Di suatu malam, dua orang sedang duduk bercakap-cakap. Di
atas sana, di langit, bintang-bintang berkedip-kedip. Keduanya dapat saling menatap
satu sama lainnya karena adanya cahaya temaram yang lebih dekat ke muka mereka,
cahaya yang bersumber dari lampu di sekitarnya.
“Ayah, seberapa jauhkah bintang di langit sebelah utara itu?”
“Oh, jauh sekali, Nak, sejauh nikmat tanpa syukur, sejauh
iman dari kufur.”
“Benarkah satu atau dua bintang yang bersinar itu sesungguhnya
telah tiada?”
“Boleh jadi begitu, cahaya bintang yang kita lihat di malam
ini sudah tak ada lagi, seperti sisa air di tanah saat hujan mereda: hujannya
berhenti, genangannya tersisa. Begitu pula, cahayanya berjalan entah berapa
ratus tahun cahaya ke mari dan malam ini baru tiba di sini.”
“Bagaimana bisa begitu?”
“Iya, Nak. Bintang pun punya usia, meledak, menjadi
supernova, sebuah akhir kehidupan yang mempesona. Untuk itu, kita pun harus melihatnya
dengan mata bantuan, mata buatan. Engkau tahu bagaimana akhir hidup seorang
aulia? Ia menyisakan kemilau cahaya setelah tiada. Begitulah kiranya. Yang
terlalu jauh dan terlalu dekat memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang,
sebagaimana kita juga tidak mampu melihat yang terlalu kecil maupun yang
terlampau besar.”
“Namun, mengapa bintang-bintang itu ada di atas sana, Ayah?”
“Salah satunya adalah hiasan pikiran, Nak, untuk memberi kesempatan
bagi manusia supaya berpikir dan belajar, betapa ciptaan itu sungguh luar biasa
besar.”
“Lalu, apakah kita harus merenungkan ciptaan sarwa ini;
tatasurya, galaksi, bimasakti?”
“Itulah kewajiban kita, Nak. Dalam sehari-semalam, kita
wajib meluangkan waktu untuk tafakur, memikirkan hal-hal yang terjadi di luar
kita atau di dalam diri kita, merenungkan aliran darah yang mengalir di dalam
tubuh; pikiran duniawi yang wadag dan tak pernah tersentuh; ranah ukhrawi yang
luhur dan tak pernah direngkuh.”
“Pabila untuk menakjubinya kita harus berpikir, namun mengapa
Ayah menyuruhku selalu berzikir?”
“Sebab dzikir menyembuhkan kesombongan. Dan puncak
kesombongan manusia itu adalah ketika menilai amal ibadah orang lain dengan
hanya yang tampak di matanya, padahal ia adalah perbuatan hati. Adapun jika ia
tampak mewujud dalam jasmani, itu hanyalah dampak getaran semata ruhani. Tanpa
zikir, pikirmu jadi pekir. Kau tak kan pernah mencerap manis di dalam getir,
tak akan pernah menemukan tenang di dalam batin.”
“Terima kasih, Ayah. Sekarang, aku ingin pergi tidur dan
menuliskan percakapan ini di buku harianku.”
“Baiklah, Nak. Jangan lupa, tuliskanlah ‘percakapan hal-hal
agung di langit oleh dua anak manusia yang tidak pernah beranjak dari muka bumi’
sebagai judulnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar