat yang lain, yang sekiranya dapat mendukung pernyataan sebelumnya, yaitu pertanyaan retoris—yakni pertanyaan yang sebetulnya tidak perlu dijawab karena dianggap “sudah selesai” alias diketahui jawabannya oleh ‘addresse’. Sebetulnya, dan semestinya, HARUSKAH KUMENANGIS itu tidak perlu jika hanya un- 'TUK MENGATAKAN YANG SESUNGGUHNYA, karena mestinya ‘addresse’ tersebut tahu diri. Masa enggak nyadar, sih?



KAULAH SEGALANYA UNTUKKU (ini merupakan pernyataan yang mengandung syirik. Tidak boleh kita menyegalakan apa pun selain Tuhan. Lagi pula, di awal-awal sudah disebutkan kemahasegalaan-Nya, eh, kok di sini yang di-segala-kan malah pacar? Bid’ah sekali lirik/nyanyian ini. Jika dinyatakan bahwa KAULAH, alias si doi yang dimaksudnya itu, adalah CURAHAN HATI INI, yakni hatinya si penyanyi, bukan hatinya Pak Tito Soemarsono selaku penulis dan pengarang lagu untuk Ruth Sahanaya, masih mendinglah, standar dan datar saja pemahamannya.


Sementara pernyataan TAK MUNGKIN, KU MELUPAKANMU itu gombal. Mana mungkin manusia itu akan berstatus “tidak mungkin” sementara manusia adalah ciptaan yang paling berubah-ubah karena dia punya hati dan perasaan, akal dan pikiran? Yang serba-pasti itu hanya Tuhan, hanya Allah. Nah, syirik lagi, kan? Dan syirik pun kian menjadi-jadi gara-gara penutup lirik lagu ini, yakni TIADA LAGI YANG KU HARAP HANYA KAU SEORANG. Berharap, kok, sama manusia?! Kalau manusianya selingkuh, dia kecewa; kalau berbohong, dia bakal marah. Makanya, berharaplah hanya kepada Yang Tahu Segalanya. Dan hentikan nyanyi-nyanyi, apalagi mengumbar kepalsuan dan kesyirikan semacam ini.


***

Ya, namanya juga fantasi, ya, begitulah. Sejujurnya, saya tidak tahu, apa saja atau semacam apa yang terlintas di dalam pikiran orang dengan cara pandang yang polos begitu. Tapi, saya meyakininya kok kira-kira tidak begitu jauh dari yang saya tulis di atas ini.

29 Mei 2022

Bunga Mimpi di Taman Itu

 

Di taman impian itu,
kulihat tumitmu menjejak tanah
menapak tanpa alas, di atas rumput basah
 
Bunga-bunganya mekar ketika malam
dan mencapai puncak keindahannya
sebelum fajar
terlewat oleh orang yang lelap di balik selimut
juga oleh yang nanar, namun tidak bersujud
 
Aku selalu mengimpikan diriku
ada di sana bersamamu:
taman yang ada hanya ada di sana,
atau yang jika ia ada di sini,
pastilah hanya maujud di dalam mimpi
 
Sebab itu, haruslah aku tidur
untuk mensyukuri ajaibnya kesadaran:
wahyu bagi nabi, ilham bagi penyair
Namun aku mesti juga terjaga
untuk meragukan “gubuk nyata lebih baik
daripada istana tapi di dalam mimpi”
karena di taman impian itu,
ungkapan tersebut tidak berguna
sebab ia hanya pantas bagi mereka
yang bunga tidurnya adalah mimpi
tapi tidak bagiku,
yang bunga mimpinya adalah dirimu
 
4/12/2021


1
foto ini saya dapatkan dari orang lain yang mengaku ngambil dari postingan IG almarhumah istri saya, dulu, sebelum akunnya dihapus olehnya