Setelah waktunya sampai, engkau akan dilepaskan
Dari pelukan diturunkan dari pangkuan
Serupa benih yang ditabur di persemaian
Sebelum tumbuh sendiri pada sebuah pilihan
Hari ini engkau belajar duduk dan berdiri
Menapakkan kaki, meraih mainan
Dengan tangan kanan untuk memiliki
Dirusak, dan
dimengerti
Maka, mereka pun bersorak ketika pensil buku
Menggantikan air susu ibu, tak ada tangis
Ketika jatuh menerobos kurungan ayam
Seperti paham langkahmu bakal menuju ke depan
Keluarlah anakku, dari kurungan demi kurungan itu
Berbekal azimat di tanganmu, ada kiblat
Bakal menunjukkan tempat
Di mana seharusnya engkau berguru
2010
Puisi ini diambil dari buku “Ziarah Tanah Jawa”, karya Iman
Budhi Santosa (Interlude, 2015). Nama beliau dulu dikenal bersama Ragil Suwarna
Pragolapati dan Umbu Landu Paranggi saat membidani Persada Studi Klub (PSK),
sebuah komunitas seni/sastra yang mangkal di Malioboro dan banyak melahirkan
sastrawan-seniman.
PADA SEBUAH UPACARA TURUN TANAH
Setelah waktunya sampai, engkau akan dilepaskan (waktu
sampai adalah masa kemandirian atau sebuah tahap dalam hidup seorang anak
ketika ia harus meninggalkan rumah, seperti pergi merantau; dilepaskan ke rumah
mertua, dll. Namun, dalam hal ini, waktu sampai adalah prosesi “turun tanah”,
yaitu dilepas dari pangkuan ke tanah)
Dari pelukan diturunkan dari pangkuan (ke tanah. Inilah penjelasan
proses waktu sampai di atas. Adapun proses pelepasan tersebut)
Serupa benih yang ditabur di persemaian (yakni, perbandingan
perihal “pelepasan”. Bahwa melepas anak dari pangkuan ke tanah itu sama seperti
yang dilakukan para petani dalam melepas benih, menanam, melepasnya ke tanah)
Sebelum tumbuh sendiri pada sebuah pilihan (penjelasan waktu
bahwa pada tahapan ini, gagasan “melepas” datang dari orangtua, bukan dari anak
sendiri. Sebeb itulah penyair menggunakan kata pasif; ‘dilepaskan’)
Hari ini engkau belajar duduk dan berdiri (yakni di hari
turun tanah)
Menapakkan kaki, meraih mainan (menapak kaki adalah memulai
langkah pertama, belajar berjalan, karena di hari turun tanah, hari di mana
anak mulai menginjak tanah di saat sebelumnya hanya berada di dalam gendongan, adalah
hari mula-mula ia belajar melangkah/menapak. Ia pun mulai mengenal dan menyukai
mainan)
Dengan tangan kanan (penyair menyelipkan pelajaran tatakrama
di sini, yakni tangan kanan yang selalu diidentifikasi sebagai salah satu
langkah baik. Tradisi Jawa yang sangat kental dan penuh petitih tentu saja sebagiannya
bersumber dari ajaran Islam (dan mungkin saja dalam ajaran/tradisi yang lain) yang
mengajarkan agar selalu memulai sesuatu yang baik “dari yang kanan”. Tentu,
penyebutan tangan kanan di sini bukan dimaksudkan berhadapan secara frontal
dengan orang kidal. Ia hanya simbol semata-mata. Pasalnya, anak kecil yang belum
mampu menyampaikan gagasannya melalui wicara, umumnya mereka menyampaikan
isyaratnya melalui bahasa tubuh. Dan tangan adalah perwakilan bahasa tubuh yang
paling utama dan pertama) untuk memiliki
Dirusak, dan
dimengerti (penyair menggunakan kata aktif untuk memiliki namun menggunakan
kata pasif untuk “dirusak” dan “dimengerti”. Boleh jadi, penyair menghendaki sifat
aktif karena berdasarkan hasrat, sementara yang pasif cenderung bersifat instinktif).
Maka, mereka pun (orangtua dan sanak kerabat serta
orang-orang yang berada di dalam acara turun tanah tersebut) bersorak ketika
pensil buku (salah satu barang yang disediakan di atas nampan menjadi barang pertama
yang dipegang si anak. Orangtua menafsir tindakan itu sebagai langkah yang baik)
Menggantikan air susu ibu (yang artinya, si anak mulai
menemukan dunia yang baru, bukan sekadar dunia yang selama ini dijalaninya,
yaitu hari-hari di dalam gendongan sang ibu), tak ada tangis (bagian ini mengacu
khusus kepada si anak yang disebut penyair di dalam puisi, bukan mengacu umum.
Sebab, menangis atau tidak itu bergantung anaknya, yang artinya, tidak setiap
anak bisa tenang saat menjalani proses turun tanah, karena terkadang ada juga
yang menangis)
Ketika jatuh menerobos kurungan ayam (sebagaimana diketahui,
salah satu bagian dari upacara turun
tanah di dalam tradisi Jawa itu adalah dengan memasukkan anak ke dalam sebuah kurungan
[yang mirip kurung ayam] dan—konon—kurungan itu justru dianggap sebagai simbol “dunia
baru”. Jadi, kurungan tidak dimaknai “tawanan”. Bagi orang yang memiliki tradisi
non-Jawa, baris ini tentu membingungkan, bahkan sangat mungkin dapat dicitrakan
buruk karena menganggap posisi anak sejajar dengan ayam atau bahkan salah satu
simbol kungkungan. Dalam tradisi berbeda, seperti di sebagian Madura, upacara
turun tanah tidak menggunakan simbolisasi kurungan, hanya bubur dan beberapa bagian
lain yang relatif sama)
Seperti paham langkahmu bakal menuju ke depan (penyair
menduga—lebih tepatnya berharap—agar si anak sudah dapat memperkirakan dan
mengarahkan langkah hidupnya di masa yang akan datang melalui pralambang dalam
upacara ini)
Keluarlah anakku, dari kurungan demi kurungan itu (nah, pada
bagian inilah penyair Iman justru menunjukkan sesuatu yang berbeda: memahami
kurungan dengan sudut pandang denotasi, yakni kurungan yang sesungguhnya, tidak
memahaminya sebagai “dunia baru” sebagimana terjadi pada bait sebelumnya. Ia
meminta si anak agar melepaskan diri dari kurungan yang mengangkanginya, kurungan
yang akan membuat dunianya menjadi terbatas. Penyair—yang dalam puisi ini
mengambil peran sebagai seorang ayah—menunjukkan rasa yakin dan tanpa adanya
keraguan, bahwa si anak akan mampu menjalaninya dengan)
Berbekal azimat di tanganmu (azimat merupakan simbol kekuatan
spiritual, supra; simbol dari tekad kuat dan itikad baik (di dalam diri). Azimat
dalam makna sesungguhnya lazimnya tidak dipegang, melainkan dikalungkan atau
disabukkan. Hal ini diperkuat oleh pernyataan lanjutan) ada kiblat (yakni “arah
menuju”, seperti mercusuar bagi nelayan)
Bakal menunjukkan tempat (yang benar)
Di mana seharusnya engkau berguru (dan inilah intinya. Bahwa
setelah anak memasuki babak baru [menginjak tanah; mulai melangkah; menjalani
tapak kehidupan] dari sekian banyak tahapan di dalam hidup, maka pesan yang
paling mula disampaikan sang ayah adalah “kiblat tempat berguru”. Bahwa berguru
kepada orang yang tepat (ahli) mestinya menjadi harapan pertama ayah kepada
anaknya, ide awal yang harus ditancapkan ketika anak hendak melangkah. Sebab,
tidak sedikit sekarang: mereka yang gara-gara salah memilih guru, akhirnya tidak
tahu kiblat, merasa berjalan lurus dan tepat, namun sayangnya hanya dalam
pemahamannya sendiri, alias merasa benar dalam keadaan tersesat. Pesan “mencari
guru yang benar” di “upacara turun tanah” merupakan dua hal yang saat ini mulai
jarang ada yang memperhatikan).
Wallahu a’lam
(M. Faizi, admin/penafsir)
2010
sampul buku:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar