RAHASIA AMPAS KOPI
pada akhirnya kukembalikan kepalaku selalu ke pangkuanmu
manakala bantal-bantal empuk tinggal menyediakan mimpi buruk
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu
ladang tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk
belaian demi belaian menyelamatkanku dari kefanaan yang
mencengkeram
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit
kelam
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam
untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah
bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku
telah kuendapkan ia ke pekat ampas kopi yang membeku
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada
halaman-halaman buku
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.
bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018
***
Adakalanya, sebuah puisi akan berbeda dibaca (dipahami)
ketika si penyair masih ada dan ketika dia sudah wafat. Terkadang, puisi
tertentu tampak sebagai pujian untuk seseorang (biasa) tapi ternyata ia adalah
sanjungan untuk orang yang istimewa ketika dibaca ulang. Puisi berjudul “Padamu
Jua”—yang sangat terkenal itu—karya Amir Hamzah adalah contoh yang
diperdebatkan soal kepada siapa sejatinya puisi ini ditujukan. Demikian pula
dengan beberapa lirik (puisi) yang dibawakan oleh Ummu Kulsum, seperti pada
lagu “Saalu Qalbi” dan “Al-Qalb Ya’syaq Kulla Jamil”.
Puisi ini ditulis oleh Muhammad Zamiel el-Muttaqien pada
pertengahan tahun 2018 tetapi baru saya baca (dan saya tafsiri) di pertengahan
Februari 2019. Tentu saja, tafsir saya akan berbeda andai saja saya tulis saat
beliau masih hidup. Namun, inilah tafsir manasuka yang saya tulis setelah beliau pergi untuk
selama-lamanya pada hari Selasa, 12 Februari, 2019, di usia menjelang 40 tahun.
Ketika dibaca selintas, yang dimaksud "rahasia" pada
judul "rahasia ampas kopi" tersebut adalah “khasiat”, semacam khasiat
ampas kopi untuk lulur atau antioksidan. Namun, begitu puisi tuntas dibaca,
persepsi pembaca akan berubah. Ini bukan tentang rahasia itu, tapi tentang
lainnya. Tentu saja, pandangan ini sangat subjektif, hanya melalui kedangkalan
pemahaman saya terhadap puisi, terhadap almarhum, dan perihal cerita kopi
sebagai minuman para akhwat tarekat—terutama—Syadziliyah.
“Rahasia Ampas Kopi” #tafsirpuisimanasuka
pada akhirnya (setelah berusaha, ujicoba) kukembalikan
kepalaku selalu ke pangkuanmu (kembali ke haribaanmu, ke kamu, bukan ke yang
lain. Bagian ini menjelaskan rehat, istirah, sebab ada kata bantal—pada baris
kedua—yang menjadi penunjuk hubungan maknanya. Tapi, siapakah "-mu" di
situ? Jika kita mengacu pada judul, maka yang dimaksud "dirimu" di situ
adalah ampas. Akan tetapi, kita dapat melihat bagaimana penyair melakukan
pengalihan amanat di sini—kita dapat menerka ini sebagai suatu pengalihan
apabila kita membaca puisi secara tuntas sampai di ujung bait terakhir, yakni pengalihan
dari “ampas kopi” ke “orang”, tepatnya ke orang yang menurutnya layak menerima kepala
untuk menyandarkan kegundahan, persoalan, dan masalah-masalah lainnya)
manakala bantal-bantal empuk (lambang rehat yang mestinya nyaman)
tinggal menyediakan mimpi buruk (ironi, karena tempat yang paling nyaman pun
ternyata menyisakan kegundahan, bahkan ketakutan. Menurut sang penyair, itu)
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu (masa yang
akan datang yang tidak jelas dan seolah-olah ia akan menjadi serupa) ladang
tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk (yang selalu ditemukan, di
mana-mana, serta selalu ada karena orang semakin rakus untuk mencarinya)
belaian demi belaian (tidak dijelaskan, “belaian siapa” atau
“siapakah yang membelai” di sini, tetapi kita dapat menebak subjek melalui predikat
yang disebut sesudahnya, yakni belaian [orang] yang dapat) menyelamatkanku dari
kefanaan yang mencengkeram
(maka, yang dapat menyelamatkan dari kefanaan tentu saja adalah yang memiliki unsur baka, keabadian. Jika ini bukan personifikasi, maka belaian dapat dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik kepada nilai-nilai keabadian, yang bersifat ukhrawi, nilai-nilai amal sesudah mati. Sesungguhnya, kata “belaian” berpotensi negatif, seperti belaian yang menipu, yang sejenak menghibur. Tapi, di sini kita dapat memaknainya sebagai sesuatu yang positif karena ada frasa “agar paham” di akhir larik pada bait kedua: itulah belaian yang memberikan pemahaman. Menurut penyair, belaian tersebut telah menyelamatkan dia dari kefanaan yang memiliki daya dalam hal mencengkeram, kefanaan yang membuat dirinya)
(maka, yang dapat menyelamatkan dari kefanaan tentu saja adalah yang memiliki unsur baka, keabadian. Jika ini bukan personifikasi, maka belaian dapat dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik kepada nilai-nilai keabadian, yang bersifat ukhrawi, nilai-nilai amal sesudah mati. Sesungguhnya, kata “belaian” berpotensi negatif, seperti belaian yang menipu, yang sejenak menghibur. Tapi, di sini kita dapat memaknainya sebagai sesuatu yang positif karena ada frasa “agar paham” di akhir larik pada bait kedua: itulah belaian yang memberikan pemahaman. Menurut penyair, belaian tersebut telah menyelamatkan dia dari kefanaan yang memiliki daya dalam hal mencengkeram, kefanaan yang membuat dirinya)
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit
kelam (Apa artinya? Belaian yang dapat menguasai dirinya tanpa daya,
lebih-lebih di dalam situasi gelap tanpa cahaya. Salah satu dampak dari itu
adalah ungkapan berikut ini:)
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam (dasar malam
artinya segelap-gelapnya gelap, malam diumpamakan dasar laut atau sumur yang tentu
saja sangat gelap. Selanjutnya, penyair menyatakan beberapa pernyataan satire:
sebuah gaya bahasa ungkapan dengan cara menyindir, mengejek secara halus, berbeda
dengan ironi yang lebih bersifat langsung dan terang-terangan)
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam (Apakah
terpejam? tidur atau mati? Sesungguhnya, tidur pun adalah ‘mati’ di dalam hidup
karena yang bergerak tinggallah jantung, sedangkan mati sejati pun masihlah
hidup karena ada ruh yang mendengar doa dan ia pun akan kembali kelak, pada
masanya)
untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah (mendekat
adalah tindakan yang membutuhkan pengetahuan terhadap gerakan dan arah, tapi di
sini justru kebalikannya)
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah (yang
dapat membuat orang bisa menyapa adalah karena lidahnya, tapi penyair menyatakan
diri harus menggunting lidahnya)
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah (sesungguhnya,
nyaris tidak ada tindakan tanpa gairah, bukankah dengan memadamkannya berarti dia
tidak akan bisa melakukan apa-apa?)
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah
(dan ini adalah puncak satirenya: merindukan sesuatu tetapi dengan pengorbanan
yang karenanya justru dia malah tidak akan mampu melakukan tindakan “merindukan”
itu sendiri. Satire bukan satire jika harus dipahami secara literal [tersurat],
melainkan harus dipahami bahwa ia adalah sindiran)
bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku (pada
bait terakhir, penyair kembali membuat statemen, pernyataan akan keyakinan
penyair terhadap rahasia itu, rahasia yang akan tetap menjadi rahasia bagi
siapa pun. Biasanya, orang yang sedang dirundung rindu kerap kali tidak tahan
untuk tidak menyampaikan atau menampakkan isi hatinya kepada orang lain, baik
dalam bentuk ekspresi muka, ucapan, atau tulisan. Tapi, di sini, penyair
menyatakan mampu melakukannya karena)
telah kuendapkan ia (rahasia dimaksud; seperti yang di
sampaikan di muka) ke (dalam) pekat ampas kopi yang membeku (inilah alasan
mengapa pada tafsir di atas, yang dimaksud “mu” itu bukanlah ampas kopi,
melainkan sesuatu yang dia endapkan ke dalam ampas kopi. Apa yang diendapkan?
Barangkali ia berupa amalan atau perbuatan yang mengharuskan ia berjaga dan
nanar, ditemani kopi).
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada
halaman-halaman buku (sebagaimana kesedihan seseorang dapat terbaca pada tulisan,
seperti pada memoar)
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.
(Adapun yang disebut “tidak mampu menerjemahkan” bukan
berarti tidak bisa menerjemahkan, melainkan semacam keyakinan penyair bahwa dia
benar-benar merasakan kebahagiaan, kegirangan, yang tidak dapat diungkapan, yang
tidak dapat dirasakan oleh orang lain—termasuk tafsir ini—tentang betapa
bahagianya si penyair jika ia telah sampai pada kondisi itu, keadaan yang
diidam-idamkan. Kondisi apakah itu? Sangat mungkin ia adalah pertemuan, sebuah
pertemuan yang terjadi hanya jika ia berpejam, kedekatan yang tidak lagi
membutuhkan arah; sapaan yang tidak lagi membutuhkan ucapan, ciuman yang tak
butuh lagi gairah, rindu yang terbayar setelah melalui perjuangan
berdarah-darah. Itulah pertemuan dengan Junjungan yang Dirindukan, yang setiap
malam ia harus berjaga, ditemani [ampas] kopi, demi pertemuan itu sendiri: suatu
pertemuan yang harus dicapai melalui perjalanan panjang yang penuh kepahitan
dan kegetiran dan—sekali lagi—setelah mata terpejam)
Wallahu a’lam
bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar