18 Februari 2019

Rahasia Ampas Kopi (Muhammad Zamiel el-Muttaqien)


RAHASIA AMPAS KOPI

pada akhirnya kukembalikan kepalaku selalu ke pangkuanmu
manakala bantal-bantal empuk tinggal menyediakan mimpi buruk
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu
ladang tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk

belaian demi belaian menyelamatkanku dari kefanaan yang mencengkeram
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit kelam
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam

untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah

bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku
telah kuendapkan ia ke pekat ampas kopi yang membeku
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada halaman-halaman buku
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.

bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018

***

Adakalanya, sebuah puisi akan berbeda dibaca (dipahami) ketika si penyair masih ada dan ketika dia sudah wafat. Terkadang, puisi tertentu tampak sebagai pujian untuk seseorang (biasa) tapi ternyata ia adalah sanjungan untuk orang yang istimewa ketika dibaca ulang. Puisi berjudul “Padamu Jua”—yang sangat terkenal itu—karya Amir Hamzah adalah contoh yang diperdebatkan soal kepada siapa sejatinya puisi ini ditujukan. Demikian pula dengan beberapa lirik (puisi) yang dibawakan oleh Ummu Kulsum, seperti pada lagu “Saalu Qalbi” dan “Al-Qalb Ya’syaq Kulla Jamil”.

Puisi ini ditulis oleh Muhammad Zamiel el-Muttaqien pada pertengahan tahun 2018 tetapi baru saya baca (dan saya tafsiri) di pertengahan Februari 2019. Tentu saja, tafsir saya akan berbeda andai saja saya tulis saat beliau masih hidup. Namun, inilah tafsir manasuka  yang saya tulis setelah beliau pergi untuk selama-lamanya pada hari Selasa, 12 Februari, 2019, di usia menjelang 40 tahun.

Ketika dibaca selintas, yang dimaksud "rahasia" pada judul "rahasia ampas kopi" tersebut adalah “khasiat”, semacam khasiat ampas kopi untuk lulur atau antioksidan. Namun, begitu puisi tuntas dibaca, persepsi pembaca akan berubah. Ini bukan tentang rahasia itu, tapi tentang lainnya. Tentu saja, pandangan ini sangat subjektif, hanya melalui kedangkalan pemahaman saya terhadap puisi, terhadap almarhum, dan perihal cerita kopi sebagai minuman para akhwat tarekat—terutama—Syadziliyah.

“Rahasia Ampas Kopi” #tafsirpuisimanasuka

pada akhirnya (setelah berusaha, ujicoba) kukembalikan kepalaku selalu ke pangkuanmu (kembali ke haribaanmu, ke kamu, bukan ke yang lain. Bagian ini menjelaskan rehat, istirah, sebab ada kata bantal—pada baris kedua—yang menjadi penunjuk hubungan maknanya. Tapi, siapakah "-mu" di situ? Jika kita mengacu pada judul, maka yang dimaksud "dirimu" di situ adalah ampas. Akan tetapi, kita dapat melihat bagaimana penyair melakukan pengalihan amanat di sini—kita dapat menerka ini sebagai suatu pengalihan apabila kita membaca puisi secara tuntas sampai di ujung bait terakhir, yakni pengalihan dari “ampas kopi” ke “orang”, tepatnya ke orang yang menurutnya layak menerima kepala untuk menyandarkan kegundahan, persoalan, dan masalah-masalah lainnya)
manakala bantal-bantal empuk (lambang rehat yang mestinya nyaman) tinggal menyediakan mimpi buruk (ironi, karena tempat yang paling nyaman pun ternyata menyisakan kegundahan, bahkan ketakutan. Menurut sang penyair, itu)
semua hanya bayang-bayang masa depan yang semu (masa yang akan datang yang tidak jelas dan seolah-olah ia akan menjadi serupa) ladang tambang kenangan yang tak habis-habis dikeruk (yang selalu ditemukan, di mana-mana, serta selalu ada karena orang semakin rakus untuk mencarinya)

belaian demi belaian (tidak dijelaskan, “belaian siapa” atau “siapakah yang membelai” di sini, tetapi kita dapat menebak subjek melalui predikat yang disebut sesudahnya, yakni belaian [orang] yang dapat) menyelamatkanku dari kefanaan yang mencengkeram
(maka, yang dapat menyelamatkan dari kefanaan tentu saja adalah yang memiliki unsur baka, keabadian. Jika ini bukan personifikasi, maka belaian dapat dimaknai sebagai sesuatu yang memiliki daya tarik kepada nilai-nilai keabadian, yang bersifat ukhrawi, nilai-nilai amal sesudah mati. Sesungguhnya, kata “belaian” berpotensi negatif, seperti belaian yang menipu, yang sejenak menghibur. Tapi, di sini kita dapat memaknainya sebagai sesuatu yang positif karena ada frasa “agar paham” di akhir larik pada bait kedua: itulah belaian yang memberikan pemahaman. Menurut penyair, belaian tersebut telah menyelamatkan dia dari kefanaan yang memiliki daya dalam hal mencengkeram, kefanaan yang membuat dirinya)
bagai biduk kecil tanpa lampu dihantam badai di bawah langit kelam (Apa artinya? Belaian yang dapat menguasai dirinya tanpa daya, lebih-lebih di dalam situasi gelap tanpa cahaya. Salah satu dampak dari itu adalah ungkapan berikut ini:)
kau biarkan aku hilang tenggelam ke dasar malam (dasar malam artinya segelap-gelapnya gelap, malam diumpamakan dasar laut atau sumur yang tentu saja sangat gelap. Selanjutnya, penyair menyatakan beberapa pernyataan satire: sebuah gaya bahasa ungkapan dengan cara menyindir, mengejek secara halus, berbeda dengan ironi yang lebih bersifat langsung dan terang-terangan)
agar paham: untuk menatapmu aku harus terpejam (Apakah terpejam? tidur atau mati? Sesungguhnya, tidur pun adalah ‘mati’ di dalam hidup karena yang bergerak tinggallah jantung, sedangkan mati sejati pun masihlah hidup karena ada ruh yang mendengar doa dan ia pun akan kembali kelak, pada masanya)

untuk mendekatimu aku harus melupakan segala arah (mendekat adalah tindakan yang membutuhkan pengetahuan terhadap gerakan dan arah, tapi di sini justru kebalikannya)
untuk menyapamu aku harus menggunting lembut lidah (yang dapat membuat orang bisa menyapa adalah karena lidahnya, tapi penyair menyatakan diri harus menggunting lidahnya)
untuk menciummu aku harus memadamkan kobar gairah (sesungguhnya, nyaris tidak ada tindakan tanpa gairah, bukankah dengan memadamkannya berarti dia tidak akan bisa melakukan apa-apa?)
untuk merindukanmu aku harus terus memelukmu dalam darah (dan ini adalah puncak satirenya: merindukan sesuatu tetapi dengan pengorbanan yang karenanya justru dia malah tidak akan mampu melakukan tindakan “merindukan” itu sendiri. Satire bukan satire jika harus dipahami secara literal [tersurat], melainkan harus dipahami bahwa ia adalah sindiran)

bahkan deru rindu takkan mampu membocorkan rahasia cintaku (pada bait terakhir, penyair kembali membuat statemen, pernyataan akan keyakinan penyair terhadap rahasia itu, rahasia yang akan tetap menjadi rahasia bagi siapa pun. Biasanya, orang yang sedang dirundung rindu kerap kali tidak tahan untuk tidak menyampaikan atau menampakkan isi hatinya kepada orang lain, baik dalam bentuk ekspresi muka, ucapan, atau tulisan. Tapi, di sini, penyair menyatakan mampu melakukannya karena)
telah kuendapkan ia (rahasia dimaksud; seperti yang di sampaikan di muka) ke (dalam) pekat ampas kopi yang membeku (inilah alasan mengapa pada tafsir di atas, yang dimaksud “mu” itu bukanlah ampas kopi, melainkan sesuatu yang dia endapkan ke dalam ampas kopi. Apa yang diendapkan? Barangkali ia berupa amalan atau perbuatan yang mengharuskan ia berjaga dan nanar, ditemani kopi).
segala yang pahit dan yang perih mungkin abadi pada halaman-halaman buku (sebagaimana kesedihan seseorang dapat terbaca pada tulisan, seperti pada memoar)
tapi tak seorang pun akan mampu menerjemahkan girang lukaku.
(Adapun yang disebut “tidak mampu menerjemahkan” bukan berarti tidak bisa menerjemahkan, melainkan semacam keyakinan penyair bahwa dia benar-benar merasakan kebahagiaan, kegirangan, yang tidak dapat diungkapan, yang tidak dapat dirasakan oleh orang lain—termasuk tafsir ini—tentang betapa bahagianya si penyair jika ia telah sampai pada kondisi itu, keadaan yang diidam-idamkan. Kondisi apakah itu? Sangat mungkin ia adalah pertemuan, sebuah pertemuan yang terjadi hanya jika ia berpejam, kedekatan yang tidak lagi membutuhkan arah; sapaan yang tidak lagi membutuhkan ucapan, ciuman yang tak butuh lagi gairah, rindu yang terbayar setelah melalui perjuangan berdarah-darah. Itulah pertemuan dengan Junjungan yang Dirindukan, yang setiap malam ia harus berjaga, ditemani [ampas] kopi, demi pertemuan itu sendiri: suatu pertemuan yang harus dicapai melalui perjalanan panjang yang penuh kepahitan dan kegetiran dan—sekali lagi—setelah mata terpejam)

Wallahu a’lam

bengkel puisi annuqayah, Juni-Juli 2018

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar