13 Januari 2018

Pada Sebuah Acara Turun Tanah (Iman Budhi Santosa)


Setelah waktunya sampai, engkau akan dilepaskan
Dari pelukan diturunkan dari pangkuan
Serupa benih yang ditabur di persemaian
Sebelum tumbuh sendiri pada sebuah pilihan

Hari ini engkau belajar duduk dan berdiri
Menapakkan kaki, meraih mainan
Dengan tangan kanan untuk memiliki
Dirusak, dan dimengerti

Maka, mereka pun bersorak ketika pensil buku
Menggantikan air susu ibu, tak ada tangis
Ketika jatuh menerobos kurungan ayam
Seperti paham langkahmu bakal menuju ke depan

Keluarlah anakku, dari kurungan demi kurungan itu
Berbekal azimat di tanganmu, ada kiblat
Bakal menunjukkan tempat
Di mana seharusnya engkau berguru

2010

Puisi ini diambil dari buku “Ziarah Tanah Jawa”, karya Iman Budhi Santosa (Interlude, 2015). Nama beliau dulu dikenal bersama Ragil Suwarna Pragolapati dan Umbu Landu Paranggi saat membidani Persada Studi Klub (PSK), sebuah komunitas seni/sastra yang mangkal di Malioboro dan banyak melahirkan sastrawan-seniman.

PADA SEBUAH UPACARA TURUN TANAH

Setelah waktunya sampai, engkau akan dilepaskan (waktu sampai adalah masa kemandirian atau sebuah tahap dalam hidup seorang anak ketika ia harus meninggalkan rumah, seperti pergi merantau; dilepaskan ke rumah mertua, dll. Namun, dalam hal ini, waktu sampai adalah prosesi “turun tanah”, yaitu dilepas dari pangkuan ke tanah)
Dari pelukan diturunkan dari pangkuan (ke tanah. Inilah penjelasan proses waktu sampai di atas. Adapun proses pelepasan tersebut)
Serupa benih yang ditabur di persemaian (yakni, perbandingan perihal “pelepasan”. Bahwa melepas anak dari pangkuan ke tanah itu sama seperti yang dilakukan para petani dalam melepas benih, menanam, melepasnya ke tanah)
Sebelum tumbuh sendiri pada sebuah pilihan (penjelasan waktu bahwa pada tahapan ini, gagasan “melepas” datang dari orangtua, bukan dari anak sendiri. Sebeb itulah penyair menggunakan kata pasif; ‘dilepaskan’)

Hari ini engkau belajar duduk dan berdiri (yakni di hari turun tanah)
Menapakkan kaki, meraih mainan (menapak kaki adalah memulai langkah pertama, belajar berjalan, karena di hari turun tanah, hari di mana anak mulai menginjak tanah di saat sebelumnya hanya berada di dalam gendongan, adalah hari mula-mula ia belajar melangkah/menapak. Ia pun mulai mengenal dan menyukai mainan)
Dengan tangan kanan (penyair menyelipkan pelajaran tatakrama di sini, yakni tangan kanan yang selalu diidentifikasi sebagai salah satu langkah baik. Tradisi Jawa yang sangat kental dan penuh petitih tentu saja sebagiannya bersumber dari ajaran Islam (dan mungkin saja dalam ajaran/tradisi yang lain) yang mengajarkan agar selalu memulai sesuatu yang baik “dari yang kanan”. Tentu, penyebutan tangan kanan di sini bukan dimaksudkan berhadapan secara frontal dengan orang kidal. Ia hanya simbol semata-mata. Pasalnya, anak kecil yang belum mampu menyampaikan gagasannya melalui wicara, umumnya mereka menyampaikan isyaratnya melalui bahasa tubuh. Dan tangan adalah perwakilan bahasa tubuh yang paling utama dan pertama) untuk memiliki
Dirusak,  dan dimengerti (penyair menggunakan kata aktif untuk memiliki namun menggunakan kata pasif untuk “dirusak” dan “dimengerti”. Boleh jadi, penyair menghendaki sifat aktif karena berdasarkan hasrat, sementara yang pasif cenderung bersifat instinktif).

Maka, mereka pun (orangtua dan sanak kerabat serta orang-orang yang berada di dalam acara turun tanah tersebut) bersorak ketika pensil buku (salah satu barang yang disediakan di atas nampan menjadi barang pertama yang dipegang si anak. Orangtua menafsir tindakan itu sebagai langkah yang baik)
Menggantikan air susu ibu (yang artinya, si anak mulai menemukan dunia yang baru, bukan sekadar dunia yang selama ini dijalaninya, yaitu hari-hari di dalam gendongan sang ibu), tak ada tangis (bagian ini mengacu khusus kepada si anak yang disebut penyair di dalam puisi, bukan mengacu umum. Sebab, menangis atau tidak itu bergantung anaknya, yang artinya, tidak setiap anak bisa tenang saat menjalani proses turun tanah, karena terkadang ada juga yang menangis)
Ketika jatuh menerobos kurungan ayam (sebagaimana diketahui, salah satu  bagian dari upacara turun tanah di dalam tradisi Jawa itu adalah dengan memasukkan anak ke dalam sebuah kurungan [yang mirip kurung ayam] dan—konon—kurungan itu justru dianggap sebagai simbol “dunia baru”. Jadi, kurungan tidak dimaknai “tawanan”. Bagi orang yang memiliki tradisi non-Jawa, baris ini tentu membingungkan, bahkan sangat mungkin dapat dicitrakan buruk karena menganggap posisi anak sejajar dengan ayam atau bahkan salah satu simbol kungkungan. Dalam tradisi berbeda, seperti di sebagian Madura, upacara turun tanah tidak menggunakan simbolisasi kurungan, hanya bubur dan beberapa bagian lain yang relatif sama)
Seperti paham langkahmu bakal menuju ke depan (penyair menduga—lebih tepatnya berharap—agar si anak sudah dapat memperkirakan dan mengarahkan langkah hidupnya di masa yang akan datang melalui pralambang dalam upacara ini)

Keluarlah anakku, dari kurungan demi kurungan itu (nah, pada bagian inilah penyair Iman justru menunjukkan sesuatu yang berbeda: memahami kurungan dengan sudut pandang denotasi, yakni kurungan yang sesungguhnya, tidak memahaminya sebagai “dunia baru” sebagimana terjadi pada bait sebelumnya. Ia meminta si anak agar melepaskan diri dari kurungan yang mengangkanginya, kurungan yang akan membuat dunianya menjadi terbatas. Penyair—yang dalam puisi ini mengambil peran sebagai seorang ayah—menunjukkan rasa yakin dan tanpa adanya keraguan, bahwa si anak akan mampu menjalaninya dengan)
Berbekal azimat di tanganmu (azimat merupakan simbol kekuatan spiritual, supra; simbol dari tekad kuat dan itikad baik (di dalam diri). Azimat dalam makna sesungguhnya lazimnya tidak dipegang, melainkan dikalungkan atau disabukkan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan lanjutan) ada kiblat (yakni “arah menuju”, seperti mercusuar bagi nelayan)
Bakal menunjukkan tempat (yang benar)
Di mana seharusnya engkau berguru (dan inilah intinya. Bahwa setelah anak memasuki babak baru [menginjak tanah; mulai melangkah; menjalani tapak kehidupan] dari sekian banyak tahapan di dalam hidup, maka pesan yang paling mula disampaikan sang ayah adalah “kiblat tempat berguru”. Bahwa berguru kepada orang yang tepat (ahli) mestinya menjadi harapan pertama ayah kepada anaknya, ide awal yang harus ditancapkan ketika anak hendak melangkah. Sebab, tidak sedikit sekarang: mereka yang gara-gara salah memilih guru, akhirnya tidak tahu kiblat, merasa berjalan lurus dan tepat, namun sayangnya hanya dalam pemahamannya sendiri, alias merasa benar dalam keadaan tersesat. Pesan “mencari guru yang benar” di “upacara turun tanah” merupakan dua hal yang saat ini mulai jarang ada yang memperhatikan).

Wallahu a’lam

(M. Faizi, admin/penafsir)


2010

sampul buku:



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar