Oleh M. Faizi
Pesantren
merupakan salah satu kekayaan khazanah pendidikan di Indonesia . Sistem pendidikan yang
cenderung pada keagamaan, pemondokan (karantina), serta penerapan pola
pendidikan selama 24 jam merupakan salah satu keunikannya. Karena itu pulalah, pesantren
dianggap sebagai pengejawantahan local genus pendidikan Nusantara yang sejati.
Kekayaan
lektur dan intelektualisme pesantren dibuktikan dengan banyaknya kitab-kitab
turats yang ditulis oleh para mushannif (pengarang) berlatar pesantren. Karya-karya
ini tidak saja populer di Indonesia ,
melainkan juga hingga ke tanah Arab. Di antara para pengarang tersebut antara
lain adalah: Syekh Abdus Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani, Syekh
Yasin al-Fadani, Kiai Ihsan Jampes, Kiai Ma’shum Ali, Kiai Hasyim Asy'ari, dan
lain-lain.
Di samping
khazanah intelektualisme, pesantren juga dekat dengan tradisi susastra, khususnya
puisi. Bahkan, puisi (syi’ir) menjadi ruh bagi hampir seluruh aktivitas
keilmuannya. Berbagai macam disiplin ilmu keagamaan diajarkan melalui bait-bait
puisi (nadham). Syi’ir-syi’ir ‘ilmi ini tidak saja dipelajari, melainkan juga
dihapalkan. Tradisi nadham dan hapalan menjadi dua serangkai yang nyaris tidak
dapat dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau
Alfiyah, maka sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi
‘ilmi itu dengan cara menghapalkannya sekaligus.
Di samping
itu, silsilah akar sastra di pesantren yang lainnya adalah diba’. Pembacaan
antologi puisi karya Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini dilakukan seminggu sekali
oleh masyarakat pesantren. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai
doa untuk kepentingan penyembuhan dan doa keselamatan.
Belakangan,
muncul istilah sastra pesantren. Wacana ini berkembang sekitar tahun 2000-an, tepatnya
ketika Abdurrahman wahid (Gus Dur) menjabat sebagai presiden RI. Besar
kemungkinan, kepresidenan Abdurrahman Wahid menjadi pertanda bagi bangkitnya
kelompok masyarakat yang bergerak di jalur kultural (pesantren) yang selama
Orde Baru mereka tidak memiliki kesempatan. Gus Dur menjadi juru bicara orang-orang
pesantren untuk masyarakat nonpesantren, termasuk masyarakat asing.
Akan tetapi,
ternyata, wacana sastra pesantren tidak pernah tuntas dibahas. Di satu sisi, sastra
pesantren dianggap sebagai nama bagi genre (yang secara teoretis, hal ini tidak
mendapatkan alasan pendukung), sementara di sisi yang lain sastra pesantren
dianggap sebagai bagian dari “gosip sastra”; dan di sisi lain lagi, penamaan
tersebut dianggap sebagai usaha para sastrawan, wartawan, juga pemerhati
kesusastraan sekadar untuk menandai para sastrawan yang lahir/berlatar
pendidikan di pesantren dan atau pula karya sastra, baik puisi maupun prosa, yang
mengangkat tema, latar, serta visi-misi yang senantiasa mengacu pada pesantren
dan nilai-nilai kesantrian.
Kata-kata
kunci: Intelektualisme. Sastra. Pesantren
Berpuluh-puluh
tahun lamanya, di negeri ini, dan terutama pada era Orde Baru, orang-orang
pesantren selalu dicekam oleh perasaan minder dalam segala aspek kehidupannya. Tidak
hanya minder, mereka juga merasa tidak mempunyai wilayah yang memadai untuk
mengembangkan karir: politik, ekonomi, dan bahkan di ranah pendidikan sekalipun:
suatu ranah yang seharusnya menjadi dasar pijakannya. Sebab, dalam banyak
penelitian, pesantren dianggap sebagai pralambang model pendidikan sejati di
Nusantara.
Secara
lahiriah, orang-orang pesantren ini dapat dengan mudah dikenali. Kelompok ini
dapat dicirikan dengan peci, bawahan sarung, alas kaki bakiak (terompah), ke
mana-mana membawa kitab gundul, belajar di musholla, dan seterusnya. Memang, identifikasi
ini tampaknya istimewa dan mudah diingat karena telah menjadi “kode” yang
digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri (M. Faizi: 2007).
Meskipun pencitraan ini realistis, namun ada kesan inferioritas di sana . Sebab, pencitraan
seperti di atas, galibnya, juga disertai dengan pencitraan yang berhubungan dengan
klenik, berbau kuno/klasik, dan seolah-olah anti-modernitas. Tak heran, banyak
orang yang mengait-ngaitkan pesantren dengan hal-hal yang hanya berlandaskan
keyakinan mistis, takhyul, dan tidak mau mengikuti perkembangan zaman.
Beruntung, sejak
Abdurrahaman Wahid (Gus Dur) menjadi presiden, sedikit demi sedikit, kaum
santri seolah-olah baru saja mendapatkan juru bicara terbaiknya untuk
memperbaiki citra miring tersebut itu, terutama kepada masyarakat/pers asing
dan kaum cerdik-pandai, bahwa santri (pesantren) tidak sekumuh dan tidak sekuno
seperti yang ada di dalam benak pencitraan mereka. Walaupun dalam jagad politik
Gus Dur kerap kali melakukan manuver-manuver yang cenderung kontra-produktif
sehingga banyak ditentang oleh banyak kelompok masyarakat, namun dalam hal
menyuarakan identitas santri dan kepesantrenan kepada publik non-pesantren, tidak
ada yang keberatan jika dikatakan bahwa Gus Dur-lah yang punya peran vital. Data-data
yang telah digali dan ditera oleh Mastuhu dalam Dinamika Sistem Pendidikan
Pesantren maupun Zamakhsyari Dhofier dalam Tradisi Pesantren itu telah
disempurkan dengan baik olehnya, lalu disampaikan secara lugas dan meyakinkan
bagi orang-orang non-pesantren, bahkan termasuk kepada mereka yang selama ini
“memusuhi” pesantren.
TRADISI
INTELEKTUALISME DI PESANTEN
Dalam
laporan-laporan penelitian, dengan data-data yang valid dan akurat, disebutkan
bahwa tradisi (keilmuan) di pesantren sangatlah kaya. Bahkan, ada pula yang
telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan yang
asli Nusantara dengan khazanah intelektual yang luar biasa. Salah satu dari
kekayaan itu adalah model pendidikan 24 jam, yakni model pengasramaan (karantina/pondok).
Ironisnya, saat ini, model pendidikan karantina (asrama/pondok) telah
diterjemahkan dan diusung ke Barat, dan justru maju lebih pesat. Sementara
pesantren telah dilupakan oleh banyak orang, bahwa model pendidikan ini
merupakan model pendidikannya yang sejati.
Di samping
itu, tesis yang menyatakan bahwa “tradisi keilmuan di pesantren sangatlah kuat”
tidak dapat terbantahkan. Akar intelektualisme tokoh-tokoh pesantren, kitab-kitab
yang dikarang/ditulis maupun yang diajarkan; tradisi keilmuan—terutama
agama—menjadi identitas pesantren yang paling penting. Salah satu ciri penting
lainnya adalah tradisi menghapal puisi-puisi berbahasa Arab (syi’ir/nadham).
Transformasi
ilmu pengetahuan ini terus-menerus berlangsung di pesantren, juga dari luar ke
pesantren, maupun sebaliknya. Akan tetapi, sebelum itu, perlu dicatat bahwa
silsilah ilmu pengetahuan ini secara umum dibentuk melalui dua fase. Fase
pertama, yakni penyebaran Islam di Nusantara, terjadi pada abad ke-13 sampai
abad 15 M. Fase kedua, berlangsung pada abad ke-18 sampai awal abad 20. Pada
fase ini, ulama-ulama menuntut ilmu ke pusat Islam di Timur Tengah dan membawanya
pulang kembali ke negeri asal mereka (Zamiel el-Muttaqien: 2005). Ulama-ulama
ini kemudian menjadi tokoh dan banyak memberikan warna pada kehidupan
masyarakat, termasuk mengambil peran dalam memperkenalkan dan kemudian
mengajarkan sumber-sumber referensi agama Islam yang tentunya dari Bahasa Arab.
Tradisi
keilmuan pesantren berbasis agama (Islam) notabene berasal dari tanah Arab (Baghdad , Hijaz, Mesir, dll.).
Karena itu, hampir semua sumber otoritatif untuk itu menggunakan bahasa Arab. Di
pesantren, para santri mempelajari bahasa Arab agar dapat mendalami ilmu
pengetahuan tersebut langsung pada sumber aslinya, yakni kitab-kitab turats
yang hampir seluruhnya menggunakan bahasa ini.
Sumber
rujukan ini berbentuk dua macam; natsar (prosa) dan syi’ir/nadham (puisi/versifikasi).
Inilah cetak biru yang dapat kita mulai untuk membicarakan perihal hubungan
kelit-kelindan antara pesantren dan sastra pada akhirnya.
Dalam
mempelajari ilmu, penggunaan teknik hapalan lebih bersifat dasar alasan, bukan
asas tujuan. Karena, tujuan utamanya adalah memahami, sementara hapalan, yang
tentu saja dimaksudkan untuk lebih mudah mengingat, juga menjadi acuan/referensi
sebagai argumen, siapa tahu suatu saat dibutuhkan sebagai dalil/jawaban. Dan
umumnya, yang dihapalkan oleh para santri ini adalah syi’ir/nadham.
Pada zaman
Jahiliyah, seorang juru bicara kabilah adalah seorang penyair. Dan penyair ini
memiliki peranan penting untuk menentukan penghargaan dan penghormatan kabilah
lain kepada kabilahnya. Karena itulah, mengarang syi’ir/nadham, dalam tradisi
Arab sejak zaman Jahiliyah, merupakan suatu kebanggaan. Bahkan, tradisi sastra
Arab identik dengan puisi. Fenomena adu puisi di momen sastra “Pasar ‘Ukkaz”
dan juga puisi-puisi terbait digantungkan di Ka’bah (mu’allaqat) merupakan
bukti nyata yang dicatat oleh para ahli sejarah.
Meskipun
orang-orang Jahiliyah pandai menggubah puisi, namun teori penciptaan puisi baru
“terlembagakan” dan dikenal sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri setelah
munculnya Al-Khalil bin Ahmad. Dialah peletak batu pertama ‘Ilmu ‘Arudl, sebuah
disiplin ilmu yang membahasa perihal penciptaan rima dan matra dalam puisi.
Salah satu
keunggulan tradisi bersastra dalam masyarakat Arab ini adalah penyajian konsep/teori
disiplin suatu ilmu melalui puisi. Teori-teori itu dipaparkan melalui bait-bait
puisi, dihimpun, dan diberi judul dalam suatu kitab. Hampir tak ada satu pun
disiplin ilmu di dunia ini yang ditulis menggunakan media puisi, kecuali oleh
mereka. Lazimnya, yang kita tahu adalah: disiplin ilmu disajikan melalui gaya penulisan prosa (deskripsi-eksposisi).
Memang betul, banyak buku pengetahuan yang ditulis dengan bahasa “puitis”. Namun,
sekali lagi, hanya sebatas puitis, bukan puisi. Sementara orang Arab menuliskan
gagasan ilmiahnya secara konseptual melalui media puisi. Ini adalah sebuah
tradisi yang luhur dan ajaib. Yang paling masyhur bagi kita antara lain adalah
buku kumpulan puisi “Alfiyah” karya Ibnu Malik. Kitab ini berisi 1000 larik
puisi tentang ilmu tata bahasa Arab (gramatika). Mendampingi “Alfiyah”, ada
pula nadham Maqshud, puisi yang mempelajari ilmu konjugasi/perubahan bentuk
kata.
Setelah
orang-orang nonmuslim dan Eropa berhasil menghancurkan pusat-pusat tamaddun
Islam di Irak (Baghdad), Andalusia, juga Turki, lalu mengusung kekayaan intelektualnya
ke negeri-negeri mereka, kini tinggal satu yang tersisa, yang senantiasa
gemilang di Timur (Arab): itulah “transformasi ilmu pengetahuan melalui puisi”.
Inilah satu kekayaan, keunikan, dan keajaiban yang tidak dapat diterapkan dalam
kehidupan ilmiah mereka.
* * *
Tradisi
“tansformasi ilmu pengetahuan melalui puisi” merupakan keistimewaan, bahkan, barangkali
merupakan acuan paling dasar dari semua pembicaran tentang silsilah/referensi
ilmiah di pesantren. Berbagai disiplin ilmu pengetahuan diturunkan melalui
puisi, mulai dari teori-teori hukum fiqh, gramatika, teori rima dan matra, hingga
linguistik.
Sekadar
perbandingan: para pemikir, filsuf, dan tokoh-tokoh garda depan, seperti
Nietszche dan Camus, serta juga banyak filsuf besar yang lain, kerap kali
menyampaikan gagasan dan pemikirannya secara umum melalui karya sastra, seperti
Zarathustra dan La Paste misalnya. Namun, karya pemikiran mereka itu berbentuk
prosa, bukan puisi. Prosa yang puitis sekali pun tetaplah prosa, bukan puisi. Jarang,
atau bahkan mungkin nyaris tiada, dari kalangan Barat (non-Arab) yang benar-benar
berhasil dalam menuliskan teori disiplin ilmu tertentu secara konseptual dan
praksis melalui puisi. Kalaupun ada, barangkali silsilah rujukannya dapat
dipastikan juga dari tradisi Arab juga.
Meskipun
tidak dapat dipungkiri bahwa khazanah pemikiran Arab-Islam Klasik juga memiliki
pucuk silsilah dari tradisi intelektualisme Yunani Kuno, namun orang-orang Arab
telah berhasil memodifikasi, menerjemahkan, dan menyadur karya-karya para
pemikir Yunani tersebut lalu menjaganya dalam sebuah tradisi intelektual yang
terus berlangsung hingga hari ini.
Berkebalikan
dengan itu semua, hampir setiap para pemikir Arab dapat dipastikan punya dasar
bersastra yang kuat. Di Arab, terutama dalam tradisi kehidupan ilmiah klasik, tokoh-tokoh
ilmu pengetahuan biasanya juga seorang “merangkap” sebagai sastrawan: seorang
fisikawan sekaligus sastrawan; atau musikus juga sebagai penyair; dan
seterusnya. Sebut saja nama Al-Farabi yang disandingkan tanpa jarak dengan
musik. Namun begitu, ia juga dikenal sebagai filosof dan juga seniman. Demikian
pula dengan Kamaluddin ad-Dumairi, filosof yang ahli biologi ini juga dikenal
luas di Eropa sebagai pakar susastra.
Lebih dari
itu, para ilmuwan Arab-Islam adalah polymath, dan sebagian lagi juga poliglot. Secara
umum, mereka dapat dan pernah menulis karya sastra, terutama anotolgi puisi. Bahkan,
disebutkan bahwa Syihabuddin Ahmad bin Majid yang dikenal sebagai pelaut, juga
menulis dua antologi puisi (diwan) penting; Al-Qashidah li Ibni Majid dan al-Qashidatul
Musammah bil Mahriyyah. Konon, dialah yang menolong Vasco Da Gama menemukan
Tanjung Harapan. Ia bahkan memetakan cara melakukan pelayaran di berbagai
kawasan yang berbeda untuk melintasi Laut Merah. Perlu dicatat: ia menuliskan
teori pelayaran itu dalam bait-bait puisi! Bahkan, beberapa orang yakin kalau
oang-orang Portugis tidak akan pernah dapat melintasi Samudra Hindia andai
tanpa bantuan petunjuk dari puisi Syihabuddin ibnu Majid ini. Kini, puisi
tersebut dimuseumkan dalam sebuah manuskrip yang tesimpan di sebuah institut di
Leningrad (Saint Petersburg), Rusia (Muhammad Ali Usman, 2007: 215-216).
Imam mazhab
(fiqh) yang paling populer di Nusantara, yaitu Imam Syafi’i, juga menulis puisi.
Belakangan, beberapa puisinya telah diterbitkan ulang dalam cetakan baru yang
diberi judul “Diwan asy-Syafi’i.” Demikian juga Abu Nuwas, yang dikenal luas
sebagai cendekia jenaka, tetapi juga sering kali dinisbatkan sebagai filsuf/tokoh
sufi, juga menulis puisi. Antologi puisinya yang paling masyhur adalah kumpulan
puisi khamriyyat (anggur-isme).
Dalam
banyak hal, puisi jauh lebih dekat kepada masyarakat santri (pesantren) di
Indonesia daripada genre sastra yang lain. Tradisi ini, kalau dirunut, sepenuhnya
mengakar pada tradisi Arab tadi, dan bukan lainnya, kecuali hanya mungkin
perkecualian semata, seperti dari tradisi Inggris atau Belanda. Puisi, dalam
pengertian nadham, sangat akrab dengan masyarakat meskipun tidak berarti ia
menjadi bukti kalau selera bersastra Indonesia sepenuhnya didasarkan pada
tradisi ini. Namun, yang pasti, puisi yang mula-mula berkembang sangat identik
dengan Arabisme, dan Arabisme—awal mulanya—senantiasa identik dengan keislaman:
kira-kira, demikianlah silsilah penjabarannya.
Di Madura
misalnya, tradisi bersya’ir (syi’ir) cukup kuat tertanam dalam di kehidupan
masyarakat, bahkan di luar pesantren sekalipun. Kecenderungan ini sepenuhnya
dapat dimaklumi dengan mengetahui bahwa bahasa Arab—bagi masyarakat
pesantren—nyaris menyerupai “bahasa kedua”. Bahkan, pada beberapa masyarakat di
lingkungan pesantren di Madura, tidak sulit untuk menemukan orang yang
kefasihan bahasa Arabnya lebih baik daripada ketika dia menggunakan bahasa
Indonesia. Menurut Jack Goody, kasus serupa sebenarnya juga tampak di daerah
Afrika Barat, dengan pengecualian atas beberapa pengucapan beberapa suku gurun
Arab. Pendidikan muslim tradisional mengambil posisi di dalam bahasa Kitab, lebih
Arabis, melebihi pengucapan penduduk setempat (Goody, 1987:194).
Sebetulnya,
akar sejarah ini berkembang dan diturunkan dari tradisi Melayu yang segala
seluk-beluknya sangat kental dengan nuansa keislaman. Hal ini tidak terjadi di
Jawa yang identik dengan Hindu. Keterpengaruhan orang-orang Melayu cukup nampak
dalam hal-hal penggunaan mereka terhadap term-term (peristilahan/kata kunci
berbahasa Arab), juga seperti halnya dapat dengan mudah kita temukan dalam
diksi-diksi Melayu lama. Sebagaiamana dinyatakan oleh Amin Sweeney, mayoritas
penggunaan peristilahan untuk konsep asli dalam beberapa penulisan adalah
bahasa Arab (Sweeney, 1987:199).
* * *
Silsilah
akar sastra yang lain di pesantren adalah diba’. Pembacaan antologi puisi karya
Imam Abdurrahman Ad-Dayba’i ini nyaris dilakukan setiap minggu oleh masyarakat
pesantren, bahkan terkadang hingga dua kali seminggu. Selebihnya, tradisi
pembacaan diba’ ini biasanya juga dihelat pada acara pernikahan dan acara-acara
ritual yang lain. Puisi-puisi ini bukan sekadar dibaca, melainkan juga
dihapalkan. Diba’, bahkan secara “magis”, juga dianggap sebagai doa untuk
kepentingan penyembuhan dan keselamatan. Adalah sebuah keyakinan yang luar
biasa di sini: membacakan puisi sebagai doa penyembuhan!
Tradisi
syi’ir/nadham dan hapalan adalah dua serangkai yang nyaris tidak dapat
dipisahkan. Sehingga, jika dikatakan seseorang belajar ‘Amrithi atau Alfiyah, maka
sejatinya dia sedang belajar ilmu nahwu melalaui puisi-puisi ‘ilmi itu dengan
cara menghapalkannya sekaligus.
Demikianlah,
sesungguhnya gambaran di atas cukup signifikan untuk dijadikan sebagai gambaran
kedekatan orang-orang pesantren/santri dengan tradisi sastra, nadham, dan
kelisanan dalam konteks disiplin keilmuan. Kemampuan berikutnya ditunjukkan
dengan baik oleh civitas pesantren dalam bentuk kompetensi di bidang karang-mengarang,
sastra maupun non-sastra. Para kiai, dan sebagian juga oleh santri, menyusun
kitab; baik berupa nadham (puisi) maupun natsar (prosa). Sebagian karya-karya
mereka diajarkan, dicetak, dan juga diterbitkan, meskipun hanya mencakup dan
tersebar di lingkungan terbatas (di lingkungan pesantren tersebut).
Akan tetapi,
tak jarang karya ulama yang melampaui batas lingkungannya. Banyak kiai yang
menulis kitab dan diterbitkan untuk umum, bahkan masyhur tidak saja di tanah
air (Nusantara), melainkan hingga ke luar negeri, bahkan hingga jauh di tanah
Arab. Terutama karya-karya ulama zaman dahulu. Sebut saja misalnya Syekh Abdus
Shamad Al-Falimbani, Syekh Nawawi al-Bantani (Nihayat az-Zain, Marahu Labid/Tafsir
Munir), Syekh Yasin al-Fadani (Fawaidul Janiyyah, Hasyiyah Faraidul Bahiyyah), Kiai
Ihsan Jampes (Siraj at-Thalibin), Kiai Ma’shum Ali (Amtsilat at-Thashrif), Kiai
Hasyim Asy'ari (At-Tanbihat al-Wajibat) dan juga, yang muncul belakangan, Shohib
Khaironi El Jawy yang menulis kitab panduan tata bahasa Arab dengan metode
skema dan diagram yang memudahkan pembaca yang ingin mendalami ilmu nahwu-sharaf.
Kitab karangannya ini, Audhlahul Manahij, bahkan telah “diakui” kompetensinya
di negara-negara Arab (Em Syuhada’: 2008). Ulama-ulama Nusantara yang
disebutkan di atas telah berkiprah cukup baik dalam tradisi kepengarangan di
tanah air dan luar negeri. Selengkapnya, biodata mereka antara lain
dieksiklopedikan oleh Mastuki HS dan Ishom El-Saha dalam buku “Intelektualisme
Pesantren: Potret Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren”, dan
sebagian juga disitir dalam “Transformasi Otoritas Keagamaan: Pengalaman di
Indonesia”, suntingan Jajat Burhanuddin dan Ahmad Baedowi: diterbitkan oleh
Gramedia—kerjasama dengan PPIM-UIN Jakarta dan Basic Education Project (DEPAG),
tahun 2003.
* * *
Pada
perkembangan berikutnya, pesantren mengalami banyak pembenahan. Pembenahan ini
tidak saja terjadi pada ranah kurikulum, melainkan juga pada “ideologi
kepesantrenan”. Tradisi salaf dan modern kemudian mengemuka dan menjadi wacana
khusus. Seiring dengan wacana ini, para penulis dan tokoh dari kedua model
institusi ini pun bermunculan. Biasanya, para penulis dari pesantren salaf
menulis kitab (nadham) dan para penulis dari pesantren non-salaf menulis
karyanya dalam bahasa Indonesia, baik berupa puisi maupun prosa; baik fiksi
maupun non-fiksi.
Akan tetapi,
jika dihitung dari usia awal mula pesantren dikenal di Nusantara, bahkan sebagai
cikal-bakal model lembaga pendidikan “asli” Nusantara, munculnya penulis-penulis
berlatar pesantren ini terhitung lambat (dengan catatan: jika yang dimaksud
“menulis” itu adalah “menulis dengan menggunakan Bahasa Indonesia”). Nama-nama
tokoh, yang nota bene merupakan penulis (eseis/sastrawan), seperti Abdurrahman
Wahid (Gus Dur), Nurcholis Madjid, maupun Emha Ainun Nadjib, muncul dan
berkiprah dalam kancah pemikiran penting di tanah air. Belakangan, muncul nama
Kiai Muhyiddin, Agoes Masyhuri, Kiai Husein, Said Agil Siradj, dll.
Meskipun
para penulis tersebut tidak menekuni bidang karya sastra secara khusus, tetapi
dapat dipastikan kalau selama bergelut di pesantren dahulu, pastilah tradisi
kepengarangan mereka diawali dari tradisi menulis karya sastra, menulis puisi
dan cerpen misalnya. Sebab, di samping seperti telah diungkap di muka, tradisi
bersastra begitu kuat di mana pun pesantren, bahkan bukti-bukti untuk itu masih
terekam dalam jejak yang jelas hingga saat ini.
Ada pula
beberapa penulis yang memang secara khusus menekuni jalan hidupnya di jalur
kesusastraan. Sebut saja nama Djamil Suherman, Gus Mus, M. Fudoli Zaini, Zainal
Arifin Toha, dan seterusnya. Dan jika dihitung siapa saja santri/alumni yang
menjadi sastrawan/penyair, yang lahir dan pernah belajar di pesantren meskipun
mereka sendiri tidak mengangkat tema-tema kepesantrenan, bahkan mungkin secara
ekstrem “menolak” nilai-nilai kepesantrenan, barangkali jumlahnya akan ada
sekian puluh, atau mungkin ratusan.
SASTRA DAN
SASTRA PESANTREN
Tidak dapat
disangkal, suka atau tidak suka, Gus Dur-lah yang telah membukakan pintu
gerbang kepesantrenan: pintu tempat orang-orang luar masuk dan melihat-lihat
pesantren, dan dia pulalah yang mengajak civitas pesantren untuk keluar dan
menunjukkan diri kepada dunia.
Sebelum
pemerintahan Gus Dur, kalaupun banyak penulis yang berasal dari pesantren, publik
tidak pernah mengenal mereka dengan baik karena para penulis (sastrawan) itu
memang tidak menampakkan diri. Di era presiden RI ke-4 itulah orang-orang
pesantren, terutama yang bergerak di bidang kebudayaan dan kesusastraan mulai
dipertimbangkan.
Memang
betul, bahwa beberapa nama yang disebut di atas telah dikenal sebelum
kepemimpinan Gus Dur, namun di era Gus Dur lah, setidaknya, para penulis/sastrawan
menemukan rasa percaya dirinya semakin membaik. Lihatlah misalnya, kini banyak
sekali kita temukan para penulis yang merasa mantab untuk membubuhkan identitas
setelah namanya dengan, misalnya, “penulis/penyair adalah alumni pesantren ini”,
atau “pernah nyantri di pesantren anu”. Dulu, di era Orde Baru, rasanya sangat
asing jika ada yang menuliskan identitas diri semacam itu: bisa disebabkan
karena minder, atau karena “pesantren” dianggap tidak akan memberikan nilai
tambah bagi popularitas, bahkan justru mengambrukkannya.
Walaupun
pencitraan pesantren telah diangkat dalam karya sastra puluhan tahun yang lalu,
lewat karya Djamil Suherman, maupun Saifuddin Zuhri, dan juga M. Fudoli Zaini, namun
wacana “sastra pesantren” sama sekali tidak pernah diperbincangkan. Istilah ini,
meskipun terus diperdebatkan hingga hari ini, secara praktis muncul sejak
adanya kecenderungan dari penulis-penulis alumni pesantren, atau yang berlatar
pesantren, dan atau pelajar yang sedang mondok (status santri di sebuah pondok
pesantren), mulai menulis di koran dan secara meyakinkan mewartakan identitas
dirinya sebagai orang pesantren. Jadi, bisa dipastikan, awal mula kemunculannya,
bukunlah dilartarbelakangi oleh isu kesastraan, melainkan oleh isu gagasan (tema,
seting) dan personal (sastrawannya).
Wacana
sastra pesantren semakin kuat manakala beberapa penerbit di Jogjakarta, termasuk
di antaranya Navila, secara konsisten menerbitkan karya-karya sastra terjemahan
dari Timur Tengah, yang barangkali, dianggap masih punya kekerabatan silsilah
yang dekat dengan dunia pesantren (faktor bahasa Arab). Meskipun alasan ini
terasa agak naif, namun nyatanya upaya Navila untuk itu tetap konsisten. Navila
menerbitkan dan menerjemahkan karya-karya dari bahasa Arab, seperti karya-karya
Musthafa Lutfi, Syekh Nizhami, dan banyak penulis Arab (terutama Mesir) lain. Cara
ini ditempuh untuk membidik konsumen santri/pesantren. Tidak hanya menerbitkan
karya-karya sastra Arab, Navila juga melakukan silaturrahmi ke pesantren-pesantren.
Penerbit ini bahkan juga memprakarsai lahirnya majalah “Fadilah” yang secara
tegas mengusung slogan “majalah sastra pesantren”. Tetapi, sayang, “Fadilah”
akhirnya gulung tikar sebelum mencapai usia selusin edisi.
Sebelumnya,
LKiS pernah memprakasai terbitnya majalah “Kinanah”, sebuah majalah hasil
kerjasama lembaga kajian dan penerbit itu dengan para pelajar/mahasiswa
Indonesia Mesir, yang kala itu—kalau tak salah—diawaki, di antaranya oleh Aguk
Irawan dan Habiburrahman. “Kinanah” diproyeksikan sebagai media sastra bagi
santri, khususnya bagi mereka yang ingin menuangkan gagasan di bidang karya
sastra, dan juga sebagai media silaturrahim para pelajar Indonesia dengan rekan-rekan
mereka yang berada di Mesir. Majalah yang muncul di awal-awal tahun 2000-an ini,
meskipun terbit kurang dari tiga kali, juga menjadi catatan penting sebagai
titik mula munculnya wacana sastra pesantren.
Selepas itu,
mungkin karena “Kinanah” dianggap mati suri, pada awal tahun 2003 Jadul Maula
dan LKiS tetap berniat baik untuk menindaklajuti isu ini. Bertempat di pendopo
LKiS Sorowajan, bersama Sholeh UG dari Navila, LKiS mengundang tokoh-tokoh
kesusastraan yang diangap paling bertanggungjawab terhadap wacana ini. Kala itu,
yang hadir antara lain adalah Acep Zamzam Noor, Zainal Arifin Toha, Aning Ayu
Kusuma, Hamdi Salad, Ahmad Fikri, dll. Saat itu, dihelat sebuah acara
peluncuran buku terbitan Gita Nagari yang diberi label “buku sastra pesantren”,
sebuah buku bunga rampai yang dikatapengantari oleh Ahmad Tohari: Kopiah dan
Kun Fayakun (2003).
Dalam
kesempatan itu, Acep Zamzam Noor menyatakan kurang setuju dengan pelabelan
“sastra pesantren” atau “sastra santri”. Sebab, pelabelan ini, menurutnya, akan
menjadi beban yang berat bagi para penulis kalangan pesantren untuk selalu
menggarap tema-tema tertentu, misalnya soal kehidupan pesantren atau tema-tema
yang berbau dakwah. Bukan hanya beban, bahkan pelabelan ini bisa jadi
menghambat kreativitas penulisnya itu sendiri. Menurutnya, ukuran sastra
sebagai karya adalah kreativitas, tanpa harus mempedulikan siapa dan dari
kalangan mana penulisnya, begitu juga tema yang diangkatnya (Acep Zamzam Noor: 2006).
Respon awal
gagasan Navila ini sangat baik. Dengan niat baik hendak mengangkat martabat
pesantren dalam wacana kesusastraan di tanah air, serta didasari oleh keinginan
yang kuat untuk mengumpulkan dan mencari penulis-penulis berbakat dari
pesantren, Navila mengirimkan “undangan untuk menulis” kepada sekitar 200
pesantren. Terbukti, responnya cukup positif. Sekitar 40 pesantren meresponnya
dengan mengirimkan karya-karya para santrinya. Setelah melalui proses pilah-pilih,
akhirnya 17 cerpen dikumpulkan dalam buku Kopiyah dan Kun Fayakun (Neneng Yanti,
2003).
Hampir
bersamaan dengan usaha Navila, Diva Press, juga di Jogjakarta, melakukan hal yang
serupa. Bedanya, Diva lebih meringkaskan ruang lingkup penulisnya. Penerbit
Diva meminta beberapa santri, terutama di Madura (Annuqayah Guluk-Guluk dan Al-Amien
Prenduan) dan akhrinya menerbitkan beberapa buku kumpulan cerita pendek. Di
antaranya adalah Balada Seorang Virgie, Ayah, dan antologi Harapan yang
Terkoyak. Ketiga kumpulan cerpen ini terbit pada bulan dan tahun yang sama; September
2002.
Setelah itu,
hampir tiga tahunan lamanya, isu sastra pesantren seolah-olah sepi pembicaraan,
kecuali hanya letupan-letupan kecil di koran saja. Baru pada akhir tahun 2005-an,
muncullah nama Matapena (kelompok LKiS), sebuah penerbit yang memunculkan
wacana sastra pesantren kembali dengan membubuhi embel-embel “pop”: sastra pop
pesantren!
Tampaknya, kemunculan
penerbit dan wacana ini diproyeksikan untuk mengimbangi dua arus besar
gelombang produk-produk bacaan pop yang menyerbu wilayah pembaca remaja, tak
terkecuali para remaja santri di pesantren. Fenomena buku best seller nasional
sejak tahun 2003-an yang dipegang oleh penulis-penulis pendatang baru seperti
Esti yang menulis Fairish dan Dyan dengan Dealova ataupun Nothing But Love yang
ditulis Laire inilah yang menjadi pemantik utamanya. Salah satu pemainnya, yaitu
Gramedia, pada tahun itu langsung merajai pasar buku fiksi remaja di Indonesia (M.
Faizi: 2005). Tanpa harus perlu mendebatkan soal kualitas, setidaknya, secara
finansial, ketiga nama di atas menjadi tambang emas bagi penulis dan penerbit. Secara
“ideologis”, tema, seting, bahkan semuanya, karya-karya sejenis ini jauh
berbeda dengan dunia kesantrian. Itulah karya “fiksi populer”, tanpa imbuhan
kata lagi di belakangnya, begitulah jenis ini dikenal. Di samping Gramedia, pabrik
fiksi untuk jenis ini antara lain adalah Gagas Media, Kata Kita, Diva, Galang, dsb.
Sementara
Gramedia dan kelompok penerbit fiksi populer lainnya mengangkat tema kehidupan
“remaja-metropolitan-sekolah/kampus” (“metropop”), di lajur sebelah ada
kelompok DarMizan, Asy-Syamil, dkk. Mereka membawa semangat “islami”, tetapi
latar karya produk pada umumnya menampilkan fenomena “remaja-kota-kampus”. Fiksi
populer islami, fiksi islami, atau “fikri” (fiksi remaja islami): demikian
istilahnya (ada tambahan kata “islami”-nya). Gayanya membidik segmen remaja dan
secara kental bercorak unsur keislaman, serta mengemban “misi dakwah”. Produk-produk
model inilah yang mula-mula melabelkan gelar “islami” untuk terbitannya: cerpen
islami, novel islami, dll.
Untuk itu, Matapena
seolah-olah hendak menempuh jalur “santri-Islam-pesantren/desa” demi
mendekatakan “jagad bacaan” dengan “realitas pembaca”. Produk mereka itulah
yang kemudian disebut “sastra pop pesantren”. Terbit pertama kali dengan novel
“Santri Semelekete” karya Ma’rifatun Baroroh, Matapena menuai sukses. “Genre”
ini sukses mendapat hati di pembaca santri pada khususnya yang selama ini hanya
mendapat suguhan chicklit/teenlit dan novel-novel berbendera “islami” itu. Selanjutnya,
Matapena menerbitkan karya-karya yang lain, di antaranya “Bola-Bola Santri” (Shachree
M Daroini), “Kidung Cinta Puisi Pegon” (Pijer Sri Laswiji), dan seterusnya.
PERDEBATAN
SASTRA PESANTREN
Kini, semakin
jauh pembahasan, yang kita dapatkan justru definisi yang semakin mengabur. Ketika
disandingkan dengan kata “sastra” ataupun frase “sastra pop”, kata “pesantren”
semakin tampak hanya sebagai institusi semata: pesantren sebagai sebuah latar/seting,
sedangkan aktivitas kelembagaannya sebagai tema.
Nah, untuk
memberikan gambaran yang lebih jelas tentang apa sesungguhnya sastra pesantren
itu, maka kita harus mempersoalkannya (seperti diisyaratkan oleh Faruk HT, seorang
kritukus sastra Indonesia kontemporer) melalui beberapa pertanyaan: apakah
definisi “pesantren” dalam konteks pembicaraan “sastra pesantren” itu memang
sesuai dengan apa yang dipikirkan dan dialami oleh “orang pesantren”? Pesantren:
apakah pesantren yang dimaksud suatu tempat, suatu ideologi, suatu tipe doktrin,
atau kesatuan sosial, komunal, dan kultural? Apakah seseorang yang mengekspos
kehidupan homoseks di pesantren dan ditulis dalam sebuah karya (novel/cerpen) dapat
disebut sebagai sastra pesantren? Bisa saja. Tapi, apakah pemahaman sejenis ini
dapat disetujui oleh civitas pesantren?
Lazim
diketahui, term sastra pesantren didefinisikan sebagai produk/karya sastra yang
bertema keislaman, kesantrian, dan kepesantrenan; atau diidentifikasi sebagai
karya sastra yang berurusan dengan nilai keislaman; atau karya sastra para
pengarang yang punya pengalaman kehidupan pesantren, karya pengarang berbahasa
Indonesia yang bermuatan tema keislaman, kesantrian, atau kepesantrenan; atau
pula pengarang yang punya hubungan sejarah atau silsilah dengan pesantren. Dalam
pandangan Ridwan Munawwar (Ridwan Munawwar, 2007), kategori di atas tampaknya
menghendaki tema/wilayah pembahasan sastra pesantren ke arah tema-tema nilai
esoterik keagamaan; cinta illahiyyah, pengalaman-pengalaman sufistik, cinta
sosial (habluminannaas), atau ekspresi dan impresi transendental keindahan alam
semesta (makrokosmos).
Meskipun
demikian istilah “sastra pesantren” lazim didefinisikan, tampaknya ada pula yang
melebarkan pengertiannya, seperti pendapat salah seorang dosen di UIN Jojga, Damami.
Ia justru mengacukan wacana sastra pesantren kepada kitab-kitab klasik produk
kiai/santri di pesantren, dengan menyebut contoh Siraj at-Talibin-nya Kiai
Ihsan dan kitab Al-Miftah sebagai contoh dari produk sastra pesantren itu. Hal
yang hampir senada juga dilansir oleh D. Zawawi Imron dalam kesempatan seminar
di dalam rangkaian Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII 27-30 September 2004
di Surabaya. D. Zawawi Imron menjelaskan bahwa keberadaan sastra yang lahir
dari lingkungan pesantren merupakan bagian tak terpisahkan dari sastra
Indonesia. Baginya, sastra pesantren itu telah hadir sejak masuknya Islam di
Indonesia sekitar abad ke-12 sekaligus merupakan bagian tak terpisahkan dari
sastra Indonesia.
Pernyataan
ini mengindikasikan bahwa kategori penyebutan sastra pesantren selalu
dititikberatkan pada unsur personal, pada pengaranganya, bukan pada latar dan
temanya. Akan tetapi, ketika ia menyebut beberapa nama (Djamil Suherman, Syu’bah
Asa, Fudoli Zaini , Emha Ainun Nadjib, KH Mustofa Bisri, Jamal D Rahman, Acep
Zamzam Noor, Ahmad Syubbanuddin Alwy, Abidah El-Khalieqy, Mathori A Elwa, Hamdi
Salad, Nasruddin Anshory, juga Kuswaidi Syafi’ie), mudah dipahami bahwa yang
dimaksudkan D. Zawawi Imron dengan “sastra pesantren” adalah “sastrawan santri”,
yakni sastrawan yang punya latar pesantren meskipun karya-karyanya tidak selalu
bernuansa kesantrian dan kepersantrenan. Orientasinya bertumpu pada pengarang.
Bagi Ahmad
Tohari, definisi sastra pesantren dititikberatkan pada gagasan yang dibawanya. Sastra
pesantren adalah pengejawantahan “ma” dalam ayat lillahi ma fissamawati wa ma
fil ardhi dan dikemas dengan kualitas sastra yang “horison”, yang lalu
membinarkan kekuasaan Tuhan atas “ma” di langit dan bumi. Dengan begitu, Islam
muncul sebagai nilai yang universal, melampaui simbol dan nilai-nilai normatif.
Sastra pesantren harus membawa misi “pembebasan”. Intinya, Tohari sepakat bawah
setiap produk yang membawa pesan pencerahan, maka itulah sastra pesantren; tak
peduli dari latar belakang apa (agama/budaya/bangsa) karya itu lahir.
Pernyaatan
tersebut selaras dengan statemen Jamal D. Rahman yang dapat dijadikan garis
bawah, bahwa salah satu ciri “kepesantrenan”, termasuk pula dalam sastra, adalah
“unsur perlawanan”. Misalnya, perlawanan kaum santri pada kolonial yang nota
bene non-muslim. Salah satu contohnya adalah: jika dulu kolonial menggunakan
celana, maka santri menggunakan sarung. Semangat ini tentu dapat diterjemahkan
oleh para sastrawan ke dalam karya sastra dengan baik.
Gambaran
umum yang tampaknya cukup baik hadir sebagai jawaban bagi perdebatan sastra
pesantren adalah pendapat Zainal Arifin Toha. Menurutnya, sastra pesantren
adalah karya sastra yang ditulis, baik oleh orang pesantren maupun luar
pesantren, yang mengangkat pandangan-dunia pesantren, baik terhadap dunia
pesantren itu sendiri, maupun dunia luar pesantren (Aba Ahmad Mujtaba: 2003). Pernyataan
ini menyempit pada persoalan sastra dan urusan kepesantrenan. Artinya, bagaimana
pun, membicarakan sastra jika itu dikaitkan dengan pesantren, haruslah tetap
memegang kata kunci “pesantren”: pandangan-dunia pesantren.
Walaupun
definisi sastra pesantren sudah cukup banyak didedah, pada awal-awal munculnya
wacana ini di media massa, pengertian sastra pesantren cukup membingungkan
banyak orang, bahkan termasuk para sastrawan senior dan pakar sastra. Di antara
mereka adalah Taufik Ismail yang kaget karena tiba-tiba ada istilah baru
bernama “sastra pesantren”; Suminto A. Sayuti yang enggan memeberikan definisi,
hingga Radhar Panca Dahana yang beranggapan bahwa penamaan “sastra pesantren”
bersifat problematis dan sengaja dibuat-buat untuk sekedar membedakan diri dari
yang lain, mencoba-coba membentuk karakter sendiri. Menurut Binhad Nurrohmat, definisi
sastra pesantren itu tetap rancu dan problematik. Sebab, apa yang dimaksud
dengan karya/genre sastra pesantren selama ini tidak jauh berbeda dengan karya
sastra lain pada umumnya kecuali hanya pada persoalan tema. Padahal, tema bukanlah
ukuran pembentuk genre sastra. Menurutnya, identifikasi pada apa yang disebut
sebagai sastra pesantren itu sebatas berurusan dengan aktualisasi tema atau
latar belakang pengarangnya yang berhubungan dengan keislaman, kesantrian, dan
kepesantrenan; dan bukan berdasarkan unsur-unsur atau kecenderungan “bentuk”
kesusastraan yang khas dimiliki oleh apa yang disebut sebagai sastra pesantren
itu (Binhad Nurrohmat, 2007).
Dari sekian
pendapat di atas, cukup jelas untuk membuat asumsi awal, bahwa wacana sastra
pesantren belum punya definisi yang meyakinkan dan dapat dipertanggungjawabkan
dalam teori kesusastraan, tetapi telah kuat mengakar dalam “gosip” kesusastraan
di tanah air. Lebih-lebih, masih ada kejanggalan dalam setiap pembicaraan
sastra pesantren: pembicaraan sastra pesantren cenderung hanya mengacu kepada
produk fiksi/prosa, dan sangat sedikit yang mengaitkannya dengan produk puisi. Kalaupun
ada, maka sastra pesantren genre puisi yang dimaksud pastilah merupakan
nadhaman (yang notabene berbahasa Arab) kitab-kitab ajian di pesantren. Padahal,
jika ditilik dari sejarahnya, sebagaimana dilukiskan dalam paragraf-paragraf di
muka, cikal-bakal tradisi sastra di pesantren justru diawali dari wacana sastra
genre puisi.
Sampai di
sini, kita dapat membuat kesimpulan sementara atas dua gagasan penting tentang
sastra pesantren. Pertama, sesuai dengan “gosip” yang berkembang di dalam media,
yang dimaksud sastra pesantren adalah karya santri yang lahir dan atau
berkreativitas di pesantren dan atau yang kini tengah mekar di luar pesantren; kedua,
gagasan yang khas pesantren, sejenis nubuwah yang harus disampaiakan kepada
khalayak ramai; wa bil-khusus, mengemban gagasan dan cara pandang kepesantrenan.
Atas dasar
pernyataan di atas, semakin sulit bagi kita untuk membedakan sastra pesantren
dengan “sastra profetik” seperti yang telah digagas oleh Kuntowijoyo di awal
tahun 90-an itu. Lebih jauh lagi, kita dapat mengajukan pertanyaan: apa yang
dapat diistimewakan sastra pesantren daripada “sastra Islam” atau “sastra
islami” jika kategori tema yang diusungnya relatif sama? Tentunya, pembahasan
ini harus ditarik lebih jauh lagi pada persoalan sastra Islam.
Polemik dan
perdebatan tentang sastra dan kesenian Islam sejatinya telah lama digulirakan. Di
antara forum yang sempat menggulirkannya secara serius adalah Festival Istiqlal
pada tahun 1990-an dulu. Majelis seni/sastra—tentunya dengan embel-embel
“Islam”—pun ramai dibicarakan, didebat, ditanggapi, seperti biasanya: lama-kelamaan
menjadi sepi, hilang dengan sendirinya.
Memang, sulit
rasanya melekatkan institusi (agama) pada kegiatan sastra sebagai sebuah genre,
seperti Sastra Islam, Sastra Hindu, Sastra Kristen, dan seterusnya. Mengapa
demikian? Hal ini disebabkan karena kagiatan bersastra atau produk sastra itu
sendiri lebih berkait-erat dengan “unsur dalaman”, yakni nilai (keislaman/keagamaan).
Penggunaan istilah nisbah, seperti Sastra Islami (dan bukan “Sastra Islam”), agaknya
lebih mudah dipahami. Kalaupun ia tetap akan digunakan, istilah tersebut akan
beralih-fungsi sebagai nama bagi era lahirnya karya (periodisasi). Misalnya; Sastra
Jahiliyah, Sastra Abbasiyah, Sastra Klasik, Sastra Angkatan ’45, dan seterusnya.
Ini menjadi galib dan lazim karena penggunaan istilah sastra dan label yang
mengikutinya itu berhubungan dengan masa dan produk sastra yang dihasilkannya.
CATATAN
AKHIR
Berdasarkan
pernyataan-pernyataan dan gambaran di atas, dapat disimpulkan bahwa yang
dimaksud dengan isu/wacana sastra pesantren yang selama ini diperdebatkan
adalah “sastra pesantren” sebagai sebuah produk karya sastra saja atau juga
sebagai genre, atau subgenre. Perkembangan perdebatan itu mencakup tiga
orientasi.
Yang
pertama adalah orientasi yang didasarkan pada “siapa”, yakni pada sastrawan (penulisnya):
berdasarkan kategori ini, yang disebut karya sastra pesantren adalah karya yang
ditulis oleh santri/kiai/civitas pesantren, dan atau juga yang punya silsilah
sosial/intelektual dengan pesantren. Contoh untuk ini maka kita dapat menyebut
nama Ahmad Tohari dan Jamal D. Rahman, meskipun karya-karya mereka tidak
menyebut dan bernuansa pesantren secara langsung). Tampaknya, kategori ini
lebih pas jika dikelompokkan dengan sebutan “sastrawan santri”, yaitu civitas
pesantren (santri/alumni) yang menulis karya sastra. Bahkan, jika kita
kembangkan bahwa penulis sastra pesantren yang penting adalah civitas pesantren
(santri/alumni), maka tentu novel Mairil (Syarifuddin) dan Kuda Ranjang (Binhad
Nurrohmat) yang nota bene dirisihkan oleh orang-orang pesantren karena
mengekspos ketabuan seks akan dikategorikan ke dalam peristilahan sastra
pesantren.
Orientasi
yang lain adalah berdasarkan tema/seting, yakni sastra pesantren yang
diasumsikan berdasarkan seting/latar cerita dan tema. Nah, barangkali, untuk
mengambil contoh kategori ini akan sangat banyak. Novel “Geni Jora” karya
Abidah el-Khalieqy dan “Hubbu” karya Mashuri (keduanya sama-sama memenangkan
lomba penulisan novel/roman yang diselenggarakan oleh Dewan Kesenian Jakarta
pada tahun yang berbeda) adalah salah satu contohnya, mengingat seting cerita
yang diangkat adalah seting pesantren. Lebih-lebih, jika kita berikan contoh
novel-novel pop remaja Matapena yang memang secara khusus mengangkat tema dan
latar pesantren, seperti Bola-Bola Santri (Sachree M. Daroini) dan Jerawat
Santri (Isma Kazee), dan seterusnya, maka ini juga masuk dalam contoh.
Orientasi
yang ketiga: apabila sastra pesantren harus dikelompokkan berdasarkan
genrenya—dengan tetap bertahan pada definisi genre dalam pandangan sarjana-sarjana
sastra—maka yang dimaksud sastra pesantren adalah nadhaman, syi’iran, yang nota
bene berbahasa Arab dan bahasa daerah (Jawa, Sunda, Madura), dan bukan
berbahasa Indonesia. Sebab, hanya genre syi’ir ini yang dapat kita kelompkkan
pada genre, yakni jenis produk karya sastra (seperti puisi dan prosa), dan
temanya jelas-jelas mengangkat masalah-masalah (ilmu-ilmu) keagamaan dan bahasa
(nahwu-sharraf).
Kalau
definisi sastra pesantren ditarik lebih keluar, misalnya dengan menyitir
pernyatan bahwa karya sastra pesantren adalah setiap karya yang menyiratkan
nuansa sufistik, risalah keagamaan, dan seterusnya, tentu kita tidak boleh
keberatan untuk memasukkan karya-karya Abdul Hadi WM di dalamnya, meksipun dia
sendiri bukanlah civitas pesantren. Bahkan, secara lebih ekstrem, kita juga
harus merelakan karya-karya Romo Mangunwijaya, Rabindranath Tagore, hingga
Khalil Gibran, sebagai karya yang berlabel “sastra pesantren” meskipun mereka
sendiri adalah non-muslim. Itu artinya, sastra pesantren tak jauh adalah
berbeda dengan sastra profetik.
Definisi
sastra pesantren yang berkembang di media pada saat ini tentu bukan sekadar
karya-karya santri yang ada/berproses kreatif di pesantren. Kelengkapan
definisi ini adalah: lebih-lebih jika hasil karya tulis mereka menyiratkan
spirit religiusitas yang “khas” santri dan sudut pandang nilai-nilai
kepesantrenan. Lebih gamblang, sastra pesantren adalah karya sastra santri yang
bertema hal-ihwal kesantrian dan kepesantrenan dengan membawa semangat
kesantrian (religiusitas), baik secara langsung maupun tidak.
Oleh karena
itu, membuat kategori (definisi dan pelabelan) untuk produk-produk karya sastra
yang ditulis oleh sastrawan santri, sastrawan muslim, atau kiai, dengan memberi
nama “sastra pesantren” adalah sah-sah saja sebatas itu sekadar untuk
kepentingan “pemberian nama” untuk ditandai, bukan untuk dijadikan sebagai
eksklusivitas sebagai proklamasi atas munculnya sebuah genre. Karena
sesungguhnya, kita belum menemukan secara pasti apakah produk yang kita sebut
dengan sastra pesantren itu, apakah itu nadham/puisi/syi’ir ataupun prosa (novel/cerpen)
dalam bentuk kekhasan sebagai sebuah produk, dan seterusnya.
PENUTUP
Nama
pesantren begitu besar dan punya pengaruh yang kuat dalam akar sejarah dan
tradisi bangsa Indonesia. Karena itu, pesantren dan segala yang berhubungan
dengan pesantren pasti “layak dijual”. Salah satu trik dagangnya adalah dengan
cara diberi nama. Kita tidak benar-benar tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di
luar kita. Barangkali, penamaan dan kategorisasi sastra pesantren hanya
kebutuhan media untuk memudahkan “pemberian nama” itu. Atau juga—tapi ini
prasangka buruk—karena faktor “politik sastra” dan “politik kapitalisme”
sehingga kita mudah dipermainkan setelah “diberi nama” (semoga saja tidak). Kita
mengakui nama itu karena hegemoni media, dan kaum civitas pesantren tidak dapat
berbuat apa-apa lagi dengan yang dibuatnya, kecuali harus menyetujui terhadap
si pemberi nama.
Atau, pemberian
nama itu hanya sekadar untuk memudahkan pengelompokan, yang entah itu untuk
kepentignan penelitian ilmiah atau untuk kepentingan-kepentingan “politik”
lainnya?
Setiap
orang berhak memberi nama, membuat kategori. Setiap kategori bisa didasarkan
atas definisi yang beragam. Terbukti, kata pesantren dalam sastra pesantren
saja masih ambivalen; apakah sebagai lembaga pendidikan, sebagai ideologi, ataukah
sebagai sebuah sistem tanda kebudayaan? Ini mengingatkan kita pada genre musik,
yang nota bene lebih mudah dikategorikan genrenya. Sebab, musik punya banyak
instrumen penilaian untuk itu; tempo, alat yang dipakai, ketukan, ritme, serta
unsur-unsur yang lain. Terbukti, kategorisasi genre yang dilekatkan media/pengamat
musik tidak serta-merta disetujui oleh kelompok musik yang diberi nama.
Saat
melangsungkan tur dunia untuk promo “black cover album” pada tahun 1993 lalu, Metallica
disebut-sebut sebagai grup musik beraliran “thrash metal” oleh pers Indonesia. Namun,
James Hetfield tidak terima ketika mengatahui hal itu dan ia ngotot untuk tetap
menyebut musiknya sebagai “heavy metal”; Konon, Rhoma Irama yang menjadi ikon
dangdut di tanah air tiba-tiba dinobatkan sebagai gitaris rock terbaik dalam
subuah survei pers di luar negeri karena gaya musik/permainan yang lebih dekat
pada Ritchie Balckmore (Deep Purple) daripada pada jenis musik dangdut sendiri;
Khalil Gibran yang di Indonesia dianggap penyair dengan banyak sekali
melahirkan puisi sebetulnya dia tidak pernah menulis puisi kecuali hanya satu, Al-Mawakib.
Hal ini disebabkan karena puisi bagi orang Arab—kala itu—adalah nadham/syi’ir (yang
harus ditentukan oleh ‘aruld, termasuk qafiyah dan bahar, sebagai disiplin ilmu
yang baku untuk menulis puisi) dan tidak seperti puisi dalam pengertian benak
orang Indonesia yang melihatnya dari sudut pandang teori sastra yang nota bene
bukan dari Arab (Barat).
Itulah
beberapa contoh kasus penamaan. Semua perdebatan dan anggapan itu tidak sekadar
karena dasar pertimbagan tema saja, melainkan disebabkan oleh sesuatu yang jauh
lebih prinsip: genre. Tapi, begitulah penamaan! Dalam proses itu, reduksi akan
selalu saja terjadi. Dan yang demikian itulah yang sedang menimpa kita: telah
lama kita tahu, Mazhab Praha, Mazhab Yale, Mazhab Frankfurt, hingga Mazhab
Rawamangun pun (bahkan, yang terakhir mungkin perlu juga disertakan: Mazhab DKJ)
selalu punya orientasi dalam melihat sebuah karya sastra. Dan kita tetap
menerimanya begitu saja setelah lebih dulu bergulat melalui pemahaman-ketakpahaman.
Beda persepsi, perbedaan kategori, dan salah paham memang selalu diawali dari
letak kita berdiri untuk melihat objek dalam sebuah sudut titik pandang.
Memberikan
definisi sastra pesantren berdasarkan kategori sebagai jenis produk karya
sastra (genre) yang telah kita lihat hingga saat ini, dari karya “Perjalanan ke
Akhirat”-nya Djamil Suherman hingga “Ronggeng Dukuh Paruk”-nya Ahmad Tohari; dari
“Tadarus”-nya Kiai Mustofa Bisri hingga novel-novel sastra pop pesantren yang
diterbitkan oleh Matapena itu, belumlah memuaskan. Akan tetapi, jika hanya
berdasarkan kategori wacana sastra, dan jika memang itu yang dimaksudkan, maka
tentu demikianlah adanya sastra pesantren itu.
Atau, mungkin
kita tetap masih harus menuggu sampai suatu saat ada sebuah karya yang benar-benar
memiliki trade mark atau karakteristik kepesantrenan dalam arti sesempit-semptinya,
sekhusus-khususnya, dan karya itu belum pernah ditulis oleh orang lain
sebelumnya. Artinya, karya itu menjadi sebuah “genre” yang “direstui” oleh
teori sastra sekaligus menjadi isu yang disepakati sebagai wacana sastra. Sehingga,
“alamat kelahiran” yang pertama kali muncul itu, akan menjadi satu-satunya
mercu suar yang dapat diliahat oleh semua orang yang ada di bawahnya. Kemudian,
orang-orang itu akan merasa yakin, itulah “sastra pesantren”. Pada akhrinya, ia
akan menjadi acuan, menjadi referensi, menjadi pakem: sehingga untuk disebut
sebagai “sastra pesantren”, sebuah karya haruslah punya karakteristik seperti
mercu suar itu.
Jika tidak
ada orang yang mau segera berbuat untuk itu, maka pilihannya adalah menunggu. Padahal,
semua orang tahu: menunggu adalah pekerjaan yang benar-benar membosankan.
Wallahu
a’lam.
SUMBER
BACAAN
Goody, Jack,
1987. The Inteface Between the Written and the Oral, Cambridge University Press
Sweeney, Amin,
1987. A Full Hearing, University of California Press
Yanti, KH.,
Neneng. 2002. Perdebatan di Seputar Isu Sastra Pesantren. Makalah
El-Muttaqien,
M. Zamiel. Akar Tradisi Sastra Pesantren. Kompas Jatim 11/06/2005
Aba Ahmad
Mujtaba, Sastra Pesantren: Harapan Kenyataan dan Tantangan, Majalah Fadilah
edisi VII Desemebr 2003
Faizi, M. 2007.
Pesantren Ikon Pendidikan Nonformal. Majalah Basis Juli-Agustus 2007.
_____________.
Chicklit dan Minat Baca Remaja, Jawa Pos 29-05-2005
Mastuki HS,
M.Ag, dan Ishom El-Saha, M.Ag, (ed.), 2003. Intelektualisme Pesantren: Potret
Tokoh dan Cakrawala Pemikiran di Era Keemasan Pesantren. Jakarta: Diva Pustaka
‘Usman, Muhammad
‘Ali. 2007. Para Ilmuwan Muslim Paling Berpengaruh Terhadap Peradaban Dunia. Jogjakarta:
Diva
Em Syuhada’,
Secercah Sinar dari Lirboyo, Jawa Pos 20 Apr 2008
Kompas, Sastra
Pesantren Bagian dari Sastra Indonesia, edisi 29 September 2004
Sumber URL:
Nurrohmat, Binhad.
Gincu Merah Sastra Pesantren. Suara Karya Online; 24/03/07. URL= http://www.suarakarya-online.com/news.html.
diakses pada tanggal 05/05/08
Munawwar, Ridwan.
Ledakan Sastra Pesantren Mutakhir: Cinta, Kritisisme, dan Industri. Suara Karya
Online; 03/03/07. URL= www.suarakarya-online.com/news.html?id=167741; diakses
pada tanggal 05/05/08
Http://www.indomedia.com/bernas/2009/14/UTAMA/14hib1.htm:
Sastra Pesantren Saatnya “Membuka Diri”
Acep Zamzam
Noor. Pesantren, Sastra, dan Pilkada. 25 Januari 2006.
URL=http://www.rumahdunia.net/wmview.php?ArtID=573&page=2:
diakses pada 05/05/2008.
http://www.nu.or.id/page.php?lang=id&menu=news_view&news_id=4373:
Tinggal Bagaimana Sastra Pesantren Memberi Kekhasan Sikap. Sabtu, 18 Februari 2006
12:15: diakses pada 05/05/2008.
http://www.masjidistiqlal.com/index.php?modul=text&page=detail&textID=2919;
Dalam Sejarahnya Budaya Pesantren Bersebrangan dengan Perkotaan; Rabu, 16 safar
1428 H / 6 maret 2007; diakses pada 05/05/2008
[artikel
ini telah dimuat di Jurnal Anil ISLAM, edisi ke-1, Juni 2008]
h e b a t...
BalasHapusKomprehensip n mendalam, tp panjang banget sampe' linu2 my eyes melototi tulisan ini. salut n sukses sll.
BalasHapusidzaa tamma al-amru badaa naqshuhu (apabila telah tampak sempurna sebuah perkara, maka tampak pula kekurangannya). Akan tetapi, saya merasa salut atas "cerita" anda ini. Meskipun gagasannya kurang menggigit, dan "lapar" akan peta gerakan-gerakan sastra 'nak-kanak pondugan'. Selamat!
BalasHapus@ Humron, Erik, Edu: terima kasih atas komentar 7 tahun yang lalu dan saya baru membalas hari ini
BalasHapusassalamualaikum, boleh saya tanya lebih jauh mengena nadham? atau kalau boleh saya mau minta referensi buku atau apapun tentang pengertian nadham secara rinci. kebetulan saya mengambil judul nadham sebagai media tabligh, dan kesulitan mendapatkan teori tentang nadhamnya. mohon bantuannya, terimakasih sebelumnya.
BalasHapusinsya Allah saya posting
Hapusatau kasih alamat email Anda
Hapusini email saya dzchintia@gmail.com, terimakasih banyak
HapusTulisan sejak 2008 masih kontekstual hingga sekarang. Terima kasih Pak Yai
BalasHapus