Aku jatuh cinta pada daun, ribuan rumpun memujamu.
Ranting-ranting yang kokoh terus mecintaimu walau
kau telah pergi sejauh-jauh semua bisa berangan.
Padang pasir Buqa’awiyya, titip bukti cintaku ini
Aku jatuh cinta pada air, puluhan samudra menggamit
penuh rindu, juga padamu. Aku jatuh cinta pada langit,
awan, Bimasakti, dan segala gugusan milyar galaksi,
jutaan salam terkirim. Selawat panjang menujumu selalu.
Kukirim tangis dukaku lewat waktu, masihkah kau akan
mendengarku setelah berkali-kali kukhianati.
Jakarta, 0215/new
Secara umum, puisi ini merupakan gambaran tawasul (baca: tawassul)
kepada Rasul, yaitu suatu tindak perantara mendekatkan dua-di-antara: diri
& Rasul. Jika lazim dipahami bahwa tawasul adalah mendekat diri kepada
Allah melalui Nabi terkasih, maka puisi ini mendekat kepada Rasul melalui sesuatu
yang mencintai Rasul. Contoh: jika sang kekasih mencintai anak yatim, maka ia juga
akan mencintai anak yatim sebagai bentuk wujud cintanya kepada sang kekasih.
Bukan berarti ia tidak mencintai kekasih secara langsung, melainkan ini bentuk ekspresi
yang lain dalam hal cara mencintai. Hal ini kiranya lazim dan kaprah dalam
kehidupan sehari-hari. Itulah gambaran umum dalam #tafsirpuisimanasuka kali ini
untuk puisi “Pohon Shahabi” yang diambil dari buku “Perempuan yang Melukis di
Atas Air” (Lembaga Seni & Sastra ‘Reboeng’/Elamtera, 2015), karya Nana
Ernawati.
* * *
POHON SHAHABI
Aku jatuh cinta pada daun (jatuh cinta di sini tidak dimaksudkan
dengan cinta syahwati yang penuh nafsu, melainkan sebentuk sukacita namun dalam
derajat yang berbeda. Mengapa cinta kepada daun? Karena daun-daun mencintai
Sang Rasul. Kesimpulan ini lahir setelah saya melalukan pembacaan utuh atas
puisi secara menyeluruh, hingga di akhir baris. Mengenai “cinta daun kepada
Rasul” ini dikisahkan di dalam lektur-lektur Islam, seperti dikisahkan bahwa
pada malam kelahiran Baginda Nabi, tetumbuhan pun khidmat dan tenang dalam
menyambutnya. Sekurang-kurangnya, itulah yang dilukiskan penyair pada bait
selanjutnya, yaitu), ribuan rumpun memujamu.
Ranting-ranting yang kokoh terus mecintaimu (ranting pun, tempat daun tumbuh, juga mencintainya, maka wajar jika cinta sang penyair menggunakan ‘tawasul’ (perantara), yakni mencintai Baginda Nabi melalui cintanya kepada daun yang tumbuh di ranting yang juga mencitai Sang Nabi. Pohon Sahabi ini, pohon yang dianggap sebagai saksi pertemuan pendeta Bahira dengan Nabi Muhammad di kala kecilnya, dulu, di Yordania, memang berdaun sangat lebat, tumbuh ajaib di tengah gurun.
Dalam gambaran yang lain, seperti di dalam kitab Taklim Mutaallim, salah satu cara mencintai ilmu adalah dengan mencintai ahli ilmu, seperti guru, keluarga guru, majlis ilmu, serta segala hal yang berhubungan dengan ilmu dan guru. Begitu pula, menghormati dan mencintai Nabi itu, salah satunya, dapat diejawantahkan dengan mencintai zurriyah (keturunan)-nya juga semua orang yang mencintai Nabi saw.) walau (walaupun/meskipun)
Dalam gambaran yang lain, seperti di dalam kitab Taklim Mutaallim, salah satu cara mencintai ilmu adalah dengan mencintai ahli ilmu, seperti guru, keluarga guru, majlis ilmu, serta segala hal yang berhubungan dengan ilmu dan guru. Begitu pula, menghormati dan mencintai Nabi itu, salah satunya, dapat diejawantahkan dengan mencintai zurriyah (keturunan)-nya juga semua orang yang mencintai Nabi saw.) walau (walaupun/meskipun)
kau telah pergi sejauh-jauh semua bisa berangan (“pergi
sejauh-jauh” adalah penggambaran “ruang”
meskipun yang dikehendaki penyair adalah tentang “waktu”. Yang dimaksud “jauh”
di sini adalah masa antara ‘engkau’ (Rasul) dengan ‘aku’ (penyair) yang terpaut
begitu lama, berabad-abad. Penyair mengesankannya seakan-akan dengan sudut
pandang “ruang” karena penyair melakukan relfleksinya—kemungkinan besar—di
lokasi tempat Sang Nabi dilahirkan. Demikianlah reminiscence itu terjadi
dan bekerja di dalam perasaan penyair, yaitu dengan cara menahbiskan cintanya
di)
Padang pasir Buqa’awiyya, titip bukti cintaku ini.
Aku jatuh cinta pada air (tafsir sama seperti di atas), puluhan
samudra menggamit
penuh rindu (penyangatan [over-statement] untuk mendapatkan kesan
kuat hubungan antara “air” dan “samudra”), juga padamu (yakni bahwa jika
samudra menggamit padanya dengan penuh kerinduan, maka selayaknya jika
si-aku-penyair mencintai dirinya melalui “air” yang juga pada akhirnya akan mengarah
ke samudra. Sebetulnya, Konsep “setetes air sama dengan samudra” atau “samudra
adalah setetes air” dapat juga ditemukan dalam beberapa pandangan penyair,
seperti pada rubaiyat ke-14 karya Umar Al-Khayyam (versi terjemahan Ahmad Ramy
[Mesir]) dan juga di dalam beberapa puisi Gibran Khalil Gibran, seperti—di
antaranya—pada baris ke-16 di dalam puisi “Ma Dza Taqul as-Saqiyah” yang ada di
dalam antologi “Al-Bada’i’ wa at-Thara’if”). Aku jatuh cinta pada langit,
awan, Bimasakti, dan segala gugusan milyar galaksi,
jutaan salam terkirim (cinta dengan alur tawasul semakin jelas pada
bagian ini. Penyair menyusun secara urut dari daun, air, dan langit. Akan
tetapi, mengapa hanya tiga item tersebut yang dijadikan media? Kemungkinannya
berkaitan dengan lokasi ketika puisi ditulis, yaitu di tanah tandus (semacam padang
pasir), di mana daun dan air menjadi sangat penting dibicarakan, juga langitnya
yang pastinya akan lebih cerah karena terbebas dari polusi udara di siang hari atau
polusi cahaya di malam hari. Referensi eksternal yang dapat dijadikan rujukan
dari bagian ini adalah karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i [bagian prosa liriknya].
Di dalam narasi Ad-Dayba’i tersebut, dilukiskan pertanda-pertanda alam pada
saat menjelang kelahiran Nabi Muhamad, seperti ungkapan... “dan langit dipenuhi
warna-warni, seiring para malaikat yang bertahlil, bertahmid, dan memuliakannya
karena sukacita...”. Demikianlah gambaran yang hendak dilukiskan oleh penyair
yang diwujudkannya dalam bentuk) Selawat panjang menujumu selalu.
Kukirim tangis dukaku lewat waktu (bagaimana mungkin jika tadi, di
bagian awal, penyair berbicara cinta tetapi lalu ada tangisan di akhirnya?
Tangisan di sini adalah tangis penyesalan yang sejatinya juga merupakan bagian
dari rasa cinta. Maka dari itu, penyair mengajukan pertanyaan retoris yang
senyatanya ia sendiri sudah mengetahui jawabannya. Atau, sekurang-kurangnya,
penyair dapat mengharapkan sesuatu dari yang ditanyakannya) masihkah kau akan
mendengarku setelah berkali-kali kukhianati (menyadari ia telah
melupakan banyak hal terhadap sang kekasih, namun kini, setidaknya di tempat
itu, di tempat puisi ditulis, penyair mengakui dengan cara membuat pengakuan
akan rasa cintanya, rasa cinta yang bercampur malu: menyatakan cinta tetapi tak
terhitung kali ia berkhianat, seperti melanggar perintah sang kekasih sembari
menyatakan cinta kepada sang kekasih. Semua orang maklum, betapa besar cinta
sang Nabi kepada umatnya. Inilah yang juga disadari oleh si penyair,
sebagaimana ia juga sadar dan tahu, apa saja syarat taubat sang pengkhianat, salah
satunya adalah bertaubat dari keraguan di dalam cinta).
Wallahu a’lam.
M. Faizi (admin, penafsir)
Beautiful...
BalasHapusTerima kasih
Hapus