01 Februari 2008

18 +




18 TAHUN KEMUDIAN…


Delapan belas tahun kemudian
hidup menemukan gairah
seperti kuncup lalu merekah
tapi hanya sebentar
sebab ia berada di persimpangan;
antara irama hidup yang mengalir lambat
dan musim rontok yang datang cepat

Lalu, datanglah masa setelah itu
lelaki­lelaki, wanita­wanita
senyum­senyum, gaya­gaya
di atas catwalk bertabur bunga
dan di luar itu
yang lain melempar dadu
di meja usia

Lambat laun, satu­satu, berangsur samar
yang dulu tunggal, kini taksa
saat berita dan prosa menjadi puisi
karena yang literal jadi metafora
sementara mata kata mengerdip
pada gemerlap tubuh dunia
berubah,berubah ke apapun warna

Delapan belas tahun kemudian
kelenjar­kelenjar kian mengembang
jantung berdenyut seperti hiphop
melampaui segala genre pop
dan hidup menjadi lebih terasa:
dandan tampil beda
rajin spa, sauna, mandi bunga
menawar usia dengan surga
hingga suatu ketika datanglah orang­orang
berjalan terbungkuk memikul tanya
‘benarkah hidup berangkat tua?’

Sejak itulah awal cerita dimulai
seperti halnya mereka, aku pun sama
mencari sesuatu yang tak ada di dalam diri
seperti guru­guruku, dan seterusnya
hingga aku pun berubah
bertanya sambil berbenah
lalu berhenti di suatu puisi:
itulah rasa bagi kata
itulah darah bagi luka

10/2002


PENANTIAN

Aku menunggu seseorang
ketika hari senja
sampai datang padaku gelap
dan meyakinkannya tiada

Aku menunggu seseorang
ketika daun-daun menguning
dan musim hujan mengabariku,
“Ia tak mungkin kembali.”

Aku menunggu seseorang
ketika usia semakin lapuk
hingga datang padaku sekarat
dan memberiku air mata

Aku menunggu seseorang
yang membiru kurindu
membawa badik karat
berlumur cinta

4/1997


BAYANGMU ABADI

Tak kuasa lagi kutanggung gelisah
meski rindu tetap membiru
aku mengungsi darimu

Pada awal cahaya semburat fajar
engkau menjadi titik bias matahari
kesadaran penghujung mimpi
sebab silau aku menjauh ke gelap malam
namun engkau pun rembulan
menyelimutiku dalam geletar

Menembus hari aku berlari
meninggalkanmu dalam segala gemerlap
aku menghilang dalam halimun sunyi
tetapi engkau menjelma sepi

Aku mengungsi darimu
memasuki gua demi gua, aku bertapa
membentang sayap ke alam moksa
aku samadi, tapi engkau pula tercipta

3/1996


MELODRAMA GADIS DESA

Gadis berambut ikal, dikepang
duduk berteleku pada nasib
di bawah langit pesta panen
‘kenapa Dewi Sri tak kunjung datang?’

Ia akan berangkat ke kota
sebab di desa
langit tak lagi berwarna
sawah ladang diserang hama
kali kering berampas kerikil
ia melihat dunia
hanya sebutir jagung
tak ada harganya

Gadis desa benar-benar berangkat ke kota
tempat kelak ia terpedaya
di mana air mata menetes percuma
namun saat ini ia tak tahu
karena peristiwa itu
berada di akhir cerita

10/06/1998


JANGAN BERCINTA DENGAN PENYAIR

Aku menghuni sunyimu
dengan simponi angin mengiringi pencari kayu
engkau melambung ke angkasa
langit yang entah berbatas mana
lalu, kutitikkan untukmu puisi:
setetes madu lebah putih
dari rimba tempat Arjuna mengelana

“Aku kekasih paling kekasih,”
begitulah bisikan penyair
tapi karena engkau terlanjur percaya
pada kata-kata para pujangga zaman romantik
maka tak juga jera
engkau menjadi yang kesekian,
yang keberapa

Sekarang, bilang!
“Aku musuh penyair, aku musuh penyair
mereka yang lahir dan mati di taman bunga
tanpa pernah tahu, kalau dunia ini sepenuhnya neraka!”
sekarang, katakan!
bahwa cinta adalah Rahwana
dan Shinta tak pernah lahir untuk Rama

Bertualanglah dengan siapa
sampai engkau merasa yakin
bahwa selain aku,
semua yang membual padamu
adalah bajingan

6/2001


PELAYARAN I

Bermil-mil jauh kutinggalkan dermaga
dengan dayung patah dan layar cabik
namun jika seseorang telah lama menunggu
dengan dekapnya yang hangat
di dasar samudera
karamkan kapalku
kirim aku badai

1994


PALESTINA

Dari balik rintih Palestina
terdengar jerit seorang pemuda
yang membenamnya dalam sejarah tangis
dan gugur air mata
seperti layu kemboja
bernisan lengang amis darah
pergi bersama angin

Di lorong-lorong Jericho
detak maut lewat bergegas
melintas di antara grafiti gelap
yang menyimpan sejuta murka
sementara Israel memburu mahasiswa
Intifadah bentrok di jalur Gaza
kepada anaknya, seorang pejuang berkata
“Semalam aku mimpi Musa
membawa tongkat dan kitab
hendak bertitah di puncak Sinai
: sebab apa damai masih berdarah?”

Dan kini, tinggallah belasungkawa yang basi
mengalun perih tak tertakar
maka lagukanlah himne tangis
lewat kesempitan cinta yang terjual
meski air mata bukanlah jawaban
tapi karena tak satu pun elegi
maupun balada
yang melebihi nyeri Pelestina!

1994/1995


PUISI UNTUK PENGGODA

Di cuaca 23°c
aroma pleasure-mu menyalak
aku tersedak
bikin gagap
memilih senyum ketimbang berucap
aku berdecak, tapi tak kagum
hanya coba menyanjung

Tiba-tiba kuteringat
indahnya menentukan kencan pertama;
saat paling berkesan
tapi mudah kulupakan
karena ternyata
keindahan itu lebih mudah kudapat
di dalam kota metropol hatiku
seorang diri saja
belajar menjadi tunanetra
ketika gagap berucap
melihat tak dapat

Karena itulah, perawan
sorry banget,
aku nggak tergoda!

9/2001


SAJAK KERAGUAN

Saat kuucapkan padamu
kata-kata Hamlet pada Ophelia;
‘janganlah bimbang bahwa aku cinta’
seperti itu pula aku
pada cahaya matamu yang laut
aku bimbang
pada senyummu yang ajaib
aku ragu

Namun ketika engkau ucapkan padaku
kata-kata Ismail pada Ibrahim
maka benar-benar aku telah menjadi
seorang filsuf yang terkulai
oleh sengatan cinta

1996


MENCARIMU

Cintamu adalah gelombang
tapi ia adalah pantai
yang membuatnya jadi buih lalu tiada
cintamu adalah hujan
tapi ia menjadi bumi
yang menyerapnya sepanjang musim

Ketika kaubacakan aku sajak dua seuntai;
senyum dan air mata
sebagai ritus abadi
bagi pesta di persimpangan musim
aku terperanjat dalam igau
akukah ia yang kausebut udara
dalam pusaran angin?

Cintamu adalah keraguanku
seperti isyarat perenjak yang terusir
dari jalanan tengah kota
sepanjang trotoar sepi aku mencari
sepanjang jangkauan khayal aku menggapai
hingga mimpi usai dalam bimbang

Kalau saja harus kucari cinta dengan filsafat,
engkaukah kebenaran itu?

5/1996


SAIPIANGIN

Saipiangin,
ringankan tubuh
akulah angin
di mata badai
jangan kaukejar
kakiku seribu
menderu tak bersiru
jangan rintangi
tak ada kata henti
dalam lariku

3/06/2002


UMMI, MARI OBATI LUKA ANAKMU

Ummi, mari obati luka anakmu
nyeri di hati tak kunjung usai
kiamat akan datang hari ini
mari dekap, aku dalam takut
biarkan darahku memancar ke langit pucat
melukis samudera cinta yang mengarat

Ummi, inikah dunia yang kaujanjikan
setelah kausepuh dalam sembilan bulan?
kilaunya membuatku menangis
seperti Adam terusir dari Sorga

Ummi, mari segera obati lukaku
aku ingin tersedu sedan di pelukanmu
perjalanan sia-sia, lelah adanya
kaki tertusuk duri
hati berbalut kabut
mata buta sepanjang abad

Ummi, mari obati luka anakmu
karena hanya engkau yang berdoa
di antara lolong seribu serigala
hanya engkau yang dekap aku
ketika seribu gigil dikirim angin

Ummi, mari obati lukaku
aku akan segera menangisi
kepekat-gelapan duka dunia
dalam se-dzarrah dada ini

Ummi, mari obati lukaku

12/1995


3869

Menyusuri aspal hotmix
dalam kegelapan
melaju, melesat mendahului jam
ratusan kilometer terasa sejengkal

Trailer, bus, wagon, sedan
menjadi instrumentasi malam
tetapi tetap harus didahului
biar ajal terus membuntuti

29/8/98


KE TANAH MELAYU

Aku telah terpuruk begitu jauh
ketika surat yang kaukirim
dari Pulau Penyengat
menaburkan sepeti mutiara
bagai buih disibak kapal
di pantai Dumai
tapi para nelayan membiarkannya
dipatuk camar
karena Bagansiapiapi
tak lagi menyalakan mercusuar
mereka pingsan dengan kail jala terbiar

Sepertinya mereka telah lupa
menawar pukat dengan semangkuk garam
tentu bukan karena said dan tengku
menatapnya dengan diam
atau karena angin laut meniup kabar
dari Batam: igauan dari jauh
tapi mungkin karena tak tahu
Raja Ali Haji pernah menulis Gurindam

Begitu larut aku terperangkap
dalam halimun rasa dan kata
saat kaubangunkan aku
dengan ‘Semalam di Malaya’
begitu jauh aku tersesat di Batanghari
mendayung syair perahu Hamzah Fansuri
hendak menemuimu yang terisak sendiri
tapi jangan sambut aku dengan upacara
karena aku membawa luka
karena aku hanyalah pengembara yang hina

1/1997


MALAM DI JAKARTA

Malam turun di Jakarta
sebelum maghrib, sebelum jamnya
kontainer panjang dari luar
mengangkut berjibun masalah
mengirim babu-babu, buruh kasar, dan banyak lagi
hendak pulang kampung
ke bukan kampungnya

Malam cepat berangkat tua
merkuri pecah sebelum menyala
dan gelap, sekental kopi tubruk
menemani gelandangan, menunggu pagi
dan di negeri aneh ini
—bahkan aneh sekali,
pagi tak pernah datang lagi

Malam tak sudi pergi
subuh tak mau datang
siapa yang berangkat kerja?
Jakarta ditutup untuk umum!

03/05/2002


PADA DETIK PERTAMA MILENIUM KETIGA

Pada detik pertama milenium ketiga
sepatah subhanallah lantun dari sepasang bibir
yang merah dikecup dzikir
“Inilah milenium agama, kapitalisme telah renta.”


Pada detik pertama dari dua ribu tahun kelahiran Isa
satu gelombang ultrasonik memancar
dari mulut seorang ulama yang menukil kisah nabi-nabi
dan kabar kiamat pun dikumandangkan;
“Ia tiba sebentar lagi.”

Pada detik pertama milenium ketiga
Abrahah dan Fir’aun, si kembar anak Adam
lahir kembali, tertawa lalu menyiapkan bala tentara
Abrahah ke Timur Tengah, Fir’aun ke Asia Tenggara
pada detik pertama dari sejengkal jarak ke Perang Dunia ketiga
segunung api meruyak ke penjuru dunia

Pada detik pertama milenium ketiga
kitab-kitab suci semua agama dibacakan
bersama itu, dawai-dawai semua harpa kematian didentingkan
pada kejap pertama, di detik pertama milenium ketiga
bersaksilah sangkala; “Rapatkan semua pintu. Tutup semua jendela.
Sudah saatnya wasiat ditulis, cukup tua usia dunia.”

11/1998


PADA DUA BELAS KELUK GURINDAMMU
­­mengenang Raja Ali Haji

Pada dua belas keluk gurindammu
aku akan mengalir seperti air
membaca ikan, batu di sungaimu
aku akan bertiup laksana angin
meraba luas angkasamu

Pada dua belas keluk gurindammu
menggali catatan hari­hari
yang lepuh tertimbun jauh
membaca tanda­tanda
yang samar tersisa

Pada dua belas keluk gurindammu
aku mencari dirimu
di saat tak mengerti lagi
pada isyarat cahaya
yang kautawarkan tak henti­henti

1/1997


DITULISKANNYA SEJARAH
---Thariq Bin Ziyad

Setelah menaklukkan Andalusia
Thariq Bin Ziyad kembali ke Gibraltar
memandang laut, mengirim kabar ke jazirah Arab
bersama deburnya, ia nyanyikan kemenangan
“…betapa luar biasa besar.”

Arkian, bersujudlah
berlalu di hadapannya
angin menuliskan Cordoba dan Alhambra
di atas pasir
dia sadar, tulisan itu, sebentar kemudian,
dihapus lidah ombak yang datang

Tak seorang anak cucunya pun tahu
bahwa Thariq, sebelum meninggal, sudah menulis pesan;
“Bila kalian hanya menjadi sisi suatu kutub
di antara neraca kuantitas peradaban
niscaya hanyalah sebutir pasir
di sepanjang pantai kemegahan dunia.”

Waktu yang melesat-lesat
membisikkan kalimat Thariq yang tak sempat terkata
pada belahan bumi Asia
“Sejarah dan penyesalan terlanjur sepakat
untuk terjadi dan ditulis pada setiap usai peristiwa.”

11/1998


TENGAH MALAM

Tengah malam sunyi
mimpi buruk membangunkanku
dari cengkeram taring pekatnya
aku takut, Gusti
ingin bersujud dan menangis pada­Mu
tapi kantuk mata
mengalahkan segala­galanya
aku hanya mohon ampun;
aku meneruskan tidur!

4/1997


M-18

Aku menyulutmu purnama
sepanjang perbani adalah wujudmu wanita
“Di labirin hidup, akulah sepercik api
berkilat di tepinya yang gulita,”
katamu datar

Aku menyanjungmu pesona
sepanjang sejarah menuliskanmu luka
“Aku percaya padamu
tapi tidak pada cinta
karena pada akhirnya
hanya akan menguasai.”

Aku menyulapmu sajak
engkau hilang bentuk rima dan matra
“Aku percaya padamu
tapi tidak pada puisi,”
katamu menyela
“karena pada akhirnya
hanya akan melukai.”

9/2000


AKU BUKAN SEORANG WIRA

Sebenarnya aku yakin
engkau tahu sebenarnya
uap asmara yang kausimpan
dalam tabung hati seorang perempuan
hanyalah sepatah kata bila diucap
yang tak dapat membasahkan bibir

Biarkan seseorang datang untuk mengucapkan cinta
meski kausadar ia mungkin mendua
sebab itu jangan tunggu aku
membawa setangkai mawar merah menyala
lalu kaubayangkan diriku
sesosok wira laksamana

Entah kapan, aku akan datang
tapi tidak untuk mengucapkan cinta
sebab aku yakin
engkau tahu sebenarnya
pada saat itu aku sedang berdusta

Besok atau lusa
orang-orang akan berdatangan
sambutlah, mereka adalah para wira
tapi aku yakin
engkau tahu sebenarnya
aku hanyalah seorang prajurit
yang terusir dari medan laga
dari dadanya darah mengucur
dan engkau telah mengobati luka-lukanya

09/2001


PULANG KE RUMAHMU

Hanya seutas kenangan
dawai cinta kecapi mimpi
mainkanlah ia
hingga larut ke masa silam
lari lagu ke legenda
engkau menyebutnya mitologi cinta

Hanya seutas rindu
jalan pulang ke rumahmu;
angin senyap dini hari
aku talah memainkannya
dengan semangat serangga
mencari makna malam
yang sekejap menjadi pagi

7/1996


M-17

Bagiku
engkau memang bukan segalanya
tapi nyaris

10/1997

1 komentar:

  1. kusimak dalam kejap
    bait-bait dan rima-rima
    apa yang dapat terucap
    hanya decap dan puji bangga

    BalasHapus

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar