10 Februari 2024

Catatan Kuratorial untuk Lomba Cipta Naskah Puisi Tunggal (Diva Press)



oleh M Faizi

Beruntung sekali ada lomba ini, baik bagi saya sebagai juri atau bagi siapa pun sebagai peserta. Awalnya, ketika mendapat tawaran menjadi juri, saya menolak karena merasa tidak memiliki kapasitas yang memadai dalam ilmu sastra maupun puitika. Panitia meyakinkan bahwa dalam hal teknis penjurian, mereka bisa menunjuk orang lain. Mereka memilih saya justru karena ada unsur nonteknis sekaligus dan ekstrinsik puisi, yaitu karena alasan terkait tema nabawi.  

Sayembara ini membawa memori saya ke beberapa ratus tahun yang lalu, berfantasi pada masa Jakfar Al-Barzanji saat menulis puisi-puisi madah nabawi, saat membawanya ke sayembara lalu  memenangkannya. Meskipun suasana dan kualitasnya jelas berbeda dengan masa sekarang, tapi tetap ada kesamaan, yaitu girah dalam memuji Sang Tercinta saw.

Dalam sayembara kali ini, yang menang mendapatkan kesempatan menulis dan penghargaan dan yang tersisih, meskipun tidak mendapatkan penghargaan, mereka berhasil mendapatkan kesempatan untuk menulis dan telah memiliki manuskrip buku sendiri, manuskrip yang istimewa, yaitu madah nabawi. Secara spiritual, yang menang dan kalah sama saja, sama-sama mengalami pengalaman berharga karena telah menulis pujian untuk sosok yang sangat istimewa.

Saya sebagai juri satu-satunya sebetulnya telah mengajukan teman pendamping kepada panitia, tapi ditolak. Akhirnya, saya melakukannya sendirian, membaca 140-an manuskrip sampai tuntas hingga titik akhir halaman, satu per satu. Itulah mengapa saya butuh waktu hingga sekitar dua bulan setengah untuk menyelesaikannya karena meskipun menghadapi naskah yang amburadul, saya tetap membacanya sampai tuntas. Akan tetapi, bukan itu pekerjaan terberat, melainkan karena saya harus bergulat melawan perasaan jika yang harus dipertimbangkan dari naskah-naskah itu bukanlah sekadar unsur-unsur intrinsik naskah puisi (mencakup diksi, metafora, dlsb.), melainkan ekstrinsiknya juga, eksternalnya.

Adakah spirit nabawi pengarang muncul dan menyertai karyanya? Sejauh mana ketulusan pengarang melatarbelakangi penciptaannya? Tulus apa tidak si pengarang ini mengarang? Hal-hal seperti ini yang terkadang muncul dan ikut-ikutan ‘mengganggu’ perasaan saya di saat membaca, persoalan yang sebetulnya bukanlah urusan struktur puisi, yang tidak ada hubungannya dengan penilaian. Tetapi, saya tetap harus adil pada perasaan dan instink supaya tidak hanya selalu berpandangan materialistik. Melibatkan unsur dzauqiyah (selera) dalam menilai akan berisiko terhadap pertimbangan pendukung puisi, seperti diksi, rima, dan cara padang. Inilah sebabnya mengapa terkadang saya mengingkari perspektif objektivisme atau struktural dalam menilai, sebab terkait puisi, lebih-lebih madah nabawi, unsur subjektif dan ketertarikan dzauqiyah—dalam pandangan saya--harus ikut campur tangan.

Tentu saja, selama saya berkecimpung dalam penyeliaan dan pengamatan baris demi baris, bait demi bait, hingga buku secara keseluruhan, saya bertahan untuk menilai hanya hal-hal teknis kebahasaan dan puitika saja. Sementara faktor ekstrinsik—sebagaimana disebut di paragraf di atas—tentu saja hanyalah referensi impulsif, di luar ranah scoring, semata-mata pandangan berdasarkan selera saja. Yang pasti, saya merasa percaya diri—dan harus percaya diri—karena panitia telah memasrahkan penilaian secara penuh kepada saya. Termasuk salah satu usaha tersebut adalah dengan sebisa mungkin menghindari membaca biografi pengarang lebih dulu (menjadikan naskah seolah-olah anonim) supaya lebih adil dalam menimbang.

Pusparagam manuskrip yang disetorkan panitia kepada saya ditemukan secara lengkap bentuknya, mulai dari yang “sungguh sangat sederhana sekali” hingga yang bagus (yang benar-benar bagus, yang sempurna dari segi swa-sunting pengarangnya tanda ia dibuat tidak tergesa-gesa, pilhan metafor yang sangat unik/baru, nyaris tidak ada). Ada yang bagus, tapi diselipi satu-dua puisi yang dibuat asal-asalan. Ada yang asal buat saja, seolah yang penting ikut serta.

Soal urusan teknis, dalam pandangan saya, seorang penyair/penulis itu bahkan tidak boleh melakukan kesalahan, seperti kesalahan penulisan (pengetikan), lebih-lebih jika naskah tersebut akan disetor untuk sayembara. Mengapa? Karena karya, apalagi puisi, merupakan “anak ideologis”. Tentu tabu bagi seorang ‘sang ayah’ untuk memamerkan cacat anaknya kepada publik. Ayah hanya boleh bersikap bijak jika cacat si anak ideologis ini dikomentari publik. Mestinya, para peserta menyetor naskahnya dalam keadaan awasalah, tanpa tipo.

Banyak sekali, nyaris semuanya, saya temukan naskah yang dipenuhi dengan kesalahan fundamental, seperti kata penghubung di awal kalimat, keawaman penyair dalam membedakan imbuhan dan kata depan, dlsb. Penyair itu mestinya pasca-linguis, karena penyair—mengutip Kahlil Gibran—adalah ayah sekaligus ibu bahasa. Celakanya, yang tidak mempedulikan dan salah meletakkan tanda baca pun aduhai banyaknya. Bukan pengetahuan ketatabahasaan adalah bagian penting dari pondasi kepenyairan? Bagaimana mungkin seorang tukang bisa menyusun bata dengan kokoh jika pengetahuan membuat pondasinya saja tidak ada? Seorang arsitek yang dapat membuat bangunan posmodernis atau arsitektur unik (seperti Dynamic Tower di Dubai) tentu saja telah ‘selesai’ dalam hal pengetahuan arsitekturnya tentang dasar-dasar pondasi (komposit, tulang beton, rangka baja, dll). Masa iya dia mau membuat bangunan aneh-aneh sementara soal “cakar ayam” saja dia tidak tahu? Kira-kira, hubungan tata bahasa dengan puisi tak jauh pula beda-bedanya dengan perbandingan seperti ini.

Mengapa kasus seperti ini banyak terjadi? Apakah karena mereka berpemikiran bahwa penyair itu boleh berbuat apa saja? Atau mereka berpandangan bahwa yang penting menyampaikan (seperti orang mudah memahahi ragam percakapan orang lain) sehingga bahkan tanda baca pun dianggap tidak penting? Atau karena mereka salah memahami licencia poetica?
 
Ada beberapa penyair yang terlalu larut dengan unsur kesejarahan, kehidupan para Sahabat, sampai ia lupa untuk menulis madahnya, menulis refleksi dan ekspresi tentang Nabi itu sendiri. Sayembara kali ini bagaikan bazar puisi. Yang gelap dan yang polos sama-sama ada. Yang ngawur dan buruk hingga yang bagus tapi menjiplak sama-sama dipertaruhkan.

Di samping itu, dalam sekilas pandangan saya, penyair-penyair yang terlibat dalam sayembara kali ini kemiliki kesamaan selera berbahasa, terutama terkait diksi. Saya menemukan banyak sekali kata tugur, lindap, buhul, ingatan, garba, gelambir, getah, membersamai, rengkuh, ruap, tetiba, hingga kata aneh seperti “sesiapa”. Semua itu muncul di banyak karya dan oleh banyak penyair. Yang asyik-masyuk dengan kata-kata arkais dan Melayu Klasik pun tak kalah banyaknya, sampai-sampai saya bertanya: adakah setiap angkatan atau generasi punya selera diksi tersendiri?

Di antara peserta yang iseng adalah mereka yang menyetor naskah bukan puisi, melainkan artikel sejarah. Sepintas ia tampak seperti puisi secara visual karena disusun ke bawah. Rupanya, itu hanya langkah manipulatif, karena sebenarnya ia adalah cuplikan dari buku (atau makalah) tentang sejarah Nabi. Si penyair hanya bermodal keterampilan meng-‘enter’ sehingga naskahnya—secara tipografi—seolah-olah puisi. Akan tetapi, saya berusaha berbaik sangka: barangkali, orang seperti ini benar-benar ingin ikut berbahagia dan mendapatkan perhatian dari Nabi dengan mengikuti sayembara ini puisi yang memuji beliau saw., dengan cara apa pun. Ada pula yang, secara umum, puisinya bagus, hanya saja memaksakan diri dengan cara memasukkan puisi-puisi lain yang sangat berbeda dan tampak terburu-buru dibuat. Dugaan saya, hal ini terjadi karena puisi-puisinya yang siap belum cukup memenuhi syarat ketebalan sebagaimana diminta oleh panitia penyelenggara sayembara. Maka, darinya, lahirlah “terpaksa puisi” di antara “puisi yang sudah jadi”.

Satu-satunya yang menyedihkan adalah adanya plagiarisme. Bentuknya macam-macam. Ada yang mengambil puisi orang lain dan mendakunya, ada yang memasang terjemahan kitab Maulid populer (seperti Barzanji dan Simtud Duror) dan tanpa menyebutkan sumbernya (dan hal ini sama saja dengan mengakui miliknya sendiri—karena yang disebut ‘iqtibas’ atau “quotes style” [seperti mengutip ayat atau hadis atau quotes populer) itu hanya satu kalimat atau satu ungkapan saja sehingga ia tidak dikategorikan sebagai pelanggaran atau plagiarisme). Andai saja saya tidak punya pengalaman menerjemahkan sumber rujukan tersebut, kemungkinan besar naskah semacam itu akan lolos dari pemindaian kelancungan.

Terpilihnya karya A Muttaqin (Mengerjakan Cinta) adalah atas pertimbangan; ia menggunakan metafora-metafora yang baru, banyak memuji tapi tidak menghapus jejak kesejarahan Nabi saw., bahkan menggambarkan fragmen sejarah tersebut dalam ungkapan yang berbeda dengan referensi yang pernah saya baca, seperti keunikan cara si penyair dalam menggambarkan runtuhnya Kisra dan Persia. Ia juga menggambar syamail muhammadiyah sesuai asosiasi referensial, seperti frasa “yang bagaikan alif hidungnya” hingga ke bentuk kreasi dia sendiri, seperti “yang mripat dan telinganya menjangkau langit ketujuh”. Muttaqin sangat gemar menggunakan partikel “yang” untuk menjabarkan subjek dengan panjang lebar, atau dalam membuat perumpamaan. Buku “Mengerjakan Cinta” merupakan satu-satunya buku puisi yang menggunakan pola refrein (frasa/kalimat yang diulang-ulang). Hal ini menjadi penahbis bahwa buku ini memang buku puisi utuh yang siap dan dipersiapkan, ditulis dalam satu momen puitik sehingga relatif stabil dan bercita rasa yang sama satu dengan lainnya (bukan beberapa puisi yang ditulis terpisah dan kemudian dikumpulkan dalam sebuah buku).

Sementara puisi-puisi karya IR Zamzami (Seperti Nama yang Dikisahkan) lebih mengedepankan citraan manis dalam membuat gambaran suasana, namun dia tidak mendayu-dayu, bahkan terkadang berani mengambil risiko pada sinestesia dengan membuat citraan yang tidak populer. Puisinya bertutur tentang banyak peristiwa, namun tidak detil. Penyair sepertinya menggangap serangkian kisah seputar Nabi itu sebagai common sense yang telah jamak diketahui pembaca. Ia juga menyelipkan metafora di antara narasi mukjizat, sehingga ketika ia membuat pengandaian tentang—misalnya—“pelepah kurma yang menangis”, tampaklah ia sebagai majas, padahal itu adalah ungkapan literal dalam ranah mukjizat.

Secara umum, gaya puisi IR Zamzami itu rata, konsisten, nyaris bergaya sama dalam semua puisinya.

Adapun manuskrip “Bolehkah Menggunakan Cara Lain untuk Mencintai Muhammad?” karya Muhammad Ali Zulfikar tampak sebagai buku yang paling memiliki syarat lengkap sebagai buku madah (pujian). Dengan banyak gaya mendayu, penyair sengaja memilih kata-kata ‘bercitarasa puisi’ seperti gelung, rindang cahaya, untuk kepentingan ornamentalnya. Penyair bahkan sering meletakkan Nabi sebagai teman bicara, sehingga ia seperti sedang curhat, berhadap-hadapan, antara “aku dan engkau”.

Ketiga puisi yang lain, yang sebelumnya tidak direncanakan untuk dipilih, baru muncul ide untuk juga diterbitkan setelah usul saya disetujui penyelenggara, yaitu Bapak Edi Mulyono & Diva Press. Ketiganya adalah karya Eko Sabto (Burdah), Alexander Robert Nainggolan (Fragmen-Fragmen bagi Sayyidina Muhammad), dan Arif Rahman Hakim (Bulan Kopi dan Empat Imaji Nafas Nabi). Sebetulnya, saya mengajukan 5 manuskrip lagi untuk dipilih. Tapi, panitia hanya menerima usul saya yang sebelumnya, yakni hanya mengambil 3 nomine saja.

Demikianlah pengalaman saya menjadi juri tunggal untuk sayembara cipta buku puisi tunggal yang diselenggarakan oleh Diva Press dalam rangka merayakan Maulid Nabi Muhammad saw. Sekali lagi, pengalaman ini sekaligus menandai pengalaman pertama bagi saya: menjadi juri tunggal untuk lomba cipta naskah puisi tunggal. Sejauh ini, pengalaman saya hanyalah menjadi juri lomba baca puisi di madrasah-madrasah di desa saya (berhenti menjuri sejak tahun 2007) serta menjadi bagian dari tim kurator buku antologi puisi bersama.

Yang tersisa dari pengalaman menjadi juri kali ini, di antara kesan mendalamnya, adalah; setiap kali membaca manuskrip demi manuskrip, rasanya saya sedang membaca ulang pelajaran kitab “Khulasoh Nurul Yaqin” (kitab sejarah Nabi) dalam bentuk puisi karena nyaris semua manuskrip yang masuk pasti menyitir kehidupan Nabi, mulai fase Mekkah hingga Madinah. Momen penjurian ini juga membuat efek baik bagi kreativitas pribadi. Ia membuat saya mencari-cari kembali puisi saya yang lama dan bertema nabawi. Di atas itu semua, momen ini telah membuat saya terlibat dalam suatu kegiatan yang di dalamnya ada pusaran magnetis alam semesta, yaitu Nabi Muhammad saw. Hanya karena alasan terakhir inilah saya mau menjadi juri dalam sayembara kali ini, tidak ada yang lainnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar