Oleh M. Faizi
Mencermati laporan perihal membeludaknya
jumlah naskah yang dikirimkan kepada panitia penerbitan buku antologi puisi
“Madura Pulau Puisi”, sikap pertama saya adalah optimis. Panitia menjelaskan
bahwa ada 137 nama penyair yang menyerahkan naskah puisinya. Angka ini
mengejutkan dengan pertimbangan pendeknya masa pengumuman yang disebarkan.
Maka, jika setiap nama mengirimkan 10 judul, lebih seribu puisi sudah
terhimpun. Panitia (terdiri dari Raedu Basha dan 8 penyair lain yang mula-mula
menggagas kerjasama ini dengan LSS Reboeng) lantas menyerahkan hanya 60 nama
saja kepada kami (saya dan Syaf Anton WR sebagai kurator). Mereka menyimpan
sisanya di laci. Barangkali, naskah-naskah itu akan diperam lebih dulu dan baru
diterbitkan jika kelak sudah matang dan atau dibiarkan bernasib malang : ditimbang kiloan.
Sudah pasti, “memilih lagi” nama-nama penyair
yang “sudah dipilih” adalah pekerjaan yang berat. Rasanya, saya ingin mundur
dan menolak menjadi kurator mengingat pengalaman cemen di bidang ini.
Alasan hiburan yang membuat saya bertahan adalah karena proyek ini bukanlah
perlombaan, melainkan “hanya” pemilihan dan pemilahan untuk diterbitkan dalam
satu buku antologi puisi. Saya tidak tahu, apakah penyair-penyair di luar yang
60 itu lebih dulu tesingkir karena tumbang oleh takdir atau luput karena apes. Akan terlalu
berkepanjangan jika saya menyibukkan diri dalam perdebatan seputar batas takdir
dan nasib apes di sini. Singkat kata; karena hanya itu yang saya terima, maka
tugas saya adalah menggarap yang itu saja.
Perlu diketahui, dalam memilih puisi-puisi
yang terkumpul dan pada akhirnya terbit sebagai buku ini digunakan beberapa
lapis gawang. Saya (dan tentu saja bersama Syaf Anton WR) yang berada di bawah
mistar kedua hanya bertugas memilih 41 dari 60 yang tersedia. Ibarat kiper,
tugas saya, sama seperti tugas Tim Sembilan, yaitu hanya membiarkan gol-gol
yang ditendang secara indah dan keren saja yang melampaui jangkauan tangan
saya. Tendangan yang melenceng di atas mistar, saya bahkan tidak perlu lagi
menguras energi untuk menangkapnya sebab dengan sendirinya ia akan mencelat ke
luar lapangan.
* * *
Proyek penerbitan antologi puisi penyair muda
Madura ini merupakan kerjasama Tim Sembilan dengan LSS Reboeng, sebuah
lembaga/komunitas yang memiliki perhatian pada sastra dan seni. Tentang alasan
mengapa LSS Reboeng memilih para penyair muda Madura dan menyiapkan dana untuk
penerbitan buku serta pelaksanaan acaranya, biarlah hal itu dijelaskan oleh
panitia dan tentu saja juga oleh Ibu Nana Ernawati (dari Reboeng) selaku yang
berwenang.
Mengapa Madura dan mengapa puisi?
Di Madura, sastrawan yang lahir dan muncul
pada umumnya adalah penyair, bukan cerpenis atau novelis. Penulis prosa hanya
dapat dihitung dengan jari, berbanding secara jomplang jika disejejarkan dengan
penulis puisi. Hanya selangkah setelah menyebut nama Fudoli Zaini yang sudah
lama berpulang, kita lantas akan mendadak kesulitan untuk mengajukan nama-nama
prosais lain yang sudah mapan. Siapa lagi? Sementara, saya jawab dulu “tidak ada”, paling-paling hanya
Mahwi Airtawar yang baru menerbitkan kumpulan cerpen dan Badrul Munir Chair
yang baru menerbitkan novel. Memang, ada lagi senarai nama yang lain, seperti
Saidi Dahlan yang bahkan sudah menerbitkan lusinan buku prosa, termasuk fiksi
dan nonfiksi. Akan tetapi, karena kebanyakan karya Saidi diterbitkan sebagai
“buku proyek” dan “buku lomba”, sulit untuk menemukan buku-bukunya nangkring di
display toko buku. Jika ditemukan nama-nama lagi, kemungkinan besar
mereka adalah para penyair yang nyambi menulis prosa.
Selain nama di atas, ada nama Muchlis Amrin
yang juga iseng menulis cerpen di antara kegigihannya berpuisi. Kiranya, hanya
tersisa nama Edi AH Iyubenu yang (dulu pernah) secara menggila menulis cerpen.
Karyanya muncul di hampir seluruh media cetak, terutama koran, di tanah air.
Pada masanya, soal produktivitas, Edi bahkan nyaris tidak menemukan
tandingannya.
Di pesantren Annuqayah Luk-Guluk dan Al-Amien
Prenduan, dua pesantren yang banyak melahirkan penulis dan sempat saya amati
perkembangan kepenulisan sastranya, nyaris tak seorang santri pun yang menulis
atau berniat menjadi novelis. Semuanya hanya ingin dan melulu menulis puisi.
Penulis cerpen hanya muncul satu dua saja, itupun dari kalangan santriwati,
seperti Ida Royani (Ida ar-Rayyan) dan Hanna Ithriyyah serta Ana FM, dan belakangan ada nama Vita
Agustin. Sisanya? Ya, menulis puisi. Ini menjadi gambaran bahwa ranah puisi
rupanya jauh lebih menarik bagi para remaja Madura sebagai pilihan dalam
menemukan eksistensi kepenulisannya. Maka, sudah barang tentu dan wajarlah saja
jika gagasan penerbitan buku antologi puisi bersama penyair muda Madura ini
terbit lebih dulu daripada kumpulan cerpennya.
Perkecualian untuk bagian ini, tidak ada
pembicaraan seputar karya-karya prosa lain yang luput dari amatan, seperti
penerbitan buku prosa dan puisi yang kini mengharu-biru seiring dikenalnya
penerbit indie dengan cetakan model dummy dan/atau dicetak bergantung
pesanan. Era ini menandai proyek penerbitan buku yang nyaris tidak jauh berbeda dengan fotokopi dalam
hal kemudahannya. Di sisi lain, bagian gelap dari “kemajuan” ini adalah
rendahnya telisik editorial pada pengatakan dan penyeliaan yang—mohon
maaf—bahkan untuk penyuntingan tata bahasanya saja masih belepotan. Perlu
dicatat, buku-buku seperti ini sungguh banyak, dicetak dengan jumlah yang juga
banyak. Ia tersebar secara rahasia dan wajar jika luput dari pengamatan umum
karena memang tidak dijual secara bebas, tidak masuk toko buku, dan atau pula
dijual di komunitas terbatas saja.
* * *
Terhimpunnya lebih 1000 puisi dari lebih 100
penyair dalam kurun waktu kurang dari 3 bulan bolehlah disebut fenomenal,
lebih-lebih jika mengingat woro-woronya hanya disebar terutama di media sosial.
Akan tetapi, di sisi lain, kenyataan ini juga menyisakan kegundahan karena
mengesankan kerja bergulut dan oleh karenanya muncul sangkaan perihal rendahnya
keterwakilan. Intinya, para penyair yang terlibat, baik yang lolos maupun yang
tidak, kurang menyeluruh dalam hal
cakupan sehingga pada akhirnya buku “Ketam Ladam Rumah Ingatan” ini hanya mewakili
sebagian penyair muda Madura yang bisa mengakses internet saja. Begitu
dugaannya, soalnya masih terbuka kemungkinan adanya penyair yang bertapa di
kamar tanpa tersentuh jejaring sosial dan internet namun berkarya terus-menerus
dan mungkin saja punya karya yang bagus yang sayangnya tidak tahu-menahu pada peristiwa ini.
Andai saja rentang masa publikasi pengumpulan naskah lebih lama, tentu akan
lebih banyak lagi yang terlibat dalam penyaringannya (pernyataan ini nanti akan
dijelaskan oleh panitia Tim Sembilan, bahwa persebaran informasi sebetulnya
sudah maksimal dengan cara dan trik tertentu; internet hanya sebagian bentuknya
saja).
Meskipun begitu, dengan hanya mencukupkan
diri kepada naskah yang masuk, seperti disampaikan pada paragraf pembuka,
pemilihan dan pemilahan karya para penyair muda ini sudah begitu merepotkan,
khususnya bagi saya (alasannya saya jelaskan pada paragraf setelah paragraf
ini). Dalam membaca naskah-naskah puisi yang masuk, saya melakukan beberapa
kali tahapan pembacaan. Pasti, semua puisi saya baca. Tidak ada spekulasi untuk
menyingkirkan karya penyair tertentu hanya dengan membaca satu-dua judul atau
pada halaman pertamanya saja. Seluruhnya saya baca. Semula, saya menyisihkan 25
nama untuk kategori “lolos I” dan 16 nama lain untuk kategori “lolos II”.
Sisanya, ada 19 nama lagi, diparkir di kardus khusus, tidak masuk ke dalam map.
Sejumlah 41 nama akhirnya dihimpun setelah saya memasukkan beberapa dari “lolos
II” dan beberapa lain dari kurator tandem (Syaf Anton WR). Tidak berhenti di
sini, setelah semua proses selesai, kami kembali membaca ulang naskah-naskah
yang telah tersingkir untuk mencari kemungkinan adanya salah gelogok yang kami
lakukan di saat memilih.
Sebelum pemilihan dilakukan, dengan bantuan
orang lain, semua nama penyair dicoret menggunakan spidol agar pemilihan
berlangsung lebih jujur, untuk menghindari pemilahan yang didorong oleh
sebentuk rasa iba—sekecil apa pun itu—karena nama yang sudah dikenal. Memang,
ada beberapa naskah yang langsung saya kenali karena beberapa alasanya. Di
antaranya karena menggunakan simbol khusus “tanda nomor” (#) yang oleh
penyairnya disebut “pagar”; karena puisi sudah pernah terbit dan saya pernah membacanya,
dan; karena adanya diksi dan frasa
sepesifik yang saya kenal. Akan tetapi, saya baru menelisik ulang nama-nama itu
setelah ada keputusan lolos/tidak.
Usai menimbang sekitar 500 lebih judul puisi
yang masuk, tidak bijak rasanya jika saya bergelap mata lalu berkata bahwa
hanya ada seperempatnya saja yang layak. Yang saya hadapi bukanlah soal angka
statistik. Yang ada di hadapan saya adalah karya dan momen puitik, yaitu sebuah proses panjang yang
mestinya ditempuh secara khidmat, bukan kerja buru-buru seperti laporan
jurnalistik. Di saat saya mengatakan “ini layak”, resikonya adalah pertanyaan
“mengapa yang itu tidak layak?”. Selanjutnya, saya (juga Syaf Anton sebagai
teman kurator, termasuk Tim Sembilan yang lebih dulu memilih sebelum kami)
harus dapat menjawab pertanyaan klasik, “Lantas, puisi yang baik itu seperti
apa?”. Kurator yang notabene juga menulis puisi, dalam situasi seperti ini,
akan menghadapi tugas yang lebih berat lagi. Ia harus menjelaskan ini-itunya
secara ilmiah.
Pamuncak dari kesulitan itu adalah ketika
saya menemukan—anggapalah—hanya 1 puisi saja yang layak di antara 9 puisi yang
lain yang tidak. Sementara panitia menghendaki 4-5 puisi per penyair (ini
menyangkut alasan teknis). Akan tetapi, kiranya, cara yang demikian ini relatif
bersahabat dan cukup baik mengingat prinsip “1 tidak mewakili 10” karena ia sama dengan
“kebetulan bagus di antara yang keseluruhannya jelek”. Bagaimana pun, proses
kepenyairan yang notabene merupakan kerja kreatif itu tidaklah menjunjung unsur
kebetulan, melainkan proses dan penghayatan dalam berkarya, bahwa puisi yang ditulis memang
haruslah diketahui dan disadari keunggulannya oleh penyairnya sendiri.
* * *
Selanjutnya, saya akan mendedahkan beberapa
butir anotasi hasil pembacaan saya terhadap buku “Ketam Ladam Rumah Ingatan”
ini. Beberapa hal di antaranya mencakup urusan yang tampaknya sepele karena
sekadar mempermasalahkan hal-hal seputar tatabahasa. Saya beranggapan, tidak
ada masalah yang sepele dalam hal ini. Semuanya penting untuk dijelaskan.
Awalnya, saya menduga, hanya di zaman saya
saja, yaitu di saat sumber informasi dan buku tidak semelimpah sekarang, kasus
elementer seperti ini bisa terjadi sebagaimana dulu sering saya alami bahkan
saya lakukan sendiri. Kenyataannya, di tahun ini, 2016, rendahnya pengetahuan
dasar berbahasa merupakan persolan serius yang diidap oleh banyak penyair,
padahal kerja kepenyairan sendiri itu melibatkan urusan bahasa secara langsung.
Kasus ketidakmampuan membedakan “kata depan” dan “awalan” saja masih sering
ditemukan. Mestinya, penyair sudah beres untuk urusan seperti ini. Di luar
masalah teknis tersebut, yang lebih menyedihkan, adanya temuan yang malah terjebak ke dalam sontekan (plagiarisme). Kiranya, ini adalah
dosa kepenyairan dan intelektual paling besar yang tanpa ampun.
Dalam hal gagasan, saya menemukan adanya
obsesi pada lokalitas, seolah dengan mengangkat tema lokal, seorang penyair
telah menemukan sesuatu yang baru dan orisinal, tidak ditulis
oleh orang lain. Misalnya begini: Jika hanya dengan menyebut Madura, Gili Iyang,
Slopeng, atau mayang dan siwalan, Jokotole dan Trunojoyo, kita dapat mendaku
diri telah mengangkat apa yang kita sebut dengan lokalitas, maka akan dengan
mudah kita mendapatkan teman yang sama, dan itu artinya Anda tidak berada di
kawasan unik dan istimewa lagi, umum, kebanyakan, biasa. Lokalitas menjadi
tiada artinya. Para penyair pendahulu penyair
muda ini sudah lebih dulu menjelajahi kemungkinan-kemungkinan puitikanya. Dalam
hal ini, D. Zawawi Imron jelaslah menjadi penghulunya. Dengan cara yang sama,
Anda tidak bisa menandinginya, dan karenanya sulit dilawan. Lantas, untuk apa
kita melakukan hal yang sama seperti yang dia lakukan? Menyimak gema suara
untuk selanjutnya digemakan kembali tidak akan sejernih sumber suara pertama.
Analoginya, akan sangat berat buat Anda untuk menjadi lebih baik dari Rendra
jika Anda juga menulis sama seperti yang dilakukan Rendra, dan begitulah
seterusnya.
Berikut ini beberapa butir yang saya maksud:
Pertama; salah ketik. Salah ketik
dipermasalahkan? Iya, justru ini adalah masalah serius yang cenderung dianggap
sepele. Tindakan memperbaiki dan menulis secara sempurna itu mestinya
dipelopori oleh si penulis, sang penyair. Penyunting berada di lapis kedua,
hanya membereskan sisa-sisa keluputan kecil saja, bukan kebanyakannya. Dan jika ia merasa itu adalah karya terbaik,
penyair tidak ingin memberikan kesempatan pada orang lain untuk memperbaiki
hasil karyanya. Ia mestinya ingin memperbaiki sendiri, menatanya, dan
mengolahnya kembali. Bagi saya, bahkan salah ketik pun bukanlah masalah sepele
jika kita menyadari bahwa menulis puisi sebagai pekerjaan serius yang mestinya
juga akan dihitung dari sisi teknis dan nonteknisnya sekaligus. Salah ketik
merupakan bentuk ketergesa-gesaan yang merupakan musuh proses kreatif puisi itu
sendiri, suatu karya yang tidak bisa sekali jadi.
Kedua; penguasan dan pendayagunaan diksi.
Pengetahuan akan diksi, bagi penyair, bukanlah sekadar kemampuan menggunakannya
secara tepat. Lebih dari itu, penyair harus mempunyai banyak pundi-pundi diksi
untuk digunakannya di dalam puisi. Diksi, seperti klasik dan arkais, telah mati
di dalam kamus. Siapa lagi yang bisa
menghidupkannya jika bukan penyair? Wawasan diksi mencakup kemampuan dalam
menggunakan diksi yang tepat dan indah. Misalnya; penggunaan “denting” untuk
bunyi sesuatu yang “mendentum” atau “berdebam” itu tidak tepat. Kiranya, jika
ini dijumpai dalam puisi, saya meyakininya sebagai kesalahan, bukan lantaran
penyairnya yang ingin berekspresimen dengan mencoba metafora dan asosiasi yang
justru tidak asosiatif. ‘Kesalahan’
tersebut merupakan akibat dari kurangnya wawasan dan
pembacaan yang berdampak pada rendahnya penguasaan kosa kata atau diksi yang
terbatas.
Ketiga; logika di dalam puisi. Ada penyair yang melakukan
tindakan metaforis dengan menggunakan perangkat-perangkat perbandingan langsung
namun hasilnya kerap kali mengesankan keterputusan korelasi. Akibatnya, metafora atau
statemen-metafora menjadi tidak logis (saya merangkum beberapa contohnya secara
khusus, di luar makalah ini, dengan maksud agar disampaikan dalam kesempatan
yang lain saja). Saya kira, ini juga masalah serius, bahkan krusial. Frasa semacam “di sungai, tempat
camar biasa mematuk ikan” adalah salah satu contohnya, karena kita tahu camar
adalah burung laut. Demikian pula dengan frasa “:mengayuh perahu dari waktu
sampai ke subuh”. Bagaimana cara membuat korelasi antara “waktu” dan “subuh”
yang diperantarai oleh kata hubung “dari-sampai”? Dalam metonimia, hubungan
teks dengan konteks terkadang memang berjarak sangat jauh, namun bukan berarti
terputus sama sekali.
Keempat; kesalahan teknis gramatikal, seperti
kasus “kata depan” dan “awalan” yang tidak dapat dibedakan. Mengingat penyair
itu adalah tukang bahasa, yang artinya seyogyanya ia memiliki kemampuan
penguasaan tata bahasa di atas awam, maka akan sangat ironis jika dalam urusan
seperti ini saja mereka masih melakukan kesalahan. Kata depan di (untuk
menunjuk ruang/waktu) dan awalan di (untuk awalan kata kerja pasif) yang secara
kebetulan sama adalah hal asasi yang mestinya sudah tidak menjadi masalah lagi bagi
penulis, terlebih bagi penyair yang seyogyanya
melebihi seorang penulis biasa. Kemampuan bahasa
penyair itu harus di atas penulis lainnya, apalagi awam.
Kasus serupa begitu pula terjadi dengan
penggunaan partikel ‘pun’ dan partikel lainnya. Kesalahan demi kesalahan dalam
urusan kata depan dan preposisi ataupun penggunaan partikel lain seperti di
atas menyiratkan anggapan bahwa seolah-olah penyair itu seorang voorijder
atau sopir ambulans atau damkar yang boleh menerobos lampu merah dan/atau melanggar marka
jalan, padahal dalam melanggar pun ada aturannya. Yang artinya, menulis “di”
sebagai awalan tetapi tidak ditulis serangkai itu adalah kesalahan, bukan
bagian daripada lisensi yang didapat dari SIM (surat izin melanggar)-nya penyair.
Apakah yang demikian ini dapat dimaklumi?
Tidak, ia niscaya, lebih-lebih bagi seorang penyair yang kedudukannya setara
munsyi. Penyair itu bukan sekadar tukang yang bisa mencampur air, pasir, dan
semen. Penyair melampaui tukang karena ia juga arsitek. Maka, dengan demikian,
kasus-kasus penggunaan garis bawah, titik dua, garis bawah, hyphen-minus,
titik koma, dll. dengan tujuan ornamental, haruslah dipikirkan secara matang,
bukan sekadar untuk antik-antikan sehingga penggunaannya tepat dan benar.
Kalaupun ia akan digunakan secara menyimpang, seorang penyair hendaknya
melakukannya dalam keadaan sadar, bukan dalam keadaan tidak tahu hanya saja kebetulan
benar.
Kelima; keluar dari konteks. Ada
beberapa diksi atau wacana yang tidak kontekstual, seperti membicarakan
panorama Madura bersanding dengan salju, musim semi, gembala, dll. Mencari citraan suasana alam
yang sangat dingin tentu tidak harus semena-mena menggunakan salju, dan
demikian pula menggunakan frase musim semi jika maksudnya adalah musim panas. Menggambarkan situasi
dan ruang dengan cara seperti ini alih-alih merupakan suatu upaya melukis
suasana romantis, ia justru tidak efektif. Puisi, pada akhirnya, tercerabut
akar dan konteksnya.
Keenam; latah. Saya menggunakan kata latah di
sini dengan sangat terpaksa karena menimbang begitu banyaknya kata “ingatan”.
Kiranya, penggunaan kata “ingatan” pada judul buku juga merupakan bentuk hasil
dari pandangan umum karena begitu banyaknya kata tersebut ditemukan di dalam
buku. Mengapa begitu banyak kata “ingatan” disebut? Apakah kata ini sedang naik daun? Sesuatu itu menarik ketika ia
istimewa, jarang digunakan, eksentrik, aneh, dll. Kita dapat mengambil contoh
pada metafora. Jika ada metafora yang terlalu sering digunakan, akan hilang
metaforitasnya. Ia kembali menjadi hal biasa. Daun pintu, kaki meja, bunga desa,
telah menjadi bagian frase biasa, tidak lagi menjadi metafora yang istimewa. Ia dianggap mati
karena terlalu banyak yang menggunakannya.
Begitu pula, memotret Madura hanya melulu
dari sudut pandang lautnya, pantainya, atau siwalannya sudah terlampau biasa; mainstream
menurut istilah kekiniannya. Yang demikian itu sudah diobrak-abrik oleh penyair
terdahulu. Lebih berbahaya jika pemotretan sejenis ini mengacu pada eksotisme alam,
seolah Madura tidak punya keindahan yang lain, keindahan dalam persahabatan,
solidaritas, gerapyak, kegigihan, watak perantauan, dan etos kerja kerasnya.
Penyair tidak terlarang untuk menyampaikan apa pun, segalanya, baik memuji dan mencerca.
Apakah membicarakan keterbelakangan, kesemrawutan, ketidaktertiban, dan
inferioritas orang Madura yang terjadi di sekitar kita itu merupakan sesuatu
yang terlarang? Saya kira tidak, dan bukan pula sebentuk rasa kebencian andai
hal itu dilakukan, melainkan justru merupakan sikap cinta dan perhatian.
Kalau kita menyepakati WS. Rendra yang
menyatakan bahwa penyair itu harus mengetahui segalanya, maka menjadi penyair
adalah tugas yang berat. Meskipun peran dan posisi penyair saat ini sudah jauh
berbeda dengan keberadaan penyair pada zaman lalu, terutama pada zaman ketika
tidak ada media, di mana penyair masih didewakan dan jadi panutan. Kini,
kehebatan pengaruh dan kefigurannya telah dikalahkan oleh wartawan dan
juruberita. Akan tetapi, dengan demikian, menjadi penyair justru menjadi semakin
eksklusif, semakin berat. Penyair dituntut untuk terus mengembangkan
percobaannya dalam menggunakan bahasa, perspektif, dan terutama metafora yang
menurut Monroe Breadsley merupakan ruh atau mahia puisi. Penyair yang melulu
menggunakan citraan dan metafora yang sudah basi, ia akan mati tertimbun oleh
kata-katanya sendiri.
Hal lain yang ditempuh oleh banyak penyair
adalah memasukkan lema baru dari Bahasa Madura yang sebagiannuya bahkan belum
dinaturalisasi. Ini tidak masalah jika hal itu memang niscaya atau diperlukan.
Lema baru seperti ini, karena dianggap istimewa dan belum masuk keluarga besar
Bahasa Indonesia, aturannya dicetak miring. Di sini, saya menemukan kawan-kawan
penyair muda begitu bebasnya memperlakukannya. Dimaklumi jika tindakan tersebut
demi alasan persajakan, misalnya, tetapi disayangkan jika ia digunakan hanya
karena tidak tahu padanan, seperti menulis “maronggi” bukan karena alasan
sajak, hanya karena tidak tahu bahwa ia setara dengan “kelor” atau “merunggai”.
Menggunakan “kaleles” jelas dimaklumi karena ia adalah salah satu perangkat
dalam karapan sapi yang notabene identik dengan masyarakat tertentu, di
antaranya, di
Madura dan tidak lazim di tempat lain. Hal ini
bebeda dengan penggunaan kata “palowan” untuk menyebut bidang tanah yang
ditinggikan di tegalan (untuk ditanami/penyemaian), padahal yang demikian itu
sudah pasti biasa ditemukan dan diketahui oleh masyarakat agraris Nusantara
secara umum. Di dalam KBBI, padanannya adalah “terumbuk”. Maka oleh sebab itu,
perlu diperhatikan agar dalam menggunakan kata daerah (asing) kita harus
memiliki alasan tertentu selain hanya dalih suka-suka saja, apalagi hanya
karena kita malas mencari padanan katanya dalam Bahasa Indonesia.
Penjelajahan dan percobaan masih harus terus
diupayakan oleh penyair muda Madura agar tidak terus dibayang-bayangi oleh para
pendahulunya. Permainan enjambemen ataupun tipografi, diksi dan citraan khusus,
dan juga penyusupan kata/frasa daerah adalah sebagian wilayah yang sudah
dijamah. Apa yang dilakukan Raedu Basha, misalnya, dengan mengangkat khazanah
jagat perkiaian dan kekeramatan, atau Ali Fakih yang mencakup spasial dan
filosofi, adalah satu upaya dalam gagasan dan tema. Ada yang lain yang mencoba
melakukan elaborasi dalam ranah bentuk-bentuk, seperti yang saya temukan pada
Anwar Noeris (rata tengah), Sofyan dan Farid (rata tengah dengan tanda nomor),
Saifa Abdillah (dua baris per bait), Rosi Praditya (satu bait, satu paragraf)
atau Joko Sucipto dan Sengat Ibrahim (multiparagraf rata samping), ataupun
Hayyul Mubarok dan Ali Fakih yang menggunakan enjambemen dan tipografi. Semua
itu adalah upaya untuk menemukan cara baru meskipun seberapa jauh upaya dan
hasil temuan itulah yang tetap harus diperdebatkan dan diuji. Kita harus
berhati-hati pada permainan (bentuk) yang tanpa landasan pemikiran atau gagasan
berarti karena akan kurang menggigit, kurang greget, bahkan bisa terjerumus
pada kesalahkaprahan jika tanpa disadari (contoh: seperti penggunaan hyphen-minus
di awal kalimat). Saya kira, yang demikian ini bukan lagi ciri khas, tidak
termasuk eksplorasi, melainkan eksperimen yang nir-arti.
* * *
Itulah beberapa butir catatan saya yang
tampak galau. Meskipun begitu, saya berharap, ia akan lebih dibutuhkan bagi
kawan-kawan penyair muda (Madura) daripada saya menyanjung-nyanjung penyair dan
puisi tanpa alasan. Semua ini saya tulis sembari tidak menutup mata bahwa saya
juga melakukan kesalahan-kesalahan sejenis, dulu, atau pula sikap latah yang
sama, tanpa invensi, serta kekerdilan lainnya. Apa yang saya sampaikan hanyalah
sebuah keinginan agar kita berpikir lagi, membuat pertanyaan untuk diri
sendiri: untuk apa puisi itu ditulis dan seberapa penting ia dibandingkan
dengan bahasa sehari-hari di dalam hidup ini jika dengan bahasa awam kita sudah
bisa menjelaskan segala sesuatu kepada masyarakat?
Saya juga tidak menutup mata dengan
mengatakan bahwa secara pukul rata, semua puisi yang saya baca hanyalah menjadi
gambaran sebagaimana kegundahan di atas, tidak. Saya menemukan beberapa
puisi—dan sayangnya bukan beberapa penyair karena kecenderungannya memang
muncul pada judul per judul, bukan orang per orang—yang dalam rasa bahasanya
saja sudah memiliki keasyikannya tersendiri. Tentu, rasa saya ini belum lagi
menyentuh pada tingkat gagasan dan gaya .
Karena jika telah melampaui itu semua, maka jelas puisi tersebut adalah puisi
yang berhasil, tidak latah, tidak seperti kebanyakan, berada di luar pusaran.
Meskipun kebanyakan masih berasyik-masyuk
dengan lirisme, tidak terlalu menjadi persoalan jika sebagiannya sudah ada yang
mewakili keunikannya, misalnya puisi yang menyorot tema ketimpangan sosial
dalam perspektif berbeda. Dengan begitu, semakin semaraklah khazanah perpuisian
Madura, di kalangan
muda khususnya. Adapun puisi yang menyedot perhatian saya tentulah puisi yang
dalam sekali pembacaan telah menyimpan magnet berbeda dengan ketika dibaca
untuk yang kedua, apalagi yang ketiga dan seterusnya. Pada saat membaca puisi
Fakih, Badrul, Ridho—ini hanya contoh sehingga yang lain tidak perlu
cemburu—seakan membuat saya minder sembari merasakan betapa tidak berdayanya
saya ini andai harus membuat karya seperti mereka di kala saya masih muda.
Satu hal yang harus digarisbawahi dalam
proses ini: diktum “untuk apa menulis puisi jika maksudnya masih harus
ditanyakan kembali kepada penyairnya” sedikit banyak juga kurang tepat untuk
disetujui karena diktum tersebut memungkinkan seorang penyair lepas tanggung
jawab terhadap teks yang telah diproduksinya. Lantas? Ketika seorang penyair
mencoba berjudi dengan kata-kata yang tidak dikehendakinya, waton, asal,
dan kebetulan saja itu seolah menarik, selamatlah ia dari kesembarangannya.
Inilah resiko dari diktum tersebut. Kita harus curiga pada diktum itu ketika ia
diucapkan oleh seseorang. Boleh jadi ia berdiri sebagai asas puisi, bahwa puisi
memang demikian adanya; ditulis karena dianggap menjadi cara yang tidak mungkin
ditempuh oleh bahasa biasa, namun bukan mustahil bisa pula ia diproyeksikan
menjadi tameng kengawuran.
Setelah usai membaca puisi-puisi ini, saya
bahagia. Suka cita tentu lebih bergairah pada saat saya membaca karya-karya
mereka yang mengusik pikiran, menuntut saya beringsut ke pinggir, bahkan seolah
hendak mengajak berhenti menulis, lalu lengser dan meletakkan mahkota
kepenyairan, lantas mempersilakan mereka saja yang duduk di atas singgasana.
Saya bahagia, saya bangga. Di usia belia, mereka telah melakukan apa yang
bahkan tak mampu saya lakukan di usia empat puluhan, usia yang konon dianggap
matang bagi seorang manusia.
Akan tetapi, karena kepenyairan merupakan
proses, maka sebelum saya melangkah mundur, saya tetap harus mengajukan
tantangan: sanggupkah mereka bertahan untuk terus berkarya hingga ajal menutup
mata? Sedikitnya, saya yang terpaut jauh dengan mereka dalam usia, telah
memenangkan tantangan ini meskipun tantangan itu tidak selesai di sini, di hari
ini, namun hingga nanti, hingga entah, pada catatan-catatan dan komentar orang
setelah karya kita hidup dan berjalan sendiri karena kita—yang selama ini
mengasuh dan membimbingnya—telah mati.
Wallahu a’lam.
[1] Makalah ini disampaikan dalam diskusi buku Ketam
Ladam Rumah Ingatan: Antologi Puisi Penyair Muda Madura, diterbitkan oleh
Lembaga Seni & Sastra Reboeng, dilaksanakan di Pendopo Keraton Sumenep,
Sabtu, 20 Februari 2016
Mantap
BalasHapus