Berharap pada
pintu waktu.
Demi mengungkap
batu.
Menjadi bukti
masa lalu.
Berbisik pada
hampa.
Mengurai kata
jelma palapa.
Sebagaimana api
redup dupa.
Mengapa simbol
sembunyi.
dalam tubuh batu
yang mati.
Generasi
menjawab nanti.
Berdasar
kepekaan diri.
Hati. Juga pola
pikir.
Cita cinta
pemahat diukir.
Bermotif bayi
baru lahir.
Punya sayap lalu
hadir.
Di atas derasnya
hilir.
kala miris
bergulir.
Tengahi perang
antar keris
dan tombak.
Gajah Mada meringis
dapat peran:
antagonis manis
Batu menjawab,
ditemani daun
berdebu lembab
bertuliskan nada
irama rebab.
Ujungberung V, 2
Oktober 2008
Kali ini, saya akan menafsir satu puisi karya penyair Cirebon, Sinta Ridwan. Dia adalah seorang filolog muda. Puisi yang saya baca kali ini berjudul "Jawaban Batu" dari buku "Secangkir Bintang", Gambang, 2017.
#tafsirpuisimanasuka
sumber: https://goo.gl/9G6krZ |
Bait yang terdiri dari tiga baris di bawah
ini bukanlah kalimat, hanya susunan frase, hanya menampilkan predikat tanpak subjek. Penyair rupanya menghendaki adanya
subjek bayangan tanpa menyebutnya. Dalam hal ini, saya menduga, subjek dari predikat
di bawah ini adalah “aku-filolog” atau “dia-arkeolog”. Saya memperkirakan,
susunannya menjadi seperti ini:
(Seorang arkeolog itu) Berharap pada pintu waktu.
Demi
mengungkap batu (dengan cara
mempelajarinya. Banyak awam yang mengenal usia kuburan, misalnya, cukup hanya dengan
mengetahui bentuk kijingnya atau juga pahatan atau simbol lainnya. Sementara
filolog mengetahui usia kertas [bahan yang digunakan menyalin tulisan sebagai
penentu waktu tulisan dibuat] dengan—salah satunya—menelisik “cap air” [watermark].
Arkeolog menggunakan metode “radiometic dating” untuk menentukan usia batuan. Tentu
saja, ada cara yang lain sebagai pendukung dan penyokong datanya. Karena itu,
arkeologi nanti harus menggandeng disiplin ilmu yang lain, seperti stratigafi yang
notabene merupakan cabang ilmu geologi. Stratigafi memperlajari kerak dan lapisan
batuan di lapisan terluar bumi, termasuk proses terbentuknya. Kata penyair,
semua cara yang dilakukan oleh si subjek tersebut akan)
Menjadi bukti masa lalu.
(Penyair berupaya mengajak pembaca untuk berempati—maksudnya berempati
sebagai arkeolog atau antropolog—agar berusaha meresapi kerja mereka dengan
mengandaikan diri menjadi dirinya. Bagaimana rasanya seorang arkeolog yang sering atau nyaris bekerja dalam
kesunyian, yang dalam istilah Sinta Ridwan diibaratkan dengan)
Berbisik pada
hampa (Maksudnya, ini beda jauh dengan seorang antropolog yang ketika ingin menggali data lebih
lanjut dapat mencari sumber rujukan kepada “makhluk hidup”, bukan kepada patung, kepada batu. Tugas arkeolog akan sangat
berat, misalnya terus-menerus berusaha untuk) Mengurai kata jelma palapa
(Palapa di sini dikaitkan dengan “Sumpah Palapa”, sumpah Gajah Mada untuk menyatukan Nusantara. Penyair Sinta, dalam membayangkan kerja
arkeologis seperti itu, layaknya mengipas-ngipas bara api yang selalu nyaris mati)
Sebagaimana
api redup dupa (katanya. Bagaimana terbayang jikalau kita membakar dupa tapi baranya
terus meredup?).
(Dan kesulitan-kesulitan itu, antara
lain, tampak dalam kerja keras membaca ‘sandi’ yang ditanamkan oleh moyang
leluhur melalui simbol, seperti pada relief candi dan/atau mural pada batu.
Penyair Sinta mengenluhkan kesukaran usaha semacam ini dalam sebentuk pertanyaan)
Mengapa
simbol sembunyi.
dalam tubuh
batu yang mati (frase “dalam tubuh yang mati” bukan berarti mumi. Sinta membayangkan bahwa patung-patung adalah “tubuh
yang mati” dalam wujud batu karena di sana para leluhur hanya menggunakan simbol-simbol di dalam patung tersebut,
tidak serta-merta
patung itu realis, meskipun ikonik. Sementara
simbol mengakar dan tertanam di dalam Realitas.
Meskipun saat ini, masalah-masalah ini belum terpecahkan, tetapi dia berharap)
Generasi
menjawab nanti (untuk hal-hal yang tersembunyi itu.
Dan semuanya akan tersingkap apabila generasi yang akan datang memiliki beberapa hal, salah
satunya adalah).
Berdasar
kepekaan diri (dan).
Hati. Juga
pola pikir (Artinya, kalau hanya mengandalkan yang
terakhir [pola
pikir] tetapi
tidak memiliki kepekaan, langkah
generasi tersebut akan sulit karena kerja arkeologis seringkali
berhubungan dengan hal-hal yang membutuhkan kerja otak kanan, seperti apresiasi terhadap nilai-nilai karya seni, simbol-simbol kesejarahan, dlsb).
Pada bagian bait ini, rujukan
kita terbawa pada batu-batu monolitik di Pulau Paskah. Di dalam kehidupan modern seperti sekarang, untuk
memindah batu dari satu tempat ke
tempat lain saja susah. Apakah mungkin ia didatangkan dari daratan Amerika Latin
terdekat? Pesisir barat Chili? Apakah batu-batu itu terjun begitu saja dari
langit? Semakin tidak masuk akal. Lalu, kita mesti
berkipir keras, bagaimana bisa batu-batu
raksasa itu ada di sana, batu-batu yang berusia ratusan
tahun si pulau
yang sangat terpencil itu teronggok kaku di situ?
Bagaiama cara orang dulu melukis dan menata? Atau, jangan-jangan, orang di
zaman itu adalah para raksasa sehingga baru sebesar gedung itu hanya kerikil di
tangan mereka? Ataukah, arca kepala
itu adalah mahakarya makhluk luar angkasa? Nah, bahkan hingga saat ini pun, ilmuwan
belum menemukan jawaban pasti, hanya duga-menduga saja.
Cita cinta
pemahat diukir.
Bermotif bayi
baru lahir (salah satu kode dalam ‘jagat’ ini adalah motif
bayi lahir. Menurutnya, motif seperti ini merupakan pertanda cinta sang pemahat dan diungkapkan melalui media batu. Lebih dari itu, biasanya, si bayi—seperti Pegasus dalam mitologi Yunani—selalu dilambangkan).
Punya sayap
lalu hadir.
Di atas derasnya
hilir. (Penanda kekuatan dalam
hal menghayutkan berada di belakang, pada masa belakangan. Namun, di masa itu,
kekuatan menghanyutkan adalah sebentuk kesedihan, yakni)
kala miris
bergulir.
Tengahi
perang antar keris
dan tombak (bagian ini merupakan gambaran peperangan, baik
itu peperangan fisik maupun perang ideologis. Penyair Sinta melukiskan situasi
keris dan tombak sebagai ilustrasi persenjataan di masa kerajaan, di masa lalu). Gajah Mada meringis
dapat peran:
antagonis manis (peran antagonis
adalah peran “menjadi lawan”, peran musuh, karena itulah dia meringis).
Nah, inilah salah satu bukti bahwa kita memang tidak diperkenankan membaca
teks-teks metaforis dengan sudut pandang literal karena tindakan yang demikian
itu menyesatkan. Memang, penyair ini tidak sedang menyajikan sejarah dan
data-data tentang Majapahit dan Gajah Mada, melainkan sekadar mencoba
memasukkannya ke dalam wacana yang yang lebih besar, yakni wacana arkeologis
dan bagaimana batu-batu itu ‘bicara’, menyumbangkan informasi kepada manusia
yang ingin mengulik data-data sebagaimana posisi kertas di dalam khazanah
filologi. Maka, alangkah peran arkeolog maupun filolog begitu penting di dalam
hidup ini! Tampaknya, demikianlah yang ingin penyair ini sampaikan. Dan sebab
itulah kemudian dia bilang).
Batu menjawab (artinya memberikan data-data kepada manusia
melalui sentuhan arkeolog),
ditemani daun
berdebu lembab (bagian ini juga
merupakan citraan arkeologis)
bertuliskan
nada irama rebab (di mana,
data-data itu juga ditemukan di media yang lain, seperti daun, daun lontar
misalnya. Mengapa ada “nada irama rebab” pada bagian ini? Yang kita tahu, rebab
adalah alat musik berdawai yang menyebar ke Nusantara melalui jalur
perdangangan Islam. Agaknya, ke situlah puisi ini diarahkan).
© M. Faizi, 25, 06, 2018
Penafsir sangat piawai menyambungkan puisi, yang saat dibaca sekilas tampak tak berkesinambungan itu. Kalau orang yang tidak tahu apa-apa, mungkin puisi itu dianggap suatu bualan, seperti yang ditulis tadi, "hanya kumpulan frase". Eh rupanya, dia bisa lengkap kalau ditelusuri subjeknya.
BalasHapusPengulas sepertinya lebih paham dibanding si yang punya puisi.
Maaf, saya berkomentar tidak untuk persahabatan, tapi lebih dari itu...
Terima kasih, Ali Mukoddas. Kunjungan dan komentar Anda membuat saya makin mantap kerja seperti ini
BalasHapus