16 Desember 2025

Yang Tak Dapat Diterjemahkan dalam Puisi Terjemahan


PUISI TERJEMAHAN

di hutan-hutan
aku belajar
               bahasa pepohonan

        kuhafal setiap kosakata
dan pengucapannya

aku tiru suara pohon tumbang
bunyi akar menembus tanah
dan sejumlah kalimat
untuk menggugurkan dedaunan

ke dalam bahasa pohon
aku terjemahkan
puisi pemberontakan
juga puisi tentang hijaunya
        kampung halaman

                dan akan kubaca
dengan logat tunggul kayu

tapi sungguh
                       entah mengapa

terjemahan kata tumbuh
     tak kunjung aku temukan
           dalam bahasa pepohonan 


Menimbang judul puisi (Puisi Terjemahan), persepsi pembaca seakan langsung dibawa pada persoalan puisi asing yang diterjemahkan atau tentang musykilnya menerjemhkan puisi. Pada saat itu, kita akan ingat statemen Robert Frost akan ketidakmungkinannya, tentang hal-hal yang akan hilang dari proses penerjemahan puisi. Akan tetapi, setelah bait pertama dibaca, jelaslah bahwa yang dimaksud oleh Heru Joni Putra (HJP), puisi ini bukan tentang itu, melainkan tentang upaya penyair untuk memahami bahasa pepohonan (yang ia ibaratkan sebagai ‘menerjemahkan’), saat ia tumbuh dan begitu juga ketika tumbang.

Tipografi dua bait pembuka puisi dibikin menjorok ke dalam. Hal yang sama juga begitu pada dua bait penutupnya. Kedua bagian ini adalah pintu masuk sekaligus pintu keluar jika puisi diandaikan sebagai sebuah ruang. Di pintu masuk, kita disambut oleh pernyataan penyair bahwa ia sedang mempelajari “bahasa pepohonan”, sebuah sistem komunikasi yang terbentuk dari simbol-simbol berdasarkan konvensi antarpohon yang mungkin tidak pernah diketahui oleh awam bagaimana ia berlangsung. Sains modern mungkin belum menemukan kode-kode itu meskipun sebetulnya boleh jadi ia ‘telah selesai’ dalam pengetahuan Kepercayaan dan mistisisme.

Dalam hal ini, yang dipelajari si penyair bukanlah sistem komunikasi verbal sebagaimana dibentuk dan disepakati oleh manusia, melainkan sesuatu yang yang ada pada pohon. Seperti apa bahasa komunikasi itu? Karena perbedaan media dan simbol, maka sebab itulah si penyair mengistilahkannya dengan “terjemahan”, yaitu menerjemahkan simbol bunyi pohon ke dalam bahasa simbol manusia.

Seandainya dibikin normal, struktur pembuka puisi akan menjadi seperti ini: “Aku belajar bahasa pepohonan di hutan-hutan. Kuhafal setiap kosakata dan pengucapannya”. Penyair membuat insanan, menyamakan pohon dengan manusia yang produk bahasanya dapat diidentifikasi dengan kosakata dan pengucapan. Dalam bahasa pepohonan, kosakata dan pengucapan ini adalah simbol bicara, suara atau ide yang disampaikan.

Jika suara pohon itu adalah modulasi, yang dilakukan penyair adalah demodulasi. Dengan cara inilah penyair melakukan proses menerjemahkan sehingga ia dapat mengenal, meniru, dan menghayati sebagaimana ia men-”tiru suara pohon tumbang, bunyi akar menembus tanah dan sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan”. Di sini, penyair mencermati suara pohon yang tumbang, akar yang ada di dalam tanah. Dua perbandingan tersebut tidak setara karena mengekspresikan satu hal yang berbunyi dan satu lainnya yang nirbunyi. Dua masalah bertambah, menjadi tiga, setelah dipungkasi “sejumlah kalimat untuk menggugurkan dedaunan”. Untuk statemen terakhir, bisa jadi ia adalah tindakan yang berasal dari si penyair atau suara mesin atau angin (namun tidak sebaliknya [seperti dua perbandingan sebelumnya]) karena adanya bentuk kalimat transitif “menggugurkan”.

Pada bait berikutnya, sudut pandang penyair terbalik. Ia bukan menerjemahkan suara dari pepohonan ke dalam bahasa penyair, melainkan menerjemahkan bahasa dan suara (hati) penyair ke dalam pohon: “Ke dalam bahasa pohon, aku terjemahkan puisi pemberontakan (dan) juga puisi tentang hijaunya kampung halaman”. Penyair menggambarkan visi ekologisnya atas bentuk idealisasi yang ada pada objek yang dikehendaki: pohon dan kampung halaman. Tindakan selanjutnya adalah mengumpakan terjemahan tersebut telah ia baca. Karena itulah, istilah yang muncul kemudian adalah “logat” yang diejawantahkan pada wujud “tunggul” (bekas bonggol kayu setelah ditebang atau tumbang), sebuah ekspresi atas entah kesedihan atau fase akhir sebuah kehidupan.  

Statemen “tapi sungguh” di bagian akhir puisi menunjukkan bahwa penyair merasa heran pada dirinya sendiri, pada ketidakmampuannya untuk menemukan terjemahan kata “tumbuh” di antara kata-kata antonim lainnya yang bermakna kebalikannya (gugur, tumbang). Kenyataan ini seakan menunjukkan bahwa aku-penyair adalah aku-kebanyakan, bahwa orang-orang dengan mudah melihat bagaimana pohon tumbang, namun sebaliknya ia tidak mampu menyadari bagaimana ia tumbuh: sebuah proses puluhan tahun untuk berkembang namun hanya lima menit saja ia habis ditebang.
Pungkasnya;
“terjemahan kata tumbuh
      tak kunjung aku temukan
            dalam bahasa pepohonan”


03 Desember 2025

"Satu Bumi Dirusak Bersama" dan Bencana Ekologis di Sumatera


Entah kok bisa kebetulan; buku puisi ini, “Satu Bumi Dirusak Bersama” (SBDB) terbit bersamaan dengan terjadinya longsor dan banjir besar di tiga provinsi di Sumatera (Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat). Buku puisi yang diterbitkan oleh Pelangi Sastra Malang ini memang mengusung tema lingkungan, kerusakan ekologis, dan visi manusia yang cenderung rusak dan merusak dari awal.

Tentu saja, menerbitkan buku puisi tunggal tidak bisa dibuat untuk “numpang momentum”. Buku puisi tidak bisa dibuat seperti bunga rampai esai tentang bencana ekologis yang dikumpulkan dari banyak penulis. Ia telah melalui proses panjang, bertahun-tahun. Setiap menulis puisi bertema lingkungan, saya piliha dan saya kumpulkan sesuai temanya. Setelah terkumpul sekitar 30 judul, saya terbitkan menjadi satu buku.

Sebelum ini, saya telah menulis esai demi esai dengan tema yang mirip, yaitu Merusak Bumi dari Meja Makan (MBDMM). Yang membedakan MBDMM dengan SBDB adalah fokusnya. Jika MBDMM membahas daya rusak manusia terhadap Bumi secara tidak langsung, melalui produksi limbah makanan, penggunaan plastik-sekali-pakai secara masif, yang meskipun kecil namun diulang terus-menerus setiap hari, buku SBDB lebih meninjau kerusakan alam secara umum, seperti hancuranya batuan karst dan kekurangan air bersih, hilangnya tanggungjawab manusia terhadap sampah yang diproduksinya serta pengrusakan di laut yang sering terlewat dari pengamatan.

Antara akhir November dan awal Desember ini, saya mesti gembira karena buku puisi saya yang ke-11 telah terbit. Namun, kesedihan atas bencana di Sumatera mengharuskan saya tahu diri, tidak boleh hanyut oleh euforia. Kesedihan lebih besar daripada kegembiraan karena kesedihan cenderung mengingatkan sedangkan kegembiraan seringkali membuat terlena. Saya berbela sungkawa dan tidak dapat melakukan tindakan langsung di lapangan. Hanya buku ini yang saya persembahkan di momen kali ini, buku tipis yang saya harap dapat mengubah sedikit banyak persepsi orang di masa depan, perubahan cara pandang manusia terhadap lingkungan.


Bagi saya, puisi tidak bisa jadi kadaver. Puisi tetap lahir dari zaman yang melingkupinya dan sebab itulah ia harus kembali kepada masyarakat yang melahirkannya. Puisi tidak boleh semata diobyek keindahan dan kepaduan strukturnya saja. Ia harus bisa menjadi suara yang didengar dan laksanakan amanahnya.

16 November 2025

Sebulan Tiga Buku


Antara pertengahan Oktober hingga awal November ini, selera perbukuan saya terasa istimewa. Hingga pertengahan bulan ini, Oktober, bulan yang--kata Royyan Julian--biasanya jadi bulan bulan pengambilan bonusnya banyak sastrawan. Kegiatan bahasa, kegiatan sastra, bahkan termasuk perhelatan kesusastraan besar biasanya dihelat pada bulan ini, termasuk UWRF,” selorohnya.

 

Di bulan ini, secara kebetulan, saya selesai membaca tiga buku puisi. Buku-buku tersebut adalah; Puisi Pagi Ini, 2) Laela Majenun, 3) Hantu Nippon. Di samping saya baru saja menyelesaikan urusan soal cetak ulang beberapa buku saya juga menyiapkan penerbitan buku puisi terbaru di Pelangi Sastra Malang pada Desember nanti,  kebahagiaan bertambah karena saya ada waktu untuk menyelesaikan buku-buku puisi karya D Zawawi Imron, Acep Zamzam Noor, dan Romzul Falah.

 

Membaca buku puisi di antara kesibukan yang menjepit kanan dan kiri itu berasa mewah sekali. Di antara suara orang yang mengeluhkan peringkat daya baca masyarakat yang rendah, ia tumbuh tak terasa. Akan tetapi, jika mengacu pada pendapat Benny Arnas, waktu luang untuk membaca itu nyatanya memang tidak ada. Yang tersedia adalah memang waktu untuk membaca, sama seperti waktu kita untuk tidur, waktu untuk makan, dan seterusnya. Tanpa menyediakan waktu khusus untuknya (karena kita merasa wajib), waktu untuk membaca nyaris tidak akan pernah ada.

 

1) PUISI PAGI INI, D ZAWAWI IMRON

 

Dalam buku puisi yang diterbitkan oleh Diva Press bulan Agustus 2025 ini, ada satu puisi berjudul Sang Pemanjat yang paling dulu melekat. Di dalam buku itu, di antara 82 judul, jumlah yang bukan main-main untuk seukuran buku puisi, Sang Pemanjat inilah yang pertama kali menarik saya untuk membacanya dengan cara mengulang-ulang.

 

Jika Anda pernah membaca puisi-puisi Pak De sebelumnya, terutama yang dulu-dulu, judul “Pemanjat” akan mengarahkan pandangnn imajinasi mata Anda ke pucuk-pucuk pohon siwalan, ataupun kata berbeda, frasa, atau kalimat namun berkaitan dengan pohon tersebut, seperti seperti nira dan mayang. Nyatanya, bukan ke situ arahnya. Ternyata, penyair membuat sudut pandang yang lain;

Dari atas pohon

Alam terhampar

Dengan kaligrafi bertulis Allahu Akbar

 

Dari atas ohon terasa

Kedalaman sujud

Karena itu ia memanjat

Untuk kenal indahnya hidup

 

Memang, kata “nira tetap hadir secara harfiah di dalam puisi tersebut. Pak De tampaknya belum bisa move on dari hal-hal yang beraroma siwalan. Ia menulis seperti ini:

Pemanjat turun membawa anugerah Tuhan

nira yang manis

Anak dan istri melengkapi manisnya kebahagiaan.

 

Apakah ini suatu kekurangan ataukah eksistensi? Entah, namun saya kira itu adalah visi, pilihan yang dengan penuh sadar dipilih dan ditentukan sendiri oleh penyairnya, tidak peduli orang lain menganggapnya klise atau sebaliknya. Yang saya curigai malah hal berbeda, bahwa buku “Puisi Pagi Ini” digarap agak tergesa. Lihat misalnya ada dua kata manis yang sangat berdekatan dalam satu bait, sementara itu bukanlah repetisi; begitu juga terdapat bagian yang ‘terputus’ di 19-20. Apakah ini kesalahan tata letak apa entah apa? Apakah kesalahan proof reading atau memang begitu dibuat adanya? Benar kata pepatah: “Sesuatu yang sudah dianggap selesai, maka baru akan tampak kalau ia kurang”.

 

D Zawawi Imron juga sempat menyatakan “statemen kepenyairan di dalam puisi, bukan di kata pengantar atau lainnya. Bukankah kredo itu biasa ditulis di awal, pada fase kreativitas seseorang dilakukan sebagai prinsip awal mulanya? Berikut yang saya maksud:

Puisi patuh dengan gaya

Barangkali

Tak sengaja bergaya

 

Kita cari puisi

Dalam seribu barangkali

(Barangkali 1)

 

Puisi-puisi Pak De mengandung pesan religius, meskipun sudut pandang ini bukanlah “jalan ninja”-nya. Dan sesuai dengan waktu, mengikuti umur juga, semakin ke belakang, rasa itu semakin terasa. Pesan moral dan agama tampak dituturkan tanpa menggunakan cadar lagi, lebih terbuka dan berhadap-hadapan langsung dengan pembaca, seperti dalam “Sedapnya Takdir”:

 

Kudengar ricik air

Bahwa kesetiaan menuntut jernihnya pikir

Agar kita bisa mengecap sedapnya takdir

 

Pak De juga menulis puisi shalawat dengan judul “Salawat Cinta” yang polanya dibuat mirip pantun. Puisi ini beberapa kali dibacakan beliau di beberapa kegiatan umum yang berisfat keagamaan (Di sini tidak saya kutip agar Anda bisa merujuk langsung ke dalam bukunya).

 

Di antara kegemaran beliau yang lain adalah menulis puisi untuk rekan-rekannya. Di samping juga melakukan “sentimentalia tempatan” sebagaimana banyak dilakukan penyair lain (menulis puisi yang mengandung lokasi tempat penyair singgah atau berkunjung, terutama tempat yang dianggap indah, jarang dikunjungi, atau jauh dari rumah), Pak Zawawi juga suka menulis “puisi persembahan”. Di dalam buku ini, ada beberapa puisi yang dibuat khusus untuk Yudi Latif, Sinanssari Ecip, Andi Mahrus, Mohd Sabri AR.

 

Catatan ini ini bukanlah ulasan buku. Ia hanya selayang pandang saja. Selengkapnya Anda baca esai Pak Tauhed Supratman dan Mohamad Sinal atau Mohd Sabri AR yang menjadi penutup buku ini. Saya kira, ketiga esai itu lebih representatif dari tulisan saya.

 

2) LAELA MAJENUN, ACEP ZAMZAM NOOR

 

Saya tidak membaca banyak puisi karya Kang Acep kecuali hanya beberapa saja. Di antaranya adalah puisi-puisi yang ada di dalam buku “Bagian dari Kegembiraan”. Sekali saja saya pernah membahasnya dalam term tafsir puisi manasuka untuk puisi berjudul “Ode Buat Seorang Penyanyi Dangdut” (https://m-faizi.blogspot.com/2018/04/ode-buat-seorang-penyanyi-dangdut-acep.html). Yang saya temukan di sana maupun di sini adalah kesamaannya dalam membuat sentimentalia, sedikit pula ada ‘nakal-nakal’-nya, seperti; Aku  merenungi detik dan menit yang bergerak / Meninggalkan pikiranku yang masih berkesiur / Dalam labirin sepi, kuhirup harum rambutmu.

 

Frasa-frasa seperti “merenungi detik”, “labirin sepi”, dan “harum rambutmu” memiliki citarasa klasik yang biasanya ditulis di awal mula kepengarangan seorang penyair. Sama seperti dugaan saya di atas (untuk puisi D Zawawi Imron), gaya lawasan seperti ini bukan lahir mendadak. Ia pasti terlahir melalui proses kuratorial panjang, ditulis dengan kesadaran penuh meskipun risikonya bisa jadi adalah hilangnya invensi, pencarian baru, yang semestinya ia menjadi yang paling utama di dalam puisi.

 

Puisi-puisi Kang Acep terjaga untuk seperti itu, masih membawa kesan sentimentil dan ada genit-genitnya pula. Mungkin saja itu itulah given, ya, sehingga selalu muncul karena bawaan sehingga ia bisa nongol kapan pun dan di banyak puisi. Akan tetapi, Kang Acep tetap menguhkan ‘manifesto’-nya karena hanya dengan cara seperti inilah seorang penyair dapat hidup berbangga atas jalan yang ditempuhnya sebab masyarakat dan Negara kurang mampu memberikan penghargaan yang lebih baik daripada yang terjadi di negera-negera maju, bahkan yang terjadi di negara tetangga sendiri.

 

Puisi akan tenggelam di antara

Maraknya slogan

Dan lumpuhnya metafora

 

Di antara pujian dan hujatan

Puisi akan menghilang

Entah ke mana

 

Puisi yang berjudul “Entah ke Mana” ini ditulis barusan, tahun 2020. Datum penciptaan puisi adalah momentum pandemi. Dapat dibayangkan, betapa nganggurnya para penyair kala itu. Mereka  meringkuk di dalam rumah sebab tidak dapat menggarap sawah. Mereka tidak membuka toko karena tidak ngurus sembako. Mereka hanya terpekur dan menulis puisi yang, sedihnya, tidak dapat tempat untuk disiarkan kecuali hanya dibaca oleh teman-teman sendiri. Kalau bukan manifesto, apa lagi yang dapat dijagokannya?

 

Sentimentalia masih tampak menonjol dalam banyak puisi Acep Zamzam Noor. Ini adalah salah satunya, Perihal Jadwal, yang ditulis pada tahun 2023 lalu:

Jarak kita tercipta

Dari spasi

Di antara paragraf sepi

Meskipun demikian, Kang Acep tidak lupa menyuarakan visi ekologisnya. Ia ditegaskan pada bait terakhir dalam puisi yang sama, hadir sebagai satire:

Apa yang masih bisa diharapkan dari bencana

Selain jawaban yang tak kunjung terdengar

Di telinga? Truk-truk masih terus bergerak

Mengeruk apa saja yang tersisai dari bumi

 

3) HANTU NIPPON, ROMZUL FALAH

 

Dibandingkan dengan kedua penyair sebelumnya, Romzul Falah adalah generasi mutakhir. Kebetulan, puisinya juga jauh berbeda dengan keduanya. Romzul menulis puisi-puisi naratif, menghindari aku-lirik. Ke-aku-annya bahkan nyaris tidak muncul sama sekali di dalam buku Hantu Nippon ini.

 

Romzul lebih suka bercerita tentang orang desa, situasi desa, ancaman, kecamatan, eh, kecaman, bahkan kematian dan kelupaan. Ia bercerita tanpa menghadirkan diri kepenyairannya kecuali hanya sebagai figuran saja. Sebab itulah, ia tak ubahnya bercerita namun dalam bentuk puisi. Maka dari itu, banyak sekali petikan langsung di dalam buku ini. Nama-nama desa dan nama-nama orang pun ditulis persis seperti penulisan Basa Madura, namun struktur kalimat bukanlah vernacular. Memang terasa agak ganjil, sih!

 

Kadang ia membuat statemen satire yang hanya penduduk dan citarasa lokal yang tahu, seperti entar ka bhara’ (pergi ke Barat) karena Barat bagi orang Batu Putih adalah Haramain, bukan Amerika atau Eropa.

 

Banyak sekali simbol-simbol mistik dan mistis dalam puisi Romzul. Kita dapat mudah menemukan simbol cicak, paku, ayam, pana (cerawat) kotheka, hizib, mantra. Dengan kata-kata itu ia dapat menceritakan sadisme namus tapi tidak sadistis. Coba perhatikan bagian ini!
”Wajah mereka mengilat seperti arit

Baru keluar dari penempaan

Parang dan tambang mandi darah

Sembahyang di tangan”

 

Dalam puisi berjudul “Hantu dari Jharat”, kita bisa melihat satire yang amat dalam. Jharat sendiri adalah bahasa Madura yang kini sangat jarang digunakan, artinya adalah pemakaman umum. Jharat punya konotasi sedikit gelap karena pemakanan jharat itu kurang terawat, berbeda dengan letak makam-makam yang lain dan pada umumnya. Perubahan kesan ini bisa jadi muncul perlahan, melalui proses ameliorasi ke peyorasi yang berlangsung bertahun-tahun hingga hari ini.

Mayat itu dikubur di Jharat seturun

Salat Jumat tanpa satu pun bahu keluarga

Memikul keranda

 

Frasa “bahu keluarga” dalam memikul keranda”, betapa gelap dan sedihnya gambaran ini. Seakan begitu jauhnya bahu dengan tindakan memikul. Pernyataan ini menandakan adanya jarak antara orang-orang yang hidup dengan dia yang pergi, yang mestinya terjalin hubungan hangat. Penggunaan bahu untuk memikul adalah sinekdoke. Akan tetapi, saya cukupkan sampai di sini saja ulasan singkat saja, sebab yang panjang lebar sudah saya sampaikan dengan wicara di forum Malate, Jumat akhir Oktober 2025, di kota Sumenep.