19 Agustus 2018

Kembalikan Makna Pancasila (Gus Mus)


selama ini di depan kami
terus kalian singkat-singkat pancasila
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud
suka-suka yang kalian anut
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan
kepentingan-kepentingan sempit sesaat
telah terlalu jauh menyeret kalian
maka pancasila kalian pun selama ini adalah:
kesetanan yang maha perkasa
kebinatangan yang degil dan biadab
perseteruan indonesia
kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia
dan sorga kami pun menjadi neraka
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan
merahputihnya dicabik-cabik
anak-anaknya sendiri bagai serigala
menjarah dan memperkosanya
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
1998

hak cipta foto ini bukan pada saya
tapi saya punya buku ini
cuma tak ada kamera

* * *
Puisi ini ditulis dengan pola rata tengah. Dengan tanpa bermaksud mengubah niat Penyair melalui topografinya, saya membuatnya rata kiri demi memudahkan penafsiran. Secara tema, puisi ini memiliki semangat perlawanan terhadap penyelewengan yang dilakukan oknum-oknum anak negeri dalam hal menjarah kekayaan bumi yang ditempatinya sendiri, Bumi Indonesia, dengan cara korupsi dan kejahatan lainnya. Puisi ini saya cuplik dari buku puisi “Album Sajak Sajak A Mustofa Bisri” (editor: Ken Sawitri, terbitan Mataair, 2008), halaman 277. Dan seperti yang saya lakukan atas puisi-puisi sebelumnya, saya menggunakan pola tafsir puisi manasuka untuk menguraikannya.

“Kembalikan Makna Pancasila”

selama ini di depan kami (di hadapan kami, maksudnya adalah perilaku yang tampak oleh kami agaknya berlangsung baik-baik saja)
terus kalian singkat-singkat pancasila (kalian—orang yang dimaksud, yang melakukan kejahatan terhadap negara dan bangsa—selalu menyingkat-nyingkat Pancasila. Yang dikehendaki si penyair  terhadap bagian ini adalah gambaran mereka yang seolah-olah menyampaikan pesan dan ajaran Pancasila sesuka hati, secara sederhana, tetapi sesungguhnya disesuaikan dengan kepentingannya sendiri karena adanya maksud terselubung. Jadi, menyampaikan pancasila dengan cara seperti itu [singkat-singkat] bukan demi menunjukkan kesetiaan, melainkan justru untuk mengambil keuntungan darinya. Artinya, “Kalian itu,” kata penyair Gus Mus, “tidak benar-benar menyampaikan isi Pancasila...)
karena kalian takut ketahuan sila-sila yang kalian maksud (rupanya, “kalian punya pancasila versi suka-suka, versi kalian sendiri”)
suka-suka (kegemaran; hasrat) yang kalian anut (yang dituju; yang dikehendaki. Dan hal itu bertolak-belakang dengan yang diajarkan oleh para pendiri negeri ini yang diejawantahkan ke dalam Pancasila. Tindakan seperti itu adalah munafik karena)
tidak sebagaimana yang kalian tatarkan (melalui penataran P4 [Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila] yang biasanya diterapkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi)

(Kira-kira, andai diparafrasekan, Gus Mus selaku penyair, mempertanyakan sikap itu dengan pertanyaan kurang lebih seperti ini: “Mengapa semua ini terjadi? Mengapa kalian tega bersikap dan bersifat munafik, yakni menyeleweng terhadap ajaran yang justru kalianlah para penatarnya?”. Si penyair lalu menjawabnya sendiri, bahwa hal itu terjadi karena godaan syahwat, karena):
kepentingan-kepentingan sempit sesaat (seperti kepentingan demi meraih kekuasaan dan kekayaan yang)
telah terlalu jauh menyeret kalian (ke dalam kubangan hasrat yang tidak ada batasnya. Oleh sebab itu)
maka pancasila (versi) kalian pun selama ini (adalah “Pancasila KW” yang justru bertentangan dengan Pancasila sejati. Nilai-nilai dasarnya malah berkebalikan. Adapun kelima sila yang dimaksud) adalah:
(1) kesetanan yang maha perkasa
(2)kebinatangan yang degil dan biadab
(3)perseteruan indonesia
(4) kekuasaan yang dipimpin oleh nikmat kepentingan
dalam perkerabatan/perkawanan
(5) kelaliman sosial bagi seluruh rakyat indonesia

‘Pancasila’ seperti di atas adalah ‘iqtibas’ (quotation), yakni proses memasukkan bagian teks tertentu ke dalam suatu gubahan yang baru, baik secara bentuk atau pola saja. Di Indonesia, kita terkadang menyebutnya “plesetan”, tetapi sebetulnya hal itu jauh berbeda karena rujukan utama ‘iqtibas’ biasanya kepada ‘teks besar’ [bisa berupa “tipa utama” dalam teori intertekstual], seperti Alquran dan dalam hal ini teks Pancasila. Jika operasi iqtibas biasanya berupa penggantian kata, plesetan lebih cenderung ke penggantian huruf pada kata tertentu dengan huruf lainnya yang secara auditif nyaris sama dengan kata yang dirujuk. Dengan catatan; adanya perkiraan dan kemungkinan acuan/rujukan yang terjangkau oleh pendengar [atau pembaca]. Adapun bentuk penggantiannya terkadang dengan langkah menukar salah satu huruf intra-frase. Contoh: “telok ceplor” untuk “telor ceplok”)

dan sorga kami pun menjadi neraka (sorga yang dimaksud adalah Indonesia yang dikenal dengan istilah “sepotong sorga yang ada di muka Bumi” di mana “tongkat dan batu jadi tanaman” karena demikian subur tanahnya)
di depan dunia
ibu pertiwi menangis memilukan (acuan ibu pertiwi masih sama, yaitu Indonesia; tanah air)
merahputihnya dicabik-cabik (merah putih mengacu kepada bendera yang dalam hal ini merupakan simbol utamanya. Inilah puncak ironi itu, di mana kesakralannya telah dicabik-cabik justru oleh anak yang disusuinya [karena Penyair mengandaikan Indonesia itu seperti seorang “ibu”]. Mereka itu adalah)
anak-anaknya sendiri (yang rakus dan kejam) bagai serigala
menjarah dan memperkosanya

(Di bagian akhir puisi—yang saya pisahkan menjadi tiga paragraf demi kemudahan dalam menafsir walaupun sebetulnya hanya ada satu paragraf saja—penyair Gus Mus mengajak pembaca untuk melakukan permenungan dengan pertanyaan retoris).
o, gusti, kebiadaban apa ini?
o, azab apa ini?
gusti, sampai memohon ampun kepadamu pun
kami tak berani lagi
(Mengapa penyair mengaku tidak berani memohon ampun padahal tindakan ini memang diperintahkan? Sekali lagi, ini adalah retoris! Memang benar demikian tetapi tidak benar-benar demikian. Lalu? Sebagaimana kita ketahui, memohon ampun itu adalah bertaubat, mengaku salah. Adapun syaratnya adalah berhenti melakukan kesalahan, menyesal, dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Nah, betapa tidak tahu malu artinya jika kita mohon ampun tetapi sambil lalu terus-menerus melakukan kejahatan dan kemaksiatan?)

1998 (menandakan tahun penciptaan puisi; ditulis pada Tahun Reformasi, 1998. Gus Mus, adakalanya, juga mencantumkan tahun penciptaan puisinya dengan tahun Hijriyah yang biasanya dicirikan dengan penulisan tahun berkepala “14”).

Wallahu a’lam

M. Faizi 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar