Menafsirkan puisi secara suka-suka (atau yang saya sebut
dengan tafsir puisi manasuka) adalah kegiatan selingan saya. Tujuan kerja ini adalah upaya menjelaskan
sebuah puisi (yang ditafsir) kepada pembaca melalui sudut pandang saya. Dengan kata lain, saya
ikut menyumbang “cara membaca” suatu teks dengan cara sendiri supaya muncul ada kemungkinan pandangan
yang berbeda. Kata “manasuka” yang saya pasangkan dengan “tafsir puisi” adalah
teknik berlindung dari serangan “ngawur secara teoretik”.
Termasuk bagian suka-suka
adalah dalam hal memilih
puisi. Artinya, suka-suka saya saja dalam memilih: memilih puisi dia dan bukan
puisi kamu, memilih punya Pak Ahda dan bukan punya Pak Hadi, dst. Kita tahu, banyak orang menganggap
puisi sebagai sesuatu yang sangat rahasia dan sulit dimengerti. Dan yang paling
membuat saya senang adalah ketika ada komentar dari pembaca yang—sebab yang
saya lakukan ini—merasa telah dibukakan hijabnya dari melihat keindahan sebuah
puisi.
Kali ini, saya akan menulis tafsir suka-suka untuk puisi
Ahda Imran. Puisi ini saya dapatkan dari seseorang lewat kotak pesan. Puisi ini
berjudul “Perintah”. Inilah puisi dimaksud.
PERINTAH
Tulislah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakanmu
dari
Bagaimana menulisnya
sedang tak ada manusia dalam kata
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?
Bacalalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata
dari sederas darah
Berapa abad kata mesti
mencari manusia sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?
Minumlah!
***
Puisi karya Ahda Imran ini, konon, dimuat di koran dan
Facebook sekaligus. Saya tidak membaca teks di koran karena memang tidak
berlanggganan dan tidak tahu saat dimuat di Facebook beliau karena kami tidak
terhubung dalam jaring pertemanan.
Tulislah atas nama Tuhanmu (kalimat ini merupakan resepsi
penyair Ahda terhadap teks yang lebih besar, yaitu ayat pembuka Surah Al-Qalam
yang secara harfiah bermakna "pena". Teks asli berbunyi “Bacalah atas
nama Tuhanmu [yang telah menciptakan]”. Tindakan ini disebut 'iqtibas'
[kutipan] di dalam puisi Ahda, sedangkan rujukannya, yaitu teks Al-Quran, sebagai
"ekserp"-nya. Namun, penyair Ahda telah memodifikasinya dengan
mensubstitusi "bacalah!" ke "tulislah!". Surah Al-Qalam
memang berarti "pena", tapi perintah dalam ayat pertama adalah
perintah membaca, yakni "bacalah!".
Iqtibas populer dalam tradisi sastra Arab, dan mungkin juga
dalam khazanah sastra Inggris yang memiliki sejarah panjang dan tua.
Belakangan, dapat juga kita temukan dalam sastra Indonesia [seperti puisi
Nanang Suryadi yang berjudul “Kepada Sapardi”]. Iqtibas berbeda dengan plesetan
karena plesetan mengandung "parodi" dan "perlawanan atas
kemapanan" [terkait plesetan dan anti-kemapanan ini, Faruk HT pernah
menulisnya di Harian Bernas, tahun 1994 kalau ndak salah], sedangkan operasi
iqtibas tidak demikian, hanya sekadar mengutip adagium atau ayat atau maksim
atau pepatah dan menggunakannya sebagai bagian dari karya si pengutip tanpa
perlu menyebutkan sumber sebagaimana terjadi pada puisi esai)
yang telah menciptakanmu (tidak perlu tafsir, sudah jelas)
dari
(Bagian di atas ini memang tertulis demikian, “yang telah
menciptakanmu / dari”, tanpa ada kelanjutan. Apakah ini disengaja? Kayaknya
ini, karena demikian yang tertulis di Facebook maupun yang terpampang dalam
versi cetaknya. Namun, jika ia dibuat rumpang, mestinya ‘kan diberi titik tiga
[…] atau beberapa ketukan, tapi yang ini tidak? Yang jelas, jika menilik
kalimat lanjutan pada bait kedua, tindakan tersebut disengaja karena ada
pernyataan keraguan sesudah kalimat di atas, pada bait berikutnya, yaitu
kalimat pada bait berikutnya, yakni...)
Bagaimana menulisnya (maksudnya, menulis kata yang mestinya
ada di dalam kalimat rumpang alias titik-titik tersebut, alias menulis “nama
ciptaan” yang pada akhir bait pertama di atas itu tidak diterakan).
sedang (sedangkan) tak ada manusia dalam kata (yang tak jadi
dituliskan itu. Tak ada apa pun di sana)
melainkan ular yang menetaskan
telurnya di pangkal lidah?
(Apa pula ini? Setahu saya, referensi ular ketika ia
disandingkan dengan manusia selalu mengacu peristiwa Nabi Adam di Surga.
Biasanya, ia mengacu pada kisah iblis yang menyamar dan masuk ke mulut ular
untuk kembali menggoda Nabi Adam. Kejadian ini menjadi “tipa induk”—dalam
istilah Abdul Rahman Napiah—bagi semua karya yang ditulis oleh manusia
mengingat peristiwa di atas adalah peristiwa yang dialami oleh manusia pertama,
dan demikian pula ia adalah “tipa induk” bagi puisi Ahda Imran ini, maupun
puisi “Di Kebun Binatang”-nya Sapardi Djoko Damono atau karya lain dengan tema
yang sama. Peristiwa ulat dan manusia di Surga adalah sejenis “super-ordinat”
dalam silsilah hiponim dan hipernim kata atau sebagai “indeks utama”).
Bacalah atas nama Tuhanmu
yang telah menciptakan kata (Inilah iqtibas itu: mengutip
redaksi yang sama dengan ayat pertama Surah Al-Alaq, tapi memodifikasi “insan”
dengan “kata” dan dengan tetap memosisikannya sebagai cikal-bakal penciptaan,
yaitu kata-istilah yang disebut “'alaq” alias “segumpal darah”.
dari sederas darah (Penyair juga
mengubah segumpal darah ‘alaq dengan “sederas darah”. Mengapa demikian? Boleh
jadi, si penyair ingin menerapkan gaya hiperbola,
bahwa begitulah proses yang terjadi pada semua manusia: gumpalan-gumpalan darah
yang banyak sekali).
Berapa abad kata mesti
mencari manusia (“abad” di dalam kalimat ini memiliki arti
"masa yang lama", bukan sekadar 100 tahun, lebih-lebih karena frasa
"berapa abad" tersebut ditujukan kepada sesuatu yang secara hakiki
sebetulnya tidak pernah sirna, yaitu ras manusia) sedang ular
menaruh sisiknya dalam darah?
(Di dalam puisi “Di Kebun Binatang”, Sapardi Djoko Damono
menggambarkan seorang lelaki yang sedang berwisata ke kebun binatang bersama
istrinya. Di sana, sang istri lalu melihat ular dan tergoda, merasa tertarik
dan merasa senang, sambil membayangkan andaikan kulit ular yang 'gemerlap'
karena sisiknya itu dibuat tas dan sepatu [yang kita tahu ia menjadi lambang
aksesori wanita yang mahal]. Namun, si suami lalu mengajak istrinya pergi dari
tempat [yang dianggapnya terkutuk] itu karena ia ingat sesuatu, ingat peristiwa
yang tak lain merupakan pemahaman yang menyatakan bahwa Nabi Adam telah digoda
dan akhirnya tergoda ular di Surga sehingga tinggal di dunia yang fana).
Minumlah!
(Lah, kok minum?
Wah, saya tidak paham. Saya kira ujungnya bacalah, tapi kok minumlah? Untuk
yang ini, saya mundur pelan-pelan saja. Mari, bantu saya membereskannya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar