08 April 2017

Percakapan Agung


Di suatu malam, dua orang sedang duduk bercakap-cakap. Di atas sana, di langit, bintang-bintang berkedip-kedip. Keduanya dapat saling menatap satu sama lainnya karena adanya cahaya temaram yang lebih dekat ke muka mereka, cahaya yang bersumber dari lampu di sekitarnya.

“Ayah, seberapa jauhkah bintang di langit sebelah utara itu?”
“Oh, jauh sekali, Nak, sejauh nikmat tanpa syukur, sejauh iman dari kufur.”

“Benarkah satu atau dua bintang yang bersinar itu sesungguhnya telah tiada?”
“Boleh jadi begitu, cahaya bintang yang kita lihat di malam ini sudah tak ada lagi, seperti sisa air di tanah saat hujan mereda: hujannya berhenti, genangannya tersisa. Begitu pula, cahayanya berjalan entah berapa ratus tahun cahaya ke mari dan malam ini baru tiba di sini.”

“Bagaimana bisa begitu?”
“Iya, Nak. Bintang pun punya usia, meledak, menjadi supernova, sebuah akhir kehidupan yang mempesona. Untuk itu, kita pun harus melihatnya dengan mata bantuan, mata buatan. Engkau tahu bagaimana akhir hidup seorang aulia? Ia menyisakan kemilau cahaya setelah tiada. Begitulah kiranya. Yang terlalu jauh dan terlalu dekat memang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang, sebagaimana kita juga tidak mampu melihat yang terlalu kecil maupun yang terlampau besar.”

“Namun, mengapa bintang-bintang itu ada di atas sana, Ayah?”
“Salah satunya adalah hiasan pikiran, Nak, untuk memberi kesempatan bagi manusia supaya berpikir dan belajar, betapa ciptaan itu sungguh luar biasa besar.”

“Lalu, apakah kita harus merenungkan ciptaan sarwa ini; tatasurya, galaksi, bimasakti?”
“Itulah kewajiban kita, Nak. Dalam sehari-semalam, kita wajib meluangkan waktu untuk tafakur, memikirkan hal-hal yang terjadi di luar kita atau di dalam diri kita, merenungkan aliran darah yang mengalir di dalam tubuh; pikiran duniawi yang wadag dan tak pernah tersentuh; ranah ukhrawi yang luhur dan tak pernah direngkuh.”

“Pabila untuk menakjubinya kita harus berpikir, namun mengapa Ayah menyuruhku selalu berzikir?”
“Sebab dzikir menyembuhkan kesombongan. Dan puncak kesombongan manusia itu adalah ketika menilai amal ibadah orang lain dengan hanya yang tampak di matanya, padahal ia adalah perbuatan hati. Adapun jika ia tampak mewujud dalam jasmani, itu hanyalah dampak getaran semata ruhani. Tanpa zikir, pikirmu jadi pekir. Kau tak kan pernah mencerap manis di dalam getir, tak akan pernah menemukan tenang di dalam batin.”

“Terima kasih, Ayah. Sekarang, aku ingin pergi tidur dan menuliskan percakapan ini di buku harianku.”

“Baiklah, Nak. Jangan lupa, tuliskanlah ‘percakapan hal-hal agung di langit oleh dua anak manusia yang tidak pernah beranjak dari muka bumi’ sebagai judulnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar