Di awal tahun 2000 hingga kisaran 2007, saya sering kondangan untuk menghadiri lomba baca puisi di madrasah-madrasah di sekitar rumah. Yang dimaksud 'sekitar' adalah madrasah yang berada dalam radius 5-20 kilometer dari tempat saya tinggal. Lomba baca puisi ini biasanya marak menjelang tutup tahun pelajaran, menjadi bagian rangkaian acara 'akhir sanah' atau 'haflatul imtihan'.
Saya
masih ingat kenangan saat menjuri lomba baca puisi di madrasa Raudatul Iman, 6
kilometer dari tempat tinggal saya. Kala itu, panitia terus membuka pendaftaran
hingga lewat pukul 23.00. Banyak pula anak kecil yang mendaftar, diantar dan
ditemani orangtuanya hingga acara bubar. Akibatnya, lomba berakhir pada pukul
02.00. Capek, sih, tapi saya senang bilamana mengingat perhatian masyarakat
pedesaan pada kegiatan seperti ini yang mungkin di antara mereka masih
bertanya-tanya semisal 'apa guna puisi bagi pembangunan?'.
Hal serupa
juga saya alami di madrasah Tarbiyatul Banat, Moncek, di komplek madrasah yang
lokasinya lembah dan pelosok, yang jaringan seluler pun susah didapat. Sungguh,
yang hadir dalam lomba baca puisi itu bukan saja siswa dan anak muda, tapi
orang tua, masyarakat dusun, bapak-bapak dan ibu-ibu juga. Masih ada beberapa
nama tempat yang saya sebutkan nama ini hanya soal contoh saja, jadi saya kira
tidak perlu disebutkan semua.
Kini,
saya sudah jarang menjuri, namun kenangan di atas begitu kuat hingga terus melekat
sampai sekarang. Saya kembali ingat, betapa bersemangatnya masyarakat menghadiri
dan menonton orang membaca puisi. Apakah motif masyarakat berduyun-duyun ke
lapangan perlombaan itu karena apresiasi atau semata karena mencari hiburan? Belum
ada survei dari LSI, terutama apabila contohnya mengambil masyarakat pedesaan
yang notabene petani.
Itulah
tradisi lomba baca puisi sangat marak di tempat di sini. Karena itu, kami tidak
menutup mata terhadap peran madrasah-madrasah penyelenggara lomba ini sebagai
dapur pemasok 'makanan jiwa' siswa/santri dalam hal mengapresiasi puisi,
termasuk juga menulis dan membacakannya. Saya tidak tahu, apakah yang demikian
ini juga terjadi di tempat lain di Madura, atau di Lombok, atau di Sumatra?
Mari kita lihat foto ini: ribuan (menurut pengurus pesantren, ada sekitar 3000-an santri) yang tumpek-blek di halamam PP Mambaul Ulum, Bata-Bata, Pamekasan, kala itu, 21 November 2013 (tahun berikutnya, saya hadir kembali untuk seminar sastra di komplek putri). Acara tersebut adalah pentas seni. Jelas, di dalamnya ada pembacaan puisi. Saya bertanya, apakah para hadirin sebanyak itu mengapresiasi pembacaan puisi? Tentu tidak. Apakah semua yang hadir di situ bercita-cita menjadi penyair atau karena dasar cari tontonan gratis? Lagi-lagi, tentu tidak karena saya pun tidak ngurus atau tidak tahu, tapi yakin jawabannya adalah ‘tidak’.
Satu
hal yang membuat saya senang, baik ketika melihat foto ini ataupun saat mengisahkan
cerita sebelumnya, adalah adanya anggapan bahwa kegiatan semacam ini dianggap baik.
Sekurang-kurangnya, apresiasi puisi, termasuk pembacaannya, akan; mendekatkan
puisi kepada santri; mengingatkan kita bahwa di dunia yang serba-instan dan
wadag ini ada teks-teks yang tidak dapat dipahami secara lugu; mengajak
berpikir karena pesan yang disampaikannya tidak sepolos berita/koran. Intinya, puisi
itu bukan hanya indah, tapi berguna, sesamar apa pun wujudnya.
Dengan
menyimak pembacaan puisi, apalagi mencintainya, menulisnya, mengapresiasinya, siswa/santri
tidak mudah terjerumus ke dalam pemikiran hitam-putih, terutama ketika membaca
teks-teks keagamaan. Bukankah rujukan utama hukum Islam itu sangat puitis
sehingga bahkan dibutuhkan hadis untuk memahaminya, bahkan terkadang pula
dibutuhkan pemikiran ulama yang mumpuni untuk mencernanya?
Pola
pikir yang lugu jelas tidak dapat memahami teks 'puitis' (apalagi 'puisi').
Maka, cukuplah disebut kerancuan apabila memahami teks metaforis dengan pendekatan
literal. Nah, puisi lah yang akan mengajari kita supaya tidak malas berpikir
sebab untuk dapat mengapresiasinya tidak dapat dilakukan secara polos dan lugu.
Mengapa tidak puisi harus dibikin seperti itu, kok harus mikir panjang dulu
untuk memahaminya? Sesungguhnya, cukuplah suatu bangsa itu mendapatkan musibah
besar ketika melahirkan generasi-generasi muda yang kekar tapi malas berpikir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar