12 Januari 2018

Suatu Sore di Stasiun UI Depok (Zeffry J. Alkatiri)


oleh Zeffry J. Alkatiri

Tiada dentang lonceng berseru
Bisu dan debu mengisi bangku-bangku

Stasiun,
Kita tidak lagi bercakap
Tidak ada lagi penjual yang berteriak:
Yang nyaring hanya jeritan besi baja
Memecah kesangsian.

Kemudian wajah-wajah layu dan kuyu
Memenuhi pintu dan jendela kereta
Mereka tampak tidak peduli
Bahwa kita pernah menantinya.

1998

***

Puisi ini dicuplik dari buku “Dari Batavia Sampai Jakarta 1616 – 1999” (Tera, 2001), karya Zeffry J. Alkatiri. Buku pemenang I Anugerah Buku Puisi Terbaik DKJ tahun 2000 ini memotret perjalanan kota Jakarta selama 3 abad di dalam bentuk puisi. Dan  puisi berjudul “Suatu Sore di Stasiun UI Depok” adalah satu di antaranya. Saya akan melakukan pembacaan #tafsirpuisimanasuka untuknya.

SUATU SORE DI STASIUN UI DEPOK

Tiada dentang lonceng berseru (deskripsi simbolik dari sebuah stasiun yang 'mati'. Sebab, lonceng stasiun [yang biasanya bernama ulang-alik: do-mi-sol-do dan do-sol-mi-do] berdentang sebagai isyarat perihal kedatangan/keberangkatan kereta api di sebuah stasiun aktif [seperti stasiun UI Depok], sebagaimana terlukis pada bait terakhir dari puisi ini, tetapi di sini digambarkan 'matisuri', seperti tampak pada suasana stasiun yang terkesan...)
Bisu dan debu (yang) mengisi bangku-bangku (bagian ini memperkuat suasana dari larik pertama. Adanya debu di bangku tanda sudah lama tidak ada orang yang duduk di situ; kebisuan merupakan pralambang kesunyian atau kelesuan sebuah aktivitas di stasiun)

Stasiun, (berposisi sebagai "orang kedua" jikalau penyair menempatkan diri sebagai "orang pertama", tetapi, dalam puisi ini, ada juga kemungkinan hanya sebagai penjelasan keterangan tempat dari dua larik pembuka)
Kita tidak lagi bercakap (menguatkan kebekuan suasana dan memposisikan stasiun dan diri penyair ke dalam kata ganti ‘kita’)
Tidak ada lagi penjual yang berteriak: (asongan yang menjajakan jualan, menandakan puisi ditulis sebelum terbitnya larangan pengasong berjualan di dalam peron)
Yang nyaring hanya jeritan besi baja (yang dimaksud jeritan adalah suara mesin lokomotif dan paduan roda dengan rel tanda datangnya kereta)
Memecah kesangsian (mestinya "kesunyian". Mengapa stasiun yang biasa ramai, kok, mendadak sunyi? Itulah yang disangsikan)

Kemudian wajah-wajah layu dan kuyu (menandakan suasana stasiun yang benar-benar tidak seperti biasanya, yaitu orang-orang yang yang bergegas dan penuh kesibukan)
Memenuhi pintu dan jendela kereta (gambaran wajah-wajah penumpang yang antri masuk ke dalam gerbong dan mereka yang sudah duduk di dalam saat pemandangan itu dipotret dari luar)
Mereka tampak tidak peduli (karena lelah [sebagaimana dilukiskan pada baris pertama di bait ini] dalam menghadapi situasi yang tidak dijelaskan secara gamblang oleh penyair)
Bahwa kita pernah menantinya (kata ganti “orang pertama jamak” ini [kita] seakan-akan mewakili aku-stasiun dalam menangkap situasi pergerakan orang-orang yang lelah di sebuah tempat orang berkumpul dan berpindah, tempat yang biasanya ramai namun menampakkan suasana lain, yaitu kebekuan dan kesunyian).

1998 (keterangan waktu di akhir puisi ini menjadi penting bagi #tafsirpuisimanasuka karena ia bukan sekadar sebentuk sikap nostalgia, melainkan lebih dari itu. Akan lebih mudah dalam menafsir andaikan penyair berkenan juga mencantumkan datum—misalnya tanggal 22, 23, atau likuran yang lain sesudah 21 Mei 1998—sehingga pembaca dapat mendatangkan referensi [di luar teks] yang akan turut melahirkan rujukan lahirnya teks tersebut, seperti waktu di sekitar terjadinya Peristiwa Semanggi 1998, misalnya. Sayangnya, penyair memang tidak melakukan itu. Toh, itu hak dia. Boleh jadi, penyair Zeffry memang bermaksud demikian dengan berbagai pertimbangan, salah satunya—mungkin—agar puisi tetap menyisakan rahasia sebab bagi mereka yang ingin mendapatkan informasi secara nyata dan cepat sudah disediakan melalui koran dan televisi.


Wallahu A’lam
M. Faizi (penafsir/admin)

sumber: Googread

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar