07 April 2021

Umbu Landu Paranggi

Umbu/tatkala.co/lukisan Wayan Redika/2016
Sejak masa remaja dulu, saya punya keinginan bertemu dengan Umbu Landu Paranggi. Dari kabar tersiar, saya tahu beliau tinggal di Bali. Semula, saya mengenal namanya lewat sebutan demi sebutan orang-orang di dalam tulisan mereka yang tersebar rubrik sastra mingguan, di koran-koran yang kala itu berjaya, seperti di Jawa Pos, Suara Karya, Suara Pembaruan, Pelita, Kedaulatan Rakyat, dll.

Waktu mendapatkan berita adanya lomba cipta puisi yang diselenggarakan oleh Sanggar Minum Kopi, kisaran tahun 1994, saya langsung ikut serta. Pasalnya, konon, Umbu adalah salah satu jurinya. Ketika dengar kalau beliau mengampu rubrik sastra di Bali Post, saya kirim. Semua itu terjadi pada usia saya belum 20 tahun. Walhasil, untuk kedua hal itu, saya tidak berhasil.

Salah satu hal yang membuat saya ngotot ingin lebih dekat dengan Presiden Penyair Malioboro tersebut adalah tangan dinginnya dalam membimbing. Ini masyhur bagi banyak orang. Penyair-penyair yang ditemaninya belajar dipastikan ‘jadi’. Salah satu contoh yang saya tahu adalah Raudal Tanjung Banua. Saya menguntit karya-karya Raudal di koran, tanpa sepengetahuannya dan tanpa merasa perlu kenal langsung dengannya sebab hanya seusia dengan saya. Sekurang-kurangnya, saya terpikat pada cara Raudal dalam mengungkapkan suasana ke dalam puisi dan catatannya, ‘masuk’.
 
Lalu, saya mencari cara yang lain, yaitu mendekat kepada Umbu melalui orang yang pernah dekat dan sezaman dengannya. Sebetulnya, ada nama lain yang saya tahu, yaitu Ragil Suwarna Pragolapati. Akan tetapi, karena Ragil dikabarkan menghilang secara moksa, kini yang tersisa tinggal satu nama: Iman Budi Santosa. Menurut teman-teman, nama terakhir ini merupakan orang terdekat Umbu semasa bergulat di Persada Studi Klub, di Malioboro, di kala itu, ketika Malioboro masih menjadi pusat penyair dalam menggali jati dirinya.

Akhirnya, saya pun sering bertemu dengan Mas Iman di Sanggar Teater ESKA, namun tidak sekali pun kami terlibat dalam bicara. Entah, saya merasa sungkan. Kalaupun terjadi obrolan sepatah kata, pasti itu tentang hal lain, seperti tentang kartu, tentang makanan, atau gosip para sastrawan, bukan tentang sastra. Namun, itu sudah cukup, kata saya. 'Tidak kenal dengan Umbu tidak apa-apalah, cukup kenal dengan orang terdekatnya.' Demikianlah saya menghibur diri.

Baru pada tahun 2016, saya bisa intens berkomunikasi dengan Mas Iman, di saat saya justru tidak lagi tinggal di Jogja. Kami terlibat proyek penerbitan buku “Ketam Ladam Ladang Ingatan” dan buku saya sendiri, “Nyalasar”, yang secara kebetulan ditebitkan oleh penerbit yang sama,  Lembaga Seni Reboeng. Melalui kesempatan itulah saya sering bercakap-cakap dengan beliau, lebih serius tentang kekaryaan, tentang sastra, tapi masih belum satu kunci pun tentang Umbu. Dan saya tetap menunggu.

Hingga akhir 2017 atau setahun kemudian, lewat Raudal Tanjung Banua yang sudah saya kenal, saya berhasil terhubung dengan Nuryana Asmaudi. Beliau meminta saya menulis kata pengantar untuk bukunya, “Doa Bulan untuk Pungguk”. Sejatinya, saya menolak karena banyak pertimbangan, salah satunya adalah—tentu saja—faktor kelayakan. Akan tetapi, akhirnya saya tetap menulis karena beliau menyangkutpautkan proyek buku puisi tersebut dengan nama Umbu Landu Paranggi, tentu saja, berkat tulisan saya. Jadi, melalui perantara Mas Nur ini, akhirnya pikiran dan tulisan saya bisa sampai juga akhirnya ke Umbu Landu Paranggi.

Mengapa saya begitu ngotot melakukan ini semua? Saya terpukau pada kesunyiannya: suatu momentum puncak dalam kepenyairan. Begitu pula, selain ketabahan, saya menemukan hal itu pada rekannya, Iman Budi Santosa. Dari mereka, saya menemukan pelajaran, bahwa puisi merupakan salah satu tempat bertafakur dengan cara yang paling sublim. Dan mencintai puisi tidak harus menjadi penyair, lebih-lebih haus—eh, maaf—harus masyhur.

Kini, keduanya telah pergi dan kita nyaris tidak mungkin bertemu lagi. Saya sepakat jika ada yang meringkuk dalam kesendirian lalu bergumam di dalam sepi: “Bahwa tidak mungkin bertemu lagi adalah satuan waktu yang lama sekali.”

1 komentar:

  1. Bila tak berlebihan, dapat dipahami akan perjalanan kepenyairan yang begitu kompleks. Penantiaan, keterhubungan dan keterpisahan yang tak lagi bertemu. Rentetan kronologis yang tak mungkin saya hafalkan nama-nama satu persatunya. Semuanya, mengajarkan bagiku pribadi: semua butuh proses, penyair tidak diam sendiri di atas puncak gunung, ia berkelana dan berkelahi dalam waktu, tenaga dan pikiran.

    Salam Ta’dhim, saporanah, cangkolang …

    BalasHapus

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar