Seperti Pottori Pondon, aku keluar dari dalam lubuk
untuk menyuapkan buah mulberi ke mulut anakku
Aku tak mungkin membiarkan mulut anakku
mengatup menahan lapar, atau setiap kepal nasiku
akan dipenuhi jarum yang melintang. Tak ada tangkai
tak mengalirkan sari makanan ke daun-daun
Aku tangkai, tetap kusangga daun meski aku patah
Seperti Pottori Pondon, aku lalu menikahi seekor ular
Itulah sebabnya kujauhkan anakku darinya. Aku tak
mungkin membiarkan tubuh anakku suatu saat
membusuk karena patuk berbisa seekor ular, atau
aku tak akan pernah memaafkan diriku. Jangan
serpihan gelap mengotori ia yang tumbuh dari
titisan cahaya.
2008
Apa/siapakah Pottori Pondon? Inilah yang pertama kali mestinya diketahui
oleh pembaca sebelum ia melanjutkan pembacaan. Pada saat ia tidak menemukan
referensi apa pun tentang itu, maka ia harus membuat referensi sendiri yang
paling mungkin untuk dijadikan rujukan identifikasi nama tersebut, semisal
bahwa ia tokoh jahat, ia tokoh baik, nama burung, nama patung, atau tokoh
rekaan lain yang tidak pernah ada, ia adalah sembarang orang yang licik, dan
seterusnya. Definisi ini tentu dibangun berdasarkan ciri-ciri yang diberikan
penyair, meskipun sekilas, pada bait-bait puisinya.
Pra-pemahaman pembaca atas teks
ditangkap pertama kali melalui judul. Itu sebabnya,
judul merupakan kompresor bagi puisi. Judul membentangkan sebuah
anggapan yang mendahului wacana yang nanti akan diterima oleh pembaca pada pada
kalimat-kalimat berikutnya, di dalam sebuah puisi. Seorang penyair
akan mengacukan referensi semua baitnya kepada judul, baik secara langsung
maupun tidak.
Itulah yang saya sebut kompresor; bahwa adakalanya judul menjadi subjek pada saat seluruh larik/baik puisi menjadi predikatnya. Meskipun begitu, memang ada judul yang kerap menipu, seperti tidak memiliki hubungan dengan isi, namun sesungguhnya hubungan itu pasti (seharusnya) selalu ada walaupun kadang tersirat saja. Intinya, judul harus menjadi pertimbangan awal dan umum untuk membaca satuan lain di dalam puisi, termasuk dalam #tafsirpuisimanasuka ini.
Puisi ini diambil dari buku puisi Aly D Musyrifa, "Burung-Burung di Tiang Duka", Interlude, Jogjakarta, 2013.
* * *
Itulah yang saya sebut kompresor; bahwa adakalanya judul menjadi subjek pada saat seluruh larik/baik puisi menjadi predikatnya. Meskipun begitu, memang ada judul yang kerap menipu, seperti tidak memiliki hubungan dengan isi, namun sesungguhnya hubungan itu pasti (seharusnya) selalu ada walaupun kadang tersirat saja. Intinya, judul harus menjadi pertimbangan awal dan umum untuk membaca satuan lain di dalam puisi, termasuk dalam #tafsirpuisimanasuka ini.
Puisi ini diambil dari buku puisi Aly D Musyrifa, "Burung-Burung di Tiang Duka", Interlude, Jogjakarta, 2013.
* * *
SEPERTI POTTORI PONDON (bernasib seperti Pottori Pondon. Saya tidak
menemukan tokoh ini, apakah ia dari mitologi atau tokoh rekaan seperti Moby
Dick atau Tom Sawyer, tetapi kita dapat mereka-reka, tokoh seperti apa yang
dikehendaki penyair itu berdasarkan identitas yang diberikannya dalam larik
dan/atau bait puisi-puisinya di bawah ini)
Seperti Pottori Pondon, aku keluar dari dalam lubuk (dan keluarnya
si penyair ini adalah)
untuk menyuapkan buah mulberi ke mulut anakku (apa yang dilakukan
oleh si penyair adalah hal yang sama seperti yang dilakukan Pottori, yakni “menyuapkan
buah mulberi ke mulut anak”. Mengapa hal itu dilakukan? Karena, kata penyair,
tak mungkin membiarkannya berada dalam kelaparan, sebagaimana katanya)
Aku tak mungkin membiarkan mulut anakku
mengatup menahan lapar (karena kalau dibiarkan kelaparan, maka si
anak akan merasakan keperihan dan kesakitan sebagaimana terlukis), atau setiap
kepal nasiku
akan dipenuhi jarum yang melintang (ungkapan hiperbolis, semacam
upaya menggambarkan rasa sakit yang luar biasa). Dua Bagian kalimat terakhir
dicetak miring barangkali dimaksudkan bahwa ia adalah kutipan langsung atau
penekanan: tak ada tangkai
tak mengalirkan sari makanan ke daun-daun
Aku tangkai, tetap kusangga daun meski aku patah
(bagian ini adalah bentuk pernyatan penguatan, bahwa ia bertanggung jawab dalam
terus merawat, seperti halnya tanggung jawab tangkai yang selalu meneruskan sari-sari
makanan—yang dikirim oleh akar—dan diteruskannya ke daun, maka seperti itu pula
sikap si “aku” dalam bertanggung jawab kepada “anakku”).
Seperti Pottori Pondon, aku lalu menikahi seekor ular
Itulah sebabnya kujauhkan anakku darinya (berarti, ia menjauhkan
anaknya dari “ibu tiri”-nya yang berupa seekor ular). Aku tak
mungkin membiarkan tubuh anakku suatu saat
membusuk karena patuk berbisa seekor ular (yang dengan demikian
berarti si aku tetap merasakan kekhawatiran terhadap serangan ular yang telah
dinikahinya itu. Ia tetap waswas, ular akan melukai anaknya. Dan apabila hal
itu sampai terjadi, maka ia akan menyesal dan merutuki perbuatannya yang serupa
tindakan tak termaafkan, seperti katanya:), atau
aku tak akan pernah memaafkan diriku. Jangan
serpihan gelap mengotori ia yang tumbuh dari
titisan cahaya
(Pada bagian akhir inilah antitesisnya: penyair menyatakan bahwa
dirinya merupakan "titisan cahaya" [yang barangkali menyiratkan keturunan
nasab yang penghulunya orang baik-baik atau bahkan mulia], namun begitu ia
tetap tidak ingin anaknya terjerumus ke dalam kegelapan meskipun ia sendiri
telah sesar karena menikahi ular (dalam banyak kasus, ular senantiasa disimbolkan
dengan kejahatan, seperti dalam pepatah [ular berkepala dua]; dalam mitologi
Yunani [Medusa]; di dalam puisi [Di Kebun Binatang oleh Sapardi Djoko Damono).
Penyair rela direndahkan oleh orang lain tetap tetap tidak ingin melibatkan
anaknya sebagai bentuk pertanggung jawaban seorang orangtua. Dengan demikian,
puisi ini menunjukkan tekad dan sikap penyair kepada anaknya, bahwa kalaupun ia
telah berlaku jahat, ia tidak ingin membawa-bawa anaknya bernasib sama
sepertinya).
Wallahu A’lam
M. Faizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar