31 Agustus 2023

Tafsir Puisi Semisal Badrul Mustafa

SEMISAL BADRUL MUSTAFA (Heru Joni Putra)

 
Hatiku dibolak-balikan Tuhanku.
 
Kepalaku gampang terbentur kusen pintu -
Segala pujaku untuk suluh di tangan,
 
Kakiku gampang tersandung tunggul kayu -
Semua pujiku untuk bulan saban malam
 
Hatiku dibolak-balik Tuhanku.
 
Ingin benar kukembalikan goncangku pada gelombang
Sungguh mau kuserahkan guyahku pada angin garang.
 
Hatiku dibolak-balik Tuhanku.
 
Teguh sudah bagai beringin tengah pasar
Hendak rubuh oleh semisal angin sebentar
 
*** 
https://suluah.com/wp-content/uploads/2021/12/Heru-Joni-Putra.jpg

Barusan (18 Agustus 2023), gulung-gulung layar di Facebook, entah kenapa saya bisa bersirobok dengan puisi ini. Utak-atik sebentar, hup, jadilah begini.
“Hatiku dibolak-balikan Tuhanku.”

Ini kalimat dalam bentuk pasif yang dimodifikasi dari doa di ujung tahiyat sebelum salam (Wahai Dzat yang Membolak-balikkan hati). Mengapa dibentuk pasif? Dua kemungkinannya: pertama, penyair ingin kebaruan tapi tetap mengacu pada referensi utama, sejenis tipa induk dalam teori intertekstual. Dalam bahasa Arab, ada istilah ‘iqtibas’ yang secara harfiah bermakna “kutipan”, namun dalam praktiknya tidak semata-mata mengutip, melainkan mengutip suatu kalimat atau frasa yang diketahui publik (seperti ayat atau hadis) dengan tanpa menyebutkan sumbernya karena dianggap ‘common sense’. Adapun kemungkinan yang kedua; penyair ingin menunjukkan kondisi terkini hatinya. Jadi, jika di dalam doa itu adalah harapan agar hati si hamba ditetapkan dalam keyakinan, sementara dalam puisi ini penyair menyatakan kondisi hatinya yang justru telah demikian, telah bolak-balik.

Bait pertama terdiri dari satu kalimat. Kalimat ini diulang tiga kali dalam puisi, berbentuk repetisi utuh. Bait pertama mendahului dua bait berikutnya yang berposisi sebagai penjelas atau contoh bagi bait pertama yang berperan sebagai pernyataan. Repetisi kedua dan repetisi ketiga hanya diikuti oleh masing-masing satu bait penjelas. Langkah ini agaknya dibuat oleh penyair untuk tujuan kesan pengulaman biasa, penguatan statemen yang didukung oleh contoh-contoh.

Anatomi puisinya, secara lebih rinci, adalah sebagai berikut: bait pertama sekaligus kalimat pertama adalah pernyataan situasional. Kalimat pertama pada bait kedua sebagai pengakuan kelemahan diri dan kalimat kedua pada bait kedua merupakan kelalaian. Mengapa lalai? Karena jika sebelumnya si aku-penyair menyatakan bahwa “kepalanya gampang terbentur kusen” (padahal dalam keseharian itu jarang terjadi), tapi secara ironis dia menyatakan (pada kalimat berikutnya) bahwa ia memuji dirinya sendiri yang sebetulnya mampu melihat karena memegang suluh (lambang alat penerangan yang fungsinya adalah agar jalan dapat dilalui, tidak mudah terpeleset, terjatuh, atau terbentur) yang justru berada di tangannya sendiri. Ironi terjadi di sini.

Bait berikutnya berbunyi;
“Kakiku gampang tersandung tunggul kayu -
Semua pujiku untuk bulan saban malam”

Bait di atas masih sama, secara napas dan gaya, dengan bait sebelumnya, yaitu tentang pengakuan atas kelemahan di saat berjalan dan di dalam perjalanan: kepala mudah terbentur, kakinya mudah tersandung. Ini jelas berbeda dengan lagu "indung-indung kepala indung” karena kaki yang tersandung—di dalam lagu tersebut—disebabkan oleh “mata yang melihat ke bukan jalannya”. Heru menyatakan kakinya gampang tersandung, semata-mata begitu tanpa menjelaskan alasannya, sebaliknya justru dia memuji-muji adanya cahaya: Ironi lagi, ironi laaagi.
“Hatiku dibolak-balik Tuhanku.”
“Ingin benar kukembalikan goncangku pada gelombang
Sungguh mau kuserahkan guyahku pada angin garang.”

Masih sama persis dengan bait di atas dalam hal gayanya, bait ini berbeda dalam hal ‘alaqoh-nya, yaitu ‘hubungan’ (relatiuonship) antara “goncang” dan “gelombang” dan antara “guyah” (goyah) dan “angin garang” yang dibangun oleh penyair. Dalam pada itu, penyair berempati telah mengambil semangat gelombang dan angin garang untuk dipakainya sendiri sebagai spirit dalam menapak kehidupan (dan jalinan dalam hubungan ini harus dibangun oleh kita sendiri sebagai pembaca), tapi ternyata yang terjadi justru kebalikannya. Ia mudah goyah, ia mudah goncang. Sebab itu, penyair merasa malu dan ingin mengembalikan kekuatan itu pada entitas yang semestinya, yakni pada gelombang dan angin garang. Adapun contohnya, ia letakkan pada bait penutup setelah ia membuat repetisi yang terakhir:

“Hatiku dibolak-balik Tuhanku.”

Dan inilah contoh yang dimaksud, yang kalau saya parafrasakan akan menjadi seperti ini: Saya itu “Teguh(,) sudah (kokoh berdiri) bagai(kan pohon) beringin (di) tengah pasar(, tapi saya merasa limbung, seakan) Hendak rubuh oleh semisal angin sebentar”(, ya, hanya angin sebentar, angin yang tidak begitu kuat lajunya. Sungguh memalukan, bukan?). Kira-kira, begitulah imajinasinya.

***

Kerjaan iseng membuat artikel #tafsirpuisimanasuka seperti ini sebetulnya sudah lama saya lakukan. Dulu, saya rajin menulis hal begituan di Facebook hingga datang pesan, di suatu hari, dari Ibu Nana Ernawati ke dalam Messenger dan melamar status-status itu untuk diterbitkan oleh LSS Reboeng dan saya mengiyakan. Kesepakatan berujung dengan terbitnya buku "Nyalasar" yang akhirnya habis terjual dan diminta teman-teman. Kerjaan ini saya anggap hiburan, oleh karena itu biasanya saya asal comot dan asal ambil puisi siapa pun selagi ia melintas di 'newsfeeds' atau secara kebetulan saya menemukannya di tempat yang lain.
Maaf untuk si penyair, saya comot karyanya tanpa pamit.