25 Februari 2024

Huwan Nur


هُوَ النُّورُ يَهدِى الحَا ئِرِينَ ضِيَاؤُهُ
وَفِى الحَشرِ ظِلُّ المُرسَلِينَ لِوَاؤُهُ
Dialah pelita, membimbing si bimbang dengan cahyanya
Di Mahsyar, yang jadi naungan adalah panjinya
تَلَقَّى مِنَ الغَيب المًجَرَّدِ حِكمَةً
بِهَا اَمطَرَت فِى الخَافِقِينَ سَمَاؤُهُ
Hikmah menyambang dari Kegaiban sarwa
hingga langit pun mengucur hujan untuk semesta
وَمَشهُودُ اَهلِ الحَقِّ مِنهُ لَطَائِفٌ
تُخَبِّرُ اَنَّ المَجدَ وَالشَّأ وَشَأوُهُ
Adapun Ahlul Haq mendaku: pesonanya
menandakan bahwa adiluhur itulah karsanya
اَيَانَازِحًاعَنِّى وَمَسكَنُهُ الحَشَا
اَجِب مَن مَلاَ كُلَّ النَّوَاحِى نِدَاؤُهُ
Engkau nan jauh, namun tinggal dalam dada
Jawablah, hai insan yang seruannya memenuhi hala
اَجِب مَن تَوَلاَّهُ الهَوى فِيكَ وَامضِ فِى
فُؤَادِى مَايَهوَىَ الهَوى وَيَشَاؤُهُ
Sambutlah, Tuan, di mana cinta menghela
padamu, dan seisi hati berhasrat beranta
مرضتُ فكأن الذِّكر براء لِعِلّتي
فيا حبِّذا ذِكرا لِقلبي شِفاؤه
Menyebutmu dalam sakitku laksana euforia
Betapa indah! Sebab mengingatmu itu obatnya
اذا علم العشاق داي فقل لهم
فان لقا احباب قلبي دواؤه
Jika perindu tahu sakitku, silakan dikata:
tambar duka bagi kekasih adalah berjumpa
ايا سيدي قلبي بحبك بايح
وطرفي بعد الدمع تجري دماؤه
Tuanku, hati risau padamu gara-gara cinta
tangisku berdarah setelah habis air mata
فوادي بخير المرسلين مولع
واشرف مايحلو لسمعي ثناؤه
Gandrung hatiku pada Rasul nan pokta
Yang termanis di telinga adalah memujinya
فَيَارَبِّى شَرِّفنِى بِرُؤ يَةِ سَيِّدِى
وَاَجلِ صَدَى القَلبِ الكَثِير صَدَاؤُهُ
Rabbi, agungkan daku supaya melihatnya
hingga hatiku melimpah ruah gemanya
عَلَيهِ صَلاَةُ الله مَاهَبَّتِ الصَّبَا
وَمَااَطرَبَ الحَادِى فَطَابَ حِدَاؤُهُ
Salawatullah, sepanjang semilir, untuknya
sealun gembala melagu merdu senandungnya
مَعَ الالِ وَالاَصحَابِ مَاقَالَ مُنشِدٌ
هُوَالنُّورُ يَهدِى الحَائِرِينَ ضِيَاؤُهُ
Keluarga-sahabat seberinda a la fatwa pujangga:
Dialah pelita, membimbing si bimbang dengan cahyanya

11 Februari 2024

Tafsir Puisi "Penemuan" (Ahmadul Faqih Mahfudz)


Siapakah “orang pertama” yang disebut kamu/mu dalam baris-baris berikut ini? Yang diulang-ulang dalam pelbagai macam redaksi berbeda dalam setiap repetisi? Ia adalah unsur yang sama, zat yang sama, mahia yang sama. Sebetulnya, itu saja kunci memahami puisi Ahmadul Faqih Mahfudz ini.


Meskipun hanya urusan kata ganti “mu” ini tampak sepele, akan rumit dan panjang kalau ada perbedaan pandangan akan “persona ke-2” (mu; kamu), tentang ke-siapa-annya. Ingat puisi “Padamu Jua”, kan? Puisi yang dianggap bernilai religus, mistik-sufistik oleh H.B. Jassin, A. Teeuw, Sutan Takdir Alisjahbana, A.H. Johns, bahkan hingga dan Abdul Hadi WM ini tiba-tiba dimentahkan oleh Damiri Mahmud. Dalam esai yang berjudul “Menafsir Kembali Nyanyi Sunyi: Amir Hamzah Penyair Sufi?” (Horison, XXXV/10, 2001), Damiri mengangap alamat persona kedua (“mu” dalam Padamu Jua) dalam puisi itu bukan untuk Tuhan, melainkan untuk kekasih hati si penyair. Menurutnya, ia puisi emotif ‘biasa’ yang mengadukan patah hati dan menjeritkan kerinduan, kemarahan dan kekalahan. Damiri mengajukan beberapa frasa (di dalam puisi) yang menguatkan pendapatnya.

Terkait puisi “Penemuan” ini, demi cari aman dan untuk langkah awal, kita tetapkan saja sementara bahwa “mu” di sana adalah ‘kebijaksanaan’, ‘kebenaran’  atau ‘Kebenaran’ (Al-Haq). Anggap saja si penyair sedang melalukan senandika. Kita bisa menggantikan ‘mu’ dengan kata-kata tersebut sebagai ujicobanya.

(1)Aku menemukan (kebenaran) pada sungai-sungai yang mengalir
Juga (menemukan kebenaran) pada batu-batu yang menjaga mereka di pinggirnya

(2)Aku menemukan (sekarang kita ganti dengan ‘kebijaksan’: aku menemukan adanya kebijaksanaan) pada (peristiwa) gunung yang memuntahkan api (menciptakan lahar, dan demikian juga aku menemukan kebijaksanaan)
Juga pada orang-orang yang berhamburan karenanya (jika dampak lahar dapat menggemburkan tanah, maka orang yang berhambur, berlarian akan ketakutan, barangkali akan mendapatkan kebijaksanaannya dengan cara yang tidak langsung: setelah mereka berpikir, karena bersyukur masih selamat, lalu bertambahlah keimanannya, atau entah karena cara yang lain)

(3)Aku menemukanmu pada laut yang tak henti berdebur
Juga pada ikan dan mutiara yang berzikir di dalamnya

Pada bagian ini, penyair agaknya mengacu pada ayat pertama At-Taghabun atau Al-Jumuh yang keduanya sama-sama menyatakan bahwa segenap sarwa semesta itu bertasbih kepada Allah, semua tanpa terkecuali. Hal yang sama juga dinyatakan penyair pada tempat yang lain, yaitu pada masa awal (bayi) dan masa akhir (uban di kepala). Katanya:
(4)Aku menemukanmu pada mata bayi yang mungil
Juga pada uban yang menyala di kepala orang tuanya

***

Terkait anugerah, dengan cara yang mudah—tentu saja bagi kita yang berposisi sebagai ulil abshar, yang berpikir—kita akan melihat adanya karunia Allah pada hujan (sebagai rahmat bagi warga Bumi sebagaimana firman dalam Asy-Syura 28: وَهُوَ الَّذِي يُنَزِّلُ الْغَيْثَ مِن بَعْدِ مَا قَنَطُوا وَيَنشُرُ رَحْمَتَهُ ۚ
 وَهُوَ الْوَلِيُّ الْحَمِيدُ

Maka, sang penyair menulis: (5)“Aku menemukanmu pada hujan yang menumbuhkan kembang”. Akan tetapi, untuk menemukan rahmat atau kebenaran atau kebijaksanaan pada situasi yang terbalik, misalnya banjir, seperti tergambar pada baris selanjutnya; “Juga pada kota dan perkampungan yang tenggelam karenanya”, kita harus berpikir keras. Dan rangkaian proses berpikir ini tentu saja panjang hingga sampai pada kesimpulan akan adanya kebaikan tersebut. Jika mau simpel, anggap saja ia karunia yang bentuk peringatan, atau karunia yang belum terpecahkan oleh nalar. Inilah cara berpikir husnuzan atau ‘main aman’.

Adapun bagian yang ini; (6)“Aku menemukanmu pada kerontang padang pasir / Juga pada kawanan binatang yang mati kehausan di sana”, sedikit berbeda dengan bait-bait di atas. Satu bait dua baris ini saling melengkapi, tidak seperti sebelumnya yang menunjukkan adanya sesuatu pada dua hal yang bertolak belakang/terbalik. Dan dengan pola yang sama diterapkan oleh penyair pada dua bait berikutnya, yakni pada bagian;
(7)Aku menemukanmu pada burung-burung yang terbang di angkasa
Juga pada para penyair yang terbang dengan sayap-sayap jiwanya

Bedanya, di bagian atas ini, penyair menerapkan gaya perbandingan, antara literal (burung terbang) dan metaforis (terbang dengan sayap jiwa), lalu dipadukan dengan gaya satire (mengejek) pada bait selanjutnya.
(8)Aku menemukanmu pada buku-buku yang terus ditulis
Juga pada manusia yang mengejar nama dengan itu semua

***

Penyair Faqih kembali menggunakan gaya paradoks pada bait seterusnya, seperti pada awal, dengan membenturkan status kemegahan dengan duka cita, antara raja dengan rakyatnya:
(9)Aku menemukanmu pada megahnya istana raja-raja
Juga pada duka cita di setiap wajah rakyat mereka

Lebih  dari itu, dengan cara lebih ekstrem, penyair bahkan membenturkan kemiskinan versus kekayaan; keimanan lawan kekufuran, bahwa dalam kesemua elemen itu, ia (yang disebut “mu”) itu sejatinya akan selalu ada, bahwa rahmat Allah Ar-Rahman itu selalu ada, termasuk kepada orang-orang yang menentang-Nya yang seakan-akan tetap dimanjakan-Nya dengan istidraj.
(10)Aku menemukanmu pada kemiskinan dan kekayaan
Juga kutemukan kau pada keimanan dan kekufuran

(11)Aku menemukanmu pada mereka yang diusir dari negerinya
Juga pada tiap kebijaksanaan yang dijadikan pembenarnya

***

Sementara pada dua bait di bawah, penyair menyentil pembaca melalui visi ekologis, malalui tambang dan pencemaran. Karena, dalam dua hal yang (seolah) bertentangan itu, “ia” hadir. Maka, seperti apakah sebetulnya kita memaknai kehadiran itu? Bagaimana seorang hakim yang bijak dapat memuaskan dua pihak yang sama-sama bertikai? Barangkali, yang dimaksudkan bukan tepat begitu, tapi kira-kira demikianlah maksdunya: bahwa kebijaksanaan terkadang ada pada dua sisi mata uang yang berbeda. Ia hadir ketika kita sama-sama melihatnya dari sudut pandang yang berbeda. Katanya; (12)Aku menemukanmu pada bukit yang jadi lembah karena ditambang / Juga pada sawah ladang yang babak belur dan laut yang tercemar.

Sementara pada tiga bait berikutnya (13, 14, 15) penyair mengubah visinya pada nasionalisme dengan memakni patriotisme.
 (13)Aku menemukanmu pada sepatu dan senjata para tentara
Juga pada mereka yang dibisukan dengan keduanya
(14)Aku menemukanmu pada bangsa-bangsa kaya tanah dan air
Juga pada orang-orangnya yang kehilangan tanah dan air
(15)Aku menemukanmu pada negeri yang ditumbuhi buah dan emas
Juga pada anak-anaknya yang mati kelaparan dengan tubuh memelas

Tiga bait berurutan di atas, yaitu ke-13, 14, dan 15, adalah bait “satu napas”, bait yang memotret kondisi tanah air kita, tepatnya pada kondisi terkini akibat perampasan kekayaan oleh Negara dan SDA sejak Orde Baru yang langgeng terus sampai sekarang. Meskipun penyair menyebut secara umum (nakirah) dengan sebutan “bangsa-bangsa”, tapi sebetulnya ia bermaksud pada makrifat, yaitu bangsa (kita). Gaya seperti ini kita temukan dalam Alquran, seperti dalam Surah Ali Imron, ayat 173, yang menyebut “mereka” tapi maksudnya adalah “Nu’aim bin Mas’ud”. Yang disebut totem, yang dikehendaki parte dan begitulah kebanyakan puisi bekerja: mengatakan suatu hal,  maksudnya lain hal, say something and mean another.

(16)Aku menemukanmu pada boneka kayu yang disulap jadi pemimpin
Juga pada penyembah-penyembahnya yang seniman dan para alim
Bait di atas ini sebetulnya masih juga berhubungan dengan tiga bait sebelumnya. Biar saya jeda dulu. Sekarang, giliran Anda yang merenungkannya!

***

(17)Aku menemukanmu pada kawanan merpati yang tiba membawa kabar
Juga pada si kaya yang memakani mereka hingga sayapnya menggelepar

Bait ini tidak kontekstual dengan masa sekarang. Pembaca Gen-Z mungkin tidak pernah tahu apa itu “merpati yang membawa kabar”, karena tidak pernah tahu ada merpati pos. Bagi yang cermat, mereka pasti bertanya-tanya perihal logo PT Pos Indonesia yang logonya menggunakan burung merpati dengan garis arsir untuk menimbulkan kesan cepat. Pada bait ini, yang dikehendaki penyair sebetulnya hanyalah membuat jurang perbedaan yang dalam, antara perilaku orang awam dan orang kaya kepada sesuatu yang berjasa, yaitu merpati. Jika ada banyak orang yang merasa berutang jasa pada merpati, bagi orang kaya, hal itu justru hanya dijadikan hiburan untuk kepuasan dirinya, bahkan meskipun harus kerangkeng bagi kebabasan merpati itu sendiri.

(18)Aku menemukanmu pada syair dan lukisan yang ditukar dengan dirham
Juga pada pujangga dan perupanya yang berkedip mata dengan kekuasaan

Penggunaan kata dirham di sini mengesankan puisi seolah ditulis oleh penyair zaman kekhalifahan Abbasiyah, lebih-lebih ditabalkan dengan gambaran pujangga yang dekat dengan kekuasan (dengan asumsi mendapat fasilitas sehingga mereka menjadi tidak kritis, pada saat mestinya memang menjadi tukang kritik dan suaranya menakutkan karena memiliki banyak pengaruh [follower di masa sekarang]. Sejatinya, ia hanyalah simbol saja yang dipakai si penyair untuk membuat puisinya tidak serta-merta langsung dipahami oleh awam. Dengan cara seperti itulah seorang penyair menunda pemahaman pembaca puisinya. Kita bisa mengganti “dirham” dengan “rupiah” karena saat ini pun, kondisi yang demikian masih terjadi di lingkaran mereka, di lingkaran penyair dan seniman, meskipun tidak sebanyak zaman dulu tentunya.

(19)Aku menemukanmu pada wabah mematikan yang sengaja didatangkan
Juga pada ramuan dan kebijakan yang menobatkan mereka jadi saudagar

Bagian ini, penyair merespon Covid-19 yang baru lalu dan menyetujui pandangan sebagaian pakar bahwa ia adalah proyek “bisnis kematian” (dalam ekonomi disebut monkey business; yang penting dapat untung besar, setelah itu pelaku akan cuci tangan). Bait ini menunjukkan bahwa penyair berada di pihak ini, pihak yang menduga kuat bahwa bisnis kematian tersebut telah melibatkan pesohor-pesohor dunia yang meraup keuntungan dari segala transmisi dan peredaran apa pun dalam lingkaran Covid-19, termasuk farmasi dan efek ketenagakerjaan.

Artinya, Subjek—dengan posisi sebagai objek dalam puisi si penyair (mu)—tetaplah selalu terlibat dalam apa pun bentuk peristiwa dan aktivitas manusianya, dalam ranah apa pun: kasih sayang maupun kematian. Kritik tajam di atas berlaku sama untuk bait berikitnya, di bawah ini. Penyair membuat ironi tentang pendidikan, benteng terakhir moralitas yang justru menjadi penyalur musuh utama kemanusiaan, yaitu perbudakan. Sarkastik, penyair memadukan baris awalnya dengan memperbandingkan peran mereka semata-mata hanya sebagai figuran dalam permainan kapitalisme global. Coba saja diperhatikan!

(20)Aku menemukanmu pada gedung sekolah yang menjelma pabrik perbudakan
Juga orang-orangnya yang menjadi penari latar dalam orkestra para taipan
Ironisme dalam bait di atas masih berlanjut pada bait berikutnya, di bawah ini:
(21)Aku menemukanmu pada kawanan bandit yang dikubur di makam pahlawan
Juga pada para pahlawan yang dianiaya lalu mati sebagai kaum buangan

Mudah bagi kita untuk memahami bait ini. Banyak contoh di sekitar kita, bagaimana orang jahat bisa berubah reputasinya menjadi baik, atau dilupakan kejahatannya secara perlahan dengan cara membelokkan sejarah, direhabilitasi namanya dengan berbagai cara, seperti ditonjolkan jasanya dan ditutup kejahatannya. Caranya banyak, misalnya dengan dibuatkan patung atau diberikan penghargaan dan tanda jasa dan semacamnya. Cara ini bisa berlaku saat dia masih hidup atau bahkan sesudah tiada.

(22)Aku menemukanmu pada tukar-menukar barang yang ditiadakan
Lalu menggantinya dengan uang agar arah dunia mudah dikendalikan

Bagian ini tentang bisnis dan kapitalisme, tentang kiprah orang-orang pintar yang telah mengubah sistem jual beli yang semula berdasarkan tukar-menukar menjadi simplifistik ke penukaran kertas dan simbolisme nominal, tepatnya melalui uang kertas dan bank. Visi penyair tentang uang kertas adalah karena ia alat tukar yang rentan inflasi karena hanya berupa pelambangan nominal (sedangkanya mahianya tidak berharga [kertas], berbeda dengan koin emas dan perak dalam dinar dan dirham yang alat tukarnya memang berharga sejati).

(23)Aku menemukanmu pada para kombatan yang ditembaki tanpa ampun
Juga pada mesiu pelurunya yang disuling dari tanah mereka yang ranum
Untuk puisi ini, mari alihkan pandangan kita ke Palestina sebagai contoh. Penyair mengibaratkan tentara-tentara yang ingin merebut hak tanah mereka sendiri itu sebagai kombatan, tapi ditembak dengan peluru yang didapat justru dari hasil mencaplok kekayaannya. Atau, gambaran yang lebih halus, tapi mirip, juga dapat diambilkan contoh dari keadaan penduduk asli suatu wilayah yang tersingkir (atau ‘terusir’) dari areanya sendiri, seperti Indian, Aborigin, maupun orang-orang Betawi.

(24)Aku menemukanmu pada anak-anak pejabat yang bersekolah tinggi-tinggi
Juga pada anak rakyatnya yang mengais sampah demi mencari sesuap nasi
Bait ke-24 adalah ironi pendidikan dan kemiskinan. Penyair seperti sedang terbang tinggi lalu melihat gambaran berseberangan di bawahnya. Pendidikan yang mestinya membuat manusia terdidik, yang dengan demikian akan membuat kehidupannya membaik, tetaplah tidak terjadi. Jurang seperti ini tetap akan tampak di mana-mana. Yang dipersolakan penyair sebenarnya adalah keseimbangan: ada yang kaya, ada yang miskin, tapi (idealnya) tentu tidak setimpang itu.  

(25)Aku menemukanmu pada nisan para moyang yang diarak ke mana-mana
Juga pada anak-cucu mereka yang mendapat singgasana dengan itu semua
Dalam mengkritik, penyair ini pukul rata, tanpa tebang pilih. Dia tidak semata-mata mengkritik pemerintah atau siapa pun, bahkan termasuk orang-orang mulia yang di antaranya jahat dengan cara menjual nama besar orang tua atau nenek moyangnya sedangkan dia sendiri dapat menikmatif efek dominonya, mendapat keuntungan dari menjual nama besar itu.

(26)Aku menemukanmu pada bayi-bayi yang lahir dengan tubuh kecil dan kurus
Juga pada orang tua mereka yang nomaden karena diburu terus-menerus
 

Nah, yang nomor 26 ini berbeda. Baris kedua dalam bait ke-26 bukan kebalikannya, melainkan penguatnya. Dua barisnya sama-sama menggambarkan kemiskinan dan penderitaan. Bait ini terasa sangat berbeda dengan bait-bait yang lain, entah hal ini disadari penuh oleh si penyair atau muncul begitu saja karena dia berpatokan pada pakem “satu bait. dua baris”. Nomaden, dalam puisi ini, bermakna harfiah, yaitu sekadar berpindah-pindah tempat, meskipun pada dasarnya istilah tersebut digunakan untuk suku gurun yang memiliki tradisi berpindah tempat, tidak menetap, bukan karena diteror oleh kekuasaan.
Bocah menderita. Orangtuanya menderita. Dua-duanya menderita. Begitulah gambaran bait di atas, berbeda dengan gambaran pada bait berikutnya, ketika  penyair kembali pada pola awal, yaitu “satu bait, dua baris, konftradiktif”,

(27)Aku menemukanmu pada bocah-bocah yang meninggal karena rusak paru dan ginjal
Juga pada tabib dan wazir yang membagi laba dengan peracik obat beracun yang dijual


Sebagai kritik, ia masih berupa kelanjutan bait sebelumnya, tapi dalam puitika, ia berbeda. Baris pertama merupakan kritik terhadap “bisnis penyakit”—bisnis yang tidak mempedulikan dampak penyakit sistemik yang bakal diderita konsumen dalam jangka waktu panjang karena telah disiapkan penawarnya. Baris kedua adalah keuntungan dari bisnis itu, keuntungan finansial dari menjual makanan atau produk yang dapat mematikan secara perlahanan karena mengandung bahan-bahan kimia berbahaya, seperti zat pewarna tekstil yang dipakai untuk mewarnai makanan ringan, atau obat-obatan kategori non-steroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) yang berbahaya dalam penggunaan jangka panjang. 


(28)Aku menemukanmu pada negeri yang diluluhlantakkan atas nama nuklir
Juga pada sumber-sumber minyak di bawah tanahnya yang terus mengalir
(29)Aku menemukanmu pada negara-negara yang tak henti berperang
Juga pada mafia yang berbisik dengan pemilik pabrik persenjataan

Pada dua bait di atas, penyair merujuk pada gambaran dunia internasional. Dia menyebut tiga kata kunci: nuklir, minyak, senjata. Ketiganya adalah hipogram. Ketiga kata kunci inilah yang menjadi penyebab perang. Negara-negara yang menggunakan nuklir untuk energi maupun sebagai senjata sama menyeramkannya dengan minyak sebagai sumber perekonomian suatu negara yang dapat memakmurkan tapi juga bisa menjadi bumerang karena bisa menjadi pemicu perang dengan alasan beragam. Maka, perang pun menjadi ladang bisnis, monkey business, yaitu bisnis peredaran senjata.

Dengan dua bait di atas, penyair seakan tetap berhusuzan kepada Allah, bahwa berdasarkan kehendak-Nya, keindahan, kebenaran, bahkan diri-Nya, bisa muncul di dua tempat dan dua kondisi yang oleh mata manusia dianggap bertentangan. Takdir dan kehendak-Nya masih tetap menjadi tameng kemisteriusan kekuasaan Allah swt. Seakan penyair berkata: “Allah ada di Jepang, Allah juga ada di Uni Emirat. Allah ada di Afganistan, juga ada di Amerika dan Rusia.”

***

(30)Aku menemukanmu pada puisi yang menggigil sendirian di tepi sejarah
Juga pada rezim yang didirikan lalu dipagari dengan tumpukan jenazah

Bait ke-30 diposisikan sebuah kesimpulan. Ia menjadi gambaran umum penyair mutakhir: tugasnya mengingatkan, mengajak refleksi, mengajak berpikir kritis, tapi keberadaannya terpinggirkan, tidak diperhitungkan, dimarginalkan oleh masyarakat (menggigil sendirian di tepi sejarah) karena demikianlah keberadaan mereka saat ini dan sudah berlangsung selama beratus-ratus tahun. Mereka hanya berjaya di masa  lalu, di saat mereka berperan sebagai juru bicara suku, berperan seperti nabi, berperan sebagai pembawa berita (wartawan), dan berperan sebagai tokoh sentral dalam kabilah/marga, serta berperan sebagai pengambil keputusan.

Begitu besar peran mereka hingga Allah membuat surah khusus bertajuk As-Syuara (para penyair) dalam Alquran. Akan tetapi, dalam konteks kepenyairan di masa lalu, Allah menegur keberadaan dan kecerdasan mereka (yang biasanya memiliki kecerdasan di atas masyarakat pada umumnya) justru digunakan untuk menjual kepalsuan, menjual kebohongan, menjual harga marga dan kabilahnya demi uang dan kekuasaan. Penyair saat ini justru kebalikannya: mereka terpinggirkan dari lintasan sejarah dan peran penting suatu bangsa. Kecuali mau menjilat kekuasan dan mendekat dengan pejabat, barulah mereka mendapat tempat (lihat bait 16).  

(31)Aku menemukanmu pada segala yang dicari tanpa ditemukan tajalliyat
Juga pada segala yang ditemukan tanpa perlu pencarian iman

Puisi panjang ini ditutup dengan bait refleksi tentang semua pernyataan di atas. Penyair telah selesai melakukan pencarian kebenaran, pencarian keindahan, juga menemukan kekuasaan Tuhan yang tampak dalam wujud kauniyah dan tajalliyat-Nya pada semua nama, tempat, dan benda yang disebutkannya dari awal. Mengapa “menemukan” dibenturkan dengan frasa “tanpa ditemukan”? Yang pertama adalah menemukan wujudullah dalam kauniyah, sebagai ekspresi Umar al-Khayyam dalam Rubaiyatnya:
تُخفي عن الناس سنا طَلعتِك
وكل ما في الكونِ من صَنْعَتِك
فأنت مَجْلاهُ وأنت الذي
ترى بَديعَ الصُنْعِ في آيَتِك
Kau sembunyikan gemilang wujud-Mu
padahal segenap sarwa adalah pancaran ciptaan-Mu
Kau sang pencipta dan Engkau pula yang menunjukkan
rumitnya keindahan adikarya dalam para lambang-Mu

sementara dzatiyah-Nya tetap menjadi misteri, yang bahkan hingga Nabi Musa as.—sebagai kalimullah [yang diajak bicara oleh Allah] pun tidak mampu menemukannya secara nyata. Lantas, bagaimana hasilnya? Kata penyair, (aku telah menemukan) “Juga pada segala yang ditemukan tanpa perlu pencarian”, yakni sesuatu yang ada tanpa perlu dicari, yang eksis tanpa perlu dianalisis, yaitu rasa dalam sanubari dan itulah iman.
 
Wallahu a’lam
11/02/2024

UNTUK MEMBACA PUISINYA, klik tautan ini

10 Februari 2024

Catatan Kuratorial untuk Lomba Cipta Naskah Puisi Tunggal (Diva Press)



oleh M Faizi

Beruntung sekali ada lomba ini, baik bagi saya sebagai juri atau bagi siapa pun sebagai peserta. Awalnya, ketika mendapat tawaran menjadi juri, saya menolak karena merasa tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam ilmu sastra maupun puitika. Panitia meyakinkan bahwa dalam hal teknis penjurian, mereka bisa menunjuk orang lain. Mereka memilih saya justru karena ada unsur nonteknis sekaligus dan ekstrinsik puisi, yaitu karena alasan terkait tema nabawi.  

Sayembara ini membawa memori saya ke beberapa ratus tahun yang lalu, berfantasi pada masa Jakfar Al-Barzanji saat menulis puisi-puisi madah nabawi, saat membawanya ke sayembara lalu  memenangkannya. Meskipun suasana dan kualitasnya jelas berbeda dengan masa sekarang, tapi tetap ada kesamaan, yaitu girah dalam memuji Sang Tercinta saw.

Dalam sayembara kali ini, yang menang mendapatkan kesempatan menulis dan penghargaan dan yang tersisih, meskipun tidak mendapatkan penghargaan, mereka berhasil mendapatkan kesempatan untuk menulis dan telah memiliki manuskrip buku sendiri, manuskrip yang istimewa, yaitu madah nabawi. Secara spiritual, yang menang dan kalah sama saja, sama-sama mengalami pengalaman berharga karena telah menulis pujian untuk sosok yang sangat istimewa.

Saya sebagai juri satu-satunya sebetulnya telah mengajukan teman pendamping kepada panitia, tapi ditolak. Akhirnya, saya melakukannya sendirian, membaca 140-an manuskrip sampai tuntas hingga titik akhir halaman, satu per satu. Itulah mengapa saya butuh waktu hingga sekitar dua bulan setengah untuk menyelesaikannya karena meskipun menghadapi naskah yang amburadul, saya tetap membacanya sampai tuntas. Akan tetapi, bukan itu pekerjaan terberat, melainkan karena saya harus bergulat melawan perasaan jika yang harus dipertimbangkan dari naskah-naskah itu bukanlah sekadar unsur-unsur intrinsik naskah puisi (mencakup diksi, metafora, dlsb.), melainkan ekstrinsiknya juga, eksternalnya.

Adakah spirit nabawi pengarang muncul dan menyertai karyanya? Sejauh mana ketulusan pengarang melatarbelakangi penciptaannya? Tulus apa tidak si pengarang ini mengarang? Hal-hal seperti ini yang terkadang muncul dan ikut-ikutan ‘mengganggu’ perasaan saya di saat membaca, persoalan yang sebetulnya bukanlah urusan struktur puisi, yang tidak ada hubungannya dengan penilaian. Tetapi, saya tetap harus adil pada perasaan dan instink supaya tidak hanya selalu berpandangan materialistik. Melibatkan unsur dzauqiyah (selera) dalam menilai akan berisiko terhadap pertimbangan pendukung puisi, seperti diksi, rima, dan cara padang. Inilah sebabnya mengapa terkadang saya mengingkari perspektif objektivisme atau struktural dalam menilai, sebab terkait puisi, lebih-lebih madah nabawi, unsur subjektif dan ketertarikan dzauqiyah—dalam pandangan saya--harus ikut campur tangan.

Tentu saja, selama saya berkecimpung dalam penyeliaan dan pengamatan baris demi baris, bait demi bait, hingga buku secara keseluruhan, saya bertahan untuk menilai hanya hal-hal teknis kebahasaan dan puitika saja. Sementara faktor ekstrinsik—sebagaimana disebut di paragraf di atas—tentu saja hanyalah referensi impulsif, di luar ranah scoring, semata-mata pandangan berdasarkan selera saja. Yang pasti, saya merasa percaya diri—dan harus percaya diri—karena panitia telah memasrahkan penilaian secara penuh kepada saya. Termasuk salah satu usaha tersebut adalah dengan sebisa mungkin menghindari membaca biografi pengarang lebih dulu (menjadikan naskah seolah-olah anonim) supaya lebih adil dalam menimbang.

Pusparagam manuskrip yang disetorkan panitia kepada saya ditemukan secara lengkap bentuknya, mulai dari yang “sungguh sangat sederhana sekali” hingga yang bagus (yang benar-benar bagus, yang sempurna dari segi swa-sunting pengarangnya tanda ia dibuat tidak tergesa-gesa, pilhan metafor yang sangat unik/baru, nyaris tidak ada). Ada yang bagus, tapi diselipi satu-dua puisi yang dibuat asal-asalan. Ada yang asal buat saja, seolah yang penting ikut serta.

Soal urusan teknis, dalam pandangan saya, seorang penyair/penulis itu bahkan tidak boleh melakukan kesalahan, seperti kesalahan penulisan (pengetikan), lebih-lebih jika naskah tersebut akan disetor untuk sayembara. Mengapa? Karena karya, apalagi puisi, merupakan “anak ideologis”. Tentu tabu bagi seorang ‘sang ayah’ untuk memamerkan cacat anaknya kepada publik. Ayah hanya boleh bersikap bijak jika cacat si anak ideologis ini dikomentari publik. Mestinya, para peserta menyetor naskahnya dalam keadaan awasalah, tanpa tipo.

Banyak sekali, nyaris semuanya, saya temukan naskah yang dipenuhi dengan kesalahan fundamental, seperti kata penghubung di awal kalimat, keawaman penyair dalam membedakan imbuhan dan kata depan, dlsb. Penyair itu mestinya pasca-linguis, karena penyair—mengutip Kahlil Gibran—adalah ayah sekaligus ibu bahasa. Celakanya, yang tidak mempedulikan dan salah meletakkan tanda baca pun aduhai banyaknya. Bukan pengetahuan ketatabahasaan adalah bagian penting dari pondasi kepenyairan? Bagaimana mungkin seorang tukang bisa menyusun bata dengan kokoh jika pengetahuan membuat pondasinya saja tidak ada? Seorang arsitek yang dapat membuat bangunan posmodernis atau arsitektur unik (seperti Dynamic Tower di Dubai) tentu saja telah ‘selesai’ dalam hal pengetahuan arsitekturnya tentang dasar-dasar pondasi (komposit, tulang beton, rangka baja, dll). Masa iya dia mau membuat bangunan aneh-aneh sementara soal “cakar ayam” saja dia tidak tahu? Kira-kira, hubungan tata bahasa dengan puisi tak jauh pula beda-bedanya dengan perbandingan seperti ini.

Mengapa kasus seperti ini banyak terjadi? Apakah karena mereka berpemikiran bahwa penyair itu boleh berbuat apa saja? Atau mereka berpandangan bahwa yang penting menyampaikan (seperti orang mudah memahahi ragam percakapan orang lain) sehingga bahkan tanda baca pun dianggap tidak penting? Atau karena mereka salah memahami licencia poetica?
 
Ada beberapa penyair yang terlalu larut dengan unsur kesejarahan, kehidupan para Sahabat, sampai ia lupa untuk menulis madahnya, menulis refleksi dan ekspresi tentang Nabi itu sendiri. Sayembara kali ini bagaikan bazar puisi. Yang gelap dan yang polos sama-sama ada. Yang ngawur dan buruk hingga yang bagus tapi menjiplak sama-sama dipertaruhkan.

Di samping itu, dalam sekilas pandangan saya, penyair-penyair yang terlibat dalam sayembara kali ini kemiliki kesamaan selera berbahasa, terutama terkait diksi. Saya menemukan banyak sekali kata tugur, lindap, buhul, ingatan, garba, gelambir, getah, membersamai, rengkuh, ruap, tetiba, hingga kata aneh seperti “sesiapa”. Semua itu muncul di banyak karya dan oleh banyak penyair. Yang asyik-masyuk dengan kata-kata arkais dan Melayu Klasik pun tak kalah banyaknya, sampai-sampai saya bertanya: adakah setiap angkatan atau generasi punya selera diksi tersendiri?

Di antara peserta yang iseng adalah mereka yang menyetor naskah bukan puisi, melainkan artikel sejarah. Sepintas ia tampak seperti puisi secara visual karena disusun ke bawah. Rupanya, itu hanya langkah manipulatif, karena sebenarnya ia adalah cuplikan dari buku (atau makalah) tentang sejarah Nabi. Si penyair hanya bermodal keterampilan meng-‘enter’ sehingga naskahnya—secara tipografi—seolah-olah puisi. Akan tetapi, saya berusaha berbaik sangka: barangkali, orang seperti ini benar-benar ingin ikut berbahagia dan mendapatkan perhatian dari Nabi dengan mengikuti sayembara ini puisi yang memuji beliau saw., dengan cara apa pun. Ada pula yang, secara umum, puisinya bagus, hanya saja memaksakan diri dengan cara memasukkan puisi-puisi lain yang sangat berbeda dan tampak terburu-buru dibuat. Dugaan saya, hal ini terjadi karena puisi-puisinya yang siap belum cukup memenuhi syarat ketebalan sebagaimana diminta oleh panitia penyelenggara sayembara. Maka, darinya, lahirlah “terpaksa puisi” di antara “puisi yang sudah jadi”.

Satu-satunya yang menyedihkan adalah adanya plagiarisme. Bentuknya macam-macam. Ada yang mengambil puisi orang lain dan mendakunya, ada yang memasang terjemahan kitab Maulid populer (seperti Barzanji dan Simtud Duror) dan tanpa menyebutkan sumbernya (dan hal ini sama saja dengan mengakui miliknya sendiri—karena yang disebut ‘iqtibas’ atau “quotes style” [seperti mengutip ayat atau hadis atau quotes populer) itu hanya satu kalimat atau satu ungkapan saja sehingga ia tidak dikategorikan sebagai pelanggaran atau plagiarisme). Andai saja saya tidak punya pengalaman menerjemahkan sumber rujukan tersebut, kemungkinan besar naskah semacam itu akan lolos dari pemindaian kelancungan.

Terpilihnya karya A Muttaqin (Mengerjakan Cinta) adalah atas pertimbangan; ia menggunakan metafora-metafora yang baru, banyak memuji tapi tidak menghapus jejak kesejarahan Nabi saw., bahkan menggambarkan fragmen sejarah tersebut dalam ungkapan yang berbeda dengan referensi yang pernah saya baca, seperti keunikan cara si penyair dalam menggambarkan runtuhnya Kisra dan Persia. Ia juga menggambar syamail muhammadiyah sesuai asosiasi referensial, seperti frasa “yang bagaikan alif hidungnya” hingga ke bentuk kreasi dia sendiri, seperti “yang mripat dan telinganya menjangkau langit ketujuh”. Muttaqin sangat gemar menggunakan partikel “yang” untuk menjabarkan subjek dengan panjang lebar, atau dalam membuat perumpamaan. Buku “Mengerjakan Cinta” merupakan satu-satunya buku puisi yang menggunakan pola refrein (frasa/kalimat yang diulang-ulang). Hal ini menjadi penahbis bahwa buku ini memang buku puisi utuh yang siap dan dipersiapkan, ditulis dalam satu momen puitik sehingga relatif stabil dan bercita rasa yang sama satu dengan lainnya (bukan beberapa puisi yang ditulis terpisah dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku).

Sementara puisi-puisi karya IR Zamzami (Seperti Nama yang Dikisahkan) lebih mengedepankan citraan manis dalam membuat gambaran suasana, namun dia tidak mendayu-dayu, bahkan terkadang berani mengambil risiko pada sinestesia dengan membuat citraan yang tidak populer. Puisinya bertutur tentang banyak peristiwa, namun tidak detil. Penyair sepertinya menggangap serangkian kisah seputar Nabi itu sebagai common sense yang telah jamak diketahui pembaca. Ia juga menyelipkan metafora di antara narasi mukjizat, sehingga ketika ia membuat pengandaian tentang—misalnya—“pelepah kurma yang menangis”, tampaklah ia sebagai majas, padahal itu adalah ungkapan literal dalam ranah mukjizat.

Secara umum, gaya puisi IR Zamzami itu rata, konsisten, nyaris bergaya sama dalam semua puisinya.

Adapun manuskrip “Bolehkah Menggunakan Cara Lain untuk Mencintai Muhammad?” karya Muhammad Ali Zulfikar tampak sebagai buku yang paling memiliki syarat lengkap sebagai buku madah (pujian). Dengan banyak gaya mendayu, penyair sengaja memilih kata-kata ‘bercitarasa puisi’ seperti gelung, rindang cahaya, untuk kepentingan ornamentalnya. Penyair bahkan sering meletakkan Nabi sebagai teman bicara, sehingga ia seperti sedang curhat, berhadap-hadapan, antara “aku dan engkau”.

Ketiga puisi yang lain, yang sebelumnya tidak direncanakan untuk dipilih, baru muncul ide untuk juga diterbitkan setelah usul saya disetujui penyelenggara, yaitu Bapak Edi Mulyono & Diva Press. Ketiganya adalah karya Eko Sabto (Burdah), Alexander Robert Nainggolan (Fragmen-Fragmen bagi Sayyidina Muhammad), dan Arif Rahman Hakim (Bulan Kopi dan Empat Imaji Nafas Nabi). Sebetulnya, saya mengajukan 5 manuskrip lagi untuk dipilih. Tapi, panitia hanya menerima usul saya yang sebelumnya, yakni hanya mengambil 3 nomine saja.

Demikianlah pengalaman saya menjadi juri tunggal untuk sayembara cipta buku puisi tunggal yang diselenggarakan oleh Diva Press dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Sekali lagi, pengalaman ini sekaligus menandai pengalaman pertama bagi saya: menjadi juri tunggal untuk lomba cipta naskah puisi tunggal. Sejauh ini, pengalaman saya hanyalah menjadi juri lomba baca puisi di madrasah-madrasah di desa saya (berhenti menjuri sejak tahun 2007) serta menjadi bagian dari tim kurator buku antologi puisi bersama.

Yang tersisa dari pengalaman menjadi juri kali ini, di antara kesan mendalamnya, adalah; setiap kali membaca manuskrip demi manuskrip, rasanya saya sedang membaca ulang pelajaran kitab “Khulasoh Nurul Yaqin” (kitab sejarah Nabi) dalam bentuk puisi karena nyaris semua manuskrip yang masuk pasti menyitir kehidupan Nabi, mulai fase Mekkah hingga Madinah. Momen penjurian ini juga membuat efek baik bagi kreativitas pribadi. Ia membuat saya mencari-cari kembali puisi saya yang lama dan bertema nabawi. Di atas itu semua, momen ini telah membuat saya terlibat dalam suatu kegiatan yang di dalamnya ada pusaran magnetis alam semesta, yaitu Nabi Muhammad saw. Hanya karena alasan terakhir inilah saya mau menjadi juri dalam sayembara kali ini, tidak ada yang lainnya.