PESANTREN SEBAGAI IKON PENDIDIKAN NONFORMAL
Oleh M. Faizi
Untuk memberikan gambaran umum atas tulisan saya, anggaplah sebagai abstrak, perlu saya awali tulisan ini dengan sebuah anekdot seputar hubungan kiai-santri. Anekdot ini, meskipun tidak semua redaksi bahasanya ditulis apa adanya, sedikitnya menggambarkan hal-hal yang terjadi secara khas dalam suatu hubungan di lingkungan pesantren.
Cerita datang dari Probolinggo.
Pada suatu hari, almaghfurlah Kiai Zaini Mun’im (Paiton) menugaskan salah seorang santrinya pergi ke
Kebetulan, santri tersebut—sebut saja namanya Khadim—merupakan salah seorang pelayan di ndalem Kiai Zaini. Dengan segala ketundukannya, ketika ada perintah, Khadim langsung bergegas tanpa menyanggah.
Saat tiba waktunya, Kiai Zaini memanggil Khadim. “Ini, kamu bawa!” kata Kiai Zaini sambil mengeluarkan kuda dan menyerahkannya kepada Khadim. Seraya menundukkan kepala, Khadim menuntun kuda itu. Di kejauhan, Khadim dan kudanya menghilang dari pandangan di tikungan.
Tetapi, apa sebetulnya yang terjadi?
Khadim menuntun kuda itu dari Paiton sampai Kraksaan. Bukannya Khadim tidak dapat menunggang kuda, melainkan karena perintah kiai yang ia terima adalah: “membawa” kuda, ia tidak diperintah untuk menungganginya! Khadim rela pergi-pulang berjalan kaki sambil menuntun kudanya sejauh 16 kilometer hanya karena sebuah faktor: cangkolang!
Cangkolang (bahasa Madura) merupakan salah satu matriks penting dalam tradisi pesantren yang mengistimewakannya dengan
Kisah di atas memang konyol. Tetapi, di balik kisah itu ada sebuah pesan, bahwa perintah guru (kiai) adalah segala-galanya. Selebihnya, betapa figur seorang kiai begitu kuat dan begitu wibawa di mata santrinya, yang setia mengabdi serta melayaninya demi mengharap barokah dari pengabdian itu sendiri. Tampaknya, tak ada perintah atau instruksi dari atasan mana pun yang sedemikian gagahnya mampu menyuruh orang lain tanpa imbalan material sedahsyat perintah seorang kiai kepada santrinya!
Memang, anekdot tersebut saya kutip dari teks berlatar Madura yang notabene mengenal dan mempraktekkan prinsip bhada pakon, bhada pakan (ada perintah, ada upah), tetapi ia tidak berlaku dalam hal pengabdian. Ia merupakan salah satu prinsip dalam pendidikan pesantren. Sebab, meskipun pengabdian juga mengharap “upah”, namun upah tersebut adalah tabungan akhirat: dalam bentuk barokah.
***
Dulu, jika saya bertemu dengan seorang walisantri yang hendak mengantar anaknya mondok ke pesantren, mereka selalu mengistilahkannya dengan “memperbaiki diri”, bukan mencari ilmu. Istilah “memperbaiki diri” kemudian disimplifikasi menjadi “tirakat”. Tirakat membutuhkan ketabahan dan perbaikan “akhlak” karena akhlak bersifat dinamis, tidak seperti “fitrah” yang paten dari sono-nya. Karena itu, ada ungkapan “akhlak terpuji” dan ada pula lawannya: “akhlak tercela”.
Santri seperti Khadim di atas mungkin sama sekali tidak tahu, atau tidak mau tahu-menahu, dengan hal itu. Santri seperti mereka berangkat ke pesantren nawaitu mengabdi demi mendapatkan barokah, memperbaiki diri, tirakat demi keluhuran budi, dan bukan nawaitu menjadi politisi atau profesi lainnya selain santri.
Meskipun niat awal para santri datang ke pesantren adalah untuk mencari barokah, namun pesantren telah terbukti melahirkan berbagai macam profesi santri: penulis, pemikir, politisi, pengamat ekonomi, dan lain sebagainya. Unsur-unsur seperti barokah, penerapan pengabdian bagi santri, lingkungan religius, serta figur kiai yang menjadi pusat kegiatan di dalamnya, menjadi faktor utama bagaimana watak dan karakter seorang santri dibentuk. Singkatnya, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang “melahirkan”, bukan “menciptakan”.
* * *
Memakai peci, bawahan sarung, alas kakinya bakiak (terompah), membawa kitab gundul, belajarnya di musholla: itulah citra sepintas ciri seorang santri. Meskipun identifikasi ini sangat fisikis, namun semua hal itu telah menjadi simbol yang mudah dikenali, bahkan menjadi ikon yang digunakan oleh beberapa antropolog untuk mencirikan kaum santri.
Saya yang pernah nyantri di bebebrapa pesantren di Jawa, merasakan kesan kumuh terkadang disandangkan pada kelompok ini, meskipun stereotip ini, setidaknya dalam pandangan sementara saya, lebih terkesan sebagai proyek minor untuk menghasilkan sebuah kesimpulan inferior. Atau, boleh jadi kesan ini tercipta—bukan diciptakan—karena kaum santri yang cenderung menolak hal-hal yang bersifat formal (karena figur mereka, kiai, juga merupakan figur pimpinan nonformal, bukan pejabat). Pencitraan semacam sejatinya cukup ampuh untuk membunuh karakter santri, namun di balik itu ia justru menghidupkan perlawanan. Sebab, ciri khas justru akan muncul ketika ia telah dikategorisasi, salah satunya melalui pencitraan.
Dengan begitu, mudah rasanya membuat ketegorisasi: identifikasi fisikis di atas (sarung, peci, kitab kuning, dan bakiak, dll.) biasanya dianggap sebagai busana resmi atau—kata anak sekarang—“dress code” santri, tetapi justru menjadi tidak formal ketika dihadapkan langsung dan berbaur dengan komunitas “formal” lainnya yang secara fisik menolak keberadaannya. Mana ada orang bersarung dan berpeci di Senayan? Di mal atau dalam rapat-rapat kedinasan? Ah, ada-ada saja!
Anggapan formal/tidak formal sebetulnya lebih merupakan bias pandangan. Sebab, pesantren (terutama pendidikan salafi di awal kemunculan pesantren di Nusantara) sendiri merupakan pendidikan “tidak formal”, dan lembaga pendidikan tua yang masyhur sejak Raden Rahmat membina pesantren Ampel Denta di Surabaya. Salah satu buktinya adalah: pada awalnya, sistem pendidikan pesantren tidak mengenal kelas (nonklasikal). Tingkat pendidikannya pukul rata. Jika kiai mulang kitab, semua yang mengikuti pengajiannya tanpa terkecuali, dari anak-anak hingga kakek-kakek pun tidak masalah.
Satu hal lagi, pesantren adalah lembaga pendidikan yang dipimpin oleh seorang (atau lebih; berbentuk dewan) pengasuh yang disebut kiai. Kiai disyaratkan harus mumpuni, menguasai semua ilmu agama, terutama tauhid, fiqh, dan tasawuf. Di pesantren, keputusan tertinggi berada padanya. Peran dan posisi kiai/guru yang nyaris sentral dan segala-galanya. Hal ini disebabkan karena pada umumnya, sistem pendidikan pesantren memiliki “kitab suci” yang sama, yaitu Ta’lim al-Muta’allim; sebuah kitab yang berisi tatacara menjadi murid. Dalam kitab tersebut, guru memang begitu diagungkan. Kitab tersebut telah menempatkan seorang guru begitu terhormat, dan begitu tinggi, dan segala-galanya. Posisi guru/kiai yang demikian itu nyaris—ingat, bukan sama sekali—seperti kitab suci: jauh dari kritik, bukan tanpa kritik!
Pendidikan pesantren, meskipun nama pesantren sendiri diturunkan dari Bahasa Sanskerta yang “tidak islami”, tetapi di kemudian hari, pesantren/santri mengalami penyempitan makna: hanya identik dengan pendidikan agama Islam. Untuk itu, agar ilmu agama yang diperoleh santri benar-benar berasal keringat yang halal dan murni, banyak kiai yang membiayai santri dan pesantrennya dengan dana dari kocek pribadi. Santri hanya menyumbang ala kadarnya, atau bahkan tidak sama sekali. Hal inilah yang membuat pesantren begitu mandiri dan steril dari kepentingan luar pesantren.
Namun, seiring dengan perjalanan waktu, di saat pemerintah menanggung semua biaya pendidikan, termasuk diniyah (madrasah keagamaan di pesantren), atau pesantren sendiri yang mengizinkan sistem pendidikan formal di dalamnya, pelan-pelan perubahan terjadi, baik pandangan masyarakat tentang pesantren maupun pandangan pesantren pada pendidikan formal.
Seiring dengan itu pula, ilmu-ilmu pembelajaran modern bermunculan teori quantum hingga revolusi belajar yang menganggap tidak ada siswa yang bodoh karena mereka pasti punya potensi tersembunyi yang dapat digali: demikianlah slogannya. Semua siswa bisa cerdas, terampil, berwawasan, dewasa, dan semua itu dapat dicapai dalam kurun waktu serbasingkat. Model pembelajaran jenis ini memposisikan guru “hanya” sebagai pengarah/pendamping. Ini berbeda dengan di pesantren. Guru tetaplah seorang figur, bukan pendamping, apalagi teman belajar. Guru menjadi sentral pembelajaran karena sejatinya dia hanyalah perantara dalam menularkan ilmu, lebih dari itu seorang guru bertugas untuk menyampaikan nilai dan moral (barokah).
Karena itu, metode quantum mungkin akan dianggap melawan sunnatullah. Sebab percepatan bertentangan dengan pengabdian yang menuntut seseorang harus ikhlas dan tabah dalam menjalani proses pendidikan. Ini sesuai dengan prinsip masyarakat ketika memondokkan anaknya: seseorang yang datang ke pesantren bukanlah untuk mencari ilmu, tetapi memperbaiki diri; bukan mondok, tetapi tirakat; karena tugas pesantren adalah memanusiakan manusia, bukan menciptakan bagaimana seseorang bisa pintar, tetapi terlepas dari kendali moral: pintar mengakali dan pintar menipu. Na’udzubillah!
Faktor Mistis Bernama Barokah
Dalam sistem pendidikan pesantren, banyak hal yang—dalam sementara pandangan orang yang tidak mengalaminya secara langsung—tampak mustahil dan tidak masuk akal, sebut saja satu bagiannya: barokah!
Salah satu butir dalam model pembelajaran baru adalah sistem rolling, alias tukar tempat. Suatu waktu, di sebuah workshop yang saya ikuti di lembaga tempat saya mengajar, pemateri workshop memberikan contoh sistem rolling ini untuk menghindari kebosanan siswa dalam belajar, dan agar pula ada pemerataan informasi: bangku dalam ruang kelas dibuat melingkar atau tempat duduk siswa saling ditukar. Tetapi, betapa kaget pemateri tersebut manakala salah seorang peserta workshop (guru) menolaknya karena hal itu, menurutnya, bertentangan dengan Ta’limul Muta’allim yang antara lain menuntut seorang murid (pencari ilmu) supaya anteng/tidak berpindah-pindah tempat. Sikap anteng ini merupakan salah satu bagian dari istiqamah (kedisiplinan) yang pada akhirnya akan menentukan pula pada efek barokah. Sebab, dengan istiqamah, seorang pencari ilmu akan lebih mudah mendapat barokah.
Dalam pandangan masyarakat, akhlak yang baik merupakan tujuan seorang santri menuju pemuncak penjelajahan spiritualnya. Jadi, puncak itu tidak terletak pada kapasitas atau prestasi intelektualnya. Dengan akhlak yang baik, niat yang tulus, barokah akan lebih mudah diraih. Pada intinya, mengharapkan barokah merupakan keyakinan adanya faktor mistis bagi pencari ilmu: bahwa tugas seorang santri adalah “mencari tahu”, bukan “harus tahu”. Tugas santri adalah niat yang ikhlas; soal ganjaran itu urusan Allah yang akan membalas.
Dalam tradisi pesantren, barokah begitu sakral dan misterius. Ia adalah misteri ilahiah yang—demi kesakralannya—terkadang dibiarkan “tidak dirasionalisasi”. Meskipun, dengan analogi hukum sebab-akibat, nyatanya barokah tetap rasional: bahwa kebaikan selalui dibalas dengan kebaikan. Hanya saja, balasannya mungkin tidak sama, bahkan mungkin lebih besar.
Umumnya, kaum santri memahami barokah sebagai khairun ilahiyyun la ya’lamuhu illallah (kebaikan ilahiah—dengan motif transendental—yang tidak diketahui oleh siapa pun melainkan Allah semata), atau diringkas menjadi ziyadatul khair alias “bonus” kebaikan, sejenis doorprize yang diberikan Allah melalui perbuatan, orang, ataupun tindak-tanduk, yang didapat seseorang karena ia telah melakukan suatu amal kebajikan/kebaikan, apa pun bentuknya. Walaupun, di mata sekuler, barokah bisa saja dianggap keberuntungan (hoki) dan di mata masyarakat awam barangkali hanya sebagai tuah.
Berdasarkan cerita-cerita, tampaknya barokah memiliki satu kata kunci lagi: “ikhlas”. Misalnya, kisah seorang santri yang sepanjang masa kesantriannya hanya mengabdi menjadi pelayan kiai, baik itu sebagai pendamping di kala bepergian, sebagai khadam, atau bahkan gembala ternaknya. Banyak cerita yang berlatar kisah semacam itu. Misalnya, sebut saja Najmuddin, yang sepanjang hidupnya hanya menjadi pelayan dapur Kiai Musyaffak. Ketika pulang ke desanya, Najmuddin didaulat masyarakat kampung menjadi kiai di desa. Santri pun berduyun memohon agar dia meneroka tanah baru dan membuka kampung persantrian yang baru. Bahkan, terkadang, masyarakat menyediakan tanah sekaligus bangunannya untuk dihuni.
Sialnya, bagi beberapa orang, barokah justru dicitrakan buruk dengan dijadikan temeng/dalih dan “tempat pelarian yang aman”. Misalnya, jika ada seorang santri yang “berdarah biru” (memiliki trah/keturunan kiai) yang berhasil dalam intelektualitasnya, masyarakat awam dengan mudah menganggapnya “sudah dari sono”-nya. Misalnya, kisah Kiai Muzammil di Jember yang astronom. Dengan latar belakang pendidikan salaf (seratus persen pendidikan agama), Kiai Muzammil ternyata dapat membuat teropong bintang. Tetapi, kerap dilupakan bahwa bahwa Kiai Muzammil sebetulnya juga memiliki dasar ketertarikan pada astronomi serta selera sains yang kuat. Dengan mempelajarinya secara otodidak, lalu mampu, sejatinya Kiai Muzammil memperoleh semua itu bukan dengan tanpa susah.
Jika disederhanakan, barokah merupakan “buah kebaikan”, sejenis sebab-akibat, atau bentuk altruisme dalam lain hal, plus satu catatan lagi: semua kebaikan yang diproduksinya itu berasal dari “ketulusan dalam pengabdian”. Seseorang yang berbuat kebaikan, akan diganjar dengan kebaikan yang lain. Prinsip ini sebetulnya merupakan slogan populer yang diketahui bersama. Tetapi, nilai pengabdian inilah yang terasa berat. Sebab, secara kasar, ia berarti rodi: bekerja tanpa dibayar meskipun sebetulnya bayarannya akan dikembalikan nanti di kemudian hari.
Di banyak pesantren, terutama pesantren salafi, ada hapalan Alfiyah Ibnu Malik (pelajaran tata bahasa Arab; berupa larik-larik pelajaran bergenre puisi). Materi ini dianggap sulit karena dua hal: karena pemahamannya juga karena harus dihapal, 1000 larik jumlahnya. Bagi banyak santri, pemahaman menjadi prioritas nomor sekian karena yang terpenting adalah barokah kitab/muallif-nya (pengarangnya). Tidak heran jika muncul slogan: iso gak iso sing penting barokah! Mau ngerti atau tidak, terserah! Yang penting barokah.
Keinginan yang besar terhadap barokah kerap kali ditempuh para santri melalui berbagai cara dan laku yang berat sekali. Antara lain tirakat dan riyadah batiniah (ritual batin). Semua itu dilakukan seorang santri demi kematangan pribadi yang pada akhirnya—dengan banyak bukti yang tidak dapat disebut satu per satu di sini—berhasil. Mereka mendapatkan “doorprize dari Tuhan” yang menakjubkan: barokah!
Tirakat dan riyadah yang berat ada kalanya menghasikan figur santri yang bukan saja berkompeten, melainkan multitalent, bahkan polymath. Merekalah yang beruntung mendapatkan “ilmu ladunni”, yaitu peringkat tertinggi dalam proses pencarian ilmu seorang santri (murid). Dengan ladunni ini, ia menjadi seorang ilmuwan. Bagai sebuah keajaiban, ia tahu segala hal, terutama hal-hal yang berikaitan dengan ilmu-ilmu agama.
Seperti diungkapkan dalam bait puisi Alfiyah yang populer di pesantren, wa fi ladunni ladunni qalla wa fi / qadni wa qathni al-hadzfu aydhan qad yafi, “Sebetulnya ilmu ladunni bukan suatu hal yang mustahil, hanya saja ia jarang ditemukan”. Prinsipnya, setiap manusia punya potensi ilmu pengetahuan, atau dapat menyerap ilmu yang dipelajarinya secara maksimal. Bayangkan, jika sekali baca atau sekali dengar semua orang dapat paham. Betapa dapat dengan seorang murid akan menjadi pandai? Nah, dalam konsep ladunni, sejatinya kita bisa dapat sedemikian itu. Namun, karena selubung yang menyelimuti hati, tidak mudah bagi seseorang dengan mudah untuk paham. Maka, berkat doa dan kerja keras serta kebaikan, dapatlah kita barokah, dan ia akan turut menguak selubung itu perlahan-lahan.
Secara metaforis, barokah dapat dimiliki dan ditularkan oleh selain Allah. Tetapi, secara literal barokah tetaplah milik Allah yang diberikan “melalui” orang/perbuatan baik. Karena seorang kiai memiliki “pangkat” yang lebih tinggi di mata Allah, juga karena doa-doanya karena kiai dianggap lebih dekat dengan Dzat Yang Maha Mengetahui, maka setiap santri berharap mendapat barokah melalui bakti dan mengaji kepada kiai.
Akan tetapi sebaliknya, jika ada santri yang tidak mengindahkan atau kerap melanggar perintah seorang kiai, maka hatinya akan semakin terselubungi. Dengan demikian, semakin teballah tirai yang menutupi. Jika barokah diumpamakan sebagai cahaya, ia tak dapat menembus hati seorang pencari ilmu yang hatinya telah terselubungi semacam ini. Bahkan, ia hanya mendapatkan tulah (imbalan keburukan) dari perbuatannya, lebih-lebih kelak ketika ia telah pulang ke masyarakatnya.
Longlife Pengabdian
Pengabdian memang bukan hanya milik pesantren. Namun, prinsip ini menemukan kekhasannya di pesantren. Ia merupakan satu dari sekian hal yang membuat santri lebih mandiri. Biasanya, meskipun tidak semua pesantren menerapkan, sebelum lulus dari jenjang terakhir pendidikan di sebuah pesantren, seorang santri diharuskan mengabdikan diri—berbentuk guru yang diperbantukan/guru tugas—di pesantren tersebut, dan lebih-lebih di pesantren lain.
Model pengabdian ini mirip Kuliah Kerja Nyata (KKN) di perguruan tinggi, hanya saja rentang waktu pengabdiannya lebih lama. Secara teknis, model pengabdian ini merupakan kerja sama antara pengurus pesantren dengan pihak alumni atau lembaga-lembaga lain yang membutuhkan. Mereka bertugas kurang lebih 1 hingga 2 tahun.
Dengan menjadi seorang “guru bantu”, tugas seorang santri yang diabdikan tidak semata-mata mengajar, melainkan juga menjadi ustadz/guru agama di kampung orang. Dengan demikian, tugas dia tidak hanya mengajar, melainkan harus dapat turut dan berbaur langsung dengan kehidupan masyarakat yang kompleks.
Pengabdian telah muncul seiring dengan lahirnya pesantren itu sendiri. Bahkan di awal kemunculannya, lembaga pendidikan ini memang berdiri dan berbasis pada masyarakat dengan dasar pengabdian. Seorang pengasuh bertugas semata-mata pengabdian, tanpa imbalan. Maka tidak heran jika ditemukan kiai yang menanggung santri dengan ambil alih fungsi orang tua: mendidiknya, mengawasinya selama 24 jam, lengkap dengan akomodasi dan komsumsinya secara gratis.
Pada masa-masa Orde Baru, dengan mudah dapat kita temukan guru-guru yang mengajar di pesantren tanpa sepeser pun bayaran. Sebab, sumbangan biaya pendidikan yang didapat dari santri tidak realistis jika masih harus disisihkan untuk menggaji guru. Para guru itu mengajar, sementara madrasah cukup memberinya kudapan atau secangkir teh sebelum jam pelajaran dimulai, serta sekali makan di saat jam istirahat. Di akhir tahun pelajaran, mereka diberi kenang-kenangan, kadang-kadang berupa peci dan sarung, atau secarik kain yang cukup buat kemeja panjang. Cukup. Itu saja.
Namun, perubahan drastis terjadi semenjak 1998. Kemiskinan yang mendera bangsa ini begitu terasa hingga ke masyarakat kelas bawah. Puncaknya terjadi saat pemerintah mencabut subsidi BBM dan mengalihkannya pada biaya operasional pendidikan. Tidak bisa tidak, pesantren yang juga melaksanakan kegiatan pendidikan formal kini harus “menggaji” guru sesuai dengan dana yang telah tersedia.
Namun, perubahan itu bukan berarti pertanda matinya “guru abdi”. Sebab, masih banyak pesantren yang menerapkan sistem salafi menolak subsidi itu. Rupanya, image Orde Baru yang kotor masih melekat pada pemerintah. Sehingga, apa pun yang datang dari pemerintah cenderung dianggap kurang murni/diragukan (syubhat). Padahal, untuk memperoleh ilmu yang barokah dan manfaat harus didukung oleh struktur dan infrastruktur yang serbahalal. Karena itu, jangankan dana yang haram, syubhat pun terlarang.
Jamaah dan Kebersamaan
Pesantren dengan sistem pengajaran dan pembelajaran salafi yang menganut sistem pendidikan kelas atau nonkelas (pengajian/sorogan), semi-modern, atau bahkan pesantren modern sekalipun, pada dasarnya visi dan misi-nya tetaplah sama: mengantarkan santri pada kehidupan yang lebih baik, terutama dalam hal pendidikan agamanya. Sementara konsep terpenting dalam beragama adalah jamaah (kebersamaan).
Nilai jamaah di pesantren sangat ditentukan oleh keragaman komunitas mereka, akulturasi. Mereka berbaur dengan komunitas lain dari latar beragam budaya berbeda. Santri yang di rumahnya biasa membawa mobil pribadi atau jalan kaki, yang makan malam di restoran atau yang setiap harinya haris bekerja sendiri, setiba di pesantren mungkin akan tinggal sebilik serta makan nasi yang sama. Jika melanggar peraturan, mereka sama-sama harus menguras bak mandi atau berdiri membaca Surah Yasin.
Kebersamaan selama 24 jam membuat santri lebih mudah bergaul dan akrab dengan siapa pun. Berbaur dalam kebersamaan akan berdampak besar dalam pembentukan karakter santri, terutama pada pembentukan sikap adaptasi dan toleransinya. Dan puncak teori jamaah ini menemukan pengejawantahannya yang hakiki pada “shalat berjamaah” yang pasti diterapkan di semua pondok pesantren. Melalui penelitian ilmiah, konon, sel-sel dalam tubuh akan menemukan signifikansinya saat melangsungkan shalat berjamaah, yakni shalat bersama-sama yang dalam agama Islam sangat dianjurkan dengan “iming-iming” ganjaran 27 derajat berbanding 1 jika shalat sendirian. Menurut Tariq Ali, kekerapan jumlah pertemuan, seperti pada dalam shalat berjamaah, akan meningkatkan semangat kebersamaan dan rasa persaudaraan.
Dalam kebersaman ini, didukung dengan keharusan shalat berjamaah, proses pembentukan watak kolektif berlangsung dengan baik. Sekarang bandingkan dengan anak yang hanya tujuh jam (atau kurang) menghabiskan waktu di sekolah, lalu sisanya terlepas dari pengawasan karena orang tuanya sibuk sendiri, sedangkan sang anak juga sibuk dengan jadwal nongkrongnya. Teknik quantum apakah yang dapat membentuk karakter anak jika ia selalu berada di luar pengawasan? Mampukah ia mengurus dirinya sendiri pada usia di mana ia lebih mendambakan kebebasan sebebas-bebasnya? Jika ada jawaban “ada” bagi pertanyaan di atas, pasti itu hanya sebuah perkecualian.
Kiai Sebagai Nabi
Panji Taufik, tetangga saya, bercerita. Baru-baru ini, untuk sebuah kepentingan profil Kiai Abdullah Sajjad Guluk-Guluk (wafat melawan tentara Belanda) yang kesohor kepribadiannya, ia hendak melakukan wawancara. Ia mencari informan. Dari penelusuran itu ia menemukan satu nama: Kiai Mannan yang tinggal di Dasuk, Sumenep, sebagai salah satu saksi hidupnya.
Berharap banyak mendapat informasi penting tentang Kiai Sajjad dari Kiai Mannan, setiba di Dasuk, ternyata Kiai Mannan tidak di tempat. Kata keluarganya, Kiai Mannan pergi ke suatu desa untuk membangun sebuah mushalla bagi seorang pemuka agama di sana yang kebetulan digurukan masyarakat. Semua biaya, termasuk bahan material dan ongkos kerja, semuanya ditanggung Kiai Mannan yang disisihkan dari kocek pribadi. Perlu diketahui, usia Kiai Mannan sudah di atas 70 tahun, dan ia juga bukan orang yang berkecukupan. Ia orang miskin, petani biasa.
Dari peristiwa itu, Panji Taufik berkesimpulan, alangkah hebat peran Kiai Sajjad dalam memberi sugesti dan memotivasi santrinya dahulu. Ia cukup melihat sosok Kiai Mannan sebagai bayangannya, dan sikap Kiai Sajjad tentu lebih dari itu.
Kisah di atas cukup memberikan informasi kepada kita bahwa figur kiai bagi masyarakat benar-benar harus menjadi nabi, atau bayang-bayangnya. Bukan saja dalam konsep, melainkan dalam kenyataan sehari-hari. Ia merupakan personifikasi idealisme kaum romantik saat bekerja, tetapi secara konkret mengerjakan apa yang dikatakannya dan mengamalkan apa yang diteladankannya.
Kiai merupakan figur sentral di pesantren. Jika kiai dianggap bayang-bayang Allah di bumi, maka santri seharusnya menjadi bayang-bayang kiainya. Apa yang dilakukan oleh kiai sepatutnya juga dilakukan oleh santrinya. Karena itu, kiai selalu diidolakan dan dielu-elukan. Tetapi, kiai bukanlah selebritas. Sebab, jarak yang merenggangkannya dengan santri bukanlah kawalan body guard, melainkan ketakziman yang dimunculkan sendiri oleh santri karena ilmu sang kiai, keluhuran akhlaknya, atau karena pertimbangan “pangkat”-nya di sisi Tuhan.
Singkat kata, kiai menjadi moral force bagi santri. Kiai menjadi idola santri. Ia menjadi figur masyarakat. Semua itu harus dipertahankannya. Sebab, dengan jalan inilah sugesti dan motivasi bisa disuntikkan dengan mudah. Seperti halnya seorang dokter dengan kapasitasnya yang memberikan sugesti sebagai penyembuhan yang utama, demikian pula dengan seorang kiai. Apa saja yang diucapkannya sama halnya dengan kondisi hipnosa di mana seseorang pasti mendengarkannya.
Sikap disiplin atau istiqamah merupakan identitas terpenting kiai. Misalnya, bagaimana seorang kiai bangun tengah malam, membangunkan santri-santrinya untuk sahr layali (bangun malam untuk shalat), dilanjutkan shalat shubuh, mengaji kitab atau Al-Qur’an. Aktivitas terus berlangsung hingga shalat Duha tiba, memungkasi ritualnya saat matahari menyingsing setinggi penggalah.
Figur sentral dan ketokohan seorang kiai pada akhirnya tidak saja bersinar di lingkungan santri, melainkan juga mencakup masyarakat sekitarnya. Dengan begitu, tugas kiai sejatinya amat berat karena ia juga dituntut bisa beradaptasi dengan nilai-nilai lokal sehingga tidak terjadi tabrakan nilai dan budaya. Kiai tidak sekadar butuh intelegensi, melainkan juga emotional quotient dan rohani yang matang.
Untuk contoh ini, saya menyimpan satu cerita lagi.
Di Madura, pernah terjadi sebuah kasus: dua keluarga memperseterukan suatu hal. Karena tidak ditemukan pemecahan, diputuskanlah untuk duel satu lawan satu (sebagai perwakilan antarkeluarga).
Perlu diketahui, di beberapa tempat (meskipun hal ini hanya terjadi pada zaman dulu), duel pertaruhan harga diri yang disebut juga carok ini biasanya disaksikan oleh aparat keamanan. Mereka hanya mengamankan jalannya pertarungan. Ironis memang. Sebab, kerap kali mereka akan turut menjadi korban jika melerai karena hal itu akan dianggap sebagai tindakan “terlalu jauh ikut campur urusan keluarga orang lain”.
Menjelang hari H, satu dari dua kelompok yang bertikai, acabis (sowan) kepada seorang kiai. Sang Kiai pun menyuruh berdamai. Namun, orang tersebut datang ke kiai rupanya hanya membawa “pemberitahuan”, bukan untuk mencari jalan pemecahan. Dan karena merasa tak mampu lagi, akhirnya kiai memberi nasihat begini:
“Kamu percaya saran saya?”
“Ya, Kiai.”
“Jika begitu, baca ini.” Kiai itu kemudian memberikan sebuah amalan yang harus dibaca sebelum duel berlangsung.
“Terus, apa langkah saya, Kiai?” tanya orang itu lagi.
“Sudah. Itu sudah cukup bagimu. Tetapi, ada satu lagi yang perlu kamu jaga. Kamu tidak boleh menyerang lawan lebih dulu. Sebab, yang menyerang duluan berarti marah, dan yang marah akan kalah!” tandas kiai itu mantap.
Di lain waktu, dalam waktu yang hampir bersamaan, pihak lawan juga mendatangi kiai yang sama. Maka, sang kiai pun juga berpesan kepadanya dengan pesan yang sama: tidak boleh menyerang lawan lebih dulu. Sebab, yang menyerang duluan berarti marah, dan orang yang dikuasai amarah pasti akan kalah!
Alhamdulillah. Seperti sebuah film yang menggunakan teknik “akhir luar duga”, pada hari H ternyata tidak terjadi apa-apa. Sebab, kedua seteru sama-sama percaya pada pesan sang kiai, bahwa yang menyerang lebih dulu berarti marah, dan yang marah akan kalah. Hanya figur dan tokoh dengan kematangan batinlah yang dapat melakukan instruksi semacam ini. Dan prasyarat sejenis itu, di mata masyarakat, hanya ada pada seorang kiai.
Catatan Akhir
Tampaknya, sistem pendidikan di pesantren memang menyimpan banyak faktor yang membedakannya dengan sitem pendidikan non-pesantren. Di antara faktor-faktor tersebut adalah adanya atmosfer mistis-religius yang dibingkai dalam sebuah dalil la ya’lamuhu illallah (hanya Allah yang tahu), seperti barokah dan tulah.
Di samping itu, kiai sebagai figur sentral pemimpinnya, konsep jamaah, serta model karantina, menjadi bagian penting lain yang mencitrakan pesantren berbeda. Setelah kita tahu semua itu, maka tidak mengherankan jika dikatakan bahwa melalui sistem itu pesantren telah berhasil menciptakan santri yang berkarakter, mandiri, dan toleran.
Lebih dari itu, berbeda dengan lembaga pendidikan pada umumnya, pesantren tampak seperti “rumah tangga raksasa”. Di sana, santri diawasi penuh dari pagi hingga kembali pagi. Proses transfer of knowledge telah diperankan sekolah, namun transfer of value—yang justru paling dominan dalam pembentukan karakter anak—diperankan oleh pesantren sehingga kedua unsur ini sama-sama dapat berlangsung baik.
Menurut Kiai Idris Jauhari, salah seorang pengasuh pesantren di Madura, pembentukan karakter seorang santri nyaris dibentuk oleh lingkungan kamar, dengan kawan dan pergaulan sesama santri, bukan di ruang-ruang kelas. Sepertinya, beberapa komponen pendukung seperti ini hanya dimiliki oleh pesantren dan tidak lembaga yang lainnya.
Di pesantren, seorang santri dididik bermasyarakat. Mereka dituntut mampu bergaul dengan kejamakan kawan-kawannya. Semua itu berlangsung di tempat dan lingkungan (religius) yang terkontrol (jika nongkrong dan diskusi biasanya di serambi masjid, bukan di diskotek), informasi dan komunikasi pun dapat dikendalikan: dipilih, tidak memilih sendiri. Kalaupun mereka nakal, setiap saat mereka akan melihat teladan, baik itu kiai, guru, atau rekannya. Hal itu akan membentuk cara bergaul dan etiketnya.
Di masa penjajahan dulu, pesantren menjadi markas Lasykar Sabilillah untuk melawan penjajahan. Sebelum dan pascakemerdekaan, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang berjasa besar dalam melawan kebodohan. Semua itu dilakukan secara mandiri, dengan biaya sendiri. Kini, saatnya bertanya: jika semua amal di atas adalah sebuah utang, kapan dibayar? Jika moral harus dibayar moral, maka jika pembayaran itu dalam bentuk dana subsidi pendidikan sepertinya belum sepadan.
Saya kira, para pengambil kebijakan di bidang politik pendidikan perlu melirik sistem taklim (pengajaran) dan tadris (pendidikan) ala pesantren. Sebagai khazanah lokal Nusantara yang usianya cukup tua, selayaknya unsur pendidikan pesantren patut menjadi bagian pertimbangan dalam pengambilan kebijakan sistem pendidikan kita. Sekadar contoh, di saat kita sibuk dengan pengembangan unsur afektif dan psikomotorik (karena selama ini terlalu cenderung pada unsur kognitif), sejak dulu pesantren telah menerapkan ketiga-tiganya sekaligus.
Ya, tentu tidak semua yang telah saya tulis di atas itu dapat memuaskan semua pihak. Terutama mereka yang ikut memunculkan tudingan bahwa pesantren ikut menciptakan akar-akar radikalisme dan kekerasan dalam beragama. Saya kira, akar-akar seperti ini selalu muncul dari reduksi pemahaman. Dan reduksi semacam ini selalu muncul dari ketidakmampuan menganalisa sumber asli, sumber otentik agama Islam: Al-Qur’an dan hadits. Padahal, kaum santri mempelajari Islam bukan dari buku terjemahan, melainkan langsung ke sumber aslinya. Lalu, pesantren macam apa yang mereka buat? Adakah itu pesantren “proyek”, pseudo-pesantren yang dibikin untuk merusak citra pesantren? Itulah pertanyaan hati kecil saya yang tidak menarik jika saya jawab sendiri dalam tulisan ini.
Sekali lagi, tentu tidak semua orang akan menganggukkan kepala atas apa yang saya tulis ini, dan sedang mereka baca. Bahkan, beberapa butir yang saya tulis, seperti barokah, bisa jadi tampak tidak masuk akal karena tidak empiris. Sementara penelitian ilmiah hanya mampu melihat dan menerima hal-hal yang empiris. Lalu, bagaimana merasionalisasikan hal-hal yang tidak empiris dengan hujjah yang empiris dan bukti kasatmata? Signifikansi tidak terjadi di dalam wacana, tetapi saat dipertentangkan dengan hal yang nyata.
Karena itu, jika tertarik, datanglah ke pesantren. Saya yang berlatar pendidikan pesantren dan non-pesantren, saat ini seperti seorang pelayan toko. Kepada Anda saya berkata: “Lihat-lihat dulu ndak apa-apa, kok. Jika cocok, ya, baru dibeli!” (dimuat di BASIS, Agustus-September 2007)
bapak.,.,., blog dr bahan buku pha.,., tlog d jwab ea d krim pesan fb q(ainur magharapmu slalu), m5f jka bpak punya fb
BalasHapussilakan berkirim pesan lewat email, itu di profil saya ada kok: sabajarin (at) gmail (dot) com
BalasHapus