Akhirnya, buku puisi yang keempat dapat cetak ulang di tahun 2025. Buku tersebut adalah “Surat Cinta unuk Malam”. Cetak ulang keduanya diterbitkan oleh Edisi Mori, Malang. Adapun cetakan pertamanya berjudul “Permaisuri Malamku”, diterbitkan oleh Diva Press, tahun 2011 yang lalu.
Meskipun secara urutan terbit buku ini adalah buku puisi saya yang keempat, namun dari sisi konsep tematik ia adalah yang pertama. Di dalam buku puisi ini, saya membidik tema langit malam dan semua hal yang terkait dengannya. Sepintas, ia memang bisa dibilang seperti puisi astronomis, tapi nyatanya tidak sepenuhnya demikian. Penggunaan kata-kata seperti Pleiades, Hale-Bopp, Sabitah, maupun Bimasakti hanyalah ornamen-ornamen dalam puisi yang sebetulnya lebih tertuju dan terarah untuk mengajak pada permenungan, berpikir lebih mendasar, secara eksistensial, tentang hidup, tentang kemenghambaan, tentang status manusia di jagat raya yang mahabesar.
Sebetulnya, Surat Cinta untuk Malam adalah judul puisi yang saya tulis dan diterbitkan di dalam buku sebelumnya, Rumah Bersama, namun karena puisi tersebut telah memantik ide untuk menulis puisi-puisi bertema malam dan langit malam, maka puisi tersebut dimasukkan kembali ke dalam buku Permaisuri Malamku yang terbit di tahun 2011. Pada masa-masa itu, saya sangat terpukau dengan keindahan langit malam.
Terkait puisi-puisi di buku ini, saya tidak bisa melupakan nama Hendro Setyanto. Berkat kawan saya, Januar Herwanto, saya diperkenalkan dengannya. Pada pertemuan pertama, saya langsung terlibat diskusi agak lama dengan beliau terkait astronomi (belakangan bahkan sempat membeli teleskop juga dari beliau untuk sekolah). Saat ini, belaiu mengelola Imah Noong dan Mushollatorium. Dua ruang untuk aktivitas astronomi ini berada di Lembang, Bandung Utara. Dari pembicaraan dengannya itulah akhirnya saya mulai menulis puisi-puisi bertema langit malam.
Dua di antara puisi bertema malam (Surat Cinta untuk Malam dan Permaisuri Malamku) dibacakan di salah satu sesi Ubud Writers and Readers Festival, di Ubud, Bali, tahun 2008. Kebetulan, yang membacakannya adalah Martin Jankowski, sementara saya membacakan puisi dia. Berkat pertemuan tersebut akhirnya kami dipertemukan kembali bertemu di Jerman. Martin mengundang saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni yang dia kerjakan: Jakarta-Berlin Arts Festival. Puisi-puisi pun dikumpulkan dan diterbitkan di Diva Press lalu saya bawa pergi ke perhelatan tersebut.
Bedanya dengan buku Permaisuri Malamku, buku Surat Cinta untuk Malam didisain lebih ramping dan lebih kecil oleh Erha Authanul Muther, pendiri Mori. Di dalamnya juga dimuat beberapa puisi tambahan, yaitu : Himne untuk Malam, Cara Mengetuk Pintu, Menunggu Peringatan Isra Mikraj, Siapa yang Menyapu Langit?, Hanya Bertanya, Betapa Indahnya Maghrib, Batu-Batu Langit, Nahawand, Jiharkah, Ulul Albab, Refleksi Agustus Saat Padam Lampu, Kelompak Langit Merekah, dan Iman dan Cinta. Buku dengan jumlah halaman 88 ini terbit di bulan Maret 2025.