06 Juni 2011

M.Faizi, “Pemburu Malam” yang Meninggalkan Local Color

oleh Drs. Joko Supriyono, M.Pd.


Pernyataan M. Faizi tentang kesukaannya dengan malam ditulis dalam pengantar antologi Permaisuri Malamku: “Saya sering bepergian di malam hari, naik sepeda motor ataupun menyusuri jalan setapak, berjalan kaki. Kegiatan-kegiatan ini pun akhirnya menciptakan hasrat tersendiri untuk menyalin emosi dan kedekatan saya terhadap suasana (langit) malam ke dalam puisi. Mati lampu (bukan pemadaman) secara mendadak yang sering terjadi di desa saya juga membantu melancarkan ilham, langsung dari langit malam penuh bintang” Malam menjadi sangat istimewa sehingga menghasilkan puisi yang judulnya berbicara “malam” tak kurang dari 15 judul.

Permaisuri Malamku, menganggap malam adalah “kekasih” yang sangat dekat, sangat dalam dan sulit diterka maknanya, butuh perjuangan untuk memahaminya, butuh perih untuk menghargai nikmat

Seorang penulis, biasanya terpengaruh oleh warna kedaerahan berupa politik, adat, budaya, dsb. M. Faizi merupakan sosok lain yang lain, local color benar-benar tidak kelihatan dalam puisi-puisinya. Baik latar belakang daerah, maupun latar belakang agama yang sebenarnya sangat dominan pengaruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Memang ada puisi yang bersetting religius, tetapi tidak cukup kuat untuk mengatakan M. Faizi terpengaruh oleh keustadannya. Berbeda dengan penyair Madura yang sangat kondang, Abdul Hadi WM, yang warna kedaerahan (local color) nya sebagai wong pesisir sangat kental.

Ia lebih menonjolkan kode-kode budaya yang di setiap daerah ada. Kesamaan konteks budaya Madura, dengan Jawa , serta daerah lain yang melatarbelekangi puisi, mengisyaratkan bahwa puisi-puisi dalam kumpulan puisi ini go national. Bisa membumi di negeri bernama Indonesia. Larik-larik puisi ini membuktikan hal itu.

Lalu, ada kala seberkas cahaya

melintas tinggi di jumantara malam

membawa curiga dalam hati

“Itu cerawat yang dibawa setan

seseorang akan buncit perutnya

lalu meninggal dengan sengsara”

Malam, sebagaimana disebutkan dalam Alquran, menjadi saat tepat perjalanan setan, yang kadang akan menggoda dan memperdaya, serta diperdaya manusia, orang sering menyebutnya santet. Di Kalimantan ada kepala terbang yang konon memakan bayi. Makna cerawat mungkin setara dengan teluh atau santet? Semua yang terkait dengan itu, selalu ada unsur mistiknya, yang cenderung tidak baik (setan).

Pada puisi Lintang Kemukus di Langit Kota, saya berharap ada makna lokal mengenai Lintang Kemukus. Tetapi ternyata tidak saya dapati simbol budaya lokal pada judul ini. Maksud saya hendak saya sejajarkan dengan makna Lintang Kemukus di Jawa, yang arah sinarnya menunjukkan daerah yang akan terkena musibah. Lintang Kemukus kelihatan sangat terang di sepertiga malam terakhir.

Puisi berjudul Malam Gerhana, mengkonotasikan bahwa kejadian yang rutin itu makin meningkatkan keimanan penyair, meskipun masih ada foklore tentang Rahu dan Randa Kasihan. Dalam puisi ini tampak keustadan penyair mengalahkan makna, simbul, kode budaya. Dalam foklore Jawa, Gerhana bulan terjadi karena bulan dimakan Buta Ijo, maka diminta untuk menabuh tetabuhan yang ada agar bulan segera lepas dari mulut si raksasa. Mengawinkan dunia mistik (Rahu dan Randa Kasihan) dengan keimanan seorang ustad menjadi sesuatu yang dapat mempertebal keimanannya.

Satu puisi yang isinya sangat sederhana, rasional, berjudul Hantu Digital. Puisi ini hendak mengisahkan bahwa dengan adanya listrik tempat yang tadinya ditengarai ada hantu menjadi hilang. Orang mengatakan hantunya takut listrik. Listrik identik dengan teknologi. Perkembangan teknologi bisa menggeser hal-hal mistik ke rasional.

Sejak semua sudut jadi terang

Hantu pun jarang diceritakan

Inilah catatn saya yang tentunya masih sangat dangkal, berhubung saya baca puisi-puisi ini sehabis Jumatan kemarin. Isi ulasan yang pendek ini saya harapkan bisa menimbulkan bahan diskusi. Ada beberapa catatan tentang

1. Cerawat

2. Rahu

3. Randa kasihan

Atau menanyakan sekitar proses kreatif penyair. Yang jelas saya menyimpulkan antologi ini bisa dijadihan bahan ajar di sekolah. Tidak ada muara politis, sara, etika. Sebaliknya, bisa membangun karakter siswa.

-------------------------------

*) tulisan ini disampaikan dalam diskusi buku "Permaisuri Malamku karya M. Faizi" di Rumah Buku Dunia Tera, desa Borobudur, Magelang, 22 Mei 2011.

**) Joko Supriyono, pernah aktif dalam giat sastra dan budaya melalui INSANI (rubrik Sastra Budaya harian Masa Kini) , pernah menulis puisi, menulis cerpen, menulis kritik, catatan budaya, pernah jadi wartawan, pernah didaulat Ketua Komisi Sastra, Dewan Kesenian Kabupaten Magelang (akhirnya bubar sendiri), masih menjadi guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 3 Muntilan. Alamat : Kutan, Sedayu, Muntilan, Kabupaten Magelang. CP: 081328187186

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

* Biasakan Mengutip Sumber/Referensi
* Terima Kasih Telah Membaca/Berkomentar