28 Maret 2018

Seperti Pottori Pondon (Aly D Musyrifa)



Seperti Pottori Pondon, aku keluar dari dalam lubuk
untuk menyuapkan buah mulberi ke mulut anakku
Aku tak mungkin membiarkan mulut anakku
mengatup menahan lapar, atau setiap kepal nasiku
akan dipenuhi jarum yang melintang. Tak ada tangkai
tak mengalirkan sari makanan ke daun-daun
Aku tangkai, tetap kusangga daun meski aku patah

Seperti Pottori Pondon, aku lalu menikahi seekor ular
Itulah sebabnya kujauhkan anakku darinya. Aku tak
mungkin membiarkan tubuh anakku suatu saat
membusuk karena patuk berbisa seekor ular, atau
aku tak akan pernah memaafkan diriku. Jangan
serpihan gelap mengotori ia yang tumbuh dari
titisan cahaya.

2008

Apa/siapakah Pottori Pondon? Inilah yang pertama kali mestinya diketahui oleh pembaca sebelum ia melanjutkan pembacaan. Pada saat ia tidak menemukan referensi apa pun tentang itu, maka ia harus membuat referensi sendiri yang paling mungkin untuk dijadikan rujukan identifikasi nama tersebut, semisal bahwa ia tokoh jahat, ia tokoh baik, nama burung, nama patung, atau tokoh rekaan lain yang tidak pernah ada, ia adalah sembarang orang yang licik, dan seterusnya. Definisi ini tentu dibangun berdasarkan ciri-ciri yang diberikan penyair, meskipun sekilas, pada bait-bait puisinya.

Pra-pemahaman pembaca atas teks ditangkap pertama kali melalui judul.  Itu sebabnya,  judul merupakan kompresor bagi puisi. Judul membentangkan sebuah anggapan yang mendahului wacana yang nanti akan diterima oleh pembaca pada pada kalimat-kalimat berikutnya, di dalam sebuah puisi.  Seorang penyair akan mengacukan referensi semua baitnya kepada judul, baik secara langsung maupun tidak.

Itulah yang saya sebut kompresor; bahwa adakalanya judul menjadi subjek pada saat seluruh larik/baik puisi menjadi predikatnya. Meskipun begitu, memang ada judul yang kerap menipu, seperti tidak memiliki hubungan dengan isi, namun sesungguhnya hubungan itu pasti (seharusnya) selalu ada walaupun kadang tersirat saja. Intinya, judul harus menjadi pertimbangan awal dan umum untuk membaca satuan lain di dalam puisi, termasuk dalam #tafsirpuisimanasuka ini.

Puisi ini diambil dari buku puisi Aly D Musyrifa, "Burung-Burung di Tiang Duka", Interlude, Jogjakarta, 2013.


* * *

SEPERTI POTTORI PONDON (bernasib seperti Pottori Pondon. Saya tidak menemukan tokoh ini, apakah ia dari mitologi atau tokoh rekaan seperti Moby Dick atau Tom Sawyer, tetapi kita dapat mereka-reka, tokoh seperti apa yang dikehendaki penyair itu berdasarkan identitas yang diberikannya dalam larik dan/atau bait puisi-puisinya di bawah ini)

Seperti Pottori Pondon, aku keluar dari dalam lubuk (dan keluarnya si penyair ini adalah)
untuk menyuapkan buah mulberi ke mulut anakku (apa yang dilakukan oleh si penyair adalah hal yang sama seperti yang dilakukan Pottori, yakni “menyuapkan buah mulberi ke mulut anak”. Mengapa hal itu dilakukan? Karena, kata penyair, tak mungkin membiarkannya berada dalam kelaparan, sebagaimana katanya)
Aku tak mungkin membiarkan mulut anakku
mengatup menahan lapar (karena kalau dibiarkan kelaparan, maka si anak akan merasakan keperihan dan kesakitan sebagaimana terlukis), atau setiap kepal nasiku
akan dipenuhi jarum yang melintang (ungkapan hiperbolis, semacam upaya menggambarkan rasa sakit yang luar biasa). Dua Bagian kalimat terakhir dicetak miring barangkali dimaksudkan bahwa ia adalah kutipan langsung atau penekanan: tak ada tangkai
tak mengalirkan sari makanan ke daun-daun
Aku tangkai, tetap kusangga daun meski aku patah (bagian ini adalah bentuk pernyatan penguatan, bahwa ia bertanggung jawab dalam terus merawat, seperti halnya tanggung jawab tangkai yang selalu meneruskan sari-sari makanan—yang dikirim oleh akar—dan diteruskannya ke daun, maka seperti itu pula sikap si “aku” dalam bertanggung jawab kepada “anakku”).

Seperti Pottori Pondon, aku lalu menikahi seekor ular
Itulah sebabnya kujauhkan anakku darinya (berarti, ia menjauhkan anaknya dari “ibu tiri”-nya yang berupa seekor ular). Aku tak
mungkin membiarkan tubuh anakku suatu saat
membusuk karena patuk berbisa seekor ular (yang dengan demikian berarti si aku tetap merasakan kekhawatiran terhadap serangan ular yang telah dinikahinya itu. Ia tetap waswas, ular akan melukai anaknya. Dan apabila hal itu sampai terjadi, maka ia akan menyesal dan merutuki perbuatannya yang serupa tindakan tak termaafkan, seperti katanya:), atau
aku tak akan pernah memaafkan diriku. Jangan
serpihan gelap mengotori ia yang tumbuh dari
titisan cahaya

(Pada bagian akhir inilah antitesisnya: penyair menyatakan bahwa dirinya merupakan "titisan cahaya" [yang barangkali menyiratkan keturunan nasab yang penghulunya orang baik-baik atau bahkan mulia], namun begitu ia tetap tidak ingin anaknya terjerumus ke dalam kegelapan meskipun ia sendiri telah sesar karena menikahi ular (dalam banyak kasus, ular senantiasa disimbolkan dengan kejahatan, seperti dalam pepatah [ular berkepala dua]; dalam mitologi Yunani [Medusa]; di dalam puisi [Di Kebun Binatang oleh Sapardi Djoko Damono). Penyair rela direndahkan oleh orang lain tetap tetap tidak ingin melibatkan anaknya sebagai bentuk pertanggung jawaban seorang orangtua. Dengan demikian, puisi ini menunjukkan tekad dan sikap penyair kepada anaknya, bahwa kalaupun ia telah berlaku jahat, ia tidak ingin membawa-bawa anaknya bernasib sama sepertinya).

Wallahu A’lam
M. Faizi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar