20 Mei 2025

Surat Cinta untuk Malam

 

Akhirnya, buku puisi yang keempat dapat cetak ulang di tahun 2025. Buku tersebut adalah “Surat Cinta unuk Malam”. Cetak ulang keduanya diterbitkan oleh Edisi Mori, Malang. Adapun cetakan pertamanya berjudul “Permaisuri Malamku”, diterbitkan oleh Diva Press, tahun 2011 yang lalu.

Meskipun secara urutan terbit buku ini adalah buku puisi saya yang keempat, namun dari sisi konsep tematik ia adalah yang pertama. Di dalam buku puisi ini, saya membidik tema langit malam dan semua hal yang terkait dengannya. Sepintas, ia memang bisa dibilang seperti puisi astronomis, tapi nyatanya tidak sepenuhnya demikian. Penggunaan kata-kata seperti Pleiades, Hale-Bopp, Sabitah, maupun Bimasakti hanyalah ornamen-ornamen dalam puisi yang sebetulnya lebih tertuju dan terarah untuk mengajak pada permenungan, berpikir lebih mendasar, secara eksistensial, tentang hidup, tentang kemenghambaan, tentang status manusia di jagat raya yang mahabesar.

Sebetulnya, Surat Cinta untuk Malam adalah judul puisi yang saya tulis dan diterbitkan di dalam buku sebelumnya, Rumah Bersama, namun karena puisi tersebut telah memantik ide untuk menulis puisi-puisi bertema malam dan langit malam, maka puisi tersebut dimasukkan kembali ke dalam buku Permaisuri Malamku yang terbit di tahun 2011. Pada masa-masa itu, saya sangat terpukau dengan keindahan langit malam.

Terkait puisi-puisi di buku ini, saya tidak bisa melupakan nama Hendro Setyanto. Berkat kawan saya, Januar Herwanto, saya diperkenalkan dengannya. Pada pertemuan pertama, saya langsung terlibat diskusi agak lama dengan beliau terkait astronomi (belakangan bahkan sempat membeli teleskop juga dari beliau untuk sekolah). Saat ini, belaiu mengelola Imah Noong dan Mushollatorium. Dua ruang untuk aktivitas astronomi ini berada di Lembang, Bandung Utara. Dari pembicaraan dengannya itulah akhirnya saya mulai menulis puisi-puisi bertema langit malam.

Dua di antara puisi bertema malam (Surat Cinta untuk Malam dan Permaisuri Malamku) dibacakan di salah satu sesi Ubud Writers and Readers Festival, di Ubud, Bali, tahun 2008. Kebetulan, yang membacakannya adalah Martin Jankowski, sementara saya membacakan puisi dia. Berkat pertemuan tersebut akhirnya kami dipertemukan kembali bertemu di Jerman. Martin mengundang saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni yang dia kerjakan: Jakarta-Berlin Arts Festival. Puisi-puisi pun dikumpulkan dan diterbitkan di Diva Press lalu saya bawa pergi ke perhelatan tersebut.

Bedanya dengan buku Permaisuri Malamku, buku Surat Cinta untuk Malam didisain lebih ramping dan lebih kecil oleh Erha Authanul Muther, pendiri Mori. Di dalamnya juga dimuat beberapa puisi tambahan, yaitu : Himne untuk Malam, Cara Mengetuk Pintu, Menunggu Peringatan Isra Mikraj, Siapa yang Menyapu Langit?, Hanya Bertanya, Betapa Indahnya Maghrib, Batu-Batu Langit, Nahawand, Jiharkah, Ulul Albab, Refleksi Agustus Saat Padam Lampu, Kelompak Langit Merekah, dan Iman dan Cinta. Buku dengan jumlah halaman 88 ini terbit di bulan Maret 2025.

Duli di Terompah Nabi dan Madah Makkiyah



 

Di semester kedua tahun 2024 ini, saya menerbitkan dua buku puisi baru bersamaan. Dua-duanya tentang cinta. Yang pertama adalah mahabbatur rasul. Yang kedua adalah puisi-puisi cinta kepada kekasih yang telah tiada.

Menerbitkan dua buku puisi bersamaan, lebih-lebih itu buku puisi, nyaris dianggap sebagai pekerjaan paling gabut di masa sekarang. Tidak banyak penerbit yang mau menerbitkan buku puisi kecuali atas uluran tangan dari sepenulis, semisal dalam pendanaan atau jaminan pertanggungjawaban dalam hal distribusinya setelah terbit. Pernyataan ini bukan berdasarkan data survei, hanya mengacu pada keluh-kesah teman-teman dalam jaringan dekat. Dalam kasus seperti ini, mereka berbisik atau bicara pelan-pelan soal penerbitan buku puisi. Kebetulan, saya tidak termasuk dalam kelompok itu. Dua buku puisi saya ini diterbitkan nyaris bersamaan oleh Diva Press.

Jika buku “Duli di Terompah Nabi” terbit, akal bisnis saya yang cetek masih dapat menjangkaunya, tentu saja penerbitnya juga, mengingat buku itu adalah puisi-puisi yang berisi madah puja-puji terhadap Kanjeng Nabi Muhammad saw. Jadi, jika terbit dan diacarakan di beberapa tempat, apalagi di bulan Maulid, masih ada lah kemungkinan lakunya. Kenyatannnya, saya kurang tahu karena belum mendapatkan kabar cetak ulang dari penerbit sejauh ini. Setidaknya, dengan melihat adanya beberapa pemesan kepada saya secara langsung atau minat membeli para pengunjung di acara tempat saya melaksanakan kegiatan bedah buku sudah cukup menjadi alasan bahwa masih ada penyuka puisi. Boleh jadi di antara mereka memang tidak suka puisi namun tetap membeli buku Duli di Termpah Nabi hanya karena ada unsur shalawat dan unsur nabawinya. Mungkin pula sang pembeli tidak menyukai puisi tapi suka madah nabawi seperit Diba’, Barzanji, Burdah, Simtudduror, atau sejenis itu yang secara kebetulan buku tersebut memuat dua terjemahan Maulid Dayba’i dan Simtud Duror (sesi mahallul qiyam). 



Yang mengherankan adalah buku satuya, yaitu buku puisi Madah Makkiyah. Buku ini  juga diterbitkan oleh Diva Press. Puisi-puisi di dalam buku tersebut adalah puisi-puisi personal (yang biasanya hanya ditulis di dalam diari dan disimpan sendiri) untuk almarhumah istri saya. Apakah kemungkinan unsur bisnis dari puisi-puisi semacam itu? Bahkan saya pun nyaris menafikannya. Saya menduga, jangan-jangan penerbit merilis buku ini bukan karena pertimbangan bisnis, tapi “kasihan saja”, atau bentuk timbal balik kerena saya telah menerbitkan banyak buku di penerbitnya.

Atau, jangan-jangan, ia melihat ada sesuatu yang penting di dalam buku itu namun justru tidak tampak di mata saya sendiri?

Madah Makkiyah adalah puisi-puisi pujian yang saya tulis dan saya persembahkan untuk mendiang istri saya, Makkiyah. Yang pasti, puisi ini eksklusif karena puisi-puisi yang dimuat di dalamnya adalah puisi-puisi awal sejak saya baru mengenalnya, hidup bersamanya, dan saya tetap menulis puisi untuknya sebagai persembahan dan doa setelah beliau tiada. Mungkin tidak banyak orang yang membuat arsip seperti ini, terutama terkait hubungan kasih-kinasih dengan pasangan hidupnya, lebih-lebih jika sampai diterbitkan secara resmi. Dalam hal ini, dengan diterbitkannya buku Madah Makkiyah oleh Diva Press, saya merasa diistimewakan.
 
Mungkin, ada juga penyair yang menulis puisi dengan cara serupa itu: menulis puisi personal untuk kekasihnya yang kelak menjadi istrinya, lalu tetap menuliskannya hingga ia tiada, namun saya cukup bangga dan yakin, buku Madah Makkiyah ini menjadi istimewa—setidaknya di mata saya—karena hubungan cinta yang diungkapkan di dalam buku puisi itu bukanlah hubungan asmara biasa, melainkan dipertautkan oleh ‘kehadiran’ pihak ketiga, yaitu DIA yang disanjung di dalam buku puisi sebelumnya, Duli diTerompah Nabi, yaitu nabi Muhammad saw.

Jika Anda membaca puisi-puisi Duli di Terompah Nabi kemudian membaca Madah Makkiyah, Anda akan menemukan kenyataan bahwa pujian yang saya sanjungkan kepada Nyai Makkiyah tetaplah selalu berkelit-kelindan terhadap pujian yang saya tautkan kepada Rasulullah. Betapa bahagia saya dengnn kedua buku puisi ini, bahkan melampaui kebahagian saya terhadap buku-buku puisi saya yang lainnya.