kau selalu ingat sebuah masjid di masa kecil yang
setiap adzan memanggil dari puncaknya
terbuat dari genuk, tiada orang mengangguk
orangorang bersitahan di ladang, di hutan, di punuk
sapisapi, terus memamahbiak, tanpa koma
tukang ojek ngakak di prapatan, suaranya menggema
ke balik hutan, kau berlari menuju satunya masjid itu
seorang pria tua dengan wajah wudlu, telah menunggu
seorang bapak yang
mengadzankan khayalash shalaa .....
kepada setiap telinga hati
seorang simbah yang
menyerukan khayalal falaa .....
kepada segenap hati, lisan, perbuatan
bila ada satu dua pria lain
hadir untuk berjama’ah
itu pun keduanya orang yang telah tua
tersebab, berangkat ke masjid
hanyalah bagi orangorang yang
telah tua, sudah dekat dengan keranda
begitulah seloroh orang yang
bertahan di pasar: kau masih ingat
sebuah masjid di masa kecil yang
setiap adzan memanggil dari puncaknya
terbuat dari genuk, tiada orang mengangguk
orangorang bersitahan di silang jalan, entah .....
sampai kapan, kau kembali menuju masjid itu
seorang pria tua dengan wajah wudlu, menunggu rindu
di shaf terdepan, kau berusaha selalu menuju
ke shaf itu, sembari melewati empat tiang yang
terbuat dari kayu jati, menghayati
sejati hidup dalam cinta yang sederhana, sedari
adzan, shalawatan, iqamat, hingga shalatnya
meluas sapa kepada setiap tetangga
dalam kasihsayang , setiap orang yang
lalulalang, di sebuah desa
yang bluluknya tidak sempat menjelma
menjadi kelapa
yogyakarta, 21 agustus 2017
***
Puisi ini, “Masjid Jami’ Bluluk”, merupakan puisi nostalgia sang penyair
Abdul Wachid BS saat mengenang masa mudanya. Barangkali, di suatu momen, di
masa kini, penyair mengalami deja vu, atau mungkin mengalami suatu momen puitik
yang nyaris sama dengan sewaktu ia mengalaminya dulu, ketika masih kecil dan
tinggal di desa kelahirannya. Berikut ulasan saya dengan pola #tafsirpuisimanasuka.
MASJID JAMI’ BLULUK (arti asal bluluk adalah buah kelapa yang masih
kecil dan gagal menjadi buah; tetapi di
sini digunakan sebagai nama daerah. Masjid jamik adalah istilah untuk masjid
yang digunakan bersama, masjid kampung/desa, dan biasanya dibina’ [digunakan]
sebagai tempat melaksanakan shalat Jumat)
kau (disampaikan kepada orang/pembaca yang dalam pengandaian
penyair dianggap tahu atau mengenal memori yang terjadi di Masjid Jamik Bluluk
itu) selalu ingat sebuah masjid (yang ketika itu ia menjadi bagian penting) di
masa kecil (kamu/kita. Itulah masjid yang)
setiap adzan memanggil dari puncaknya (dari kubah atau dari tempat
pengeras suara yang digambarkan berada di dekat kubahnya yang tidak terbikin dari
seng atau cor sebagaimana umumnya, melainkan)
terbuat dari genuk (gentong
kecil untuk menyimpan gabah atau beras; memang terkadang dipakai sebagai ganti
kubah di beberapa masjid kuno, model lama),
tiada orang mengangguk (tidak ada respon dari masyarakat sekitar. Artinya,
mereka tidak juga berangkat ke masjid untuk shalat meskipun sudah ada panggilan
azan. Terus? Orang-orang di sekitar masjid itu pada ngapain?)
orangorang bersitahan (bergeming; tetap berada) di ladang, di
hutan, di punuk (mengapa punuk? Saya ragu. Barangkali, kepentingan penyair terhadap
kata ini adalah unsur kesamaan rima dengan “genuk”, meskipun tidak seimbang
dengan latar tempat; ladang dan hutan. Barangkali pula, punuk dimaksud adalah
tempat menopangkan beban pikulan. Artinya, orang-orang tetap memikul beban
tanpa mempedulikan meskipun ada panggilan adzan, karena hal demikianlah yang dilukiskan
penyair pada baik berikutnya, yakni perihal ketidakpedulian).
sapisapi, terus memamahbiak, tanpa koma (gambaran pemandangan yang
biasa, tentang pemandangan keseharian yang berjalan wajar dan lazim belaka,
begitu pula seperti pemandangan)
tukang ojek ngakak di prapatan (sama juga pemandangan yang biasa),
suaranya menggema
ke balik hutan (penyangatan, gambaran ketidakpedulian yang
dilebih-lebihkan), kau berlari menuju satunya masjid itu (makna daripada “satunya
masjid” adalah satu-satunya masjid yang ada di situ, yang Anda kita pergi ke
sana, kita akan menjumpai)
seorang pria tua dengan wajah wudlu (seorang pria tua yang berwajah
cerah berseri karena pancaran air wudu. Dijelaskan dalam hadis bahwa orang yang
senantiasa dawam berwudu, kelak, mukanya akan bercahaya, sebagaimana
anggota-anggota tubuh lain yang pernah dialiri air wudu. Sebab itu, sebagian
masyarakat ada juga meyakini, muka orang muslim tetapi tidak pernah [jarang]
terkena air wudu [jarang shalat] pun telah menampakkan pertandan selagi di
dunia, yakni ‘somok’ [istilah dalam Basa Madura yang artinya wajah yang auranya
muram, tidak bercahaya]. Ada pun orang tua—yang digambarkan oleh penyair—yang
selalu ada di dalam masjid itu adalah lelaki tua yang mukanya bercahaya karena
mungkin ia mengamalkan dawam wudu atau rajin berjemaah di sana, dan saat itu
dia) telah menunggu
Adalah gambaran umum pada beberapa masjid desa, di mana muazin
selalu diperankan oleh orang-orang tua [sepuh] atau sebaliknya, anak-anak. Para
remajanya entah ada di mana.
Tetapi, di desa-desa, terutama di pelosok Jawa, tukang azannya
itu-itu saja. Biasanya orang tua seperti tergambar pada bait di atas. Lagunya
pun terkadang telah berasimilasi, bahkan sama sekali berasa Jawa, seperti yang
pernah saya temukan di Ponorogo, di sebuah masjid dekat rumah Pak Sutejo. Suaranya
yang menggeletar karean pita suaranya telah renta, lagunya pun mirip seorang
yang sedang ‘nembang’. Pria itulah yang sedang menunggu kedatangan para jamaah yang akan naik ke
masjid untuk shalat berjemaah. Lelaki itu adalah...
seorang bapak yang
mengadzankan khayalash shalaa ..... (ini bukan salah tulis. Penyair
hanya menggambarkan kenyataan, terkadang yang gigih pergi ke masjid itu justru
orang yang secara bacaan dan apalagi tajiwidnya tidaklah fasih, semisal
mengucapkan “hayya alas shalaah” malah menjadi “khayalash shalaa”. Namun, ia
menyerukannya)
kepada setiap telinga hati (menggambarkan hati sebagai pusat memori
manusia juga memiliki indra pendengaran, ‘telinga’, yang dapat bekerja ganda:
mendengar sekaligus merasakan. Lelaki renta itu adalah)
seorang simbah yang
menyerukan khayalal falaa ..... (lagi-lagu sama dengan yang
sebelumnya, tidak fasih, tetapi bersemangat untuk menyerukan ajakan shalat)
kepada segenap hati, lisan, perbuatan
Di Ponorogo, di masjid dekat kediaman Bapak Sutejo SSC, suara muazinnya
menggeletar karena berusia lanjut. Beberapa kali saya mendengarkan langgam
azannya malah mirip orang lagi nembang [jika saya tidak salah dengar/menilai]. Di
Madura pun, beberapa kali saya mendengar hal serupa di sebagian tempat, suara
dan langgam muazin yang berlanggam ‘macapat’. Di mana para muazin remaja yang
bersuara lantang dan merdu? Padahal, azan adalah ajakan yang karenanya muazin dianggap
bagian dari ‘kunci’ ajakan tersebut. Ulama ada juga yang tidak menganggap baik
jika azan dikumandangkan dengan terlalu banyak langgamnya [diantaranya dikhawatirkan
mengundang sifat sum’ah].
Konon, di beberapa masjid di Turki, ‘maqamat’ [lagu] azan disesuaikan
dengan perubahan waktu shalat wajib lima waktu [maktubah]. Dari rangkuman data
yang saya himpun, rinciannya adalah sebagai berikut;
- 1. Subuh menggunakan maqam Shaba yang bernuansa gembira. Dalam esainya yang panjang tentang musik, “Al-Musiqa”, Kahlil Gibran melukiskan maqam ini laksana semilir angin pagi yang melintas, yang menggerakkan bunga-bunga di taman dalam ketakjuban;
- 2. Duhur menggunakan maqam Hijaz
- 3. Ashar menggunakan maqam Rast [seperti azan TVRI, biasanya dibawakan oleh Syaikh Mahmud Khalil Husari]. Gibran melukiskan maqam lagu ini laksana perpaduan antara langgam Nahawand yang berkesan dan Shaba yang menggembirakan.
- 4. Magrib menggunakan Sika [sedikit cepat]; termasuk langgam yang terkadang diadaptasi ke dalam musik diatonis
- 5. Isya menggunakan maqam Husaini [lambat dan melenggok]; maqam ini spesifik, tidak secara luas dikenal dalam tradisi ‘maqamat’ perlaguan Arab
Dari sini, barangkali dapat dijadikan pijakan untuk penelitian
tingkat lanjut, seberapa jauh dan penting kesesuaian maqam lagu yang diterapkan
untuk azan dalam hal memberikan pengaruh secara psikologis terhadap batin orang
yang mendengarnya.
bila ada satu dua pria lain
hadir untuk berjama’ah (jika ada orang lain—di luar tokoh yang
disampaikan si penyair sebelumnya—yang akan ikut berjemaah di masjid)
itu pun keduanya orang yang telah tua (sebagaimana mudah ditemukan
di tempat lain, anak mudanya justru lebih jarang yang hadir meskipun mereka
lebih bugar secara tenaga. Hal ini, salah satunya, barangkali disesuaikan
dengan lelucon yang kerap jadi ledekan di dalam masyarakat)
tersebab (yang biasa dijadikan contoh kasus, tindakan atau amal),
berangkat ke masjid
hanyalah (pekerjaan yang cocok) bagi orangorang yang
telah tua (yaitu mereka yang), sudah dekat dengan keranda (ungkapan
‘gojekan’ yang ditujukan kepada kaum manula dan sangat sepuh)
begitulah seloroh orang yang
bertahan di pasar: kau masih ingat (dan seloroh semacam ini
terdengar di sembarang tempat, seloroh yang menyiratkan bahwa kaum muda seolah-olah
tidak perlu datang ke masjid, cukup keluyuran saja, sebab yang layak ke masjid adalah
kaum tuanya. Yang muda sibuk bercinta dan melayani syahwat sedangkan yang tua sibuk
menyiapkan bekal untuk dibawa mati)
Memang betul, pemandangan seperti ini mudah dijumpai di banyak
tempat, tetapi kejadian yang dilukiskan di dalam puisi ini terjadi di suatu
tempat, di...
sebuah masjid di masa kecil yang
setiap adzan memanggil dari puncaknya (yaitu menara tempat
melantunkan azan atau kubah kecil yang)
terbuat dari genuk (Akan tetapi, panggilan itu membentur tembok,
karena), tiada orang mengangguk (untuk menjawab panggilan azan dengan cara
berangkat menuju masjid untuk shalat, malahan)
orangorang bersitahan di silang jalan, entah ..... (mereka mendenar
suara azan itu, tetapi tidak memenuhi panggilannya, tidak tergerak untuk
melaksanakan shalat, apalagi hadir ke masjid tersebut demi menunaikan shalat berjamaah.
Mereka begitu sibuk sehingga masih keleleran di simpang-simpang jalan, di entah
mana-mana tempat).
Pada bait berikut, penyair lantas mengajukan sebuah pertanyan yang
sulit dijawab, pertanyaan yang mungkin memang tidak perlu dijawab karena yang
diharapkan penyair adalah renungan untuk mempertimbangkan keadaan diri-sendiri adresser
[orang yang ditanya]:
sampai kapan, kau kembali menuju masjid itu (Masjid Jamik Bluluk
itu? Di sana, ada)
seorang pria tua dengan wajah wudlu (yaitu orang yang dijelaskan di
atas, orang yang dawam wudu), menunggu (para hadirin dengan penuh) rindu
di shaf terdepan, kau berusaha selalu menuju
ke shaf itu (Tersurat dalam banyak kitab yang mengutip hadis
tentang fadilah shalat berjamaah; akan keutamaan duapuluh tujuh derajat. Jumlah
ini tidak sama, melainkan lebih utama, bahkan andaipun seseorang melakukan shalat
hingga 27 X untuk mengimbanginya sebagaimana dijelaskan dalam sebuah mimpi seorang
sahabat Nabi yang karena ketika itu dia tidak nututi bermakmum kepada Nabi, maka
dia menyesal lalu mengulang shalatnya sebanyak 27 X salam. Namun, dalam mimpi
itu dia mendapatkan isyarat bahwa apa yang dilakukannya itu masih kalah derajat
dengan shalat berjamaah meskipun satu salam saja.
Shaf terdepan, oleh beberapa pendapat, dianggap sebagai asal mula
sebutan untuk kelompok “sufi”, di samping pendapat lainnya tentu. Ada anjuran
agar kita ‘berebut’ tempat terdepan itu—dan seperti juga yang terjadi di bangku-bangku
bis yang sering dijadikan tempat perburuan penumpang. Namun, yang juga sering
dilupakan adalah ‘adab’ yang tetap harus dijunjung dalam perburuan tempat itu,
tidak boleh berlaku ‘serampangan’ kepada hadirin lainnya, seperti mengangkangi
orang yang sedang duduk iktikaf, sedang shalat sunnah, sedang berzikir, dlsb.
Oleh karena itu, penyair menggambarkan laku terpuji lelaki berwajah wudu itu
dengan larik-larik berikut): sembari melewati empat tiang yang
terbuat dari kayu jati (sekadar ungkapan dan penggambaran interior
masjid; masjid yang tua, karena masjid yang baru rata-rata menggunakan tiang
cor), menghayati
sejati hidup dalam cinta yang sederhana, sedari
adzan, shalawatan, iqamat (gambaran keadaan bahwa lelaki itu telah
berada lama di masjid sebelum shalat jamaah didirikan, yang artinya telah
iktikaf di sana. Sikap dan sifat istikamah seperti ini benar-benar akan membuat
dampak yang baik bagi shalatnya, semacam indikator untuk ‘kesahihan’ amaliahnya
[semacam ‘ruh al-qabul’], semacam isyarat diterimanya amalan di dunia karena
ganjarannya yang utuh akan diberikan kelak, di Yaum al Hisab), hingga shalatnya
meluas sapa kepada setiap tetangga
dalam kasihsayang, setiap orang yang
lalulalang, di sebuah desa
yang bluluknya (kata ganti “nya” di sini tampak ambigu, seolah
merujuk kepada frase “setiap orang” dan/atau kepada “sebuah desa”. Agaknya, ia akan
lebih pas jika dirujuk kepada yang nomor dua, atau malah bersama-sama. Yang
dikehendaki penyair, intinya, adalah semacam “ketidakberhasilan” yang
digambarkannya ke dalam ungkapan “bluluk yang)
tidak sempat menjelma
menjadi kelapa
(Kalimat penutup pada bait terakhir ini menunjukkan proses kembang
yang untuk pertama kalinya menjadi calon buah dalam bentuk bluluk. Adapun
“proses menjadi” selanjutnya adalah proses menjadi cengkir, lalu degan, lalu
kelapa. Artinya, bluluk punya identik ‘kejatuhan’, terlepas dari tangkai
sehingga gagal menjadi cengkir dan seterusnya, apalagi menjadi kelapa. Inilah ibarat
yang dituju, bagaimana sebuah masjid yang dibangun puluhan tahun silam ternyata
hadirinnya masih tetap orang-orang itu saja sampai sekarang. Ironisnya, ia
berada di desa atau di wilayah yang pemeluk agama Islamnya sangat banyak,
tetapi masyarakatnya enggan untuk mendirikan shalat [jamaah] di sana)
Wallahu a’lam
M. Faizi
Kami dulu di SMA, mendapat tugas seperti ini. Apresiasi sastra, bagian tema dan amanat. Supaya keren, selain dalam bentuk tulisan, kami juga membuat rekamannya.
BalasHapusTerima kasih, Opa, sudah berkenan meluangkan waktu untuk membaca
BalasHapus