TANGAN: “Hai, Mulut, bukalah! Bubur ini akan kudulang."
MULUT: “Mengapa engkau kaku saat menyuap?”
TANGAN: “Hanya ini belas tersisa
sebab yang lain telah engkau bagikan
untuk mereka yang mencintaimu di saat lantang,
tapi menghilang kala engkau terbungkam.”
MULUT: “Sungguh, hasratku masih membuncah.
Aku ingin sembuh, berdoa, dan menyembah.”
TANGAN: “Ingatkah saat engkau
menyuruhku menyuap si rakus:
mereka yang tak lapar tapi makan terus-menerus?
Ingatlah saat engkau mampu bicara petah:
memuji penganggur yang selalu minta upah!”
MULUT: “Sekarang aku bertobat.”
TANGAN: “Aku tak mampu membeli obat.”
MULUT: "Sekarang aku pasrah..."
TANGAN: "Tangkup doaku tak juga diijabah."
MULUT: "Hai, Tangan, suapi aku dengan cinta!"
TANGAN: "Sungguh, hanya inilah yang tersisa."
***
Di balik bilik yang senyap
mulut dan tangan saling-bersilang
Mulut bercakap lewat isyarat.
Tangan bekerja melalui syaraf.
Cahaya matahari masih hangat,
orang-orang masih menyambang.
Kesepian bukanlah kesunyian
melainkan raibnya cinta
seiring hilangnya daya pada raga
MULUT: "Lalu, apakah makna hidup sebenarnya?"
TANGAN: "Kita adalah sepasang kekasih
yang tinggal di satu tubuh
denyut jantung penanda hidup bersama
tapi tak ada lagi cinta di antara kita."
23/01/2018 © M. Faizi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar