28 Juni 2025

Antara Diskusi Buku dan Story

Senang sekali saya bisa hadir di acara diskusi buku di Kafe Pustaka, malam Ahad yang lalu 21 Juni 2025. Acara ini terselenggara atas kerjasama MORI (penerbit buku saya [Surat Cinta untuk Malam] juga buku Royyan Julian [Ranjang Poskolonial]) dengan Mas David selaku pengelola kafe. Acaranya adalah hajatan buku untuk kami berdua yang sama-sama datang dari Madura. Kedua buku itu, buku kami, adalah buku puisi, buku yang katanya paling sulit laku di Indonesia sejauh ini.


Kafe ini sering menyelenggarakan kegiatan buku. Berbeda dengan kegiatan buku di Kafe Basabasi atau Kafe Mainmain yang memang besar secara pendanaan dan ruangan, Kafe Pustaka lebih mirip Warung Sastra yang kecil secara ruang, namun cukup ‘berani’ untuk selalu berkegiatan. Kafe-kafe seperti di atas diuntungkan secara posisi karena dekat dengan kampus (Basabasi dan Mainmain dekat dengan UIN Sunan Kalijaga; Warung Sastra dengan UGM, Kafe Pustaka dengan UM). Kafe Pustaka dulunya ada di dalam kampus Universitas Negeri Malang (saya pernah hadir untuk diskusi buku di situ) dan kini pindah lokasi, ke Jalan Pekalongan, entah karena alasan apa.

Begitu pula dengan MORI, ia penerbit kecil. Terbitannnya tidak banyak. Pendanaannya juga terbatas. Nah, dengan berkolaborasi, keduanya menjadi satu kesatuan yang besar. Sejauh ini, saya paling sering menyelenggarakan diskusi buku di Kafe Basabasi (juga Mainmain) mengingat buku-buku saya memang banyak yang terbit di Penerbit Basabasi. Maka, mendiskusikan buku di Kafe Pustaka yang tak punya penerbitan dan juga MORI yang tak punya kafe akan meninggalkan kesan yang berbeda dengan penyelenggaraan diskusi di Basabasi (Jogjakarta) yang punya dua-duanya.   
 
Hanya hadir dalam acara diskusi buku kami tidak banyak secara jumlah, tapi sudah cukup untuk membuat semua bangku kafe terisi penuh. Salah satu hal yang membuat acara ini membahagiakan saya adalah hadirnya Prof Djoko Saryono dan Prof Aris di lokasi. Saya juga melihat kehadiran Aquarina Kharisma dan beberapa kawannya di komunitas Malang Women Writers' Society, termasuk Istie dan beberapa orang lain yang belum saya kenal.  Di luar itu, yang tak kalah menyenangkannya adalah karena saya bisa ambil bonus silaturahmi dengan dulur-dulur dan kerabat. Tentu saja, hal itu dilakukan sebelum acara. Sampai di Malang pagi hari Sabtu, waktu saya gunakan untuk bertandang ke rumah Ririd di Pakisaji, juga ke rumah Rozi di Joyogrand dan bertemu dengan banyak orang di sana. Kebahagiaan yang lain adalah karena moderator, Yohan Fikri, yang menyempatkan diri untuk menulis esai panjang demi puisi saya, tepatnya demi satu puisi saya yang ada di dalam buku itu. Sungguh tidak terduga karena dia sempat menulis artikel untuk membahas puisi berjudul “Himne untuk Malam” dengan model interpretasi yang pembahasannya merambah ke mana-mana. Saya suka.

Di Kafe Pustaka, saya bertemu dengan orang-orang yang sudah saya kenal maupun dengan yang baru saya kenal meskipun sudah tahu lebih dulu lewat media sosial, seperti dengan Novi Dwi Jawahir dan Arief Rahman Hakim. Bertemu dengan kerabat, kawan, orang baru, dan bercakap-cakap singkat dengan mereka tentang apa pun yang ada di dalam hidup ini terasa sangat menyenangkan, bahkan seakan lebih penting dari acara itu sendiri. Inilah perasaan yang saya alami dan jujur harus saya akui. Kesan dan perasaan seperti ini mungkin juga sering Anda alami, perasaan yang di satu sisi mirip dengan orang yang membuat story perjalanann dan menganggapnya lebih menarik daripada perjalanan itu sendiri.

 

 

20 Mei 2025

Surat Cinta untuk Malam

 

Akhirnya, buku puisi yang keempat dapat cetak ulang di tahun 2025. Buku tersebut adalah “Surat Cinta unuk Malam”. Cetak ulang keduanya diterbitkan oleh Edisi Mori, Malang. Adapun cetakan pertamanya berjudul “Permaisuri Malamku”, diterbitkan oleh Diva Press, tahun 2011 yang lalu.

Meskipun secara urutan terbit buku ini adalah buku puisi saya yang keempat, namun dari sisi konsep tematik ia adalah yang pertama. Di dalam buku puisi ini, saya membidik tema langit malam dan semua hal yang terkait dengannya. Sepintas, ia memang bisa dibilang seperti puisi astronomis, tapi nyatanya tidak sepenuhnya demikian. Penggunaan kata-kata seperti Pleiades, Hale-Bopp, Sabitah, maupun Bimasakti hanyalah ornamen-ornamen dalam puisi yang sebetulnya lebih tertuju dan terarah untuk mengajak pada permenungan, berpikir lebih mendasar, secara eksistensial, tentang hidup, tentang kemenghambaan, tentang status manusia di jagat raya yang mahabesar.

Sebetulnya, Surat Cinta untuk Malam adalah judul puisi yang saya tulis dan diterbitkan di dalam buku sebelumnya, Rumah Bersama, namun karena puisi tersebut telah memantik ide untuk menulis puisi-puisi bertema malam dan langit malam, maka puisi tersebut dimasukkan kembali ke dalam buku Permaisuri Malamku yang terbit di tahun 2011. Pada masa-masa itu, saya sangat terpukau dengan keindahan langit malam.

Terkait puisi-puisi di buku ini, saya tidak bisa melupakan nama Hendro Setyanto. Berkat kawan saya, Januar Herwanto, saya diperkenalkan dengannya. Pada pertemuan pertama, saya langsung terlibat diskusi agak lama dengan beliau terkait astronomi (belakangan bahkan sempat membeli teleskop juga dari beliau untuk sekolah). Saat ini, belaiu mengelola Imah Noong dan Mushollatorium. Dua ruang untuk aktivitas astronomi ini berada di Lembang, Bandung Utara. Dari pembicaraan dengannya itulah akhirnya saya mulai menulis puisi-puisi bertema langit malam.

Dua di antara puisi bertema malam (Surat Cinta untuk Malam dan Permaisuri Malamku) dibacakan di salah satu sesi Ubud Writers and Readers Festival, di Ubud, Bali, tahun 2008. Kebetulan, yang membacakannya adalah Martin Jankowski, sementara saya membacakan puisi dia. Berkat pertemuan tersebut akhirnya kami dipertemukan kembali bertemu di Jerman. Martin mengundang saya untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni yang dia kerjakan: Jakarta-Berlin Arts Festival. Puisi-puisi pun dikumpulkan dan diterbitkan di Diva Press lalu saya bawa pergi ke perhelatan tersebut.

Bedanya dengan buku Permaisuri Malamku, buku Surat Cinta untuk Malam didisain lebih ramping dan lebih kecil oleh Erha Authanul Muther, pendiri Mori. Di dalamnya juga dimuat beberapa puisi tambahan, yaitu : Himne untuk Malam, Cara Mengetuk Pintu, Menunggu Peringatan Isra Mikraj, Siapa yang Menyapu Langit?, Hanya Bertanya, Betapa Indahnya Maghrib, Batu-Batu Langit, Nahawand, Jiharkah, Ulul Albab, Refleksi Agustus Saat Padam Lampu, Kelompak Langit Merekah, dan Iman dan Cinta. Buku dengan jumlah halaman 88 ini terbit di bulan Maret 2025.

Duli di Terompah Nabi dan Madah Makkiyah



 

Di semester kedua tahun 2024 ini, saya menerbitkan dua buku puisi baru bersamaan. Dua-duanya tentang cinta. Yang pertama adalah mahabbatur rasul. Yang kedua adalah puisi-puisi cinta kepada kekasih yang telah tiada.

Menerbitkan dua buku puisi bersamaan, lebih-lebih itu buku puisi, nyaris dianggap sebagai pekerjaan paling gabut di masa sekarang. Tidak banyak penerbit yang mau menerbitkan buku puisi kecuali atas uluran tangan dari sepenulis, semisal dalam pendanaan atau jaminan pertanggungjawaban dalam hal distribusinya setelah terbit. Pernyataan ini bukan berdasarkan data survei, hanya mengacu pada keluh-kesah teman-teman dalam jaringan dekat. Dalam kasus seperti ini, mereka berbisik atau bicara pelan-pelan soal penerbitan buku puisi. Kebetulan, saya tidak termasuk dalam kelompok itu. Dua buku puisi saya ini diterbitkan nyaris bersamaan oleh Diva Press.

Jika buku “Duli di Terompah Nabi” terbit, akal bisnis saya yang cetek masih dapat menjangkaunya, tentu saja penerbitnya juga, mengingat buku itu adalah puisi-puisi yang berisi madah puja-puji terhadap Kanjeng Nabi Muhammad saw. Jadi, jika terbit dan diacarakan di beberapa tempat, apalagi di bulan Maulid, masih ada lah kemungkinan lakunya. Kenyatannnya, saya kurang tahu karena belum mendapatkan kabar cetak ulang dari penerbit sejauh ini. Setidaknya, dengan melihat adanya beberapa pemesan kepada saya secara langsung atau minat membeli para pengunjung di acara tempat saya melaksanakan kegiatan bedah buku sudah cukup menjadi alasan bahwa masih ada penyuka puisi. Boleh jadi di antara mereka memang tidak suka puisi namun tetap membeli buku Duli di Termpah Nabi hanya karena ada unsur shalawat dan unsur nabawinya. Mungkin pula sang pembeli tidak menyukai puisi tapi suka madah nabawi seperit Diba’, Barzanji, Burdah, Simtudduror, atau sejenis itu yang secara kebetulan buku tersebut memuat dua terjemahan Maulid Dayba’i dan Simtud Duror (sesi mahallul qiyam). 



Yang mengherankan adalah buku satuya, yaitu buku puisi Madah Makkiyah. Buku ini  juga diterbitkan oleh Diva Press. Puisi-puisi di dalam buku tersebut adalah puisi-puisi personal (yang biasanya hanya ditulis di dalam diari dan disimpan sendiri) untuk almarhumah istri saya. Apakah kemungkinan unsur bisnis dari puisi-puisi semacam itu? Bahkan saya pun nyaris menafikannya. Saya menduga, jangan-jangan penerbit merilis buku ini bukan karena pertimbangan bisnis, tapi “kasihan saja”, atau bentuk timbal balik kerena saya telah menerbitkan banyak buku di penerbitnya.

Atau, jangan-jangan, ia melihat ada sesuatu yang penting di dalam buku itu namun justru tidak tampak di mata saya sendiri?

Madah Makkiyah adalah puisi-puisi pujian yang saya tulis dan saya persembahkan untuk mendiang istri saya, Makkiyah. Yang pasti, puisi ini eksklusif karena puisi-puisi yang dimuat di dalamnya adalah puisi-puisi awal sejak saya baru mengenalnya, hidup bersamanya, dan saya tetap menulis puisi untuknya sebagai persembahan dan doa setelah beliau tiada. Mungkin tidak banyak orang yang membuat arsip seperti ini, terutama terkait hubungan kasih-kinasih dengan pasangan hidupnya, lebih-lebih jika sampai diterbitkan secara resmi. Dalam hal ini, dengan diterbitkannya buku Madah Makkiyah oleh Diva Press, saya merasa diistimewakan.
 
Mungkin, ada juga penyair yang menulis puisi dengan cara serupa itu: menulis puisi personal untuk kekasihnya yang kelak menjadi istrinya, lalu tetap menuliskannya hingga ia tiada, namun saya cukup bangga dan yakin, buku Madah Makkiyah ini menjadi istimewa—setidaknya di mata saya—karena hubungan cinta yang diungkapkan di dalam buku puisi itu bukanlah hubungan asmara biasa, melainkan dipertautkan oleh ‘kehadiran’ pihak ketiga, yaitu DIA yang disanjung di dalam buku puisi sebelumnya, Duli diTerompah Nabi, yaitu nabi Muhammad saw.

Jika Anda membaca puisi-puisi Duli di Terompah Nabi kemudian membaca Madah Makkiyah, Anda akan menemukan kenyataan bahwa pujian yang saya sanjungkan kepada Nyai Makkiyah tetaplah selalu berkelit-kelindan terhadap pujian yang saya tautkan kepada Rasulullah. Betapa bahagia saya dengnn kedua buku puisi ini, bahkan melampaui kebahagian saya terhadap buku-buku puisi saya yang lainnya.