13 Januari 2019
Meramal Kematian (Tafsir Puisi "Ode" Karya Gunawan Tri Atmodjo)
Meramal kematian? Yang bener! Kematian, atau ajal, dan sebagaimana rezeki, adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah. Terkadang, melalui astrologi dan nujum, seseorang bermain teka-teki soal hari jatuhnya kematian. Memang, kematian tidak dapat ditebak, bahkan diramalkan. Tapi, sering kali kita dengar orang memberikan isyarat-isyarat menjelang kematiannya, beberapa saat sebelumnya. Dan isyarat itu pun tanpa disadarinya.
ODE
aku kekosongan yang mencintaimu dengan ketiadaan
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya
cintailah aku sebagai kehampaan
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan
barangkali sesunyi doa
yang meski diam namun menolak sia-sia
Solo, 2013
* * *
Ode adalah genre puisi yang jika tidak berisi sanjungan (terhadap seseorang), biasanya ia mengandung ratapan. Nah, ode atau puisi ini seakan ditulis dan dipersiapkan untuk sebuah kepergian, entah itu mendiang putra penyair atau malah almarhumah istrinya. Barangkali, penyair memang tidak pernah meramal, tapi bisa jadi ada ‘kebetulan’ yang digariskan Tuhan dalam lembar suratan.
Dulu, ada seorang penyair yang puisi-puisinya seperti ramalan kematiannya. Puisi-puisi itu diterbitkan oleh Hasta Mitra, tahun 1983: “Shanti, Penyair yang Meramalkan Kematiannya”. Kini, kita temukan 'sensasi' itu dalam puisi Gunawan Tri Atmodjo ini, meskipun dalam sudut pandang berbeda.
#tafsirpuisimanasuka
“Ode”
aku (adalah) kekosongan (kehampaan) yang mencintaimu dengan ketiadaan ("dengan ketiadaan" bisa bermakna "kenestapaan", tetapi penyair seperti sedang membuat perbandingan sinonimitas dengan menyejajarkan “kekosongan” dengan “ketiadaan”. Adapun makna asal kosong berhubungan dengan volume/isi, sedangkan ketiadaan mengacu pada kehadiran atau ketakhadiran)
aku tak butuh tanda apa pun untuk menyatakannya (ini adalah pernyataan negasi yang tujuannya adalah menunjukkan kesejatian. Artinya, ia befungsi untuk meneguhkan pernyataan si penyair sebagaimana tersurat pada larik di atas)
tapi aku ada
dan kian berada ketika kau percaya (dalam bentuk kalimat langsung, pernyataan tersebut bisa berupa; “engkau tidak yakin pun”, kata penyair, “aku akan tetap ‘mengada’, tetap yakin dan teguh pendirian, lebih-lebih jika engkau mempercayai pernyataanku”).
cintailah aku sebagai kehampaan (meminta agar si penyair dicintai apa adanya, yaitu dengan segala kehampaannya).
yang di dalamnya kau tak akan pernah kehilangan (seperti orang tidak akan pernah merasa kehilangan jika ia tidak pernah [merasa] memiliki)
barangkali (hal itu) sesunyi doa (seperti doa yang dipanjatkan dengan khidmat, dalam kesunyian)
yang meski diam namun menolak sia-sia (artinya, selirih apa pun doa itu dipanjatkan, orang yang berdoa tidak akan pernah berharap doanya tidak terkabulkan)
Solo, 2013
(Mari diperhatikan! Ketika puisi ini ditulis [2013], penyair Gunawan menulisnya dengan aku lirik: dia sebagai penulis sekaligus sebagai orang yang menyatakan, anggaplah ode ini untuk orang lain, untuk mendiang putranya atau entah siapa. Tetapi, sekarang (2018), ketika istrinya (Epi Paryani) telah berpulang beberapa waktu yang lalu, nyatalah kalau puisi ini tampak seolah ditulis oleh almarhumah untuk suaminya, Gunawan Tri Atmodjo.
Betapa aneh dan ajaibnya kematian! Ia memang sebaik peringatan. Sementara kehidupan ini fana. Kehidupan itu ada, kita jalani, tapi sebetulan merupakan ketiadaan. Ia ada sekaligus tiada. Kata Gus Muhammad al- Fayyadl "Sejauh yang “tidak ada” merupakan sesuatu yang “tidak aktual” dan karenanya “tidak terjadi”,”yang tidak ada” tidak dapat dipahami sebagai “yang tidak ada sama sekali”. “Yang tidak ada” mesti dimengerti sebagai “yang secara relatif belum ada” tetapi “akan ada” [Filsafat Negasi, hal.23]. Maka itulah, kita harus menyadari bahwa kematian adalah suatu cara Tuhan untuk menjelaskan kepada manusia bahwa ada sesuatu yang lebih indah daripada kehidupan. wallahu a’lam.
Turut berduka, Kawan.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
tksh
BalasHapus