oleh Zeffry J. Alkatiri
Tiada dentang lonceng berseru
Bisu dan debu mengisi bangku-bangku
Stasiun,
Kita tidak lagi bercakap
Tidak ada lagi penjual yang berteriak:
Yang nyaring hanya jeritan besi baja
Memecah kesangsian.
Kemudian wajah-wajah layu dan kuyu
Memenuhi pintu dan jendela kereta
Mereka tampak tidak peduli
Bahwa kita pernah menantinya.
1998
***
Puisi ini dicuplik dari buku “Dari Batavia Sampai Jakarta
1616 – 1999” (Tera, 2001), karya Zeffry J. Alkatiri. Buku pemenang I Anugerah
Buku Puisi Terbaik DKJ tahun 2000 ini memotret perjalanan kota Jakarta selama 3
abad di dalam bentuk puisi. Dan puisi
berjudul “Suatu Sore di Stasiun UI Depok” adalah satu di antaranya. Saya akan
melakukan pembacaan #tafsirpuisimanasuka untuknya.
SUATU SORE DI STASIUN UI DEPOK
Tiada dentang lonceng berseru (deskripsi simbolik dari
sebuah stasiun yang 'mati'. Sebab, lonceng stasiun [yang biasanya bernama
ulang-alik: do-mi-sol-do dan do-sol-mi-do] berdentang sebagai isyarat perihal kedatangan/keberangkatan
kereta api di sebuah stasiun aktif [seperti stasiun UI Depok], sebagaimana
terlukis pada bait terakhir dari puisi ini, tetapi di sini digambarkan
'matisuri', seperti tampak pada suasana stasiun yang terkesan...)
Bisu dan debu (yang) mengisi bangku-bangku (bagian ini
memperkuat suasana dari larik pertama. Adanya debu di bangku tanda sudah lama
tidak ada orang yang duduk di situ; kebisuan merupakan pralambang kesunyian
atau kelesuan sebuah aktivitas di stasiun)
Stasiun, (berposisi sebagai "orang kedua" jikalau
penyair menempatkan diri sebagai "orang pertama", tetapi, dalam puisi
ini, ada juga kemungkinan hanya sebagai penjelasan keterangan tempat dari dua
larik pembuka)
Kita tidak lagi bercakap (menguatkan kebekuan suasana dan
memposisikan stasiun dan diri penyair ke dalam kata ganti ‘kita’)
Tidak ada lagi penjual yang berteriak: (asongan yang
menjajakan jualan, menandakan puisi ditulis sebelum terbitnya larangan
pengasong berjualan di dalam peron)
Yang nyaring hanya jeritan besi baja (yang dimaksud jeritan
adalah suara mesin lokomotif dan paduan roda dengan rel tanda datangnya kereta)
Memecah kesangsian (mestinya "kesunyian". Mengapa
stasiun yang biasa ramai, kok, mendadak sunyi? Itulah yang disangsikan)
Kemudian wajah-wajah layu dan kuyu (menandakan suasana
stasiun yang benar-benar tidak seperti biasanya, yaitu orang-orang yang yang
bergegas dan penuh kesibukan)
Memenuhi pintu dan jendela kereta (gambaran wajah-wajah
penumpang yang antri masuk ke dalam gerbong dan mereka yang sudah duduk di dalam
saat pemandangan itu dipotret dari luar)
Mereka tampak tidak peduli (karena lelah [sebagaimana
dilukiskan pada baris pertama di bait ini] dalam menghadapi situasi yang tidak
dijelaskan secara gamblang oleh penyair)
Bahwa kita pernah menantinya (kata ganti “orang pertama
jamak” ini [kita] seakan-akan mewakili aku-stasiun dalam menangkap situasi
pergerakan orang-orang yang lelah di sebuah tempat orang berkumpul dan
berpindah, tempat yang biasanya ramai namun menampakkan suasana lain, yaitu
kebekuan dan kesunyian).
1998 (keterangan waktu di akhir puisi ini menjadi penting
bagi #tafsirpuisimanasuka karena ia bukan sekadar sebentuk sikap nostalgia,
melainkan lebih dari itu. Akan lebih mudah dalam menafsir andaikan penyair
berkenan juga mencantumkan datum—misalnya tanggal 22, 23, atau likuran yang
lain sesudah 21 Mei 1998—sehingga pembaca dapat mendatangkan referensi [di luar
teks] yang akan turut melahirkan rujukan lahirnya teks tersebut, seperti waktu
di sekitar terjadinya Peristiwa Semanggi 1998, misalnya. Sayangnya, penyair
memang tidak melakukan itu. Toh, itu hak dia. Boleh jadi, penyair Zeffry memang
bermaksud demikian dengan berbagai pertimbangan, salah satunya—mungkin—agar
puisi tetap menyisakan rahasia sebab bagi mereka yang ingin mendapatkan
informasi secara nyata dan cepat sudah disediakan melalui koran dan televisi.
Wallahu A’lam
M. Faizi (penafsir/admin)
M. Faizi (penafsir/admin)
sumber: Googread |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar