17 Januari 2019

Puisi Adalah Negeri (Abdul Hadi WM)



Puisi adalah negeri
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
Para pelancong pun tak tahu
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat
seperti lawatan manusia ke dunia fana
Namun sabarlah engkau Cintaku, keindahan
akan terus memancar dari wajahmu
Dan orang akan berdatangan melihatmu
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia


sumber: FP Muktamar Sastra
Abdul Hadi WM (Wiji Muthari) adalah guru besar di beberapa perguruan tinggi. Ia dikenal dengan puisi-puisi sufistiknya dan meneliti banyak karya Melayu Nusantara. Beliau adalah penyair kelahiran Pasongsongan, Sumenep, 24 Juni 1946. Puisi ini saya temukan di Facebook. Saya melakukan pendekatan suka-suka atau #tafsirpuisimanasuka untuk membuat puisi ini lebih dekat dengan para pembaca.

#tafsirpuisimanasuka

Puisi Adalah Negeri

Puisi adalah (seperti) negeri (Pada saat penyair menyatakan “adalah”, karena ini pernyataan metaforis, maka pada saat yang sama ia bisa bermakna “adalah tidak” atau “adalah bukan”. Dengan demikian, pernyataan “puisi adalah negeri” dapat dipahami sebagai pernyataan yang menyatakan bahwa puisi itu tumpukan gagasan dalam bait-bait, bukan sebuah negeri, tapi bisa jadi ia seperti sebuah negeri kalau kita serupakan dan kita bandingkan kemiripan dalam hal unsur-unsurnya. Penyair mengatakan bahwa puisi itu ibarat suatu negeri).  
yang sering ditinggalkan penduduknya
Untuk bersenang-senang di kota lain
(Tiga baris di atas saya bagi sebagai satu bait karena memiliki satu gagasan utama, pernyataan pertama. Di sini, pada bagian ini, penyair membandingkan puisi dengan sebuah negeri, yaitu negeri yang sebetulnya indah dan kaya tetapi ditinggalkan oleh [banyak] warganya untuk mencari kesenangan di tempat lain. Memang, ada apa di tempat lain? Ada keindahan yang lebih menarik tentunya, keindahan yang tampak lebih menarik dibandingkan dengan keindahan negerinya. Adalah hal yang wajar jika manusia cenderung menyukai sesuatu yang baru, tidak melulu yang itu-itu. Orang desa merasa senang ketika tiba di kota besar, sedangkan orang kota besar malah ingin suasana tenteram seperti di desa. Begitulah, manusia ditakdirkan menyukai yang wadag, seperti yang ada di kota lain karena yang wadag cenderung lebih memuaskan hawa nafsu ketimbang yang sakral dan abadi yang biasanya lebih cepat membuat jemu. Dan puisi—ia yang disakralkan dan diagung-agungkan—seringkali membuat jemu pembacanya).

Para pelancong (yaitu warga yang meninggalkan negeri itu) pun tak tahu (karena bingung saat melihat sekaligus menikmati)
apa yang harus dilihat dalam lawatannya yang singkat (yang membuat mereka bingung itu sebetulnya karena masa kunjungan yang terbatas, yang singkat, bukan karena tujuan yang tidak menarik hati. Hal itu diumpamakan penyair)
seperti lawatan manusia ke dunia fana (Negeri manusia itu, aslinya, adalah akhirat. Ke dunia yang wadag dan fana ini mereka hanya melancong saja, sebentar saja, tapi kerap bikin manusia lupa rumah asal-muasal karena daya tarik yang wadag itu memang sungguh menawan, luar biasa. Sudah dikasih tahu kalau dunia ini fana, tetap saja mereka tidak peduli. Terbukti, mereka habis-habisan mengurus dan menikmati “wisata dunia” itu sampai-sampai lupa pada rumah asalnya, padahal mereka telah tahu bahwa alam akhiratlah yang baka dan utama [sebagaimana dijelaskan di dalam Surah Ad-Duha, ayat ke-4]).

Namun sabarlah engkau(,) Cintaku (pada bagian ini terjadi pengalihan amanat, yakni “iltifat” atau apostrof: Penyair yang semula menyatakan sebagai puisi dengan status sebagai “orang ketiga”, tiba-tiba mengubah posisinya ke kata ganti “orang kedua”, yakni “engkau” yang juga diwakili oleh ungkapan “Cintaku” untuk memberikan tekanan pada persoalan) keindahan
akan terus memancar dari wajahmu (yang dimaksud “mu” di sini tentulah puisi, tepatnya keindahan yang terkandung di dalam puisi, yang samar, yang tidak segera diketahui karena manusia lebih tergoda pada keindahan lain yang langsung dapat dinikmati karena kecantikan kosmetiknya. Dan karena keindahan yang tersamar itu asli, bukan keindahan artifisial yang dicari oleh orang-orang itu, maka ia akan bersifat abadi).
Dan orang akan berdatangan melihatmu (untuk menemukan keindahan batin mereka sendiri yang terpancar di dalam puisi)
Sebab engkau adalah kebenaran
yang tersembunyi dalam hati manusia (Penyair yakin, bahwa puisi itu mengandung nilai luhur kebenaran yang harus digali lebih dulu, harus bersusah-payah dulu, untuk mendapatkannya. Hal demikian sudah digambarkan di atas, seperti manusia yang harus bersusah payah di dunia untuk mendapatkan gemilangannya Kebenaran dan Surga. Termaktub dalam diktum kuno suatu ungkapan, bahwa keindahan senantiasa duduk bersanding dengan kebenaran: pulchrum continetur in bono. Bonum enim quod placet. Pulchrum authem estquod visum placet. Kurang lebihnya demikian. Wallahu a’lam)


M. Faizi

2 komentar:

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar