Puisi adalah
negeri
yang sering
ditinggalkan penduduknya
Untuk
bersenang-senang di kota lain
Para pelancong
pun tak tahu
apa yang harus
dilihat dalam lawatannya yang singkat
seperti lawatan
manusia ke dunia fana
Namun sabarlah
engkau Cintaku, keindahan
akan terus
memancar dari wajahmu
Dan orang akan
berdatangan melihatmu
Sebab engkau
adalah kebenaran
yang
tersembunyi dalam hati manusia
sumber: FP Muktamar Sastra |
Abdul Hadi WM
(Wiji Muthari) adalah guru besar di beberapa perguruan tinggi. Ia dikenal
dengan puisi-puisi sufistiknya dan meneliti banyak karya Melayu Nusantara.
Beliau adalah penyair kelahiran Pasongsongan, Sumenep, 24 Juni 1946. Puisi ini
saya temukan di Facebook. Saya melakukan pendekatan suka-suka atau #tafsirpuisimanasuka
untuk membuat puisi ini lebih dekat dengan para pembaca.
#tafsirpuisimanasuka
Puisi Adalah
Negeri
Puisi adalah
(seperti) negeri (Pada saat penyair menyatakan “adalah”, karena ini
pernyataan metaforis, maka pada saat yang sama ia bisa bermakna “adalah tidak”
atau “adalah bukan”. Dengan demikian, pernyataan “puisi adalah negeri” dapat
dipahami sebagai pernyataan yang menyatakan bahwa puisi itu tumpukan gagasan
dalam bait-bait, bukan sebuah negeri, tapi bisa jadi ia seperti sebuah negeri kalau
kita serupakan dan kita bandingkan kemiripan dalam hal unsur-unsurnya. Penyair
mengatakan bahwa puisi itu ibarat suatu negeri).
yang sering
ditinggalkan penduduknya
Untuk
bersenang-senang di kota lain
(Tiga baris di
atas saya bagi sebagai satu bait karena memiliki satu gagasan utama, pernyataan
pertama. Di sini, pada bagian ini, penyair membandingkan puisi dengan sebuah
negeri, yaitu negeri yang sebetulnya indah dan kaya tetapi ditinggalkan oleh [banyak]
warganya untuk mencari kesenangan di tempat lain. Memang, ada apa di tempat
lain? Ada keindahan yang lebih menarik tentunya, keindahan yang tampak lebih
menarik dibandingkan dengan keindahan negerinya. Adalah hal yang wajar jika
manusia cenderung menyukai sesuatu yang baru, tidak melulu yang itu-itu. Orang desa
merasa senang ketika tiba di kota besar, sedangkan orang kota besar malah ingin
suasana tenteram seperti di desa. Begitulah, manusia ditakdirkan menyukai yang
wadag, seperti yang ada di kota lain karena yang wadag cenderung lebih
memuaskan hawa nafsu ketimbang yang sakral dan abadi yang biasanya lebih cepat
membuat jemu. Dan puisi—ia yang disakralkan dan diagung-agungkan—seringkali membuat
jemu pembacanya).
Para pelancong
(yaitu warga yang meninggalkan negeri itu) pun tak tahu (karena bingung saat
melihat sekaligus menikmati)
apa yang harus dilihat
dalam lawatannya yang singkat (yang membuat
mereka bingung itu sebetulnya karena masa kunjungan yang terbatas, yang
singkat, bukan karena tujuan yang tidak menarik hati. Hal itu diumpamakan
penyair)
seperti lawatan
manusia ke dunia fana (Negeri manusia itu, aslinya, adalah akhirat. Ke dunia yang wadag
dan fana ini mereka hanya melancong saja, sebentar saja, tapi kerap bikin
manusia lupa rumah asal-muasal karena daya tarik yang wadag itu memang sungguh
menawan, luar biasa. Sudah dikasih tahu kalau dunia ini fana, tetap saja mereka
tidak peduli. Terbukti, mereka habis-habisan mengurus dan menikmati “wisata
dunia” itu sampai-sampai lupa pada rumah asalnya, padahal mereka telah tahu bahwa
alam akhiratlah yang baka dan utama [sebagaimana dijelaskan di dalam Surah
Ad-Duha, ayat ke-4]).
Namun sabarlah
engkau(,) Cintaku (pada bagian ini terjadi pengalihan amanat, yakni
“iltifat” atau apostrof: Penyair yang semula menyatakan sebagai puisi dengan
status sebagai “orang ketiga”, tiba-tiba mengubah posisinya ke kata ganti “orang
kedua”, yakni “engkau” yang juga diwakili oleh ungkapan “Cintaku” untuk memberikan
tekanan pada persoalan) keindahan
akan terus
memancar dari wajahmu (yang dimaksud “mu” di sini tentulah puisi, tepatnya keindahan yang
terkandung di dalam puisi, yang samar, yang tidak segera diketahui karena
manusia lebih tergoda pada keindahan lain yang langsung dapat dinikmati karena
kecantikan kosmetiknya. Dan karena keindahan yang tersamar itu asli, bukan
keindahan artifisial yang dicari oleh orang-orang itu, maka ia akan bersifat abadi).
Dan orang akan
berdatangan melihatmu (untuk menemukan keindahan batin mereka sendiri yang terpancar di
dalam puisi)
Sebab engkau
adalah kebenaran
yang
tersembunyi dalam hati manusia (Penyair
yakin, bahwa puisi itu mengandung nilai luhur kebenaran yang harus digali lebih
dulu, harus bersusah-payah dulu, untuk mendapatkannya. Hal demikian sudah
digambarkan di atas, seperti manusia yang harus bersusah payah di dunia untuk
mendapatkan gemilangannya Kebenaran dan Surga. Termaktub dalam diktum kuno
suatu ungkapan, bahwa keindahan senantiasa duduk bersanding dengan kebenaran: pulchrum
continetur in bono. Bonum enim quod placet. Pulchrum authem estquod visum
placet. Kurang lebihnya demikian. Wallahu a’lam)
M. Faizi
Hadir selali, Ra.. :)
BalasHapusbaik
Hapus