02 Agustus 2018

Shalawat Tanah (Kyai Matdon)



tangan tuhan menempel di tanah merah
gunung gunung, hutan rimba, pantai, sampai ke darah
dan kuburan kematian
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi
tanah diinjak-injak sekaligus dijadikan tuhan
perumahan diimpikan sekaligus pengusuran
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil

Tuhan tersenyum di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung dimainkan
sesepuh iblis;
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelak kita lelah

Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah?

bandung 1990

Sejak dulu, persoalan tanah kerap berhubungan dengan kekuasaan, konflik, hingga pencaplokan. Lebih-lebih saat ini, persoalannya semakin runyam, melebar ke wilayah agraria. Alih fungsi lahan, penguasaan tanah (secara paksa), kapitalisasi dan privatisasi, adalah serangkaian isu tanah terkini. Isu ini terus muncul dan secara signifikan tidak terselesaikan dengan baik kecuali hanya satu dua kasus saja.

“Shalawat Tanah”

#tafsirpuisimanasuka

tangan tuhan menempel di tanah merah (Ada dua frase kunci pada larik ini, yaitu “tangan tuhan” dan “tanah merah”. Ulama salaf [maksudnya ulama yang hidup pada periode Klasik dalam, antara zaman nabi hingga ulama abad ke 3 hijriyah, yakni masa atba’tabiin, eranya Imam Syafii, Imam Habnali, Imam Bukhari, Imam Muslim, dan para penyusun Kutub as-Stittah; bukan nama kelompok atau gerakan tertentu] tidak menafsir “anggota tubuh” yang disematkan kepada Allah. Mereka juga tidak menggunakan anggota tubuh yang lain di luar yang memang dipergunakan sendiri oleh Allah di dalam ayat-ayat-Nya, mencakup "tangan", "bersemayam" [istawa/istiwa'] dan "mata". Ulama khalaf [kontemporer], menafsir 'yadun' [tangan]—sebagai perbandingan langsung atau metafora bagi “nikmat” atau “kudrat”. Mereka juga menafsirkan "istawa" dengan “menguasai”.

(Tafsir untuk frase “tanah merah” pun dapat dilihat dari tiga sudut: pertama, konotasi; merah pada tanah menunjukkan keberanian--sebagaimana pemahaman umum; kedua, denotasi, tanah merah sebagai tanah yang berwarna kemerahan, mengandung unsur lempung, kesuburan, dan; ketiga, geografi, tanah merah sebagai nama wilayah/tempat [nama kecamatan di Bangkalan atau nama kota di Singapura). Anda maunya yang mana?

(Adapun bagian berikutnya) gunung gunung, hutan rimba, pantai (merupakan rincian dari “benda/item yang ditempeli tangan tuhan”, sama seperti tanah merah), sampai ke darah
dan kuburan kematian (frase ini merupakan ungkapan penyangatan yang artinya pamuncak daripada seluruh “yang ditempeli tangan tuhan” tersebut.

(Selanjutnya, penyair Matdon membuat gambaran yang lain, gambaran gairah dan hasrat manusia yang lebih mengerikan lagi, tentu saja masih seputar isu tanah sebagaimana tertera pada judul puisi di atas. Tanah, dalam sejarah manusia, adalah ‘aurat’ yang paling menggoda. Ia merupakan harta yang paling sering mengundang syahwat orang untuk bersengketa. Kata para tetua, tanah memiliki daya magis yang mampu membuat seseorang mudah tersihir untuk menguasainya. Sebab itu, banyak petuah yang kita dengar agar berhati-hati ketika hendak membeli atau memiliki tanah. Di sini, penyair Kyai Matdon menyatakan perihal banyaknya bukti itu, tersurat dan tersirat dalam jejak peradaban manusia).
beradab abad sudah peradaban menjadi sejarah abadi (penegasan atas statemen sebelumnya, bahwa)
tanah diinjak-injak (posisinya yang berada di bawah titik nadir manusia maka secara sunnatullah ia diinjak. Pernyataan ini denotatif. Namun, pada bagian) sekaligus dijadikan tuhan, (perumpamaan yang dikehendaki penyair adalah konotatif. “Tuhan” pada anak kalimat ini adalah pengkultusan, sanjungan berlebihan atas keinginan manusia. Penjelasan contohnya terdapat pada larik berikutnya, yakni)
perumahan diimpikan sekaligus penggusuran (orang ingin punya rumah [perumahan] tetapi seringkali pembangunannya diwarnai oleh penggusuran, sebuah pemandangan ironis. Semua itu mengacu pada tanah, sebagaimana)
kuburan ditakuti sekaligus menjadi ladang
pembantaian (bahwa manusia tetap takut mati, tetapi acapkali mereka melakukan pembantaian atas nama apa pun, termasuk penggusuran dan penguasaan modal. Ujung-ujungnya, persoalan tetaplah mengacu ke tanah, penguasaan lahan, pencaplokan wilayah)
betapa kekal perpanjangan tangan kabil dan habil (ini adalah gambaran kejahatan yang dilakukan manusia terkait tema pembuhunan yang diyakini diawali oleh tragedi Habil dan Kabil)

Tuhan tersenyum (apakah makna senyum? Terkadang bermakna setuju, terkadang justru ekspresi ‘nyinyir’, isyarat satire. Bagaimana cara memahaminya dalam konteks ini? Periksa susunan kata-kata berikutnya) di tanah-tanah becek, hutan gundul, sungai
kering dan asap industri (kempat frase ini adalah perlambang kemurungan, kesedihan, atau dampak perilaku buruk yang dilakukan oleh manusia. Kesemuanya itu berada dan terjadi di atas tanah)
Kemerdekaan tanah keadilan terkatung-katung (bahwa status “tanah keadilan” itu nyatanya sangat samar, tidak jelas karena) dimainkan
(oleh) sesepuh iblis (siapa sesepuhnya? Lucifer atau Ifrit. Apa dampaknya?);
tanah menangis langit menangis
tanah sedih gunung sedih
tanah dzikir lembah dzikir
tanah lelah kita lelah
(Keempat kalimat repetitif ini mengandung unsur sebab-akibat, seperti plot, bukan sekadar urutan kejadian belaka. Artinya, jika ‘dilengkapi’, susunannya akan menjadi seperti ini: ketika tanah menangis, maka langit pun ikut menangis [karena bersedih], ketika tanah bersedih, maka gunung pun ikut-ikutan bersedih. Dan manakala tanah berdzikir, maka lembah pun turut berdzikir. Akhirnya, ketika tanah menjadi lelah, maka kita pun menjadi lelah.

(Pada akhirnya, puisi ini ditutup dengan pertanyaan retoris)
Tuhan
kau masih belum lelah kan menampung kata kata tanah? (yang artinya, penyair bertanya kepada Tuhan, satu pertanyaan yang tidak perlu dijawab karena jawaban memang tidak dibutuhkan sebab semua orang sudah dianggap tahu jawabannya. Tanah terlalu sering jadi ladang sengketa. Korbannya banyak pula, baik raga maupun jiwa. Lalu, mengapa penyair menggunakan kata “shalawat” untuk “tanah”? Sebab penyair masih meyakini atas peran penting Sang Nabi untuk semua urusan ini).

bandung 1990

3 komentar:

  1. fadilah dari membaca 'shalawat tanah' diantaranya adalah dijauhkan dari sengketa tanah bagi yang tidak punya tanah. dan kelak pengamalnya akan dimudahkan masuk kedalam tanah kalau sudah mangkat. hehe.

    BalasHapus

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar