Di Jacir Palace, jauh dari pulau pala
Subuh ditabuh dalam bayang salju
Adzan memanggil Betlehem Efrata
Terasa aku sedang berwudhu
Di Masjid Omar nan purba
O Allah Akbar, rinduku timbul
Kenangan tertuju ke masjid gaba-gaba
Di kampungku jauh di rimba biru
Di kaki bukit, di tepi pulau
Adzan terus membasuh Betlehem kita
Ah, kumau terbang pulang rayakan rindu
Pada anak-anak kandungku semua
Mereka merentangkan tangan di pintu
Dengan senyum sarung dan kopiah
Lalu mengajakku minum kopi tumbuk
Kopi Islam yang diseduh caca-caca
Dengan senyum seindah kain tenun
Yang dililit sebagai kerudung Tanimbar
Adzan di Betlehem di sunyi pagi mulia
Aku bagai mendengar lagu seribu tahun
Dilantunkan kecapi Daud, nabi dan raja
Kurindu malam panjang menderu-deru
Bintang-bintang bergantung rendah
Sedang kita ada di rindang bintanggur
Meracik pantun sampai subuh tiba
Justru saat itu aku sudah lama jatuh
tidur
Sebab larut semaput dalam keindahan
Adzan di Betlehem adalah doa dunia
Kudengar
bisik Basmalah di telinga bisu
O anakku sedang sujud di atas sajadah
Yang dibentangkan di atas tikar daun
Langit maha tinggi dan Bumi amat rendah
Doa-doa adalah pujian, maaf dan ampun
Permohonan, nyanyian dan ratapan
Ya,
anakku mendoakan tanah ibu
Agar
haru dan malu lekas tumbuh besar
Adzan di Betlehem selesai sudah
Terasa tangan anakku diulur padaku
Aku merasa punggung tanganku hangat
Dicium bibir kecilnya yang muda harum
O Betlehem kecil teduh damai
Kembalikan aku ke Pulau Embun
Pada anakku yang bersarung dan kopiah
Kubawakan padanya seuntai tasbih batu
Agar berjuta untai doa senantiasa ada
Betlehem,
29 Januari 2017
Gereja Ortodox Syiria, bersebelahan dengan Majid Omar, Bethlehem, Palestina. sumber: http://www.palden.co.ukphotosbest-photos.html |
Seperti esai-esai sebelumnya, esai ini juga merupakan upaya saya dalam mendekatkan puisi kepada pembaca melalui #tafsirpuisimanasuka. Memangkas jarak kesenjangan yang terbentang di antara penyair dan pembaca itu bukanlah suatu hal yang mudah. Penafsiran kata per kata, frase per frase hingga kalimat yang dimaksudkan untuk memperpendek jarak boleh jadi justru hanya akan memperlebarnya. Akan tetapi, cara ini adalah, terutama, sebentuk usaha untuk memberikan sudut pandang yang baru untuk pembaca pemula, namun tidak terkecuali bahkan juga untuk penyairnya. Bahwa puisi yang ia tulis dan ia lemparkan ke hadapan pembaca, termasuk saya, akan tumbuh mandiri dan terbebas dari kungkungan tafsir mutlak dirinya sendiri. Ia telah terbebas dan karenanya saya memanfaatkan kebebasan itu untuk mengikatnya dengan pandangan yang baru dan mungkin saja jauh berbeda.
SUBUH DI BETLEHEM
Di Jacir Palace
(nama sebuah hotel, mungkin di Betlehem), jauh dari pulau pala (Maluku, pulau
rempah, tempat kediaman penyair)
Subuh ditabuh dalam
bayang salju (menandakan acuan waktu yang melatari penulisan puisi ini. Adapun ungkapan
"bayang salju" adalah semacam kesan dingin yang sangat di kala itu.
Subuh diibaratkan penanda waktu yang—di banyak masjid di Nusantara—ditandai
dengan pemukulan [penabuhan] bedug. Sebab itulah, penyair menggunakan istilah
ini sebagai upaya awal dalam memulai menghubung-hubungkan Betlehem dan
Maluku/Nusantara; atau memulai pencarian kesamaan dan persamaan yang lain yang
cenderung lebih sering dipandang dalam hal perbedaannya)
Adzan memanggil
Betlehem Efrata (nama lain Betlehem; azan memanggil artinya ada panggilan
adzan. Penyair menyederhanakan kalimat ”seorang muazzin mengumandangkan azan”
melalui gaya metonimia; bermaksud "proses" dengan cara langsung menyebut
kepada "subjek". Sementara suara azan di pagi itu membawa kesan
mendalam bagi penyair sehingga dia menulis)
Terasa aku sedang
berwudhu (meskipun dia sendiri tidak hendak menunaikan shalat, hanya
seolah-olah melakukan dan karenanya turut merasakan kesyahduan)
Di Masjid Omar nan
purba (sebuah masjid bersejarah, masjid satu-satunya yang diasosiakan dengan
Syd. Umar bin al Khattab tetapi bukan beliau pendirinya. Nama ini digunakan,
konon, sebagai kenangan atas kejayaan sang khalifah di masa “futuhat al-islamiyyah”
yang merambah Suriah, Mesir, dan termasuk pula Palestina, beserta perjanjian
dan nota kesepakatan beliau dengan tanpa pertumpahan darah. Dari sana, penyair
mendengar takbir, panggilan kebesaran yang mungkin jarang juga ia dengar bahkan
di lingkungannya sendiri sehingga hal itu menimbulkan kesan tertentu yang
demikian dramatis)
O Allah Akbar
(sehingga), rinduku timbul (dan hal itu membuat impresi akan sesuatu, yaitu
kesan akan)
Kenangan tertuju ke
masjid gaba-gaba (arti “gaba-gaba” adalah pelepah sagu dalam bahasa Maluku dan
sekitarnya. Penggunaan item atau benda tertentu dan kemudian disandingkan
dengan nama masjid adalah hal yang lumrah, seperti “masjid batu”, “masjid rumbia”,
dll. Disebut masjid gaba-gaba barangkali karena sebagian atapnya menggunakan
pelepah sagu, tumbuhan dan makanan yang identik dengan [rakyat] Ambon dan
Maluku. Sumber kenangan itu, tepatnya, berada)
Di kampungku jauh di
rimba biru
Di kaki bukit, di
tepi pulau (bagian ini, secara khusus, mengacu pada keindahan dan harmoni di
tempat asal penyair)
Adzan terus membasuh
Betlehem kita (ada dua hal yang prinsip dalam bait itu, yaitu
"membasuh" dan "kita". Kata "membasuh"
menyiratkan "pembersihan" atau "penyucian" yang tentu saja
bermakna konotatif; membersihkan hal-hal yang sifatnya spiritual; sedangkan
"kita" merupakan ikhtiar penyair untuk menyuarakan kebersamaan dengan
cara mengubah aku-lirik [sebagaimana tampak pada baris-baris sebelumnya] kepada
"rasa bersama dalam memiliki" karena Betlehem sendiri diacu oleh
agama-agama, baik Kristen, Yahudi, maupun Islam).
Barangkali, azan subuh
membuat penyair terkesan karena ia dikumandangkan di Betlehem, di tempat yang
jauh dari kampungnya. Kesan seperti ini naluriah, sebagaimana kita terkadang
merasakan kerasan atau tidak di suatu tempat dan perasaan itu memuncak manakala
kita mendengar sesuatu yang berhubungan dengan kebiasaan di tempat kita
tinggal, azan atau qiraah, atau bahkan lagu-lagu tertentu, misalnya. Penyair
mengalami perasaan itu secara mendalam. Karenanya, ia menyatakan kerinduan itu
dengan pernyataan):
(Begitu hebat kesan
yang disebabkan oleh lantunan azan itu sehingga membuat si penyair tidak tahan
untuk segera pulang, padahal di tempat itu, di Jacir Palace, tentu ia hanya
singgah atau tinggal sebentar. Kerinduan memang bisa diobati, tapi susah
disembuhkan. Sebab itulah, cara yang dianggap satu-satunya oleh dia adalah
pulang. Kerinduan)
Pada anak-anak
kandungku semua ("anak kandung" adalah penyangatan untuk anak asuh
atau anak didik, sebab tidak rasional jika dipahami secara literal-denotatif.
Penyair juga membayangkan)
Mereka merentangkan
tangan di pintu (bagian ini adalah imajinasi penyair tentang pemandangan
anak-anak yang tinggal di Maluku, nun jauh di sana, yang barangkali ia muncul
karena digerakkan oleh alam bawah sadarnya dalam berempati: menyaksikan nasib
anak-anak sepantaran yang ada di sana, di tempat ia tinggal saat puisi ini ditulis,
di Betlehem secara khusus, atau di Palestina secara umum)
Dengan senyum sarung
dan kopiah (indikasi suasana anak-anak naik ke masjid untuk shalat dan/atau
mengaji)
Lalu mengajakku
minum kopi tumbuk (barangkali memang ada tradisi minum kopi seturun dari masjid
di masjid gaba-gaba, seperti di Aceh dan beberapa daerah yang lain, atau boleh
jadi, bagian ini hanya bagian pelengkap dari simbol kedekatan-keakraban-persahabatan
lintas iman, wallahu a'lam. Kopi dilekati kata tumbuk sehingga menjadi “kopi
tumbuk” adalah simbol kesederhanaan dan/atau keaslian. Simbolisasi dikuatkan
penyair dengan menambahkan keterangan yang lebih rinci, yaitu)
Kopi Islam yang
diseduh caca-caca (“caca”: sebutan untuk perempuan dewasa muslimah; jika
Kristen dipanggil “usi”)
Dengan senyum
seindah kain tenun
Yang dililit sebagai
kerudung Tanimbar (dua bagian larik akhir dalam bait ini sepenuhnya merupakan
gambaran ekspresi lokal: persahabatan dan keakraban dalam perbedaan; kerudung
Tinimbar adalah pakaian khas kepulauan di Kabupaten Maluku Tenggara Barat).
Adzan di Betlehem di
sunyi pagi mulia (ekspresi sama dengan di atas, tapi contoh penyerupaannya
diganti dengan yang lain, yakni “lagu”)
Aku bagai mendengar
lagu seribu tahun (mungkin penyair hendak membuat simbol atas aforisma-aforisma
dari kitab Zabur [kitab yang diturunkan kepada Nabi Daud A.S dan beliau sendiri
tidak membawa syariat baru, melainkan meneruskan ajaran Nabi Musa A.S. Kitabnya
berisi hikmah-hikmah dan petuah. Dalam Kristen, Nabi Daud dimaklumi menyusun banyak
“mazmur”, yaitu nyanyian dan doa untuk dipakai dalam ibadah]. Dalam
lektur-lektur Islam, tersiar risalah perihal kemerduan Nabi Daud sehingga
dikenal “Asma' Daud”, bacaan/amalan yang dapat membuat si pendengar akan
terpesona. Maka, wajar apabila kemerduan azan di Betlehem ini dikaitkan si
penyair dengan suatu hal yang memang terkait dengannya).
Dilantunkan kecapi
Daud, nabi dan raja
Kurindu malam
panjang menderu-deru (ekspresi lanjutan dari ekspresi di atas. Pada bagian ini,
penyair lebih menekankan situasi kampung halaman yang dirindukan itu, di mana
pesona alamnya begitu menawan sehingga ia mengandaikan kalau)
Bintang-bintang
bergantung rendah
Sedang kita ada di
rindang bintangur (nama pohon/buah; sebuah potret tentang suasana/alam yang
romantis)
Meracik pantun
sampai subuh tiba (mengingatkan suasana nostalgia di kala penyair masih muda,
di mana ia mengenang masa indah itu, masa yang mungkin disesali sekarang karena
pada saat kawan-kawannya yang lain begadang menikmati malam yang cerah sembari menyambut
pagi, tapi)
Justru saat itu aku
sudah lama jatuh tidur
Sebab larut semaput
dalam keindahan (Namun, di sisi lainnya, dia [penyair], dalam masa lelap itu,
juga merasakan kenikmatan karena terbuai oleh keindahan: suatu hal yang
sebetulnya sama-sama didambakan)
Adzan di Betlehem
adalah doa dunia (harapan penyair agar azan dapat menjadi doa yang menyeluruh,
melampaui sekat dan batas. Harapan ini dinyatakan karena adanya alasan seperti
yang disampaikan pada baris berikut)
Kudengar bisik
Basmalah di telinga bisu (sinestesia, menggunakan suatu indra ke bukan
konsepnya yang lazim dengan maksud agar mendapatkan penguatan atau dua
pengertian sekaligus)
O anakku sedang
sujud di atas sajadah (saat mereka bershalat, teringat, bagaimana seorang
muslim itu berdoa)
Yang dibentangkan di
atas tikar daun (ungkapan kesederhanaan; diperkuat dengan pertentangan binari)
Langit maha tinggi
dan Bumi amat rendah (sebagai perlambang keagungan, keluhuran, ketinggian, yang
tentunya merupakan simbol daripada “singgasana” Tuhan sebagaimana orang berdoa selalu
dengan cara menengadah, seakan-akan bersiap menerima kucuran anugerah. Sementara
si hamba mengatur posisi dirinya dibuat seredah-rendah sebagai syarat mengemis,
meminta. Sebab itulah, doa penyair didefinisikan dengan):
Doa-doa adalah
pujian, maaf dan ampun
Permohonan, nyanyian
dan ratapan
(lalu, penyair
menafsir sendiri atas perilaku anak-anak itu, anak-anak yang berdoa)
Ya, anakku mendoakan
tanah ibu (tanah kelahiran)
Agar haru dan malu
lekas tumbuh besar (bahwa “rasa haru” dan “sifat malu”, saat ini, termasuk masalah
besar kemanusiaan, di mana banyak orang yang begitu kaku dan kehilangan
sensitivitasnya atas musibah yang menimpa sesamanya sehingga sulit untuk
terharu dalam melihat kenyataan yang menyedihkan, bahkan mereka kadang juga
melakukan tindakan yang melawan sifat kodrati manusia itu sendiri karena
berbagai alasan, termasuk alasan agama, padahal semestinya agama hadir dengan
senantiasa membawa misi nilai-nilai kemanusiaan)
Adzan di Betlehem
selesai sudah (larik dan bait puisi ditulis secara kronologis; bentuk akhir
baris adalah inversi)
Terasa tangan anakku
diulur padaku (merasakan sensasi tertentu, tangan yang menyentuh, sebuah
gamitan, sebuah ciuman di tangan)
Aku merasa punggung
tanganku hangat
Dicium bibir kecilnya
yang muda harum (merasakan jabat tangan atau “salaman” yang bermakna
"penebaran kedamaian" itu benar-benar berbeda jika ia berasal dari
hati yang tulus, seperti hati anak-anak, dan seperti itu pula ia ibaratkan
dengan kondisi sebuah kota kecil yang memiliki peran sangat besar dalam imannya,
yaitu)
O Betlehem (yang
secara geografis amatlah) kecil (namun memberikan kesan) teduh (dan) damai
Kembalikan aku ke
Pulau Embun (penyair berdoa agar dapat pulang kembali dengan selamat ke
rumahnya yang ia sebut sebagai Pulau Embun, sebutan lain daripada Ambon, tempat
mukim penyair, agar ia dapat menebar cinta kembali kepada siapa pun, termasuk
kepada anak-anak yang masih tulus dan tetap menebarkan rasa cinta meskipun
berbeda keyakinan, yaitu)
Pada anakku yang
bersarung dan kopiah
Kubawakan padanya
seuntai tasbih batu (bentuk oleh-oleh dari Betlehem)
Agar berjuta untai
doa senantiasa ada (sehingga generasi mereka, kelak, tetaplah peduli untuk
merawat kedamaian di antara sekian banyak perbedaan. Barangkali agama boleh berbeda,
tetapi kita tahu, seperti dikatakan, pastilah agama itu membawa misi nilai-nilai
kemanusiaan, kecuali bagi orang yang memang tidak menginginkannya. Siapakah mereka?
Yaitu orang-orang yang melihat dan memahami agama sebagai sesuatu yang harus
diperjuangkan dengan kekerasan, kekejaman, dan bahkan pembunuhan).
Wallahu a’lam.
© M. Faizi
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapuskomentar spam
Hapus