09 Agustus 2018

Nyalasar: Bunga Rampai Tafsir Puisi



Belakangan ini, saya sering menulis tafsir puisi. Kerja penafsiran ini bersifat tertutup. Adapun praktiknya adalah menjelaskan kata, frase, atau kalimat dengan cara memparafrasekan (frase atau kalimat) atau mencarikan sinonim (satu kata tertentu) atau menguraikan ungkapan-ungkapan metaforis puisi ke dalam bahasa literal, dan semua itu hanya berdasarkan “semampu gue”.  Tentu saja, ke-semampu-gue-an ini bukan berarti ngawur, lho, ya! Sederhananya begitu.

Meskipun sejauh ini saya menerima tanggapan yang baik dari banyak pembaca melalui langkah ini, tetapi saya juga rada risih atau sungkan, khawatir langkah ini ‘menciderai’ mereka yang melakukan interpretasi sekaligus kritik dengan kapasitas keilmuan yang memadai, sementara yang saya lakukan lebih terkesan iseng. Umumnya, orang melakukan tafsir atau kritik itu demi kepentingan ilmiah (skripsi), atau publikasi (kata pengantar), atau diskusi (makalah). Biasanya, tafsir dalam ketiga jenis karya tulis seperti itu adalah "tafsir sambil lalu", melainkan lebih banyak penekanan kritiknya. Nah, di sinilah bedanya, "tafsir puisi manasuka" yang saya tempuh justru sepenuhnya tafsir puisi dengan nyaris—saya ulangi; nyaris—tanpa ada kritik (dalam arti 'kritik' sebenarnya) terhadap puisi yang saya tafsirkan tersebut.

Landasan yang saya lakukan adalah keinginan bertegur sapa, sebab puisi itu—dalam sementara anggapan saya—cenderung kesepian sebagai karya di tengah masyarakat umum, lebih-lebih di masa sekarang ketika masyarakat yang jangankan suka berpikir mendalam dan mengakar, membaca esai yang sedikit panjang saja malas. Yang laris adalah cuitan, status pendek, atau posting satu baris (one-line-posting), sebuah istilah yang sempat populer di era mailing-list dulu. Sekarang, orang-orang sudah sama-sama sibuk.

Tentu saja, kerja seperti ini menguras energi dan waktu sebab saya harus menggali sebanyak mungkin informasi tentang satu tema yang dibicarakan oleh si penyair yang puisinya saya tafsirkan, juga pekerjaan berat karena harus mengumpulkan ingatan-ingatan bacaan dan informasi yang pernah saya baca dan pernah saya serap sebelumnya, untuk selanjutnya saya olah dan saya tuliskan kembali. Akibatnya, waktu untuk menulis puisi sendiri pun jadi berkurang.  

Saya berharap, apa yang saya lakukan ini dapat merangsang para penyair untuk terus menulis juga merangsang pembaca umum agar lebih mencintai puisi sebab yang semula mereka anggap samar dan rumit kini jadi sedikit terkuak. Tentu saja, tafsir tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, baik pembaca maupun si penyair berhak menolak pendapat saya. Paling tidak, bagi pembaca, saya telah merintis jalan agar mereka lebih mudah melaluinya. Pekerjaan "membukakan jalan" ini saya ibaratkan seorang pelancong yang hendak masuk ke dalam rimba makna di dalam puisi itu. Meskipun yang saya tulis bukan puisi, tapi juga tak kalah puitis, bukan?

Menurut Iman Budi Santosa di dalam kata pengantar buku “Nyalasar”, tindakan serupa ini, dulu, sudah pernah dilakukan oleh Saini KM. Makanya, kata dia, adanya buku ini seakan-akan membangkitan ingatan masa lalu. Mendengar kabar ini, saya senang sekali. Sebuah niat gerakan literasi dengan pola yang lain saya harap bermula dari sini.

Penafsiran dimulai pertama kali pada 24 Desember 2017. Ketika itu, Malkan Junaidi menulis puisi di akun Facebooknya, Pisah Ranjang. Entah mengapa, saya tertarik dan langsung menulis tafsir untuk puisinya di kolom komentar. Begitulah, puisi demi puisi saya baca dan saya buatkan tafsirnya. Kerja ini terus berlanjut sampai sekarang (bahkan setelah dibukukan). Saya membuka kembali buku-buku puisi yang menumpuk dan lama tidak tersentuh. Alhamdulillah, berkat proyek tafsir puisi manasuka, buku puisi yang 'kesepian' di rak buku saya itu kini mendapatkan tangan untuk menyentuhnya, merengkuhnya.

Puncaknya, ketika saya menulis tafsir—kalau tidak salah—yang keempat belas, pihak Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menghubungi saya dan menyatakan diri untuk siap menerbitkannya. Semula saya ragu karena saya kira ini hanya kerja main-main. Pihak Reboeng meyakinkan saya kalau mereka benar-benar siap membiayai penerbitan ini sepenuhnya. Sip, terbitlah buku ini. Reboeng bahkan juga menyiapkan acara peluncuran dan diskusinya di Taman BudayaYogyakarta, 6 Juli 2018.


Demikianlah kisah perjalanan tafsir puisi yang saya sebut dengan tafsir puisi manasuka ini karena memang saya kerjakan dengan sesuka hati, "semampu gue", tanpa tekanan, tanpa pesanan. Ada 29 esai di dalam buku ini. Keduapuluh sembilan esai tersebut membahas satu puisi dari masing-masing penyair berikut ini: Malkan Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Jamil Massa, Sahlul Fuad & Binhad Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riadi, WAA Ibrahimy, Joko Pinurbo, Zeffry Alkatiri, Iman Budhi Santosa, Kim Al Ghozali, Abdul Wahid Hasan, Nana Ernawati, Afrizal Malna, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Raudal Tanjung Banua, Abdul Wachid BS, Rudi Fofid, Aly D Musyrifa, Sutarji Calzoum Bachri & Sitor Situmorang,  Iyut Fitra, Paox Iben, Nuryana Asmaudi, Acep Zamzam Noor, Made Adnyana Ole, dan Yuli Nugrahani. Lah, mengapa hanya karya mereka saja? Nah, itu dia, pemilihannya pun juga berdasarkan manasuka. 

Semoga kerja ini dicatat sebagai amal saleh.


IDENTITAS BUKU:

Nyalasar: Tafsir Puisi 
Penulis: M. Faizi
Kurator: Nana Ernawati
Editor: Iman Budhi Santosa

Cetakan Pertama, Juni 2018 Halaman: 190
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60093-4-0

Penerbit: LSS REBOENG
Jl. Gaharu 1/8 Cipete Selatan, Jakarta Selatan
Email: khususreboeng2016@gmail.com
Web: senisastrareboeng.or.id

HARGA: Rp 50.000

CATATAN: buku ini tidak dijual di toko manapun, hanya bisa dipesan kepada penulis (SMS/telp: 0817392631) 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar