SUDAH
Sungai tempat kita bercengkerama sudah diuruk.
Jika pun engkau datang
kita tak lagi bisa bersama
berenang atau menghanyutkan batang ilalang.
Tak ada lagi lubuk biasa kita mengayuh biduk.
Yang tersisa hanya tungkal bambu,
daun kering di atas tanah menggunduk,
kaki-kaki penyu dan hati yang tak pernah tunduk.
2013
Yuli Nugrahani adalah penyair dan cerpenis dari Lampung. Puisi ini
diambil dari buku puisinya, “Sampai Aku Lupa” (Komunitas Kampoeng Jerami, 2017).
Ia juga menulis dan menerbitkan cerpen, antara lain “Daun-daun Hitam”. Selain
berkarya sastra, Yuli juga bergiat di dalam banyak gerakan keadilan dan
perdamaian serta buruh migran.
* * *
SUDAH (tidak ada yang sulit dari puisi ini untuk dipahami. Sebetulnya,
tafsir tidak perlu dibutuhkan karena puisi ini menjabarkan hal-hal yang relatif
mudah dicerna oleh awam. Menguraikan puisi dengan parafrase atau menafsir kata
per kata adalah cara untuk membuat puisi lebih dekat kepada pembaca. Saya tidak
berhak menentukan, ke mana arah puisi sebetulnya ditujukan. Maksud penyair,
maksud saya, serta pembaca umum, boleh saja berbeda. Judul “sudah” dalam puisi ini
menandakan peristiwa-peristiwa yang sudah terjadi dan tampaknya tidak dapat
dikembalikan lagi alias “terlanjur terjadi”).
Sungai tempat kita bercengkerama sudah diuruk. (Bait pertama hanya
berisi satu baris, satu larik. Ini adalah pernyataan prinsip dalam keseluruhan
puisi. Penyair menyampaikan kabar tentang sungai tertentu, entah itu Way Kuala
atau yang lain [penyair juga menulis puisi perihal “Way Kuala” dan “Way
Sekampung” di dalam buku ini], yang dulunya dijadikan tempat bercengkerama
penyair dengan seseorang lainnya, tetapi kini tidak dapat lagi dijadikan tempat
bercengkerama, karena dirusak atau karena alif fungsi atau karena perubahan
iklim).
Jika pun engkau datang (anak kalimat; pengandaian terhadap kehadiran
kawan dari jauh, atau entah siapa, yang disebut “kita” di dalam puisi ini, karena
mungkin dia akan menyambangi penyair kembali di suatu waktu)
kita tak lagi bisa bersama
berenang atau menghanyutkan batang ilalang. (ini adalah induk
kalimatnya, sebuah pernyataan tentang adanya kemungkinan bersua tapi sekaligus
tertutupnya kemungkinan bercengkerama. Tentu saja, kalimat ini menampilkan rasa
kecewa karena sungai itu menjadi tempat mereka bercengkerama dan bernostalgia.
Hal itu tersirat dalam frase “berenang
atau menghanyutkan batang ilalang”, sebuah gambaran momen romantis).
Sebetulnya, kehadiran orang ketiga yang disebut sang penyair di
dalam puisi ini mungkin saja memang tidak ada, alias entah-siapa atau
bukan-siapa-pun. Ia hanyalah pengandaian yang tujuannya adalah untuk menegaskan
hilangnya fungsi sebuah tempat dan hilangnya momen terbaik dalam sebuah peristiwa
yang dapat dirasakan bersama. Kita tidak tahu, siapa dia sebenarnya).
Tak ada lagi lubuk biasa kita mengayuh biduk. (lubuk adalah bagian
terdalam dari sungai; biduk adalah perahu kecil. Di bagian, ibarat foto,
penyair berusaha membingkai gambar yang paling indah dan romantis, sebagaimana juga
digambarkan pada bait sebelumnya).
Yang tersisa hanya tungkal bambu,
daun kering di atas tanah menggunduk,
kaki-kaki penyu dan hati yang tak pernah tunduk.
(Bait terakhir dari puisi ini adalah “jawaban” bagi pertanyaan:
mengapa momen romantis itu telah hilang dan tidak bisa terjadi lagi? Tungkal
bambu dan daun kering menunjukkan kesedihan yang timbul karena kerusakan atau
pengrusakan atau perubahan iklim, sedangkan kaki-kaki penyu adalah ekspresi harapan
penyelamatan, sebagaimana kita tahu ada penangkaran penyu di Lampung [meskipun
pada bagian ini saya merasa kesulitan mencarikan korelasi tanda-tandanya
kecuali hanya karena ia muncul sejajar
dengan frase “hati yang tak pernah tunduk”]. Penutup puisi, “hati yang tak
pernah tunduk”, merupakan statemen perlawanan, bahwa penyair harus mengambil
keputusan untuk tidak pernah tunduk terhadap pengrusakan alam, harus melawan).
© M. Faizi (2018)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar