Salam!
Kepada para redaktur yang telah memuat puisi saya yang tersebut, saya mohon maaf jika tindakan saya ini dianggap tidak etis secara kesarjanaan, namun perlu juga saya sampaikan alasan saya mengapa semua itu terjadi.
Kepada para redaktur yang telah memuat puisi saya yang tersebut, saya mohon maaf jika tindakan saya ini dianggap tidak etis secara kesarjanaan, namun perlu juga saya sampaikan alasan saya mengapa semua itu terjadi.
Mengapa saya mengirim puisi (ini) ke lebih dari satu media? Menurut saya, di samping karena menulis puisi itu memang sulit (apologi saja), puisi juga tidak sebanding jika hanya diukur dengan honor yang dibayarkan. Biaya produksi tidak setimpal dengan upah, kira-kira begitu. Honor puisi untuk sekali pemuatan, seperti 5 puisi sekaligus dalam satu kotak dalam satu halaman koran/rubrik sastra, masih lebih kecil daripada honor 1 cerpen: 5 banding satu. Mengingat hal ini, saya lantas berijtihad (mengambil keputusan) dengan berbagai pertimbangan (di antaranya adalah pertimbangan di atas) untuk mengirimkan satu-dua (ingat, ya, satu atau dua) judul puisi ke berbagai media yang berbeda. Ini tentu tidak sama dengan mengirim beberapa atau sejumlah puisi yang sama ke koran yang berbeda.
Begini contohnya: misal saya hendak mengirimkan 3 amplop puisi, masing-masing:
1. Kiriman pertama: kirim tujuh puisi berjudul A, B, C, D, E, F, G ke “Koran X”;
2. Kiriman kedua: puisi-puisi berjudul H, I, J, K, L, M, N ke “Koran Y”, dan;
3. Kiriman ketiga: puisi-puisi berjudul O, P, Q, R, S, T, U ke “Koran Z”
Saya punya kecenderungan menambah satu-dua puisi lagi namun diambilkan dari puisi yang sama di amplop berbeda. Jadi, misal saya mengirim amplop puisi ke “Koran X” dengan puisi-puisi seperti contoh di atas, biasanya saya cenderung menambah satu-dua puisi lagi yang saya ambil dari puisi-puisi dari amplo yang dikirim ke “Koran Y”. Walhasil, amplop puisi pun berisi puisi A, B, C, D, E, F, G plus K, L atau yang lainnya: hanya satu-dua, tidak semuanya. Sampai di sini, saya kira, apa yang telah saya lakukan masih wajar-wajar saja.
Berikut puisi yang dimaksud:
M. Faizi
BAYANGMU ABADI
Tak
kuasa lagi kutanggung gelisah
meski
rindu tetap membiru
aku
mengungsi darimu
Pada
awal cahaya semburat fajar
engkau
menjadi titik bias matahari
kesadaran
penghujung mimpi
sebab
silau aku menjauh ke gelap malam
namun
engkau pun rembulan
menyelimutiku
dalam geletar
Menembus
hari aku berlari
meninggalkanmu
dalam segala gemerlap
aku
menghilang dalam halimun sunyi
tetapi
engkau menjelma sepi
Aku
mengungsi darimu
memasuki
gua demi gua, aku bertapa
membentang
sayap ke alam moksa
aku
samadi, tapi engkau pula tercipta
3/1996
Dengan munculnya puisi ‘Bayangmu Abadi’ di Buletin Sidogiri
edisi ke-100 (Rabiuts Tsani 1436 H atau Januari 2014), maka artinya puisi ini, ‘Bayangmu
Abadi’ (ditulis bulan Maret, 1996), sekurang-kurangnya sudah dimuat di 5 media
massa yang berbeda. Puisi yang diterbitkan dalam buku kumpulan puisi pertama
saya, “18+” (Diva Press, 2003), secara
berurutan dimuat di:
·
Pikiran Rakyat (22 Desember 1996;
koran)
·
Bhirawa (23 Mei 1997; koran)
·
Romansa (No.3, Oktober 1997;
majalah)
·
Republika (14 Desember 1997;
koran), dan
·
Buletin Sidogiri (Januari, 2015;
buletin)
Sebetulnya, seingat saya, ada lagi pemuatan di luar media
tersebut, yakni di Serambi Indonesia
dan Riau Pos, kedua-duanya tahun 1997. Saya tidak mencantumkannya karena tidak
ada bukti terbit selain wesel
pos.
Pengalaman seperti ini terjadi beberapa kali, bahkan saya
lakukan hingga saat ini, saat saya sudah sangat jarang mengirim puisi ke koran.
Ya, itu semua hanya alasan dan pendapat saya. Jika ini dianggap salah, maka
saya tentu wajib minta maaf dan sudah siap menerima risiko tidak dimuat di
koran yang pernah saya kirimi itu. Mohon maaf dan terima kasih!
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
BalasHapusduh, kok Viagra ini? gawat
BalasHapus