13 Agustus 2018

Situbondo (Zainul Walid)


Situbondo
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya

Aku hanya bayi lemah
anak pohon ara-ara
yang dibawa sehelai daun
menyeberangi lautan
sampai ke haribaanmu

Atas kasihmu
kaurengkuh aku, rapat di dadamu
kaulekatkan mulutku pada puting susumu
mengalirlah darahmu dalam darahku
panaslah cintamu dalam cintaku

Situbondo
matahari terus tumbuh
burung-burung ramai berkicau
menyeruak dari lebat alismu

Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri

Aku memang bukan anakmu
tapi aku telah menyusu padamu
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu

-------------
Zainul Walid, 7 Agustus 2018

#tafsirpuisimanasuka

sumber foto: https://goo.gl/5oohhW
Puisi yang saya tafsir kali ini adalah karya Zainul Walid. Puisi ini terbit pertama kali di Facebook mengingat waktu postingnya tertanggal datum 7 Agustus 2018 dan saya menemukannya tengah malam menjelang pagi, 8 Agustus. Karena kebetulan lagi senggang dan tidak ada ilham untuk menulis esai atau puisi, akhirnya saya mereka-reka tafsir puisi untuk puisi ini. Puisinya berjudul Situbondo, nama sebuah kabupaten di Jawa Timur, tempat tinggal penyair saat ini.

"Situbondo"

Situbondo (penyair menyebut nama daerah seolah-olah memanggil nama orang, sebagai manusia; insanan. Hal ini dibuktikan dengan larik-larik selanjutnya yang menggunakan sudut pandang aku-engkau)
aku bukan Belanda
aku bukan Jepang (penyebutan dua negara ini jelas mengacu kepada agresi militer, terutama Agresi Militer II Belanda di sekitaran tahun 1947, di mana Belanda menyerbu PP Salafiyyah Syafiiyyah Sukorejo sebagaimana mereka juga menyerang dan menembak Kiai Abdullah Sajjad di pondok Guluk-Guluk. Kedekatan diksi "Belanda" dengan "Situbondo" juga ditandai dengan de Groote Postweg atau Jalan Raya Pos yang di kemudian hari dikenal dengan sebutan Jalan Raya Deandels [mengacu kepada nama Gubernur Herman Willem Daendles] yang membentang dari Anyer [sekarang Banten] sampai Panarukan [di Situbondo]; cek buku “Dua Abad Jalan Raya Pantura”, terbitan Nurmahera]. Demikian pula dengan kata "Jepang" pada baris selanjutnya yang tercatat dalam sejarah pertarungan sengit dan menewaskan banyak orang. Konon, nama Batangan—dekat hutan wisata Baluran—mengacu pada peristiwa ini. Dalam hal ini, penyair yang merupakan perantau dari Madura dan sekarang tinggal di Situbondo, menyangkal diri, memastikan, bahwa ia bukanlah “penjajah”, melainkan semata-mata “perantau”. Adapun penjajah adalah mereka...)
yang akan melepas anak-anakmu
dari pelukan kasihmu
lalu menghardik dan mengusirnya (beginilah ‘kelakukan’ penjajah. Sudah datang ke rumah orang, merusak, merampok, bahkan mengusir penghuninya. ‘Mafhum mukhalafah’-nya: kalau aku tentu tidak seperti itu karena aku adalah perantau, bukan penjajah).

Aku hanya bayi lemah (memposisikan diri di titik terendah [sebagai bayi] adalah salah satu adab orang yang memohon, meminta, atau berdoa)
anak pohon ara-ara (pohon ara-ara ditengarai sebagai cikal bakal penamaan Pulau Madura, tempat lahir penyair; bisa juga dicek dalam kisah "Bangsacara dan Ragapadmi". Makamnya ada di Pulau Mandangin atau disebut Pulau Kambing, Kabupaten Sampang; buku serial cerita rakyat ini terbitan Grasindo),
yang dibawa sehelai daun (ungkapan pengandaian; merantau)
menyeberangi lautan (menyeberangi selat Madura)
sampai ke haribaanmu (“mu” di sini adalah Situbondo. Penyair merantau dari Pulau Madura, menyeberangi selat, dan tiba di Situbondo. Penggunaan kata “haribaan” mulai menunjukkan ke arah mana puisi ini akan ditujukan. Ini adalah pengandaian anak dan ibu, sebagaimana sebelumnya telah digunakan kata “bayi” dan “anak”)

Atas kasihmu (maksudnya, “disebabkan karena limpahan kasihmu kepadaku”)
kaurengkuh aku, rapat di dadamu (ungkapan kasih sayang, belas kasihan layaknya seorang ibu kepada anaknya)
kaulekatkan mulutku pada puting susumu (ungkapan yang sama; bentuk ungkapan penguat bagi larik sebelumnya)
mengalirlah darahmu dalam darahku (pada bagian ini, penyair mengandaikan diri sebagai anak kandung Madura tetapi lalu menjadi anak susuan bagi Situbondo. Maka dari itu, ia menyatakan secara tersirat, susu yang ia ‘mimik’ dari ibu susuannya itu—sebab ia “masih dalam keadaan bayi” pada saat merantau—telah menjadi darah, menjadi daging, membentuk “diri”-nya, semacam “dasein”. Karena itulah, ayoman yang diberikan oleh Situbondo turut pula membentuk kepribadiannya sehingga penyair mengungkapkannya dengan:)
panaslah cintamu dalam cintaku (ungkapan penyangatan).

Situbondo
matahari terus tumbuh (penanda waktu yang berlalu; proses)
burung-burung ramai berkicau (citraan alam sekitar; bisa juga sebagai kasak-kusuk atau pendapat orang)
menyeruak dari lebat alismu (jika Situbondo diibaratkan sebagai seorang ibu, maka seorang perempuan dengan alis yang lebat adalah isyarat perempuan yang cantik secara fisik dan/atau bermakna perempaun yang tegas menurut ilmu tafsir jasmaniah sebagaimana termaktub di dalam kitab khazanah asmara Melayu, cek buku “Mutiara yang Terpendam”; terbitan Malaysia, lupa nama penerbit [buku sudah raib])

Aku makin mengerti
hidup tak bisa sendiri
(Satu bait yang berisi dua baris ini merupakan pernyataan sekaligus peneguhan ke-diri-an si penyair Zainul Walid). Dalam pernyataan ini, terkandung makna bagaimana mestinya hubungan sosial itu dibangun. Para perantau dari Madura yang sangat banyak menyebar di area Tapal Kuda, terutama Situbondo, sudah barang tentu paham soal hubungan dan interaksi ini. Terbukti, mereka hidup layaknya ‘pribumi’ setempat, bahkan sebagian besar tidak kembali lagi ke Madura, menjadi warga baru dan menetap di sana)

Aku memang bukan anakmu (pernyataan pengulangan, sama seperti pada bait pertama: kalimat negasi [pengingkaran] untuk menguatkan pemahanan-sebaliknya)
tapi aku telah menyusu padamu (nah, di sinilah penyair melakukan ‘bantahan’ terhadap pengingkarannya tadi. Tujuannya justru untuk menemukan kekuatannya. Hal serupa terjadi juga pada bait pertama syair I’tiraf-nya Abu Nuwas yang terkenal itu: Tuhanku, “bukan”-lah aku penghuni Firdaus-Mu, “tetapi” aku tak mampu berada di neraka Jahanam-Mu).
Salahkah aku
bila aku menyebutmu ibu
(bagian penutup daripada puisi ini adalah pertanyaan retoris, pertanyaan yang tidak perlu dijawab. Untuk apa bertanya tetapi tidak perlu jawaban? Tujuan penyair adalah agar pembacalah yang menjawabnya sendiri, karena penyair sudah yakin, bahwa baik dirinya maupun sekalian pembaca sudah “tahu-sama-tahu” atas jawaban itu, yaitu jawaban yang membutuhkan permenungan panjang—dengan mengembalikan seluruh ingatan pada semua peristiwa yang dibangun sejak awal—untuk menjawabnya).

Walla'hu a'lam
M. Faizi, 8 Agustus 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar