selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud
suka-suka yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah:
kesetanan yang maha perkasa
kebinatangan yang degil dan biadab
perseteruan indonesia
kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
dan sorga kami pun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya dicabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
1998
hak cipta foto ini bukan pada saya tapi saya punya buku ini cuma tak ada kamera |
* * *
Puisi ini ditulis dengan pola rata tengah. Dengan tanpa
bermaksud mengubah niat Penyair melalui topografinya, saya membuatnya rata kiri
demi memudahkan penafsiran. Secara tema, puisi ini memiliki semangat perlawanan
terhadap penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum anak negeri dalam hal menjarah
kekayaan bumi yang ditempatinya sendiri, Bumi Indonesia, dengan cara korupsi
dan kejahatan lainnya. Puisi ini saya cuplik dari buku puisi “Album Sajak Sajak
A Mustofa Bisri” (editor: Ken Sawitri, terbitan Mataair, 2008), halaman 277.
Dan seperti yang saya lakukan atas puisi-puisi sebelumnya, saya menggunakan
pola tafsir puisi manasuka untuk menguraikannya.
“Kembalikan Makna Pancasila”
selama ini di depan kami (di hadapan kami, maksudnya adalah perilaku
yang tampak oleh kami agaknya berlangsung baik-baik saja)
terus kalian singkat-singkat pancasila (kalian—orang yang
dimaksud, yang melakukan kejahatan terhadap negara dan bangsa—selalu menyingkat-nyingkat
Pancasila. Yang dikehendaki si penyair terhadap
bagian ini adalah gambaran mereka yang seolah-olah menyampaikan pesan dan
ajaran Pancasila sesuka hati, secara sederhana, tetapi sesungguhnya disesuaikan
dengan kepentingannya sendiri karena adanya maksud terselubung. Jadi,
menyampaikan pancasila dengan cara seperti itu [singkat-singkat] bukan demi
menunjukkan kesetiaan, melainkan justru untuk mengambil keuntungan darinya. Artinya,
“Kalian itu,” kata penyair Gus Mus, “tidak benar-benar menyampaikan isi
Pancasila...)
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud (rupanya,
“kalian punya pancasila versi suka-suka, versi kalian sendiri”)
suka-suka (kegemaran; hasrat) yang kalian anut (yang dituju;
yang dikehendaki. Dan hal itu bertolak-belakang dengan yang diajarkan oleh para
pendiri negeri ini yang diejawantahkan ke dalam Pancasila. Tindakan seperti itu
adalah munafik karena)
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan (melalui penataran P4
[Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] yang biasanya diterapkan di
sekolah-sekolah dan perguruan tinggi)
(Kira-kira, andai diparafrasekan, Gus Mus selaku penyair,
mempertanyakan sikap itu dengan pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Mengapa semua
ini terjadi? Mengapa kalian tega bersikap dan bersifat munafik, yakni
menyeleweng terhadap ajaran yang justru kalianlah para penatarnya?”. Si penyair
lalu menjawabnya sendiri, bahwa hal itu terjadi karena godaan syahwat, karena):
kepentingan-kepentingan sempit sesaat (seperti kepentingan
demi meraih kekuasaan dan kekayaan yang)
telah terlalu jauh menyeret kalian (ke dalam kubangan hasrat
yang tidak ada batasnya. Oleh sebab itu)
maka pancasila (versi) kalian pun selama ini (adalah “Pancasila
KW” yang justru bertentangan dengan Pancasila sejati. Nilai-nilai dasarnya malah
berkebalikan. Adapun kelima sila yang dimaksud) adalah:
(1) kesetanan yang maha perkasa
(2)kebinatangan yang degil dan biadab
(3)perseteruan indonesia
(4) kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
(5) kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
‘Pancasila’ seperti di atas adalah ‘iqtibas’ (quotation),
yakni proses memasukkan bagian teks tertentu ke dalam suatu gubahan yang baru,
baik secara bentuk atau pola saja. Di Indonesia, kita terkadang menyebutnya “plesetan”,
tetapi sebetulnya hal itu jauh berbeda karena rujukan utama ‘iqtibas’ biasanya kepada
‘teks besar’ [bisa berupa “tipa utama” dalam teori intertekstual], seperti
Alquran dan dalam hal ini teks Pancasila. Jika operasi iqtibas biasanya berupa
penggantian kata, plesetan lebih cenderung ke penggantian huruf pada kata tertentu
dengan huruf lainnya yang secara auditif nyaris sama dengan kata yang dirujuk. Dengan
catatan; adanya perkiraan dan kemungkinan acuan/rujukan yang terjangkau oleh
pendengar [atau pembaca]. Adapun bentuk penggantiannya terkadang dengan langkah
menukar salah satu huruf intra-frase. Contoh: “telok ceplor” untuk “telor
ceplok”)
dan sorga kami pun menjadi neraka (sorga yang dimaksud
adalah Indonesia yang dikenal dengan istilah “sepotong sorga yang ada di muka
Bumi” di mana “tongkat dan batu jadi tanaman” karena demikian subur tanahnya)
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan (acuan ibu pertiwi masih
sama, yaitu Indonesia; tanah air)
merahputihnya dicabik-cabik (merah putih mengacu kepada
bendera yang dalam hal ini merupakan simbol utamanya. Inilah puncak ironi itu,
di mana kesakralannya telah dicabik-cabik justru oleh anak yang disusuinya
[karena Penyair mengandaikan Indonesia itu seperti seorang “ibu”]. Mereka itu
adalah)
anak-anaknya sendiri (yang rakus dan kejam) bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
(Di bagian akhir puisi—yang saya pisahkan menjadi tiga
paragraf demi kemudahan dalam menafsir walaupun sebetulnya hanya ada satu
paragraf saja—penyair Gus Mus mengajak pembaca untuk melakukan permenungan
dengan pertanyaan retoris).
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
(Mengapa penyair mengaku tidak berani memohon ampun padahal
tindakan ini memang diperintahkan? Sekali lagi, ini adalah retoris! Memang benar
demikian tetapi tidak benar-benar demikian. Lalu? Sebagaimana kita ketahui,
memohon ampun itu adalah bertaubat, mengaku salah. Adapun syaratnya adalah
berhenti melakukan kesalahan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi.
Nah, betapa tidak tahu malu artinya jika kita mohon ampun tetapi sambil lalu
terus-menerus melakukan kejahatan dan kemaksiatan?)
1998 (menandakan tahun penciptaan puisi; ditulis pada Tahun
Reformasi, 1998. Gus Mus, adakalanya, juga mencantumkan tahun penciptaan puisinya
dengan tahun Hijriyah yang biasanya dicirikan dengan penulisan tahun berkepala “14”).
Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar