Entah kok bisa kebetulan; buku puisi ini, “Satu Bumi Dirusak Bersama” (SBDB) terbit bersamaan dengan terjadinya longsor dan banjir besar di tiga provinsi di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat). Buku puisi yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra Malang ini memang mengusung tema lingkungan, kerusakan ekologis, dan visi manusia yang cenderung rusak dan merusak dari awal.
Tentu saja, menerbitkan buku puisi tunggal tidak bisa dibuat untuk “numpang momentum”. Buku puisi tidak bisa dibuat seperti bunga rampai esai tentang bencana ekologis yang dikumpulkan dari banyak penulis. Ia telah melalui proses panjang, bertahun-tahun. Setiap menulis puisi bertema lingkungan, saya piliha dan saya kumpulkan sesuai temanya. Setelah terkumpul sekitar 30 judul, saya terbitkan menjadi satu buku.
Sebelum ini, saya telah menulis esai demi esai dengan tema yang mirip, yaitu Merusak Bumi dari Meja Makan (MBDMM). Yang membedakan MBDMM dengan SBDB adalah fokusnya. Jika MBDMM membahas daya rusak manusia terhadap Bumi secara tidak langsung, melalui produksi limbah makanan, penggunaan plastik-sekali-pakai secara masif, yang meskipun kecil namun diulang terus-menerus setiap hari, buku SBDB lebih meninjau kerusakan alam secara umum, seperti hancuranya batuan karst dan kekurangan air bersih, hilangnya tanggungjawab manusia terhadap sampah yang diproduksinya serta pengrusakan di laut yang sering terlewat dari pengamatan.
Antara akhir November dan awal Desember ini, saya mesti gembira karena buku puisi saya yang ke-11 telah terbit. Namun, kesedihan atas bencana di Sumatera mengharuskan saya tahu diri, tidak boleh hanyut oleh euforia. Kesedihan lebih besar daripada kegembiraan karena kesedihan cenderung mengingatkan sedangkan kegembiraan seringkali membuat terlena. Saya berbela sungkawa dan tidak dapat melakukan tindakan langsung di lapangan. Hanya buku ini yang saya persembahkan di momen kali ini, buku tipis yang saya harap dapat mengubah sedikit banyak persepsi orang di masa depan, perubahan cara pandang manusia terhadap lingkungan.
Bagi saya, puisi tidak bisa jadi kadaver. Puisi tetap lahir dari zaman yang melingkupinya dan sebab itulah ia harus kembali kepada masyarakat yang melahirkannya. Puisi tidak boleh semata diobyek keindahan dan kepaduan strukturnya saja. Ia harus bisa menjadi suara yang didengar dan laksanakan amanahnya.

