14 Juli 2018

Percakapan di Meja Makan




TANGAN: “Hai, Mulut, bukalah! Bubur ini akan kudulang."

MULUT: “Mengapa engkau kaku saat menyuap?”

TANGAN: “Hanya ini belas tersisa
sebab yang lain telah engkau bagikan
untuk mereka yang mencintaimu di saat lantang,
tapi menghilang kala engkau terbungkam.”

MULUT: “Sungguh, hasratku masih membuncah.
Aku ingin sembuh, berdoa, dan menyembah.”

TANGAN: “Ingatkah saat engkau
menyuruhku menyuap si rakus:
mereka yang tak lapar tapi makan terus-menerus?
Ingatlah saat engkau mampu bicara petah:
memuji penganggur yang selalu minta upah!”

MULUT: “Sekarang aku bertobat.”

TANGAN: “Aku tak mampu membeli obat.”

MULUT: "Sekarang aku pasrah..."

TANGAN: "Tangkup doaku tak juga diijabah."

MULUT: "Hai, Tangan, suapi aku dengan cinta!"

TANGAN: "Sungguh, hanya inilah yang tersisa."

***

Di balik bilik yang senyap
mulut dan tangan saling-bersilang
Mulut bercakap lewat isyarat.
Tangan bekerja melalui syaraf.

Cahaya matahari masih hangat,
orang-orang masih menyambang.
Kesepian bukanlah kesunyian
melainkan raibnya cinta
seiring hilangnya daya pada raga

MULUT: "Lalu, apakah makna hidup sebenarnya?"

TANGAN: "Kita adalah sepasang kekasih
yang tinggal di satu tubuh
denyut jantung penanda hidup bersama
tapi tak ada lagi cinta di antara kita."

23/01/2018 © M. Faizi    


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar