dan ia. lelaki yang terus mencari kata-kata
singgah di lepau itu
bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu. tempurung-tempurung telah menunggu
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang. seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja
kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta
ada ikhwal tak mudah lenyap
dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga. konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh
kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke
mana
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa
orang-orang merambah ladang. orang-orang takut untuk
mengerang
hanya bergelimun di tungku-tungku
menikmati sisa sebelum berubah abu
dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah
ke mana kenangan harus dipanggul
ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya
***
Buku puisi “Lelaki dan Tangkai Sapu” (Kabarita, Cet.I, Juli, 2017) karya Iyut Fitra
ini—secara keseluruhan—menggambarkan rangkuman bagaimana seorang pemuda Minang menjalani
kehidupannya. Sejak kecil, ia tidur di surau dan meninggalkan rumah untuk
selanjutnya merantau. Rumah gadang dimiliki oleh keturunan garis perempuan
karena pewarisannya berdasarkan matrilineal.
Yang dialami Iyut Fitra juga begitu. Saya menemukan liputan
tentang rumah gadang ini di National Geographic Traveler (lupa tahun berapa;
majalah masih ‘ketelisut’ dan tidak saya temukan hingga artikel ini diterbitkan
). Namun, ada fragmen-fragmen lain hidup yang juga dibahas dalam buku ini.
Khusus untuk puisi nomor yang IX ini (judul puisi menggunakan penomoran), Iyut
berkisah tentang tradisi minum kawa daun orang Sumatra (Barat) yang kalau
ditelisik lebih jauh, ia tidak hanya menggambarkan sebuah tradisi minum daun
kopi semata, melainkan soal penjajahan dan perampasan hak.
Sebelum masuk ke puisi (masih dengan cara “tafsir puisi manasuka”),
ada baiknya saya kasih pengantar sedikit seputar kopi, daun kopi, dan kolonialisme.
Yang memperkenalkan kopi sebagai minuman dari biji kopi itu
memang Belanda. Akan tetapi, pernyataan bahwa Belandalah yang memperkenalkannya
ke masyarakat Indonesia terbantahkan oleh ditemukannya pohon-pohon kopi di
Aceh, jauh sebelum mereka datang. Di Aceh, dulunya, daun kopi digunakan sebagai
minuman. Mereka “cuma” merebus daunnya sebab tidak tahu kalau ternyata yang
inti dan mahal dari kopi itu adalah bijinya.
Menurut Lia Zen, pandangan ini sengaja diciptakan oleh
kolonial agar masyarakat tidak mengkonsumsi biji kopi, melainkan cukup daunnya
saja. Banyak ujaran yang tercipta seputar ini, di antaranya adalah “kalau minum
biji kopi merah, nanti mata bakal merah”. Ujaran seperti ini beredar di
masyarakat luas karena memang diproyeksikan. Kenyataannya, kafein tertinggi
pada kopi itu justru terletak pada daun. Sebaliknya, adapun kualitas kopi yang terbaik
justru ada pada biji merahnya. “Kenyataan ini berlangsung lama, bertahun-tahun,
sampai-sampai nenek saya (yang artinya baru saja berlalu—red) yang memiliki
kebun kopi pun tidak pernah mau minum kopi yang berasal dari biji kopi,” tambah
Lia. Sungguh suatu penjajahan luar-dalam!
Memang, saat ini, ada temuan baru: cascara, yaitu teh yang
berasal dari kulit biji kopi (arabica). Tentu saja, meskipun sama-sama berasal
dari kopi, minum cascara berbeda dengan minum “kawa daun” ini. Jika cascara
menyiratkan tren, sebaliknya, kawa daun membawa amanat penderitaan dan
penjajahan.
Mari kita mulai...
LELAKI DAN TANGKAI SAPU – IX
dan ia (adalah setiap lelaki Minangkabau; aku-publik; dalam
hal ini menunjuk kepada dirinya sendiri [penyair] yang menyatakan diri sebagai
sebuah representasi. Dia adalah). lelaki yang terus mencari kata-kata (untuk
dapat disusun dan ditata, guna menyampaikan sesuatu yang menurutnya penting
untuk diketahui oleh khalayak, baik oleh yang sebangsa maupun siapa pun)
singgah di lepau itu (warung kecil)
Pada baris berikut, penyair mulai menegaskan tema puisi,
tentang "kawa daun", yaitu daun kopi yang digunakan sebagai minuman.
Kawa, kemungkinan besar, berasal dari 'kahwa'/'qahwa' yang artinya kopi
[sebagai minuman, sedangkan kopi sebagai biji, dalam Bahasa Arab, disebut
“bunn”]. Kata kawa juga dikenal di masyarakat Takengon, di Gayo. Di sana,
masyarakat petani kopi memiliki tradisi mengawinkan kopi. Mereka berdoa di
dalam prosesi. Doanya seperti ini: “Bismillahirrahmanirrahim, hai Siti Kawa,
kao kukawinkan urung kuyu, wihkih walimu, tanoh kin saksi muhrimmu, mata uroe
kin saksi pernikahanmu, kao kawinkan urung kuyu sebagai suamimu”
(Bismillahirrohmaanirrohiim, hai Siti Kawa (kopi), kau kukawinkan dengan angin,
air sebagai walimu, tanah sebagai saksi muhrimmu, matahari sebagai saksi
pernikahanmu. Kau kukawinkan dengan angin sebagai suamimu).
bermula di rimbun daun. jemur di tungku dan disangai
di pondok bambu (bagian ini menjelaskan proses awal
pembuatan kawa daun: dijemur dan dikeringkan melalui bara api yang biasanya
dilakukan di tempat yang terlindung dari angin, seperti pondok bambu).
tempurung-tempurung telah menunggu (kawa daun memang tidak diminum dari gelas,
melainkan dari tempurung atau batok kelapa)
gula saka, sarikaya, ketan dan goreng pisang (tiga nama ini
adalah identik penganan atau cemilan. Gula saka adalah gula tebu dalam bahasa
Minangkabau; sarikaya adalah serikaya, yaitu makanan yang mengandung intisari
santan dan telur) dan seduhlah!
ini kawa daun yang akan menghanyutkan meski tanpa pantun
(yang dimaksud “menghanyutkan” adalah memberikan sensasi dan pelepasan katup
kebahagiaan, meskipun tanpa harus bertukar pantun sebagaimana tradisi mereka)
kendati tak searoma arabika, robusta atau kopi toraja (kata
hubung “kendati” menyiratkan 'kerendahdirian' [inferioritas], bahwa kawa daun
adalah kelas kedua jika kopi adalah kelas pertamanya. Penyair tidak memandang
ini sebagai dua jenis dan dua mahia, melainkan dua hal yang nyaris serupa
sehingga dianggap sama, padahal mestinya kawa daun adalah minuman tersendiri
yang khas dan unik, bukan semacam “kopi yang tertunda” atau “minuman pengganti
kopi”. Pandangan inferior seperti ini mungkin tercipta oleh sejarah panjang
kolonialisme dan upaya 'pembodohan' yang dilakukan penjajah terhadap masyarakat
untuk selanjutnya menjadi alam pikir orang banyak. Adapun robusta, arabica, dan
toraja adalah pembanding, meskipun tidak setara. Sebab, robusta dan arabica itu
varietas, sedangkan Toraja adalah identitas kewilayahan. Sebagai tambahan
informasi, kawa daun umumnya berasal dari jenis robusta sementata Toraja
terkenal dengan kopi arabica).
kendati cita dan rasa hanya tumbuh dari palanta ke palanta
(tempat bersantai, disebut "blandongan" oleh orang pesisir Gresik;
semacam tempat cangkruk)
ada ikhwal tak mudah lenyap
dan ia. lelaki yang tersandar di lepau itu (sama seperti di
atas)
sejarah menghantamnya di seduhan ketiga ("seduhan
ketiga" tampak seperti variasi ungkapan, tidak memiliki kecenderungan
tertenu. Namun, sebetulnya, orang Minang memiliki acuan khusus terhadap angka
ini [contoh: "tungku tigo sajarangan, tali tigo sapilin"] sebagaimana
orang Aceh yang menyukai angka "tujuh"). konon, 1840
gudang-gudang berdiri angkuh (tahun tersebut menandai dimulainya
'cultuurstelsel', saat mana masyarakat harus menanam kopi tapi tidak dapat
memimum kopinya.
Sejujurnya, saat ini, kondisi masyarakat kita mirip-mirip
dengan zaman itu. Kopi-kopi terbaik dari Nusantara, dari Toraja sampai Bajawa,
dari Ijen sampai Takengon, dikirim ke luar negeri. Contoh: kopi terbaik Gayo
dikirim ke Atlanta, kita dapat yang buruk-buruknya. Bahkan, seperti kopi yang
unik karena tumbuh di lingkungan gunung belerang yang menyemburkan api biru [“blue
fire - blue mountain”] yang konon hanya ada dua di dunia [di Bondowoso,
Indonesia dan Islandia] bahkan banyak warga setempat pun tidak tahu-menahu soal
ini, apalagi sampai menyicipinya.
kopi-kopi diangkut dan peladang menghangatkan tubuh entah ke
mana (kopinya dibawa ke luar negeri oleh Kompeni, sementara peladang-petaninya sendiri
tidak mendapatkan kehangatan kopinya)
ini kawa daun. rasa kelatnya serasa kisah dari derita
(penyair menunjukkan lalu membandingkan kawa daun—yang rasanya memang sedikit
sepat, seperti teh yang sangat kental dan sedikit gula—dengan penderitaan yang
dialaminya, dialami oleh bangsanya atau oleh sekelompok kecil bangsa, tepatnya
orang-orang Minang di zaman dulu)
aroma lembabnya seperti letih tubuh yang terpaksa (penyair
membayangkan aroma kawa daun itu ibarat keletihan para petaninya, yaitu
keringat yang tersisa selepas)
orang-orang merambah ladang. (akan tetapi) orang-orang takut
untuk mengerang (karena mereka hanya berani mengeluh. Mereka tak berani berbuat
apa pun. Mereka)
hanya bergelimun di tungku-tungku (yaitu di saat mereka
mengeringkan daun-daun kawa itu. Mereka hanya)
menikmati sisa (daun yang dikeringkan itu; atau menikmati kejayaan
kopi); sebelum berubah abu (mereka tidak mendapatkan apa pun lagi, baiknya kawa-nya,
lebih-lebih biji kopinya, maupun keuntungan dan laba).
dan ia. lelaki yang kemudian membenci sejarah (tentu saja,
yang dimaksud "membenci sejarah" bukanlah membenci sejarah sebagai disiplin
ilmu, melainkan beban yang terkandung di dalam sejarah, yakni data-data dan
catatan kesedihan yang dialami oleh nenek-moyang penyair, khususnya di Sumatra
Barat, akibat "tanam paksa" oleh Belanda. Penafsiran ini merujuk pada
pernyataan penyair pada bait kedua di atas. Inilah yang telah membuatnya sedih,
juga bingung, sehingga secara retoris ia bertanya):
ke mana kenangan harus dipanggul (maka, "kenangan"
yang dimaksud adalah sejarah itu sendiri, yang dibencinya karena telah mengusik
banyak hal daripada memori kejayaan (bangsa)-nya di masa dulu. Sebab itu, sang
penyair ingin melupakan semuanya meskipun
sejenak, dengan cara menghirup kawa daun: melupakan sembari merasakan, betapa
penderitaan bangsa itu sungguh-sungguh menyakitkan!)
Ini kawa daun. seduhlah!
barangkali ada riwayat duka di dalamnya.
Akhir kata, penyair mengajak berempati kepada kita (para pembaca)
agar dapat merasakan kekesatan kawa daun dan kegetiran nasib masyarakat di masa
kulturstelsel atau tanam paksa (kopi) di zaman dulu. Maka, ada baiknya kita juga
mencoba minum kawa daun ini di sebuah lepau, tidak melulu menikmati kopi di
kafe, lebih-lebih di kafe milik orang manca yang sebagian besar bahan kopinya
justru didatangkan dari biji-biji kopi pilihan di Pulau Sumatra.
Wallahu a’lam
© M. Faizi
Rinal, saya, Iyut Fitra: minum kawa daun di Payakumbuh (foto: Akhyar Fuadi) |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar