Di tengah
melambungnya harga-harga
Suaramu semakin
merdu saja
Di tengah
membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin
cantik saja
Di tengah
ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin
sintal saja
Di tengah
merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu
semakin heboh saja
Di tengah
langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu
semakin berarti saja
Di tengah
terpuruknya kehormatan bangsa
Pakaianmu
semakin gemerlapan saja
2007
* * *
Puisi ini
merupakan bagian dari "Bagian dari Kegembiraan", buku kumpulan puisi
Acep Zamzam Noor yang terbit di tahun 2013. Puisi yang berjudul "Ode Buat
Seorang Penyanyi Dangdut" ini bertahun cipta 2007, tahun-tahun terakhir
masa proses kreatifnya di dalam buku yang menghimpun karyanya selama 13 tahun
tersebut (1996-2009). Selain menulis puisi, penyair Acep Zamzam Noor juga
melukis.
ODE BUAT
SEORANG PENYANYI DANGDUT (judul bersifat khusus, ditujukan kepada
"seseorang", mungkin Inul atau Anisa Bahar. Menilik tahun penciptaan
[2007], maka tidak mungkin jika puisi ini dibuat untuk Van Halen, eh, Via
Vallen. Ode adalah puisi pujian, kadang dilagukan. Orang Arab punya istilah
'madah' untuk tujuan yang sama dan biasanya bersifat liris.
(Apakah puisi ini
untuk penyanyi dangdut tertentu? Tidak begitu penting sungguhnya, karena bisa
saja penyair menyebut "seorang" namun secara politis yang
dikehendakinya adalah prototipe penyanyi kebanyakan. Dia ingin melakukan 'pars
pro toto' dengan cara seperti itu, seperti menyebut Rhoma Irama namun tujuannya
adalah untuk ABRI [Anak Buah Rhoma Irama] seluruhnya. Perihal keterwakilan ini,
tinggal kita lihat konteksnya: kapan, di mana, dan tentang apa penyair/puisi
itu bicara).
Di tengah
melambungnya harga-harga (yakni pada saat harga bahan-bahan popok, eh, pokok,
terus melonjak karena keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM sementara
rakyat melakukan protes di mana-mana, tetapi suaramu, wahai biduanita, mampu
menghibur rakyat untuk sejenak melupakan itu semua. Di liang telinga dan
perasaan kami,)
Suaramu semakin
merdu saja (sehingga kami tersihir dan lupa kalau kami, eh, kita, ini sedang
menderita).
Di tengah
membengkaknya hutang negara
Wajahmu semakin
cantik saja (cantik dipertentangkan dengan hutang. Apakah hubungan? Piutang
cenderung membuat roman muka murung. Kalau orang berwajah murung biasanya akan
mengurangi aura kencantikan. Jadi, bait ini sama seperti sebelumnya, berisi
pertentangan untuk mendapatkan kesan ironi).
Di tengah
ruwetnya masalah sosial, politik dan agama
Tubuhmu semakin
sintal saja (masih sama dengan yang di atas, hanya saja
"perbandingan-bertentangan" dibuat lebih melebar, lebih jauh lagi
hubungannya jika dibandingkan dengan pernyataan sebelumnya:
"keruwetan" lawan "kesintalan". Kok bisa begitu?
Barangkali, penyair menemukan titik kesamaan di tengah-tengahnya, yaitu
"syahwat": syahwat kekuasaan melalui politik dan syahwat kebirahian
melalui goyangan.
Yang kita
saksikan, banyak sekali goyangan biduan di pentas-pentas dangdut itu, terutama
sejak munculnya genre (atau subgenre [?]) dangdut koplo, yang memantik
erotisme. Apakah pendapat ini seksis, "berwawasan kedagingan",
subordinatif? Untuk mendapatkan jawaban yang ilmiah, kita harus mengujinya dulu
di "Laboratorium Dangdut" (bisa tanya sama Mashuri soal alamatnya),
misalnya dengan mengukur "sex appeal" penonton dengan metode
"simple-random-sampling" untuk diuji. Bagaimana teknisnya, biar yang
lain saja yang mengurus, jangan semua persoalan kepada saya, terutama soal yang
beginian, soal angka-angka dan kesesuaian datanya.
Tanpa harus
menyudutkan kualitas musik atau genre tertentu, dangdut yang dulunya sangat
berwawasan Melayu dan sangat merakyat, menjadi semacam blues-nya "orang
kita", kini, perlahan-lahan tampak berubah/mengubah selera. Hal ini mirip
dengan “blues” yang mula-mula menjadi ekspresi musikal etnis Afro-Amerika dan
sekarang telah berangsur berubah. Salah satu penandanya adalah dengan naiknya
Vanessa Williams ke peringkat satu Miss America di tahun 1984. Apakah ini juga
mirip dengan naiknya Nella Kharisma ke jenjang kemasyhuran artis tanah air pada
umumnya?
Balik lagi ke
puisi... ini sudah terlalu ngelantur.
Akibatnya tidak puas dengan "perbandingan-bertentangan" di atas, penyair Acep menambah satu bait lagi, di bawah ini, untuk menegaskannya.
Di tengah
merebaknya teror dan berbagai bencana
Goyanganmu
semakin heboh saja (teror dan bencana sudah ada yang mengurus, yakni detasemen
antiteror dan Basarnas. Tapi, bukankah yang mereka tanggulangi berdua adalah
teror dan bencana literal, sementara "teror tersirat" dan
"bencana metaforis", teror yang merusak tatanan syaraf untuk berpikir
rasional dan bencana kemanusian yang
tampak mencolok pada masyarakat mileneal yang begitu enteng menghujat siapa
pun, tak peduli tokoh/panutan, meskipun modal mereka hanya paket data gratisan
di medsos? Malah, jangan-jangan, ini dia sesungguhnya teror dan bencana itu.
Menghadapi kenyataan
demikian, kehebohan goyangan penyanyi dangdutlah yang akan turut meredakan
masalah ini sehingga masyarakat sejenak mampu untuk melupa). Oleh karena itu,
si akang penyair dari Tasikmalaya ini [sekampung dengan Rhoma Irama] lantas
membuat statemen, bahwa...
Di tengah
langkanya pemimpin yang bisa dipercaya
Kehadiranmu
semakin berarti saja (Pada bagian ini, penyanyi dangdut tetap disanjung karena
perannya dianggap berarti, mungkin karena mampu menghibur orang banyak di saat sedikit
orang di negeri ini yang menjadi pemimpin, yang dipilih secara demokratis, pada
akhirnya hanya gemar berdusta saat bicara; berjanji tanpa menepati; berkhianat ketika
telah dipercaya.
Akan tetapi,
pada bait terakhir, kehadiran penyanyi dangdut (tersebut) justru ditampilkan
secara ironis oleh penyair, yaitu manakala kehormatan bangsa sedang terpuruk, pakaian
dia malah semakin gemerlap. Pasalnya, kita tahu, “gemerlapan” adalah simbol
kemewahan. Lantas, apakah kemewahan itu salah? Itu adalah hak, tapi manakala
ditampakkan pada saat yang lain sedang berduka, maka ia salah penempatan.
Berikut penutup
puisi tersebut:
Di tengah
terpuruknya kehormatan bangsa
Pakaianmu
semakin gemerlapan saja
(Dari sudut
pandang yang lain, bait terakhir puisi “Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut” di
atas menggambarkan potret umum kehidupan masyarakat. Rakyat asyik sendiri ketika kehormatan bangsa sedang terpuruk dan
butuh pertolongan. Nah, mengapa "ode" yang mestinya
"memuji" tetapi di akhir puisi malah menyelipkan "caci"?
Wallahu a'lam, barangkali ini adalah “satire”, bukan untuk penyanyi dangdut
yang sebetulnya “tidak benar-benar ada walupun mungkin juga ada”, melainkan ini
untuk para pembaca, untuk kita).
© M. Faizi:
2018
Tulisan yang sangat bernas
BalasHapusBagus kyai. Komprehensif...
BalasHapus