Belakangan ini, saya sering menulis tafsir puisi. Kerja
penafsiran ini bersifat tertutup. Adapun praktiknya adalah menjelaskan kata,
frase, atau kalimat dengan cara memparafrasekan (frase atau kalimat) atau mencarikan
sinonim (satu kata tertentu) atau menguraikan ungkapan-ungkapan metaforis puisi
ke dalam bahasa literal, dan semua itu hanya berdasarkan “semampu gue”. Tentu saja, ke-semampu-gue-an ini bukan berarti
ngawur, lho, ya! Sederhananya begitu.
Meskipun sejauh ini saya menerima tanggapan yang baik dari banyak
pembaca melalui langkah ini, tetapi saya juga rada risih atau sungkan, khawatir langkah ini ‘menciderai’ mereka yang melakukan interpretasi sekaligus
kritik dengan kapasitas keilmuan yang memadai, sementara yang saya lakukan lebih
terkesan iseng. Umumnya, orang melakukan tafsir atau kritik itu demi
kepentingan ilmiah (skripsi), atau publikasi (kata pengantar), atau diskusi
(makalah). Biasanya, tafsir dalam ketiga jenis karya tulis seperti itu adalah "tafsir
sambil lalu", melainkan lebih banyak penekanan kritiknya. Nah, di sinilah bedanya, "tafsir puisi manasuka" yang saya tempuh justru sepenuhnya tafsir puisi dengan nyaris—saya ulangi;
nyaris—tanpa ada kritik (dalam arti 'kritik' sebenarnya) terhadap puisi yang saya tafsirkan tersebut.
Landasan yang saya lakukan adalah keinginan bertegur sapa,
sebab puisi itu—dalam sementara anggapan saya—cenderung kesepian sebagai karya di
tengah masyarakat umum, lebih-lebih di masa sekarang ketika masyarakat yang
jangankan suka berpikir mendalam dan mengakar, membaca esai yang
sedikit panjang saja malas. Yang laris adalah cuitan, status pendek,
atau posting satu baris (one-line-posting), sebuah istilah yang sempat populer di era mailing-list
dulu. Sekarang, orang-orang sudah sama-sama sibuk.
Tentu saja, kerja seperti ini menguras energi dan waktu
sebab saya harus menggali sebanyak mungkin informasi tentang satu tema yang
dibicarakan oleh si penyair yang puisinya saya tafsirkan, juga pekerjaan berat karena harus mengumpulkan ingatan-ingatan bacaan dan informasi yang
pernah saya baca dan pernah saya serap sebelumnya, untuk selanjutnya saya olah
dan saya tuliskan kembali. Akibatnya, waktu untuk menulis puisi sendiri pun
jadi berkurang.
Saya berharap, apa yang saya lakukan ini dapat merangsang
para penyair untuk terus menulis juga merangsang pembaca umum agar lebih
mencintai puisi sebab yang semula mereka anggap samar dan rumit kini jadi sedikit terkuak. Tentu
saja, tafsir tidak pernah tunggal. Oleh karena itu, baik pembaca maupun si penyair berhak
menolak pendapat saya. Paling tidak, bagi pembaca, saya telah merintis jalan agar
mereka lebih mudah melaluinya. Pekerjaan "membukakan jalan" ini saya ibaratkan seorang pelancong yang hendak masuk ke dalam rimba makna di dalam puisi itu. Meskipun yang saya tulis bukan puisi, tapi juga tak kalah
puitis, bukan?
Menurut Iman Budi Santosa di dalam kata pengantar buku “Nyalasar”,
tindakan serupa ini, dulu, sudah pernah dilakukan oleh Saini KM. Makanya, kata
dia, adanya buku ini seakan-akan membangkitan ingatan masa lalu. Mendengar
kabar ini, saya senang sekali. Sebuah niat gerakan literasi dengan pola yang
lain saya harap bermula dari sini.
Penafsiran dimulai pertama kali pada 24 Desember 2017.
Ketika itu, Malkan Junaidi menulis puisi di akun Facebooknya, Pisah Ranjang.
Entah mengapa, saya tertarik dan langsung menulis tafsir untuk puisinya di kolom
komentar. Begitulah, puisi demi puisi saya baca dan saya buatkan tafsirnya. Kerja ini terus berlanjut sampai sekarang (bahkan setelah dibukukan). Saya membuka kembali
buku-buku puisi yang menumpuk dan lama tidak tersentuh. Alhamdulillah, berkat proyek tafsir puisi manasuka, buku puisi yang 'kesepian' di rak buku saya itu kini mendapatkan tangan untuk menyentuhnya, merengkuhnya.
Puncaknya, ketika saya menulis tafsir—kalau tidak salah—yang
keempat belas, pihak Lembaga Seni dan Sastra Reboeng menghubungi saya dan
menyatakan diri untuk siap menerbitkannya. Semula saya ragu karena saya kira
ini hanya kerja main-main. Pihak Reboeng meyakinkan saya kalau mereka
benar-benar siap membiayai penerbitan ini sepenuhnya. Sip, terbitlah buku
ini. Reboeng bahkan juga menyiapkan acara peluncuran dan diskusinya di Taman BudayaYogyakarta, 6 Juli 2018.
Demikianlah kisah perjalanan tafsir puisi yang saya sebut
dengan tafsir puisi manasuka ini karena memang saya kerjakan dengan sesuka hati, "semampu gue", tanpa tekanan, tanpa pesanan. Ada 29 esai di dalam buku ini. Keduapuluh sembilan esai
tersebut membahas satu puisi dari masing-masing penyair berikut ini: Malkan
Junaidi, Ben Sohib, Cyntha Hariadi, Jamil Massa, Sahlul Fuad & Binhad
Nurrohmat, Anis Sayidah, Dedy Tri Riadi, WAA Ibrahimy, Joko Pinurbo, Zeffry Alkatiri,
Iman Budhi Santosa, Kim Al Ghozali, Abdul Wahid Hasan, Nana Ernawati, Afrizal
Malna, Ishack Sonlay, Ahmad Faisal Imron, Nanang Suryadi, Raudal Tanjung Banua,
Abdul Wachid BS, Rudi Fofid, Aly D Musyrifa, Sutarji Calzoum Bachri & Sitor
Situmorang, Iyut Fitra, Paox Iben, Nuryana
Asmaudi, Acep Zamzam Noor, Made Adnyana Ole, dan Yuli Nugrahani. Lah, mengapa hanya karya mereka saja? Nah, itu dia, pemilihannya pun juga berdasarkan manasuka.
Semoga kerja ini dicatat sebagai amal saleh.
IDENTITAS BUKU:
Nyalasar: Tafsir Puisi
Penulis: M. Faizi
Kurator: Nana Ernawati
Editor: Iman Budhi Santosa
Cetakan Pertama, Juni 2018 Halaman: 190
Ukuran: 14 x 21 cm
ISBN: 978-602-60093-4-0
Penerbit: LSS REBOENG
Jl. Gaharu 1/8 Cipete Selatan, Jakarta Selatan
Email: khususreboeng2016@gmail.com
Web: senisastrareboeng.or.id
HARGA: Rp 50.000
CATATAN: buku ini tidak dijual di toko manapun, hanya bisa
dipesan kepada penulis (SMS/telp: 0817392631)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar